Hipoksemia Kronis Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Seluruh hewan dalam penelitian ini berhasil mencapai akhir perlakuan selama 4–5 minggu setelah secara acak dikelompokkan menjadi kontrol dan perlakuan. Secara rutin seluruh hewan diobservasi kesehatannya, asupan pakan, gejala klinis yang timbul selama proses pemaparan dengan gas SO 2 dan dilakukan pengambilan darah arteri setiap akhir minggu. Pada akhir minggu ke 4–5 setelah terjadi hipoksemia kronis pada hewan perlakuan didekapitasi dan segera diikuti oleh isolasi penis dan preparasi korpus kavernosum untuk pemeriksaan selanjutnya.

4.1 Hipoksemia Kronis

Pengamatan terhadap gejala hipoksemia kronis yang ditandai dengan gejala klinis berupa keluarnya lendir dari hidung, batuk, bersin dan kadang sianosis. Pengukuran kadar PaO 2 penting untuk menentukan apakah pemaparan pada hewan dapat dilanjutkan atau harus dihentikan sementara, karena apabila PaO 2 60 mmHg harus dihentikan sementara untuk menghindari kematian, hal ini kami dapatkan berdasarkan pengalaman pada percobaan pendahuluan. Pemaparan umumnya dapat dimulai kembali setelah dihentikan selama 2 sampai 4 hari, setelah kadar PaO 2 kembali 60mmHg. Perubahan bobot badan sampai 300 g sebagai salah satu indikasi terjadinya hipoksemia kronis dimonitor dengan mengukur bobot badan awal dan setiap akhir minggu Iwase et al. 1997. Pada akhir penelitian didapatkan penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan sebesar 245,83 ± 113,73 g sedangkan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan berat badan 166,67 ± 121,23 g, perubahan bobot badan antara kedua kelompok terdapat perbedaan yang nyata p 0,001. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian pendahuluan seperti di tampilkan pada Table 4. Tabel 4. Perubahan bobot badan kelompok kelinci setelah dipapar dengan gas SO 2 dengan dosis maksimal yang berbeda, selama 5 minggu. Kelompok kelinci Perubahan bobot badan g Perlakuan dosis SO 2 100ppm - 375 ± 25 a Perlakuan dosis SO 2 200ppm - 268 ± 92 a Perlakuan dosis SO 2 300ppm - 257 ± 13 a Kontrol 100 ± 87 b huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata p0,05 Penurunan bobot badan pada kelompok perlakuan disebabkan pada kelinci yang mengalami hipoksemia kronis dan konsumsi pakan menjadi berkurang pada kelompok perlakuan. Sisa pakan yang tidak dikonsumsi mencapai 60, hal ini diduga karena hewan coba dalam keadaan tercekam dan kesakitan yang menyebabkan penurunan nafsu makan. Hipoksemia selain melihat gejala klinis dipastikan dengan penurunan kadar PaO 2 darah arteri. Pemaparan gas SO 2 pada penelitian pendahuluan dengan kadar rerata PaO 2 80 mmHg, kelinci baru mengalami hipoksemia minggu ke-2. Pada penelitian ini gejala hipoksemia disertai penurunan kadar PaO 2 60 mmHg mulai terjadi sejak minggu ke-1 pada sebagian hewan perlakuan. Hal ini terjadi karena telah adanya gangguan faal paru pada hewan percobaan sejak awal penelitian di mana nilai rerata kadar PaO 2 pada kelompok kontrol maupun perlakuan sudah 80 mmHg, hal ini menunjukkan telah adanya penurunan fungsi paru. Pada awal penelitian kadar PaO 2 arteri kelompok perlakuan 78,76 ± 6,45 mmHg dan kelompok kontrol 75,34 ± 8,52 mmHg, tidak berbeda secara statistik p = 0,219 Lampiran 1 . Data ini sesuai dengan hasil skor histopatologi paru pada akhir penelitian yaitu tidak menemukan adanya perbedaan antara kedua kelompok. Dengan demikian, kedua kelompok telah mengalami penurunan faal paru sejak awal penelitian. Hasil pemeriksaan histopatologi organ paru yang dipapar SO 2 perinhalasi menunjukkan terjadi kerusakan jaringan yang terjadi pada parenkim dan interstitium. Pada jaringan interstitium ditemukan perdarahan dan kongesti yang diikuti oleh penebalan pada dinding alveoli dengan adanya sel-sel radang yang tersebar hampir pada seluruh jaringan Gambar 9 dan 10. Gambar 9. Paru kelinci karena pemaparan SO 2 , mengalami penebalan dinding alveol panah hitam akibat akumulasi sel radang dan terjadinya kongesti dan perdarahan panah merah. Pewarnaan HE, 200X Gambar 10. Dinding alveol paru kelinci karena pemaparan SO 2 , mengalami perdarahan panah merah, dan akumulasi sel-sel radang panah biru, karena kerusakan alveolus beberapa alveolus menyatu sehingga terjadi emfisema panah hitam, Pewarnaan HE, 400X Pada penelitian pendahuluan kadar awal rerata PaO 2 pada seluruh kelompok 80 mmHg, pada kelompok perlakuan dipapar menggunakan kadar SO 2 yaitu, 100, 200, 300 mmHg. Pada hasil uji statistik skoring histopatologi paru antara kelompok perlakuan dosis yang berdeda tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, tetapi antara kontrol dengan semua kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang bermakna p 0,05. Dari pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa pemaparan gas SO 2 selama empat minggu dapat menimbulkan kerusakan pada paru dengan dosis pemaparan yang mulai dari 100 ppm hingga 300 ppm Gambar 11. Gambar 11. Skor histopatologi paru pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO 2 dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol dengan nilai p masing-masing dosis terhadap kontrol. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna p 0,05. Pada Gambar 12 terlihat penurunan kadar PaO 2 kelompok perlakuan sudah terjadi mulai minggu ke-1, bahkan pada hewan no. 2, 3, 5, 6, 7 PaO 2 pemaparan dihentikan karena kadar PaO 2 sudah berada di bawah 60 mmHg dengan rerata PaO 2 59,91 ± 8,18 mmHg. Perbaikan faal paru sudah terjadi pada minggu berikutnya. Penurunan kadar PaO 2 pada hewan yang dilanjutkan pemaparan menjadi lebih jelas, pada minggu ke 2 rerata PaO 2 56,36 ± 13,42 mmHg dengan p = 0,017. Keadaan ini disebabkan hemoglobin lebih mudah berikatan dengan SO 2 dibandingkan dengan O 2 . Penyebab lain adalah karena SO 2 yang merupakan zat iritan menyebabkan penyempitan bronkus dan peningkatan viskositas mukus. Kerusakan dan terlepasnya sel epitel bersilia karena paparan SO 2 yang berfungsi mengantarkan mukus keluar menyebabkan mukus tertahan di saluran nafas selain a b b b 0,5 1 1,5 2 2,5 kontrol 100 ppm 200 ppm 300 ppm skoring lesio paru-paru Kadar pemaparan SO 2 kontrol 100 ppm 200 ppm 300 ppm mempersempit saluran nafas. Hal ini sangat mengganggu pengambilan O 2 dan pelepasan CO 2 dari darah ke udara Munthe et al. 2003. Pada minggu ke-3 terjadi peningkatan rerata PaO 2 karena sebagian dari hewan yang telah mengalami hipoksemia kadar PaO 2 60 mHg pada minggu ke- 2 dihentikan pemaparannya untuk mencegah kematian no. 1, 2, 6 dan 12. Hal ini menyebabkan terjadinya perbaikan kembali faal paru sehingga terjadi kenaikan PaO 2 60 mmHg. Kembalinya fungsi paru terjadi setelah 1–2 minggu pemaparan dihentikan Iwase, et al. 1997. Kelinci yang tidak pernah dihentikan pemaparannya selama 4 minggu pada akhir penelitian semuanya mengalami hipoksemia, sedangkan yang pernah terhenti pemaparan dilanjutkan sampai minggu ke-5. Pada akhir pemaparan jelas sekali terjadi penurunan kadar PaO 2 49,01 ± 5,23 mmHg p 0,001. Gambar 12. Perubahan kadar PaO 2 masing-masing kelinci perlakuan sejak awal penelitian, selama pemaparan dengan gas SO 2 setiap akhir minggu sampai minggu ke-5 akhir penelitian. Keadaan ini disebabkan telah terjadinya kerusakan paru yang lebih lanjut karena paparan SO 2 berupa perdarahan pada jaringan interstitium paru dan kongesti, disertai penebalan dinding alveoli karena adanya sel-sel radang sehingga lumen alveoli menyempit dan kerusakan pada dinding alveoli yang robek dan meluas sehingga terjadi emfisema. Pada penelitian pendahuluan pemaparan SO 2 30 40 50 60 70 80 90 100 Awal 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lama Pemaparan gas SO 2 Minggu Kadar PaO 2 mmHg nomor kelinci perlakuan dengan dosis 100–300 ppm dimana kadar awal sebelum perlakuan PaO 2 pada kontrol dan perlakuan lebih dari 80 mmHg yang berarti bahwa faal paru masih baik, didapatkan bahwa pada akhir penelitian terdapat perbedaan bermakna pada perubahan skor gambaran histopatologi dan sesuai gambaran bronkitis kronis dibandingkan dengan gambaran histopatologi kontrol yang normal. Pada penelitian ini telah terjadi gangguan faal paru pada hewan percobaan sejak awal penelitian dimana nilai rerata kadar PaO 2 sudah 80 mmHg. Pada awal penelitian kadar PaO 2 arteri kelompok perlakuan 78,76 ± 6,45 mmHg lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol 75,34 ± 8,52 mmHg tetapi tidak berbeda secara statistik p = 0,219, data ini menunjukkan bahwa kedua kelompok telah mengalami penurunan faal paru Lampiran 1. Gambar 13. Skor histopatologi paru pada kelompok kontrol dan perlakuan, tidak didapatkan perbedaan bermakna p = 0,443. Pada akhir penelitian ini skor histopatologi paru Gambar 13, pada kelompok perlakuan sebagian besar mengalami kerusakan paru dengan skor 2 6 hewan diikuti dengan skor 3 4 hewan sedangkan pada kontrol kerusakan dengan skor 2 3 hewan dan skor 3 6 hewan dengan rerata skor kelompok perlakuan 2,25 ± 0,87, sedangkan pada kelompok kontrol skornya 2,50 ± 0,90 yang berarti kondisi paru kelompok kontrol juga mengalami kerusakan paru kemungkinan hal ini telah terjadi dari awal penelitian sesuai dengan rerata kadar PaO 2 80mmHg, pada perhitungan statistik menggunakan Mann-Whitney skor 2 4 6 8 1 2 3 4 jumlah ekor Skor histopatologi paru‐paru kontrol perlakuan histopatologi antara kedua kelompok pada akhir penelitian tidak berbeda bermakna secara statistik p = 0,443. Dengan demikian, pemaparan gas SO 2 pada penelitian ini walaupun tidak didapatkan perbedaan pada gambaran histopatologi antara kedua kelompok, disebabkan pada kelompok kontrol telah adanya kerusakan paru sebelum penelitian yang dibuktikan dengan lebih tingginya skor histopatologi dan lebih rendahnya kadar PaO 2 pada awal penelitian. Tetapi pemaparan SO 2 pada hewan perlakuan menyebabkan hipoksemia berat yang ditandai dengan penurunan rerata kadar PaO 2 60 mmHg. Sebaliknya, pada hewan kontrol terjadi peningkatan rerata kadar PaO 2 80 mmHg menjadi tidak hipoksemia Gambar 14. Penurunan kadar PaO 2 pada kelompok perlakuan dapat terjadi karena kemampuan ikatan SO 2 -Hb yang tinggi, pemaparan SO 2 menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar yang akan menghambat pertukaran O 2 udara di rongga alveolus dengan pembuluh alveoli. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai model hubungan hipoksemia kronis dengan penyakit lain sebagai komplikasinya sebagaimana tujuan pada penelitian ini dihubungkan dengan disfungsi ereksi. Gambar 14. Rerata kadar PaO 2 mmHg pada awal, selama pemaparan dengan gas SO 2 , dan hingga akhir penelitian dari kelompok kontrol dan perlakuan.

4.2 Kadar Testosteron dan Free Testosteron