Disfungsi Ereksi pada PPOK

banyak digunakan untuk mengetahui peran cGMP sebagai second messenger yang timbul dari NO pada otot polos Wibberley 2002.

2.6 Disfungsi Ereksi pada PPOK

Proses hubungan seksual normal memerlukan adanya libido, ereksi, ejakulasi, dan orgasme yang normal. Disfungsi seksual dapat berupa gangguan pada libido, disfungsi ereksi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retardasi, dan gangguan orgasme Lue 2007. Disfungsi seksual yang terjadi pada pasien PPOK dapat berupa gangguan pada libido dan disfungsi ereksi. Pada penelitian ini hanya akan diteliti disfungsi ereksi yang terjadi pada kelinci PPOK. Pada penelitian yang dilakukan oleh Schonhofer et al . 2001 terhadap 383 pasien gagal nafas kronis yang menggunakan ventilasi mekanis kronis, 173 di antaranya disebabkan oleh PPOK. Didapatkan adanya penurunan aktivitas seksual yang bermakna, aktivitas seksual hanya dilakukan pada 34,1, sedangkan pada populasi dengan umur rata-rata yang sama masih didapatkan aktivitas seksual pada 84, perbedaan semakin jelas pada kelompok umur yang lebih tua. Kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK diduga karena hipoksemia kronis yang menyebabkan supresi pada aksis hipotalamus-hipofisis- testis. Hipoksemia kronis menyebabkan menurunnya produksi LH dari hipofisis yang akan mengakibatkan produksi testosteron menurun pada pasien PPOK bersamaan dengan proses penuaan Semple et al. 1981; 1984. Bukti lain berupa mengecilnya volume testis dan atropi sel Leydig yang bermakna pada pasien PPOK Gosney 1984; 1987 Terdapat hubungan yang bermakna antara rendahnya tekanan kadar PaO 2 dan rendahnya kadar testosteron Semple et al. 1981; 1984. Kadar testosteron telah diketahui merupakan faktor utama yang berpengaruh pada libido. Tetapi efek rendahnya kadar testosteron pada patofisiologi disfungsi ereksi belum diketahui dengan jelas. Pada populasi umur lanjut dengan bertambahnya umur tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar testosteron total dengan libido P=0,274, fungsi ereksi P=0,460, orgasme P=0,274, dan kepuasan dalam hubungan seksual P=0,177. Sebaliknya, didapatkan hubungan yang bermakna antara peningkatan kadar free testosterone dengan fungsi ereksi P=0,055 dan orgasme P=0,020, tetapi kadar free testosterone tidak berhubungan dengan libido dan kepuasan hubungan seksual. . Kadar free testosterone menurun dengan bertambahnya umur Ahn et al, 2002. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Aversa et al. 2000 pada 52 pasien disfungsi ereksi kadar free testosterone tidak berhubungan dengan umur tetapi kadar free testosterone yang rendah mengurangi kemampuan aliran hemodinamik penis dan relaksasi korpus kavernosum. Svartberg et al. 2004 melakukan penelitian pada kelompok PPOK dengan pemberian testosteron dosis rendah selama 6 bulan didapatkan pada kelompok perlakuan mengalami perbaikan indek masa tubuh, fungsi ereksi dengan peningkatan nilai IIEF dan kualitas seksualnya. Penelitian pada hewan akibat penekanan atau supresi pada hormon androgen didapat beberapa bukti antara lain terjadinya perubahan spesifik yang terjadi pada penis antara lain Aversa et al, 2004: 1. Degenerasi dan fibrosis pada sel otot polos korpus kavernosum disertai apoptosis. 2. Menurunnya ekspresi neuronal nNOS. 3. Menurunnya aliran darah melalui arteri dan meningkatnya aliran darah vena keluar korpus kavernosum. 4. Meningkatnya respons mediator vasokonstriksi seperti ά-adrenergik. 5. Menurunnya kemampuan NO untuk menyebabkan relaksasi otot polos korpus kavernosum sewaktu dilakukan stimulus seksual hal ini diduga karena efek langsung terhadap aktivitas PDE 5. Saat ini, terapi lini pertama untuk disfungsi ereksi adalah terapi oral dengan inhibitor spesifik fosfodiesterase tipe 5, yaitu sildenafil sitrat, vardenafil atau tadalafil yang secara klinis sudah banyak dipakai, tetapi sekitar 20-30 pasien tidak mengalami perbaikan fungsi ereksinya setelah pemberian sildenafil Aversa et al. 2004. Didapatkan korelasi antara kadar free testosterone dengan kemampuan relaksasi otot polos korpus kavernosum Aversa et al., 2000. Pada 20 pasien disfungsi ereksi arteriogenik yang tidak ada perbaikan ereksinya pada pengobatan sildenafil, kemudian diberikan suplemen testosteron didapat perbaikan skor IIEF dan peningkatan aliran darah pada arteri dorsalis penis dengan pemeriksaan dopler ultrasound PSV Aversa et al. 2003 . Cyclic GMP, messengger kedua dari oksida nitrat NO, disintesis dari Guanosin trifosfat GTP dengan bantuan enzim guanilat siklase yang dirangsang oleh NO. Sumber oksida nitrat dapat berasal dari sel endotel eNOS dan nNOS yang berasal dari ujung ujung saraf pada korpus kavernosum Seftel 2004. Dengan meningkatnya pengetahuan tentang proses ereksi pada tingkat molekuler banyak dilakukan penelitian pada molekul spesifik yang berubah dengan bertambahnya umur, dan didapatkan adanya penurunan jumlah NOS pada penis tikus umur lanjut dan menurunnya aktivitas NOS per gram jaringan penis sampai dengan 63 pada tikus berumur 30 bulan ke atas Andrew dan Mayer 1999. Diketahui bahwa ada 3 macam NOS, antara lain endothelial NOS eNOS, inducible NOS iNOS, dan neuronal NOS nNOS Garban et al. 1995. Endothelial NOS dan nNOS dibentuk dan diaktifkan dengan meningkatnya konsentrasi Ca intraseluler dan ikatan kalmodulin dengan enzim. Inducible NOS berhubungan dengan makrofag dan diaktifkan oleh sitokin spesifik yang terjadi dalam proses inflamasi dan imunitas. Endogen NOS dan iNOS didapatkan pada korpus kavernosum manusia dan nNOS didapatkan pada ujung ujung-saraf korpus kavernosum Seftel 2004; Burnet et al. 1992; Mahadevan et al. 1998 . Baba et al. 2000 melakukan penelitian pada tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok: kelompok 1 dikastrasi, kelompok 2 dikastrasi + testosterone replacement dan kelompok 3 kontrol. Didapatkan kadar testosteron, respon ereksi yang terjadi setelah pemberian apomorfin dan tekanan intrakavernosa setelah diberikan papaverin dengan stimulasi elektrik pada kelompok 2 kembali membaik. Hasil yang terpenting adalah dengan pewarnaan NADPH diaforase jumlah nNOS pada korpus kavernosum kembali normal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa testosteron dapat berperan selain pada proses sentral dengan meningkatnya frekuensi terjadinya ereksi juga berperan pada tingkat perifer. III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu