BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak awal adanya kehidupan manusia, kodrati manusia sebagai makhluk sosial telah ada secara bersamaan. Hal ini tersirat secara tidak langsung ketika Tuhan
menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling membutuhkan satu sama lain dan kehidupan seorang manusia tidak dapat terlepas
dari manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya.
Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup
manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan
yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri
dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing,
maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan
antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran.
Universitas Sumatera Utara
http:id.wikipedia.orgwikiInteraksi_sosial diakses pada tanggal 30 Mei 2013, pukul 14:10
Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat diuji terhadap suatu kehidupan terasing isolation. Kehidupan terasing yang
sempurna ditandai dengan suatu ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Sudah tentu seseorang yang hidup terasing sama sekali
dapat melakukan tindakan-tindakan, misalnya terhadap alam sekitarnya, tetapi hal itu tak akan mendapat tanggapan apa-apa. Terasingnya seseorang dapat disebabkan oleh
karena cacat pada salah satu inderanya. Seseorang sejak kecil buta dan tuli misalnya, mengasingkan diri dengan sendirinya dari pengaruh-pengaruh kehidupan yang
tersalur melalui kedua indera tersebut. Dari beberapa hasil penyelidikan, ternyata kepribadian orang orang tersebut mengalami banyak penderitaan sebagai akibat
kehidupan terasing oleh karena cacat indera itu. Orang-orang cacat tersebut akan mengalami perasaan rendah diri oleh karena kemungkinan-kemungkinan untuk
mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang, dan bahkan tertutup sama sekali. Basrowi, 2005: 141.
Stigma yang melekat pada kecacatan, yang menyebabkan apa yang disebut Goffman identitas sosial ternoda atau rusak, berarti juga dapat menjadi identitas
pengecualian, termasuk menonaktifkan orang dari partisipasi penuh dalam masyarakat, karena mereka menghadapi misalnya, hambatan fisik yang tidak perlu di
gedung-gedung dan jalan-jalan, diskriminasi dalam pekerjaan, perawatan medis yang tidak memadai, penggambaran negatif di media, dan mengejek, sikap merendahkan
atau meremehkan dari orang lain. Ken Browme, 2008: 95
Universitas Sumatera Utara
Meskipun dewasa ini banyak masyarakat yang sudah mulai memahami tentang apa dan bagaimana tindakan terbaik yang harus dilakukan terhadap anak yang
menyandang kelainan atau kecacatan, namun demikian tidak sedikit yang masih sulit untuk menghindarkan perlakuan atau penyikapan terhadap penyandang cacat secara
wajar dan edukatif. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, terutama di lingkungan keluarga anak penyandang cacat itu sendiri.
Penyikapan dan perlakuan lingkungan keluarga memiliki kontribusi sangat kuat terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Tidak bisa dipungkiri, tak
mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan, apalagi untuk pertama kalinya. Perasaan kecewa akan muncul setelah mengetahui
bahwa anak yang dilahirkannya tidak memenuhi harapannya. Tumbuh-kembangnya penyikapan orangtua disebabkan anggaran masyarakat bahwa kehadiran anak
berkelainan dapat menurunkan martabat atau gengsi orang tua dan keluarga. Atas dasar ini, terdapat kecenderungan sikap penolakan pada orang tua. Umumya sikap
penolakan ini terwujud dalam tindakan diskriminatif walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan, ataupun tidak mendapat
pendidikan sesuai dengan perkembangan anak seusianya. Sampai saat ini, belum ada data yang valid mengenai populasi anak
penyandang cacat di Indonesia. Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial tahun 1991 dalam Effendi, 2006: 12 menyebutkan bahwa diketahui ada 5.576.815
orang tanpa menyebutkan usia jumlah penyandang cacat di Indonesia, dengan jumlah penyandang cacat tuna rungu wicara sebesar 9,97 atau 555.898 orang.
Berikut disajikan data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang dikutip peneliti dari berbagai sumber:
Universitas Sumatera Utara
1. Pusdatin, Depsos 2009
Sumber: http:www.ausaid.gov.aupublicationspdfpwd-sit-bahasa.pdf
Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:05
2. Data Kementerian Sosial RI per Desember 2010. Jumlah Penyandang Cacat
di Indonesia: 11.580.117 orang, terdiri dari:
a.
Tuna Netra : 3.474.035 orang
b. Tuna Daksa
: 3.010.830 orang c.
Tuna Rungu : 2.547.626 orang
d. Cacat Mental : 1.389.614 orang
e. Cacat Kronis : 1.158.012 orang http:www.kumham-
jogja.infokarya-ilmiah37-karya-ilmiah-lainnya391-mengupas-
Universitas Sumatera Utara
implementasi-ketentuan-pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor- 4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat
3. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI per Desember
2010. Jumlah Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Indonesia: 7.126.409 orang, terdiri dari:
Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:08
a. Tuna Netra
: 2.137.923 orang b.
Tuna Daksa : 1.852.866 orang
c. Tuna Rungu
: 1.567.810 orang d.
Cacat Mental : 712.641 orang e.
Cacat Kronis : 855.169 orang http:www.kumham-jogja.infokarya- ilmiah37-karya-ilmiah-lainnya391-mengupas-implementasi-ketentuan-
pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor-4-tahun-1997-tentang- penyandang-cacat Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul
20:08
4. Berita Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 pada website
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menyebutkan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602. 784 jiwa, tuna daksa
1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa. http:rehsos.kemsos.go.idmodules.php?name=Newsfile=articlesid=1
420 Diakses pada tanggal 17 Desember 2013 pukul 17:03 Manusia bagaimanapun keadaaannya adalah makluk individu dan makhluk
sosial. Demikian pula anak tuna rungu, sesuai dengan kodratnya mereka senantiasa
Universitas Sumatera Utara
mengadakan interaksi dengan yang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi. Alat komunikasi yang mereka gunakan telah mereka sepakati, walaupun
menggunakan komunikasi dalam arti sederhana sehingga mereka dapat mengerti yang satu dengan yang lainya.
Penyandang cacat tuna rungu wicara memang belum begitu mendapat perhatian dari masyarakat karena kekurangan yang mereka alami tidak tampak dari
luar. Sekilas, mereka tampak seperti manusia pada umumnya. Kita baru akan mengetahuinya ketika melihat mereka berkomunikasi dengan bahasa atau gerak
isyarat. UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar
merupakan salah satu panti yang memberikan pelayanan sosial kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Kebanyakan penyandang cacat tuna rungu wicara yang ada
di panti ini berasal dari luar kota, tapi masih dalam kawasan provinsi Sumatera Utara. Hasil observasi sementara yang telah dilakukan penulis selama masa praktikum
lapangan menunjukkan bahwa intensitas interaksi antar sesama tuna rungu wicara dan juga tehadap lingkungan di sekitar cukup tinggi.
Secara umum, ada kecengerungan pada masyarakat yang menganggap bahwa keberadaan anak penderita tuna rungu wicara adalah aib dan beban keluarga. Bahkan
dari informasi yang penulis dapatkan di panti sosial tersebut, ada pula orang tua dari salah satu warga binaan social yang menganggap bahwa anak yang dilahirkannya
bukanlah seorang penderita tuna rungu wicara. Parahnya, dalam kehidupan sosial, masyarakat di sekitar panti cenderung mengabaikan keberadaan mereka. Stigma
negatif sudah melekat pada mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang selalu membutuhkan bantuan yang hanya akan menyusahkan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu perkembangan mental dan interaksi sosial mereka pada masa pertumbuhan. Inilah
alasan yang menimbulkan kenyataan bahwa penyandang tuna rungu wicara sangat miskin akan kosa kata dan sulit dalam berinteraksi dengan dunia luar. Pengalaman
pribadi penulis sangat menguatkan hal ini. Mereka hanya mampu menuliskan kata- kata umum biasa dalam mengerjakan soal-soal bertema cerita. Bahkan susunan kata
yang mereka tulis dalam membentuk kalimat sangat tidak beraturan. Hal ini memang memprihatinkan. Padahal kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat
penting dalam belajar, bermain dan membangun hubungan dengan orang lain. Kondisi dan kesulitan penyandang cacat tuna rungu wicara dalam berinteraksi
dengan orang lain memang cukup memprihatinkan, apalagi pada anak dengan kondisi tuna rungu wicara yang tergolong masih ringan, pasti membutuhkan tingkat
konsentrasi yang lebih baik ketika melakukan komunikasi dengan orang normal. Selain itu, untuk berinteraksi dengan orang lain, bahasa dan cara yang mereka
gunakan adalah bahasa isyarat yang cenderung sulit untuk dipahami oleh orang biasa. Anak tunarungu wicara secara umum menggunakan bahasa atau gerak isyarat,
dan isyaratnya sangat bervariasi sebagaimana isyarat lokal yang dikenal. Adapun orang-orang pada umumnya menggunakan penuturan lisan ketika berkomunikasi
dengan orang lain. Dengan demikian anak tunarungu menggunakan caranya sendiri dan orang pada umumnya menggunakan caranya sendiri dalam berkomunikasi. Anak
tunarungu tidak dapat dipaksakan dengan mudah melakukan komunikasi lisan dan orang pada umumnya tidak mudah dipaksakan mengikuti komunikasi isyarat
sebagaimana isyaratnya anak tunarungu.
Universitas Sumatera Utara
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana anak tunarungu belajar komunikasi lisan dan bagaimana orang umum belajar komunikasi isyarat, sehingga
komunikasi diantara keduanya lancar dan dapat saling memahami arti atau maknanya. Berbagai kenyataan dilapangan yang telah penulis alami sangat
mendukung masalah interaksi ini. Konsekwensinya memang sudah dapat diduga, saluran komunikasi yang menjadi kendala, sangat menghambat proses interaksi
antara penulis dan penyandang tuna rungu wicara. Terkadang mereka memiliki prasangka yang buruk terhadap penulis, ketika sedang memperbincangkan atau
bahkan menertawakan sesuatu. Berbicara tentang komunikasi isyarat anak tuna rungu wicara, barangkali
orang-orang pada umumnya tidak begitu banyak permasalahan. Namun sangat berbeda dengan anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi
lisan atau oral. Anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi lisan tentu banyak kendala. Kendala ini terutama berhubungan dengan kondisi
penderita tuna rungu wicara itu sendiri, seperti tidak berfungsinya dari pendengaran sehingga menyebabkan minimnya kosakata yang dimiliki. Selain itu, kemampuan
mereka untuk berbahasa verbal lisan sangat buruk, mengingat kondisi dan ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum.
Sebagai dampak dari tuna rungu wicara yang diderita seseorang terutama yang terjadi sejak lahir, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi
penyandang khususnya dan masyarakat sekitar panti pada umumnya dalam hal interaksi sosial. Bagaimanapun bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia
sebagai makhluk sosial. Tuna rungu wicara yang menjadi bawaan lahir dan tidak mendapatkan tindakan-tindakan penyembuhan sebagai upaya perbaikan tentu akan
Universitas Sumatera Utara
memperparah kondisi penyandang tuna rungu wicara sebagai individu yang terlahir dengan keterbatasan komunikasi ini. Kondisi tuna rungu wicara akan berdampak
pada kemiskinan bahasa dan komunikasi dan pula pada sempitnya dunia penyandang tuna rungu dalam berinteraksi di masyarakat sekitar panti.
Penyandang cacat tuna rungu wicara memang merupakan realitas sosial yang tidak terbantahkan. Interaksi mereka juga lebih dominan dan terbatas hanya pada
kelompok mereka sendiri, sebagai warga binaan sosial di dalam panti. Gangguan pendengaran dan penggunaan bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi
sepetinya telah membentuk dunia mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam lingkungan sosial yang luas sekalipun.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk meneliti serta mengetahui interaksi dan kehidupan sosial warga binaan tuna rungu
wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Oleh karena itu, penulis akan merangkum penelitian ini dalam sebuah karya ilmiah
berbentuk studi kasus dengan judul: Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara Studi Kasus di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah