digunakan untuk kepentingan diagnostik Malole Pramono 1989. Selain keuntungan di atas, penggunaan kelinci sebagai hewan model karena
adanya standar metodologi untuk mempersiapkan kelinci sebagai hewan percobaan serta saluran pernapasan pada kelinci trakhea memiliki karakteristik
yang khas seperti adanya epitel-epitel yang mempermudah transport ion, serta glandula submukosa saluran pernapasan mensekresi ion Cl yang mempunyai
respons sinergis terhadap asetilkholin, phelylephine, dan ATP yang ditambahkan atau disebut juga ekstraseluler ATP Iwase et al. 1997.
Pada penelitian disfungsi ereksi, kelinci dapat digunakan karena enzim PDE5 pada otot polos korpus kavernosumnya menyerupai enzim PDE5 pada otot
polos korpus kavernosum manusia
Wang et al. 2001
. Demikian pula kondisi bronkitis kronis dapat diinduksi dengan baik pada kelinci sehingga menyerupai
kondisi yang terjadi pada manusia dengan melakukan pemaparan gas SO
2
Iwase et al.
1997. Dengan demikian, kelinci ideal untuk digunakan sebagai hewan coba untuk menilai gangguan relaksasi otot polos korpus kavernosum akibat PPOK
karena bronkitis kronis, sebagai model disfungsi ereksi pada manusia. Selain beberapa kelebihannya, penggunaan kelinci juga mendatangkan banyak
kerugian karena kelinci mudah stress, rentan terhadap penyakit serta respons yang bervariasi terhadap anesthetikum.
2.2 Penyakit Paru Obstruksi Kronis PPOK
PPOK merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan gejala utama sesak napas dyspnea yang terjadi secara kronis atau adanya obstruksi berulang aliran
udara ke paru sehingga terjadi hiperkapnia, hipoksemia, dan sianosis ringan. Penyebab PPOK adalah merokok, polusi lingkungan, dan pemaparan terhadap gas
beracun. Insidensnya meningkat secara dramatis pada dekade terakhir dan menjadi penyebab utama pada gangguan aktivitas penderitanya sehingga harus
berbaring di tempat tidur. Kelainan PPOK dapat berupa bronkitis khronis, bronkiektasis, asma, dan emfisema, yang masing-masing mempunyai gambaran
patologi dan gejala yang berbeda. Penderita PPOK sering mempunyai kelainan lebih dari satu jenis, seperti pada perokok kronis dapat terjadi bronkitis kronis
yang disertai emfisema. Bronkitis kronis sering terjadi pada perokok atau orang
yang tinggal pada kota yang berpolusi. Secara klinis, bronkitis kronis digambarkan adanya batuk yang produktif selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut-
turut Reilly et al. 2005; Speizer 2005; Kobzik 1999. Dua faktor penyebab utama bronkitis kronis adalah inhalasi gas secara
kronis atau karena infeksi. Perokok berat mempunyai risiko 4–10 kali dibandingkan bukan perokok pada populasi yang sama. Gambaran awal yang
sangat menonjol pada bronkitis kronis adalah hipersekresi lendir pada saluran napas utama besar disertai gambaran hipertrofi dari kelenjar mukosa di trakea
dan bronkus. Setelah terjadi bronkitis kronis akan didapat peningkatan sel goblet pada saluran napas yang lebih kecil, seperti cabang-cabang bronkus dan
bronkiolus yang berdiameter 2–3 mm. Selain peningkatan produksi lendir, hipertrofi kelenjar submukosa dan peningkatan jumlah sel goblet menyebabkan
terjadinya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh asap rokok atau gas polutan seperti SO
2
dan NO
2
. Gambaran histopatologi pada saluran pernafasan yang lebih kecil adalah :
1. Metaplasi sel goblet, sumbatan lendir pada lumen.
2. Pengelompokan makrofag dan hiperpigmentasi pada alveolus.
3. Infiltrasi zat inflamasi.
4. Fibrosis dinding bronkiolus pada pasien umur lanjut Hogg 2004 ; Kobzik
1999.
2.3 Gas Sulfur Dioksida SO