tetapi tidak berbeda bermakna apabila dibandingkan dengan kontrol, hal ini disebabkan besarnya nilai simpang baku pada kedua kelompok. Penurunan kadar
testosteron kemungkinan akan terus berlangsung apabila waktu pemaparan diperpanjang, tetapi tidak dapat dilakukan karena perlakuan ini sangat
meningkatkan resiko kematian pada kelinci karena kadar PaO
2
telah berada di bawah 60mmHg.
4.3 Perubahan Histopatologi Pada Testis
Pada penelitian pendahuluan pemaparan SO
2
dengan dosis bervariasi 100, 200, dan 300 mmHg dengan mengamati perubahan histopatologi berupa kongesti,
degenerasi, fibrosis peritubuler dan edema didapatkan skor yang lebih tinggi pada kelompok kelinci yang mendapatkan pemaparan gas SO
2
pada semua dosis dibandingkan kontrol.
Pada lesio degenerasi dan kongesti, skoring meningkat seiring dengan pertambahan dosis paparan Gambar 16. Salah satu lesio yang terlihat adalah
degenerasi dimana sel kehilangan struktur normalnya dan bila berlanjut akan terjadi kematian sel. Degenerasi testis terlihat mikroskopik sebagai gangguan
mitosis, pengempisan tubuli yang kosong, indurasi membran basalis yang kisut dan fibrosis peritubuler Farias et al. 2005. Kedua skoring lesio degenerasi dan
kongesti pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 16. Skor histopatologi testis jenis lesio degenerasi dan kongesti pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO
2
dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada
jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p0,05.
Grafik edema dan fibrosis saling terkait karena kerusakan berada pada daerah yang sama, yakni pada jaringan interstisial di antara tubuli seminiferi. Pada
kelompok pemaparan 100 mmHg pada jaringan interstitial testis yang lebih menonjol adalah edema yang merupakan proses awal dan merupakan kerusakan
yang lebih ringan sedangkan skoring fibrosis tidak terlalu tinggi. Pada kelompok pemaparan 200 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis paling berat dan
edema yang menjadi lebih rendah disebabkan berkurangnya elastisitas jaringan. Pada kelompok pemaparan 300 mmHg pada jaringan interstitial testis fibrosis
dan edema yang terjadi secara kumulatif mengalami perubahan paling berat Gambar 17.
Kedua skoring lesio edema dan fibrosis peritubuler pada kelinci perlakuan pada semua dosis pemaparan berbeda bermakna dibandingkan dengan
kontrol.
a a
a
b x
x x
y
0,5 1
1,5 2
2,5 3
3,5
100 200
300 KONTROL
Skor Histopatologi
Kelompok Kelinci Berdasarkan Kadar SO
2
ppm Kongesti
Degenerasi
Gambar 17. Skor histopatologi testis jenis lesio fibrosis peritubuler dan edema pada kelinci yang dilakukan pemaparan gas SO
2
dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan kontrol. Perbedaan bermakna pada
jenis lesio yang sama dinyatakan dengan huruf yang berbeda p0,05
Degenerasi ini kemungkinan disebabkan iskhemia sehingga mengurangi pembebasan oksigen ke jaringan. Sel dapat sembuh dari kekurangan oksigen
sementara, meskipun menderita gangguan metabolisme Spector 1993. Dalam hal ini terjadi penurunan proses fosforilasi oksidatif dalam mitokondria yang
menyebabkan penurunan ATP. Gangguan proses penyediaan energi yang dibutuhkan oleh sel dan kerusakan sel terjadi secara tidak langsung. Kerusakan
membran akan mempengaruhi pompa sodium-potasium Na-K yang dibutuhkan dalam pengaturan konsentrasi ion Natrium dan Kalium di dalam dan di luar sel.
Lesio yang jelas terlihat dalam pengamatan histopatologi organ testis adalah edema Gambar 18. Edema tersebut ditandai dengan peningkatan cairan
intratubuli seminiferi Himawan 1973. Menurut Porter 2006 testikular edema kemungkinan menghambat spermatogenesis melalui berbagai mekanisme meliputi
hipoksia, produksi radikal bebas, dan penghambatan sitokinesis. Menurut Jubb et al.
1992, testikular edema secara histologi memperlihatkan pemisahan tubuli- tubuli, pelebaran tubuli, vakuolisasi germinal epitel, pelebaran limfatik, dan
degenerasi awal Gambar 19.
a a
a b
x
x x
y
0,5 1
1,5 2
2,5 3
100 200
300 KONTROL
Skor Histopatologi
Kelompok Kelinci Berdasarkan Kadar SO
2
ppm Fibrosis
peritubuler Edema
Gambar 18. Lesio edema pada jaringan testis kelinci hipoksemia karena
pemaparan SO
2
, tanda panah menunjukkan pemisahan tubuli akibat edema. Pewarnaan HE, Perbesaran 100X.
Gambar 19. Lesio degenerasi pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO
2
, tampak inti-inti piknotik panah merah dan vakuolisasi panah hitam dengan pewarnaan HE dengan perbesaran
200X.
Pada preparat histopatologi terlihat adanya kongesti atau pembendungan Gambar 20. Keadaan ini ditandai dengan peningkatan volume darah dan sel
darah merah terlihat memenuhi buluh darah sehingga buluh darah terlihat
berdilatasi. Keadaan ini dapat terjadi akibat iskhemia pembuluh darah. Bila kongesti terjadi lebih lama umumnya akan diikuti oleh edema, atropi, dan
degenerasi sel parenkim akibat anoksia sampai terjadi nekrosis Himawan 1973. Edema dan kongesti ini kemungkinan akan mendorong terjadinya fibrosis jaringan
akibat aliran statis darah Gambar 21.
Gambar 20. Lesio kongesti pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO
2
, tanda panah menunjukkan sel-sel darah memenuhi lumen buluh darah. Pewarnaan HE, Perbesaran 100X.
Gambar 21. Lesio fibrosis pada sel-sel tubuli testis kelinci hipoksemia karena pemaparan SO
2
, tanda panah menunjukkan bertambahnya jaringan ikat peritubuler. Pewarnaan HE, Perbesaran 100X.
Testosteron disintesis di sel Leydig, dikontrol oleh sekresi LH yang dihasilkan dari hipofisis, FSH berperan pada stimulasi sekresi testosteron melalui
pematangan sel Leydig Karadag 2007
a
. Testosteron sendiri merupakan hormon
androgen utama yang ditemukan pada kelinci meskipun beberapa androgen lain seperti dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron. Pada penelitian pendahuluan
dengan menggunakan dosis pemaparan yang berbeda, kelompok perlakuan mendapatkan pemaparan SO
2
terdiri dari : A1 pemaparan SO
2
dengan dosis 100 ppm, kelompok A2 pemaparan SO
2
dengan dosis 100-200 ppm, A3 pemaparan SO
2
dengan dosis 200-300 ppm dan kelompok kontrol yang tidak dipapar. Didapatkan semua kelompok yang mendapat pemaparan SO
2
perinhalasi secara nyata menurunkan jumlah sel Leydig dibandingkan kelompok kontrol, dan
perbedaan kelompok kontrol dengan perlakuan berbeda bermakna secara statistik Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah sel Leydig pada kelinci jantan yang mendapat paparan SO
2
dalam berbagai dosis Perlakuan
Jumlah sel intersisial kelamin jantan Sel Leydig
A1 101.00±21.21
a
A2 103.50±14.06
a
A3 79.67±4.16
a
K 184±25.13
b
Ket : Huruf pada kolom yang sama menyatakan tidak berbeda nyata P0.05.
A1 = Pemaparan SO
2
dengan dosis 100 ppm A2 = Pemaparan SO
2
dengan dosis 100-200 ppm A3 = Pemaparan SO
2
dengan dosis 200-300 ppm K = Kelompok kontrol
Pada penderita PPOK akibat SO
2
diperkirakan terjadi penurunan sekresi LH oleh hipofise akibat hipoksia yang terjadi pada hipotalamus. Gangguan
hormonal ini akan mempengaruhi sel Leydig sebagai reseptor LH untuk mensintesis testosteron. Sedikitnya jumlah sel Leydig sebagai penghasil
testosteron menandakan rendahnya sirkulasi hormon androgen ini Castro et al. 2002. Selain penurunan jumlah sel Leydig, inhibisi hipofisepituitari dapat
menyebabkan atrofi sel Leydig sebagai konsekuensi hipoksia Gosney 1981. Kelanjutan dari efek hipoksia ini secara lebih spesifik terhadap organ testis
adalah pengaruhnya secara langsung dan tidak langsung gangguan vaskularisasi. Secara tidak langsung, penurunan kadar LH menyebabkan penurunan sintesis
testosteron oleh sel Leydig dan penurunan ini akan mempengaruhi sintesis protein
di dalam sel target di dalam testis. Hal ini akan menyebabkan hambatan fungsi dan pertumbuhan testikular yang bisa menyebabkan pengecilan ukuran tubuli,
diikuti degenerasi elemen intrasel dan fibrosis peritubuler Kupperman 1971. Sementara hipoksia dan iskhemia menyebabkan vaskularisasi terganggu sehingga
mengakibatkan gangguan suplai oksigen ke sel–sel testis. Soukhova-O’Hare 2008 menemukan Chronic Intermitent hypoxia CIHtidak menyebabkan
penurunan kadar testosteron dan kerusakan histopatologi testis baik jumlah ataupun bentuk sel Leydig dan sel sertoli. Hal ini mungkin disebabkan oleh
kelainan yang dialami bersifat sementara, dan tubuh masih dapat kembali ke proses normal
4.4 Kemampuan Kontraksi Otot Polos Korpus Kavernosum