Latar Belakang Penurunan Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum Kelinci Akibat Hipoksemia Kronis oleh SO2 sebagai Model Disfungsi Ereksi pada Manusia

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru obstruksi kronis PPOK merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak napas dyspnea yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu penyakit kronis yang cenderung mengganggu kualitas hidup pasien secara progresif. Berdasarkan proyeksi yang dibuat oleh WHO pada Update Projections of Global Mortality and Burden Disease November 2006, pada tahun 2002, PPOK yang merupakan penyebab kematian ke-5 sebesar 3 juta 4,2 akan menjadi 3,9 juta pada tahun 2015 dan diperkirakan pada tahun 2030 akan menempati urutan ke-4 dengan jumlah pasien sebesar 5,7 juta 7,8 Mathers dan Loncar 2006. Kebiasaan merokok merupakan faktor tunggal terpenting penyebab PPOK. Secara umum terdapat hubungan antara jumlah dan lamanya mengkonsumsi rokok dengan penurunan fungsi paru, 80 penderita PPOK mempunyai riwayat merokok MacNee 1999. Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali lipat terjadi bronkitis kronis dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Perokok yang meninggal karena PPOK menempati urutan ke-2 setelah penyakit pembuluh darah jantung, sebesar 1,76 juta pasien 27. Tinggal pada daerah yang berpolusi tinggi dan terpapar dengan gas polutan secara kronis seperti gas SO 2 dan NO 2 juga menjadi penyebab terjadinya bronkitis kronis Kobzik 1999. Pada dekade terakhir, insiden terjadinya PPOK meningkat secara dramatis sebagai penyebab gangguan aktivitas dan mengharuskan penderitanya banyak berbaring di tempat tidur. Penurunan kualitas hidup akibat PPOK yang mengganggu aktivitas keseharian berdasarkan laporan WHO menggunakan disability-adjusted life year DALY meningkat dari 30 juta pasien pada tahun 2002 urutan ke-11 akan menjadi 36,7 juta pada 2015 dan menjadi 48,4 juta pada 2030 urutan ke-7. Penderita PPOK mengalami pula penurunan aktivitas seksual yang bermakna dibandingkan dengan populasi normal pada kelompok umur yang sama Kobzik 1999; Schonhofer et al. 2001. Dengan menggunakan kuesioner International Index for Erectile Dysfunction IIEF didapatkan 40 dari 53 pasien PPOK 75,5 mengalami disfungsi ereksi Koseoglu et al. 2005. Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Leleulya et al 2006 dengan menggunakan kuesioner yang sama mendapatkan 39 dari 40 pasien PPOK 97,5 mengalami disfungsi ereksi, sedangkan dengan menggunakan Rigiscan untuk menilai terjadinya peningkatan rigiditas dan frekuensi timbulnya rigiditas pada penis sewaktu pasien tidur, didapatkan 30 dari 40 75 pasien dipastikan mengalami disfungsi ereksi tipe organik. Sampai saat ini, diketahui bahwa penyebab disfungsi seksual pada pasien PPOK adalah timbulnya sesak nafas sewaktu aktivitas, adanya penyakit penyerta dan konsumsi obat, serta kadar testosteron yang lebih rendah dari populasi normal Ibanez et al. 2001; Kamischke et al. 1998. Hubungan seksual normal diawali dengan adanya libido dilanjutkan dengan terjadinya ereksi dan diakhiri dengan terjadinya ejakulasi bersamaan dengan orgasme. Testosteron diketahui mempunyai peranan yang penting pada libido. Pada beberapa penelitian terdahulu diduga bahwa penurunan kadar testosteron pada pasien PPOK disebabkan karena efek hipoksemia yang menekan aksis hipotalamus-hipofisis-testis Semple et al. 1981; 1984. Pada tikus yang dikastrasi kadar testosteron menjadi sangat rendah akan terjadi penurunan jumlah n-NOS neuronal Nitric Oxide Synthetase dan penurunan tekanan intrakavernosum penis. Apabila dilakukan suplementasi testosteron, kadar n-NOS dan tekanan intrakavernosum akan meningkat kembali sehingga disimpulkan testosteron berperan dalam proses fisiologi ereksi Baba et al. 2000. Pada tikus yang dilakukan kastrasi sehingga terjadi penurunan kadar testosteron mengalami penurunan jumlah otot polos, peningkatan jumlah jaringan ikat korpus kavernosum sehingga akan menurunkan kemampuan relaksasi dan tekanan intrakorpus kavernosum yang menjadi penyebab gangguan ereksi. Disfungsi ereksi didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk terjadinya dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk hubungan seksual yang memuaskan NIH Consensus, 1993. Sampai tahun 1970-an, 90 disfungsi ereksi diduga disebabkan oleh faktor psikologis semata Masters dan Johnson, 1970, namun, sejak tahun 1980-an sampai 1990-an, dengan semakin jelasnya proses fisiologi ereksi dan patofisiologi disfungsi ereksi, diketahui bahwa pada sekitar 70 kasus ditemukan adanya gangguan faktor organik. Pada dasarnya, ereksi akan terjadi melalui proses neurologis dan hemodinamik yang dikontrol oleh faktor psikologis. Penyebab disfungsi ereksi dibagi menjadi faktor psikologis dan faktor organik yang dapat disebabkan oleh kelainan pada pembuluh darah vaskulogenik, persarafan neurogenik, dan hormon endokrinologik Carbone dan Seftel 2004. Pada tingkat sel, ereksi diawali oleh pelepasan asetilkolin dari saraf parasimpatis dan nitrit oksida NO dari saraf nonadrenergis nonkolinergis yang akan mengaktifkan jalur cyclic 3,5, guanosine monophosphate cGMP sehingga terjadi relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi. Nitrit oksida inilah yang lebih berperanan penting pada proses fisiologi ereksi Trussell et al. 2004. Oksigenasi pada penis juga memiliki peran penting untuk regulasi mekanisme lokal ereksi. Kondisi hipoksia kronis dapat mengganggu pembentukan NO dan mengganggu aktivitas saraf simpatis lokal, yang dapat menimbulkan disfungsi ereksi Verratti et al. 2007. Bronkitis kronis merupakan salah satu penyebab PPOK. Pada kelinci, kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik sehingga menyerupai kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO 2 dan dibuktikan adanya penurunan kadar PaO 2 yang disertai perubahan gambaran histopatologi paru Iwase et al. 1997. Kelinci adalah hewan yang cukup ideal digunakan sebagai model untuk menilai kontraktilitas dan relaksasi otot polos korpus kavernosum cukup ideal Taher dan Birowo 2004. Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian efek hipoksia kronis terhadap kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum. Dalam penelitian ini akan dicari efek hipoksemia kronis PPOK yang disebabkan SO 2 terhadap gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi dengan mengunakan kelinci sebagai modelnya, sebagaimana digambarkan dalam alur pemikiran penelitian Gambar 1. Gambar 1. Alur pemikiran penelitian Libido PPOK Hipoksemia Susunan Saraf Pusat Supresi: Hipotalamus Hipofisis PA : atrofi sel Leydig Testosteron Free Testosterone Gejala klinis + PaO2 Patologi Paru + LH Disfungsi seksual Relaksasi otot polos Korpora kavernosum Disfungsi Ereksi Jumlah otot polos KK penis Jumlah jaringan ikat KK penis Zat meningkatkan kemampuan Relaksasi otot polos Korpora kavernosum Terapi Disfungsi Ereksi Sildenafil sitrat Zaprinast

1.2 Tujuan