III.
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM - Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
FKUI , Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor IPB, Departemen Patologi Anatomi
FKUI dan Makmal Terpadu FKUI, serta kandang hewan percobaan Bagian Farmakologi FKUI, dari bulan Juli tahun 2006 sampai Februari tahun 2008.
3.2 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini 24 ekor kelinci jantan lokal Lepus spp. dewasa berumur antara 6–8 bulan dengan berat antara
1,8–2,4 kg. Kelinci dipelihara di kandang individu dan menjalani adaptasi selama 7 hari sebelum percobaan. Pakan diberikan sebanyak 200 ghari berupa pelet
produksi PT. Indofeed dengan kadar protein 16 dan energi bruto 2500 kal dan air minum diberikan ad libitum. Seluruh prosedur penelitian telah mendapatkan
persetujuan etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI nomor : KS.02.01.2.1.2989 tanggal 7 Juli 2006.
3.3 Bahan dan Alat
Alat yang digunakan adalah Biochamber dari laboratorium Faal Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Gas SO
2
, alat monitor kadar SO
2
digital 0–1000 ppm Bacharach, Dioxor II, ppm sulfur dioxide, Electronic Gas Anayzer, Made in USA,
Organ bath IOA-5306, Tissue Bath System, Mikroskop Carl Zeiss OPMI pico seri 360392, dan Gamma Counter DPC C-12.
3.4 Metode Penelitian
Dua puluh empat ekor kelinci diadaptasikan terhadap lingkungan dan pakan selama 1 minggu. Selanjutnya, kelinci percobaan dibagi menjadi 2
kelompok, masing-masing kelompok 12 ekor sebagai kontrol dan 12 ekor menerima perlakuan.
Penentuan besar sampel pada penelitian ini ditentukan atas dasar bentuk penelitian ini analitik, data bersifat numerik dan sampelnya tidak berpasangan.
Analitik karena karena ingin mengetahui hubungan hipoksemia kronis dengan disfungsi ereksi, data yang diperoleh adalah numerik dan tidak berpasangan
karena data yang diperoleh dari individu yang berbeda. Maka yang dipakai rumus Higgins Klingaum 1985.
N =
1 1 f
2
2 2
1
2
N : besar sampel
f : proporsi kegagalan F = 0
Za : nilainya ditentuan dari tabel berdasarkan tingkat kepercayaan terhadap
simpang baku atau kesalahan yang ditoleransi, tergantung pada besarnya α dan hipotesis penelitian,
pada penelitian ini α = 0.05Æ Za = 1.96, β = 0.10 Æ Zb = 1.28
x1– x2
: selisih minimal yang dianggap bermakna berdasarkan penelitian pendahuluan.
S : simpang baku berdasarkan hitungan penelitian pendahulu
Memperoleh n = 11.37 ~ 12 sampel
Secara garis besar penelitian ini terdiri atas 3 percobaan Gambar 5. Pertama, melakukan pemaparan gas SO
2
secara kronis terhadap hewan coba untuk menyebabkan PPOK dengan menilai gejala klinis, perubahan kadar PaO
2
dan perubahan gambaran Patologi Anatomi paru. Kedua, membandingkan perubahan kadar testosteron dan free testosterone sebelum dan sesudah perlakuan
serta perbedaan gambaran patologi anatomi jaringan testis antara kelompok kontrol dan perlakuan. Ketiga, menilai kemampuan kontraksi dan relaksasi dari
masing-masing kelompok serta menilai perubahan kemampuan relaksasi korpus kavernosum dengan memberikan beberapa zat antara lain: asetilkolin, sildenafil
sitrat dan zaprinast serta gambaran patologi anatomi pada korpus kavernosum.
Kelinci Jantan 24 Ekor
Perlakuan pada Biochamber Kontrol
12 Ekor Expose SO2 bertahap
12 Ekor
Akhir Perlakuan Preparasi Korpus Kavernosum
Operasi Mikroskopis
Uji Organ Bath 1.
Kontraktilitas PE dosis 10
-8
– 10
-4
2. Relaksasi
‐ Asetilkolin ‐ Sildenafil sitrat
‐ Zaprinast Tahap persiapan
Adaptasi : - Pakan -
Kandang 1.
Kadar PaO
2
2. Testosterom
3. Free Testosteron
1. Gejala Klinis
2. Kadar PaO
2
periodik 3.
Bobot Badan
1. Kadar PaO2
2. Testosteron
3. Free Testosteron
4. PA Testis
Perubahan Kontraksi
Perubahan Relaksasi
‐ Otot polos ‐ Jaringan ikat
Patologi Anatomi Korpus Kavernosum
Pemeriksaan
Gambar 5. Alur kegiatan penelitian
3.4.1 Tahapan Persiapan
Pada tahapan persiapan 24 ekor kelinci jantan dengan umur 6-8 bulan dengan bobot badan 1800-2500 gr, dipelihara pada suhu ruangan 21-23
°C dalam kandang individuil selama 7 hari. Makanan kelinci berupa pakan komersial
berbentuk pelet dengan kadar protein 16 dan kadar energi 2500 Kal. Pemberian pakan dilakukan 2 kali sehari total 200 g dan pemberian minum secara ad libitum.
3.4.2 Prosedur Pemaparan Gas SO
2
dan Monitor Hipoksemia
Dua puluh empat ekor kelinci yang telah menjalani adaptasi lingkungan dibagi menjadi 2 kelompok. Selama perlakuan, kelinci diletakkan dalam
biochamber pada suhu 21ºC, kadar gas SO
2
dimonitor dengan detektor digital secara terus menerus agar dapat dipertahankan sesuai kadar yang ditentukan.
Gambar 6 Kelompok 1: 12 ekor kelinci sebagai kontrol mendapat perlakuan tetapi
tanpa pemaparan dengan gas SO
2
dan kelompok 2 sejumlah 12 ekor kelinci dipaparkan dengan gas SO
2
dengan dosis 50-300 ppm selama 2 jam dalam 1 hari, 5 hari dalam 1 minggu, selama 4-6 minggu sampai timbul gejala klinis PPOK.
Kadar SO
2
dinaikkan secara bertahap pada minggu pertama dimulai dengan kadar SO
2
50-100 ppm, minggu kedua 100-200 ppm dan minggu ketiga 200-300 ppm, kadar SO
2
tersebut dipertahankan sampai 4-5 minggu dan dinilai secara individual sampai timbulnya gejala klinis PPOK. Gejala klinis PPOK yang
ditemukan pada kelinci berupa rhinorhea mengeluarkan cairan dari hidung, batuk, bersin, banyak keluar lendir dari tenggorokan dahak disertai penurunan
bobot badan sebesar 300 gr karena menurunnya konsumsi pakan yang umumnya mulai terjadi pada minggu ke 4. Selama pemaparan, perilaku dan kondisi klinis
hewan dapat dimontor melalui jendela kaca di pintu depan biochamber. Pemeriksaan indikator fisiologi frekuensi nadi dan pernafasan dinilai setiap awal
minggu dan akhir minggu pemaparan serta jumlah asupan yang dikonsumsi rata- rata per hari pada setiap minggu pemaparan.
Kadar kimia darah dinilai sebelum dan setelah perlakuan. Sampel darah diambil dari arteri aurikula menggunakan jarum ukuran 27G, pada akhir
pemaparan setiap minggu. Apabila terjadi hipoksemia PaO
2
60 mmHg
pemaparan dihentikan dan kadar PaO
2
dimonitor 2 hari sekali dan setelah PaO
2
60 mmHg pemaparan dilanjutkan kembali, sampai terjadi PaO
2
60 setelah pemaparan pada minggu ke 4-5.
A B
C Gambar 6. Pemaparan kelinci dengan gas SO
2
di dalam Biochamber A. Biochamber, tabung gas SO
2
dan monitor kadar SO
2
panah B. Biochamber suhu dapat diatur sesuai kebutuhan.
C. Jendela kaca untuk memonitor kondisi hewan coba.
3.4.3 Pemeriksaan Kadar Testosteron
Pemeriksaan dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan cara yang sama : Coat-A-count testosterone total merupakan radioimmunoassay fase padat.
Antibodi khusus testosteron total total testosterone-specific antibody diimobilisasi pada dinding tabung polipropilen. Testosteron total yang dilabel
125
I
125
I -total testosterone berkompetisi dengan testosteron total dalam serum sampel terhadap antibodi khusus testosteron total. Setelah tabung didekantasi
maka berakhirlah fase terjadinya ikatan antara antibodi dengan testosteron total. Pengukuran konsentrasi testosteron total dengan gamma counter. Kadar
testosteron total serum sampel ditentukan dengan kurva kalibrasi.
3.4.4 Pemeriksaan Kadar Free Testosteron
Pemeriksaan dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan cara yang sama : Coat-A-count free testosterone merupakan radioimmunoassay fase padat.
Antibodi khusus free testosterone free testosterone-specific antibody diimobilisasi pada dinding tabung polipropilen. Free testosterone yang dilabel
125
I
125
I - free testosterone berkompetisi dengan free testosterone dalam serum sampel terhadap antibodi khusus free testosterone. Setelah tabung didekantasi
maka berakhirlah fase terjadinya ikatan antara antibodi dengan free testosterone. Pengukuran konsentrasi free testosterone dengan gamma counter. Kadar free
testosterone serum sampel ditentukan dengan kurva kalibrasi.
3.4.5 Preparasi Otot Korpus Kavernosum
Kelinci didekapitasi dan segera diikuti oleh isolasi penis. Preparasi korpus kavernosum dilakukan dengan menggunakan teknik operasi menggunakan
mikoroskop, dengan pembesaran 10x dengan F300 Gambar 7A. Selama preparasi jaringan penis direndam dalam cairan Krebs Heinselait menggunakan
komposisi sebagai berikut dalam 5 L air yang sudah dideionisasi: NaCl 33,7 gr, glukosa 7,7 gr, NaHCO
3
9,3 gr , KCl 41,7 ml, MgSO
4
.7H
2
O 37,7 ml, CaCl
2
2H
2
O 40,7 ml, KH
2
PO
4
50 ml, Na
2
EDTA 5 ml. Penis yang telah dieksisi sampai pangkal yang melekat pada tulang
simpisis pubis diletakkan pada papan dan difiksasi dengan jarum 18G. Dilakukan insisi pada kulit penis sehingga tampak tunika albugenia, dengan menggunakan
gunting mikro dilakukan pemotongan memanjang pada tunika albugenia sampai tampak otot korpus kavernosum Gambar 7B. Masing masing otot korpus
kavernosum dipisahkan dari tunika albugenia dari arah proksimal ke distal dan dipotong dengan ukuran panjang 10 mm bagian proksimalnya, untuk digunakan
pada pemeriksaan organ bath, sehingga didapatkan 2 preparat dari satu ekor kelinciGambar 7C.
A B
C Gambar 7. Preparasi otot korpus kavernosum dengan operasi mikroskopisA,
Korpus kavernosum setelah dilakukan insisi tunika albugenia B, Otot polos Korpus kavernosum yang sudah dipreparasi C.
3.4.6 Pengukuran Kontraksi dan Relaksasi dengan Organ Bath
Percobaan dilakukan dalam 1-2 jam setelah eksisi jaringan. Korpus kavernosum langsung diletakkan dalam larutan Krebs-Henseleit dengan suhu
dipertahankan pada 4
o
C. Setelah dipisahkan dari jaringan sekitarnya, otot polos korpus kavernosum dipotong menjadi strip lembaran-lembaran dengan panjang
10 mm diletakkan dalam 5 ml organ bath yang secara terus menerus dilarutkan gas karbogen 95 O
2
dan 5 CO
2
di dalamnya pada suhu 37
o
C dengan pH 7,4. Kontraksi isometrik diukur dengan menggunakan isometric trandsducer Radnoti®
dan dihubungkan dengan MacLab Instrument 8e. Pengukuran kontraksi dilakukan pada preparat korpus kavernosum
dibiarkan dalam organ bath untuk ekuilibrasi selama 60-90 menit, dan selama itu diberikan tegangan pasif sebesar 0,5 gram dengan beberapa kali
penyesuaianGambar 8. Setelah tercapai plateau, dengan menggunakan program MacLab for Windows
maka nilai tegangan pada titik plateau digunakan sebagai nilai A setelah ditambahkan zat phenilepherine dengan dosis tertentu. Kontraksi
yang terjadi diamati, setelah terjadi plateau, maka titik tersebut ditentukan sebagai nilai B. Dengan demikian, dapat dihitung persentasi peningkatan kontraksi dengan
menggunakan rumus : B-AA x 100. Pengukuran Relaksasi pada preparat korpus kavernosum dibiarkan dalam
organ bath untuk ekuilibrasi selama 60-90 menit, dan selama itu diberikan
tegangan pasif sebesar 0,5 gram dengan beberapa kali penyesuaian. Setelah itu 1 μM phenilepherine dengan dosis 10
5
diberikan untuk mengkontraksikan preparat; dan setelah tegangan stabil dicapai plateau, dengan menggunakan program
MacLab for Windows maka nilai tegangan pada titik plateau digunakan sebagai
nilai A. Zat yang akan dinilai efek relaksasinya dimasukkan ke dalam organ bath Dosis terendah yang digunakan adalah 10
-8
M dan dosis tertinggi adalah 10
-4
M. Setelah dimasukkan dosis sesuai urutan pemberian dan terjadi relaksasi sampai
tercapai plateau, maka titik tersebut ditentukan sebagai nilai B. Dengan demikian, dapat dihitung persentasi peningkatan relaksasi dengan menggunakan rumus :
A-BA x 100.
Zat yang digunakan dalam penelitian ini untuk menilai relaksasi korpus kavernosum adalah asetilkolin yang merupakan neurotransmiter, sildenafil sitrat
dan zaprinast sebagai inhibitor PDE 5.
Gambar 8. Organ bath untuk mengukur kekuatan kontraktilitas relaksasi otot A, Tabung 2 unit organ bath B, Strip otot dalam tabung C.
3.4.7 Evaluasi Histopatologi
Untuk menilai perubahan histologi organ korpus kavernosum, digunakan pewarnaan Masson Galdner. Pewarnaan Masson Goldner adalah suatu pewarnaan
ganda apabila pewarnaan lain umumnya hanya menggunakan 2 warna, pewarnaan ini menggunakan 3 warna. Masson menamakan kombinasi 3 warna ini sebagai
“Trichrom”. Perbedaan dalam pewarnaan jaringan terletak dalam dispersi masing- masing zat warna, kasar, atau halus. Perbedaan kecepatan penyusupan masing-
masing zat warna dipakai sebagai prinsip dalam pewarnaan, dengan demikian, bila zat warna dengan dispersi halus memasuki jaringan, porsi dengan dispersi
kasar akan tertahan. Zat dengan dispersi kasar terutama akan mewarnai struktur yang besar atau kasar, sungguh pun sebagian juga mewarnai struktur yang halus.
Sebelum dilakukan pulasan ada proses yang sangat penting dilakukan, yaitu proses dehidrasi, clearing, infiltrasi dengan parafin cair hingga embedding
pembuatan blok parafin. Guna mendapatkan suatu sayatan tipis nantinya, maka pada awalnya jaringan segar difiksasi dengan menggunakan cairan buffer formalin
B
C A
10. Jaringan yang sudah terfiksir dengan baik dilanjutkan melalui tahap dehidrasi menggunakan cairan Ethanol dengan konsentrasi menaik 70-100
secara perlahan. Setelah tahap dehidrasi sempurna maka tahap selanjutnya adalah clearing
dengan cairan xylol. Tahap clearing ini merupakan tahap transisi. Selanjutnya jaringan diinfiltrasi dengan menggunakan media parafin cair. Media
parafin dipilih karena mudah dalam mendapatkan sayatan tipis. Penyayatan tipis jaringan dilakukan dengan menggunakan bantuan alat berupa Microtom dengan
ketebalan ± 5 µm dan kemudian diletakkan di permukaan slide glass object. Jaringan yang telah didapat dengan sayatan ± 5 µm selanjutnya dilakukan
teknik pewarnaan Masson trichrom. Dimulai dengan tahap deparafinisasi menggunakkan cairan xylol diteruskan dengan rehidrasi dengan ethanol
konsentrasi menurun 100 - 70 sampai aquadest. Masing-masing tahapan 5 menit. Inti sel diwarnai dengan Eisenhematoxylin weigert 5 menit dan setelahnya
dicuci dengan air mengalir, kelebihan warna dikurangi dengan HCl 1 dan dicuci kembali dengan air mengalir. Selanjutnya diwarnai jaringan dengan Acid fuchin 5
menit dibilas dengan acetic acid 1 selama 1 menit. Sediaan direndam dalam phosphomolybdic acid phosphotungstic acid
selama 5 menit dan dibilas kembali dengan acetic acid 1 selama 1 menit. Kemudian jaringan diwarnai dengan light
green methyl blue selama 2-5 menit dan kembali dibilas bersih dengan acetic
acid 1 selama 1 menit. Setelah itu jaringan dikeringkan dalam suhu ruangan hingga selanjutnya diclearing dengan xylol dan kemudian ditutup dengan
mounting media untuk selanjutnya dievaluasi. dengan pewarnaan ini inti sel
berwarna biru kehitaman blue-black, Sitoplasma , otot dan eritrosit berwarna merah, dan kolagen berwarna biru.
Pewarnaan jaringan paru dan testis menggunakan pewarnaan hematoksilin-eosin HE. Evaluasi histopatologi dilakukan dengan cara skoring
0–4 berdasarkan derajat perubahan yang terjadi pada masing masing organ. Skoring
dilakukan pada 5 lapang pandang yang diambil secara acak dengan perbesaran 10x dan 40x. Acuan skor yang digunakan pada organ paru ditampilkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Skor perubahan histologi organ paru
Skor Keterangan 0 Tidak
terjadi perubahan
1 Kongesti dan perdarahan pada intersititium dan infiltrasi sel radang
pada 25 lapang pandang 2
Kongesti dan perdarahan semakin banyak pada interstitium dan infiltrasi sel radang 25-50 lapang pandang
3 Kongesti dan perdarahan pada interstitium dan infiltrasi sel radang
pada 50-75 lapang pandang 4
Kongesti dan perdarahan pada interstitium dan infiltrasi sel radang pada 75 lapang pandang
Evaluasi histopatologi pada testis dilakukan dengan cara skoring 1-4 berdasarkan adanya perubahan berupa kongesti, edema, degenerasi, fibrosis
peritubuler. Lesio diamati pada 5 lapang pandang untuk masing-masing kelinci dengan perbesara 100X. Penilaian skoring lesio ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Skor perubahan histologi jaringan testis kelinci
25 1
25-50 2
50-75 3
75 4
Evaluasi histopatologi organ korpus Kavernosum dilakukan dengan cara skoring
1–3 berdasarkan derajat perubahan jumlah otot polos dan perubahan jumlah jaringan ikat. Skoring dilakukan pada 5 lapang pandang yang diambil
secara acak dengan perbesaran 10x dan 40x. Acuan skor yang digunakan pada organ paru ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Skor perubahan histologi jaringan korvus kavernosum
Skor Keterangan 1
Tidak terjadi perubahan atau berubah minimal 20 lapang pandang 2
Terjadi penurunan jumlah jaringan otot polos 50 lapangan pandang atau peningkatan jaringan ikat pada korvus kavernosum
3 Terjadi penurunan jumlah jaringan otot polos 50 lapangan
pandang atau peningkatan jaringan ikat pada korvus kavernosum
3.5 Analisis Statistik
Analisis dilakukan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS versi 15 untuk Windows. Sebelum analisis seluruh data dievaluasi distribusi dan
homogenitas variannya dalam kelompok. Metode analisis statistik untuk hipotesis membandingkan kontrol dengan perlakuan yang bersifat kategorik terdiri dari 2
kelompok data tidak berpasangan maka dilakukan dengan uji Mann-Whitney. Sedangkan untuk membandingkan data yng lebih dari 2 kelompok dan tidak
berpasangan maka digunakan uji Kruskal-Wallis. Tingkat kepercayaan yang dipakai adalah 0,05. Seluruh nilai yang dilaporkan adalah rerata ± simpang baku.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Seluruh hewan dalam penelitian ini berhasil mencapai akhir perlakuan selama 4–5 minggu setelah secara acak dikelompokkan menjadi kontrol dan
perlakuan. Secara rutin seluruh hewan diobservasi kesehatannya, asupan pakan, gejala klinis yang timbul selama proses pemaparan dengan gas SO
2
dan dilakukan pengambilan darah arteri setiap akhir minggu. Pada akhir minggu ke 4–5 setelah
terjadi hipoksemia kronis pada hewan perlakuan didekapitasi dan segera diikuti oleh isolasi penis dan preparasi korpus kavernosum untuk pemeriksaan
selanjutnya.
4.1 Hipoksemia Kronis