Gambar 24. Persentasi perubahan kontraksi otot polos korpus kavernosum invitro
pada masing-masing dosis pemberian phenilephrine Menurunnya kemampuan kontraksi pada kelinci PPOK terjadi karena otot
polos korpus kavernosum kelinci mengalami degenerasi dan fibrosis, disertai apoptosis Averesa et al. 2004.
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Masson Trichrom untuk membedakan jumlah
otot polos dengan jaringan ikat. Didapatkan pada kelompok kelinci kontrol jumlah otot polos dan jaringan ikat normal. Pada hewan perlakuan terjadi penurunan
jumlah otot polos dan peningkatan jaringan ikat kolagen pada korpus kavernosum penjelasan lebih lengkap pada bagian berikutnya. Hal inilah yang menyebabkan
kemampuan kontraksi korpus kavernosum kelinci perlakuan menurun. Perbedaan kontraktilitas antara hewan kontrol dan perlakuan semakin jelas dengan
penambahan dosis obat.
4.5 Kemampuan Relaksasi Otot Polos Korpus Kavernosum
Cyclic AMP dan cGMP merupakan messenger kedua pada proses relaksasi otot polos. Keduanya mengaktivasi cAMP- dan cGMP- protein kinase
dependent sehingga terjadi fosforilasi protein dan mengubah ion channel sehingga
terjadi 1. Pembukaan channel kalium dan hiperpolarisasi. 2. Pengambilan sekuestrasi kalsium intraseluler oleh retikulum endoplasma. 3. Penghambatan
14,04 34,01
132,97 588,67
1094,55
2,27 11,04
35,04 220,2
518,5
200 400
600 800
1000 1200
1400 1600
1800 2000
PE 10‐8
PE 10‐7
PE 10‐6
PE 10‐5
PE 10‐4
Perubahan Kontraksi
Dosis phenylephrine M
Kontrol Perlakuan
tegangan channel kalsium dependen, mencegah masuknya Kalsium. Dengan demikian terjadi penurunan kadar kalsium bebas sitosol yang mengakibatkan
relaksasi Lue 2007. Penurunan kadar PaO
2
yang diukur pada penis dalam kondisi flaksid menunjukkan kegagalan respons relaksasi. Kondisi normoksik merupakan
kondisi yang diperlukan untuk mengembalikan kondisi relaksasi endotel dan neurogenik. Pada korpus cavernosum kelinci, kadar PaO
2
yang rendah menurunkan kadar basal cGMP dan mencegah akumulasi cGMP yang diinduksi
oleh nervus dilator. Lebih lanjut, PaO
2
yang rendah menghambat aktivitas nitric oxide synthase
pada korpus kavernosum sitosol Priya 2007. Untuk menilai kemampuan relaksasi, otot polos korpus kavernosus yang
telah dikontraksikan dengan diberikan Phenylepherine 10
-4
M pada penelitian ini digunakan beberapa zat, salah satunya asetilkolin yang merupakan
neurotransmiter yang berkerja melalui jalur cAMP dan cGMP secara tidak langsung. Pada penelitian ini didapatkan kemampuan relaksasi kelompok kelinci
perlakuan lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis asetilkolin dari 10
-8
M sampai 10
-4
M . Penambahan asetilkolin pada dosis maksimal yang
dapat digunakan sebagai dosis terapi 10
-5
M pada kontrol terjadi relaksasi sebesar 31,18 ± 13,98 sedangkan pada perlakuan hanya menimbulkan relaksasi sebesar
9,19 + 11,14 Lampiran 3.
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis asetilkolin
Gambar 25. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan
dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M pada kelompok kontrol.
Kontraksi
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis asetilkolin
Gambar 26. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan asetilkolin dengan
dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M pada kelompok perlakuan.
Gambar 27. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan asetilkolin pada masing masing dosis.
Telah diketahui bahwa isoenzim PDE pada korpus kavernosum manusia terdiri atas PDE 3, 4, dan 5, tetapi jumlah yang terbanyak adalah PDE 5.
Berdasarkan guideline American Urological Association AUA, European Assotiation of Urology
EAU, dan Perkumpulan spesialis Urologi Indonesia
19,39 20,88
22,96 31,18
38,9
0,06 0,2
3,26 9,19
18,28 10
20 30
40 50
60 70
80 90
100
Ach 10‐8
Ach 10‐7
Ach 10‐6
Ach 10‐5
Ach 10‐4
Perubahan Relaksasi
Dosis Asetilkolin M
Kontrol Perlakuan
Kontraksi
IAUI maka pilihan pertama pengobatan DE saat ini adalah obat oral dengan komposisi PDE 5 inhibitor yang bekerja dengan menghambat kerja enzim PDE 5
yang bekerja mendegradasi cGMP zat aktif untuk relaksasi menjadi 5 GMP zat non aktif. Dengan tetap dipertahankan tingginya kadar cGMP yang merupakan
zat aktif dalam proses relaksasi, maka akan terjadi proses relaksasi otot polos korpus kavernosum sehingga terjadi ereksi yang memadai Seftel 2004.
Untuk menilai kemampuan relaksasi setelah otot polos yang telah dikontraksikan pada penelitian ini digunakan pula sildenafil sitrat yang
merupakan inhibitor spesifik PDE-5 dan telah digunakan sebagai obat disfungsi ereksi yang berkerja melalui jalur cGMP. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
kemampuan relaksasi kelompok kelinci PPOK lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada semua dosis sildenafil sitrat dari 10
-8
M sampai 10
-4
M lampiran
4. Penambahan sildenafil sitrat yang merupakan PDE-5 inhibitor sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi sebagai zat untuk terapi disfungsi ereksi adalah
10
-5
M dan ternyata menimbulkan relaksasi yang lebih baik dibandingkan asetilkolin.
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis sildenafil sitrat
Gambar 28. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro
menggunakan organ bath dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M, pada kelompok kontrol.
Kontraksi
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis asetilkolin
Gambar 29. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum dengan penambahan sildenafil sitrat dengan dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M, pada kelompok perlakuan.
Gambar 30. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan sildenafil sitrat pada masing masing dosis.
Dengan mengamati hasil pemeriksaan organ bath pada Gambar 30 33 terlihat bahwa relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum hewan kontrol
dengan penambahan asetilkolin persentasenya berkisar 19,39 ± 9,55 sampai 38,90 ± 12,78 sedangkan dengan penambahan sildenafil sitrat yang merupakan
30,4 33,36
44,97 64,72
80,59
0,03 0,23
14,34 35,91
51,31
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
SIL 10‐8
SIL 10‐7
SIL 10‐6
SIL 10‐5
SIL 10‐4
Perubahan Relaksasi
Dosis Sildenafil sitrat M
Kontrol Perlakuan
Kontraksi
inhibitor spesifik PDE 5 persentase relaksasinya mencapai 30,40 ± 20,35 sampai 80,59 ± 17,27. Hasil relaksasi yang disebabkan pemberian sildenafil
sitrat sesuai dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa aktivitas relaksasi otot polos kavernosum terutama melaui jalur cGMP.
Demikian pula pada Lampiran 3 4 korpus kavernosum hewan perlakuan PPOK relaksasi yang terjadi lebih baik pada pemberian sildenafil
sitrat dibandingkan dengan pemberian asetil kolin. Pada dosis maksimal yang dapat ditoleransi sebagai terapi sildenafil sitrat 10
-5
, relaksasi yang terjadi berbeda bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan pemberian asetilkolin.
Asetilkolin mempunyai efek relaksan nonspesifik, menyebabkan relaksasi yang terjadi pada korpus kavernosum tidak sebaik pada penambahan sildenafil sitrat
Morelli 2004. Penambahan zaprinast yang merupakan inhibitor PDE-5 yang mempunyai
efektivitas lebih rendah dibandingkan Sildenafil pada dosis rendah kemampuan relaksasi kelompok kelinci PPOK lebih buruk dan berbeda secara bermakna pada
dosis 10
-8
M sampai 10
-7
M, tetapi pada dosis yang lebih tinggi dosis 10
-6
M sampai 10
-4
M tidak berbeda secara bermakna. Hal ini berarti zaprinast dapat mengembalikan kemampuan relaksasi dari otot korpus kavernosum hewan
hipoksemia PPOK pada dosis tinggi Lampiran 5.
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis zaprinast M
Gambar 31. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan
dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M, pada kelompok kontrol.
Kontraksi
PE 10
-8
10
-7
10
-6
10
-5
10
-4
Dosis zaprinast M
Gambar 32. Grafik perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro menggunakan organ bath dengan penambahan zaprinast dengan
dosis 10
-8
M sampai 10
-4
M, pada kelompok perlakuan.
Gambar 33. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan zaprinast dosis yang berbeda.
Pada Gambar 34 apabila dibandingkan persentase relaksasi dengan penambahan zaprinast dengan sidenafil sitrat pada korpus kavernosum hewan
kontrol normal sesuai data farmakologi bahwa sildenafil sitrat mempunyai
17,28 17,43
25,73 54,96
74,74
0,11 0,26
15,01 47,25
72,91
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
Zap 10‐8
Zap 10‐7
Zap 10‐6
Zap 10‐5
Zap 10‐4
Perubahan Relaksasi
Dosis Zaprinast M
Kontrol Perlakuan
Kontraksi
efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan zaprinast, maka pemberian sampai dosis maksimal yang dapat dipakai sebagai dosis terapi, yaitu 10
-5
M, didapatkan
bahwa sildenafil sitrat masih lebih tinggi efek relaksasinya tetapi tidak berbeda secara statistik.
Gambar 34. Persentasi perubahan relaksasi otot polos korpus kavernosum invitro dengan penambahan asetilkolin sildenafil sitrat dan zaprinast pada
masing masing dosis pada hewan kontrol.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini pada hewan perlakuan PPOK didapatkan zaprinast mampu merelaksasi otot korpus kavernosum lebih baik
dibandingkan dengan pemberian sildenafil sitrat dan berbeda bermakna pada semua dosis Gambar 35. Secara fisiologis zaprinast mempunyai kemampuan
menghambat PDE5 lebih rendah dibandingkan sildenafil sitrat. Zaprinast mempunyai kemampuan menghambat paling tinggi pada kelinci dibandingkan
dengan pada manusia dan anjing Wang et al,2001, tetapi karena dosis yang dibutuhkan untuk memperbaiki relaksasi sangat tinggi
≥ 10
-6
M, sehingga tidak dapat digunakan pada penelitian klinis.
19,4 20,9
23 31,2
38,9 30,4
33,4 45
64,7 80,6
17,3 17,4
25,7 56
74,7
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
10 ‐8.
10 ‐7.
10 ‐6.
10 ‐5.
10 ‐4.
Persentasi relaksasi
Dosis zat
Achetylcholine Sildenafil
sitrat Zaprinast
Gambar 35. Persentasi perubahan relaksasi dengan penambahan asetilkolin, sildenafil sitrat, dan zaprinast pada masing-masing dosis pada
hewan perlakuan
Sildenafil sitrat dan zaprinast yang bersifat sebagai penghambat PDE-5 memiliki kelemahan yaitu bergantung pada produksi NO endogen dan tidak dapat
membentuk NO sebagai transmitter pada fisiologi ereksi. Arterialisasi aliran darah saat ereksi nocturnal membentuk NO, sintesis cGMP dan tumesens. Pasien
dengan DE menunjukkan PaO
2
yang rendah pada corpus dalam keadaan flaksid dibandingkan yang tidak mengalami DE Priya 2007; Verraty 2007. Bukti lain
menunjukkan hipoksia menghambat pembentukan NO. Sintase NO merupakan proses oksigenasi yang membutuhkan molekul oksigen yang akan dikatalisasi
melalui reaksi dari L-arginine ke NO. Oleh karena itu bila kadar oksigen yang rendah akan mengurangi pembentukan NO. Pengaruh efek kadar oksigen terhadap
pembentukan NO pada korpus kavernosum kelinci dibuktikan apabila terjadi peningkatan kadar O2 meningkatkan aktivitas NOS, dan sebaliknya. Observasi ini
berhubungan dengan penjelasan fisiologi ereksi, di mana peningkatan tekanan oksigen pada penis yang terjadi akibat dilatasi arteri memicu pembentukan NO
pada korpus kavernosum yang selanjutnya menimbulkan relaksasi trabekulasi dan ereksi Angulo et al. 2003, Soukhova-OHare 2008.
Perimenis 2007 menemukan pemberian terapi Continous Positive Airway Pressurev CPAP pada
0,03 0,2
3,26 9,19
18,28 0,06
0,23 14,34
35,91 51,31
0,11 0,26
15,01 47,25
72,91
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
10 ‐8.
10 ‐7.
10 ‐6.
10 ‐5.
10 ‐4.
Persentasi relaksasi
Dosis zat
Achetylcholine Sildenafil
sitrat Zaprinast
penderita PPOK menunjukkan perbaikan fungsi ereksinya. Hal ini disebabkan adanya perbaikan kadar NO, yang biasanya terjadi penurunan pada penderita
PPOK akibat disfungsi endotel Teramoto et al. 2003. Testosteron menginduksi 2 tahap proses ereksi melalui peningkatan
regulasi aktivitas NO dan pembentukan cGMP pada korpus kavernosum. Hal ini diduga bersamaan dengan proses sinkronisasi proses ereksi dengan peningkatan
libido pada aktivitas seksual yang telah diketahui berhubungan dengan kadar testosteron Traish et al. 1999 ; Morelli et al. 2004. Traish dan Kim 2005 juga
menduga peranan androgen pada korpus kavernosum antara lain pada: 1.
Jumlah otot Korpus Kavernosum dan reaksi otot Korpus Kavernosum terhadap zat vasodilatator
2. Metabolisme jaringan ikat.
3. Diferensiasi progenitor sel stroma pada proses miogenik dan lipogenik.
Pada pemeriksaan organ bath Traish et al 1999 dan Morelli et al 2004 menemukan bahwa penurunan kadar androgen menurunkan kemampuan relaksasi
korpus kavernosum dengan perangsangan saraf dan kemampuan tersebut kembali degan pemberian testosteron. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan ekspresi
gen PDE-5 dan ekspresi protein dan aktivitas sintesis enzymatik endogen NO eNOS dan iNOS. Terapi sulih hormon androgen meningkatkan regulasi aktivitas
ekspresi PDE-5 dan ekspresi NO. Hal ini menunjukkan bahwa testosterone
berperanan pada proses ereksi di tigkat perifer Traish et al. 1999; Morelli et al. 2004; Hwang dan Lin 2008. Kondisi ini juga ditemukan pada klinis, di mana
penderita DE mengalami perbaikan klinis lebih banyak pada terapi kombinasi dengan testosteron Hwang et al. 2006; Shabsigh 2004.
Hipoksia juga dapat meningkatkan aktivitas simpatis aferen. Peningkatan aktivitas ini selanjutnya meningkatkan vasokonstriksi dan menyebabkan
penurunan aktivitas sintesis NO pada korpus kavernosum penis Verratti et al. 2007. Fletcher 2003 dan Musicki 2006 mendapatkan pada Chronic
intermittent hypoxia CIH terjadi overaktifitas sistem saraf simpatis yang selain menyebabkan hipertensi, menyebabkan peningkatan resistensi terhadap otot polos
korpus kavernosum, dan mencegah terjadinya ereksi.
Pada keadaan fisiologis pembentukan ATP sebagai sumber energi sel diawali dengan proses gikolisis, diawali dengan perubahan glukosa menjadi asam
piruvat yang menghasilkan 2ATP, selanjutnya asam piruvat dirubah menjadi asetil Ko-A yang secara langsung tidak menghasilkan ATP tetapi, 4 atom hidrogen yang
terbentuk akan menghasilkan 6 ATP pada proses oksidasi berikutnya. Pada proses selanjutnya, siklus asam sitrat akan dihasilkan 2 ATP. Sehingga 90 kebutuhan
ATP sel dihasilkan oleh proses fosforilasi oksidasi atom hydrogen di dalam mitokondria yang membutuhkan tersedianya oksigen Guyton et al. 1997, Diaz-
Enrich et al 2002. Oksida nitrat NO adalah satu mediator yang terpenting pada proses terjadinya ereksi terutama dibentuk pada sel endotel melalui sintesis L-
arginin endogen oleh eNOS dan sebagian kecil dari ujung saraf post sinap melalui sintesis L-arginin endogen oleh nNOS membutuhkan tersedianya oksigen Roman
et al 2006, Rosenberg 2007
Beberapa penelitian untuk menilai kondisi hipoksia terhadap kadar ATP, cGMP dan cAMP dilakukan antara lain, Diaz-Enrich et al 2002 menggunakan
Mytilus galloprovincialis hewan moluska yang mempunyai habitat kadar O2
rendah, setelah dilakukan ekspos dengan oksigen yang cukup selama 24 jam, diinkubasi dalam keadaan hipoksia, didapatkan terjadi peningkatan kadar ATP
dalam waktu 3 jam pertama desertai penurunan secara cepat sampai 24 jam pertama dan tetap rendah sampai hewan mati pada hari ke-9. Demikian pula pada
penelitian lanjutan kadar cGMP meningkat sampai 6 jam dan menurun drastis sampai 24 jam pertama dan tetap rendah sampai hewan mati pada hari ke-6.
Kadar ATP normal dibutuhkan sebagai sumber energi proses pengambilan Ca
+
ke dalam retikulum endoplasma agar kadar Ca
+
intraseluler rendah untuk terjadinya relaksasi Guyton and Hall 1997. Pada kadar ATP yang rendah pada hipoksia
akan menyebabkan kadar Ca
+
intra sel tetap tinggi sehingga relaksasi otot polos terganggu.
Peningkatan kadar ATP pada awal hipoksia dapat terjadi sebagai reaksi sel dengan terjadinya aktivasi glikolisis anaerob sehingga terbentuk asam laktat yang
akan terdifusi pada cairan intra dan ekstraseluler. Keadaan hipoksia yang berlanjut disertai pembentukan asam laktat yang bersifat toksik yang akan menyebabkan
suasana asidosis pada sel Guyton and Hall 1997. Pada hipoksia dan asidosis
dengan dosis nonlethal tidak sampai menyebabkan kematian akan menyebabkan penurunan secara drastis jumlah cGMP pada penelitian menggunakan kultur sel
endotel jantung tikus Sprague-Dawley Agullo et al 2002 Berdasarkan beberapa penelitian diatas didapatkan bahwa keadaan
hipoksia akan menyebabkan terjadinya penurunan kadar NO dari endotel dan kadar ATP secara langsung karena pembentukannya 90 berlangsung di
mitokondria yang membutuhkan tersedianya oksigen, demikian pula keadaan hipoksia akan menurunkan kadar cGMP intra seluler. Sel pada kondisi hipoksia
nonlethal, pada fase awal hipoksia, ATP akan dihasilkan melalui glikolisis
anaerob yang mengasilkan pula asam laktat yang bersifat toksik. Keadaan hipoksia yang berlanjut disertai kondisi asidosis karena terbentuknya asam laktat
akan semakin menurunkan kadar cGMP. Sel otot polos korpus kavernosus akan terjadi relaksasi apabila tersedia cGMP dalam jumlah yang cukup, dapat melalui
pembentukannya yang memadai atau degradasinya yang dihambat dan memerkukan kadar Ca
+
intra sel yang rendah melalui pengambilan Ca
+
kedalam retikulum endoplasma. Dalam kondisi hipoksia ditemukan kadar cGMP yang
rendah karena proses pembentukannya yang berkurang, maka hal ini dapat menerangkan penyebab terjadinya penurunan kemampuan relaksasi otot polos
korpus kavernosus kelinci yang mengalami hipoksia sebagai penyebab terjadinya disfungsi ereksi.
4.6 Perubahan Histopatologi pada Otot Polos Korpus Kavernosum