Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya kegiatan atau program bina wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar ini.
Hasil penelitian lainnya yang dilakukan Lu’lu’il Mukaromah Drs. Wagino, M.Pd yang berjudul “PENGARUH BINA BICARA TERHADAP KEMAMPUAN
KOMUNIKASI ANTAR TEMAN PADA ANAK TUNARUNGU DI SLB BC LEBO SIDOARJO” menunjukkan bahwa ada pengaruh bina bicara terhadap
kemampuan komunikasi antar teman pada anak tunarungu di SLB BC Lebo Sidoarjo. Hal ini dikemukakan dalam kesimpulan terdapat dalam jurnal elektonik
penelitian tersebut, yaitu “Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: terjadi peningkatan komunikasi antar teman pada anak tunarungu dapat
dilihat dari hasil analisis nilai ZH 5 yaitu 1,96 sehingga diketahui bahwa hipotesis nol Ho ditolak dan hipotesis alternatif Ha diterima. Hal ini berarti ada pengaruh
bina bicara terhadap kemampuan komunikasi antar teman pada anak tunarungu di SLB BC Lebo Sidoarjo.” ejournal.unesa.ac.idarticle335815article.pdf Diakses
pada tanggal1november 2013 pukul 01:01
5.3.3 Komunikasi dengan Orang Normal di Lingkungan Sekitar
Data hasil penyebaran kuesioner kepada responden menunjukkan bahwa
seluruh responden yaitu sebanyak 12 orang 100 memberikan jawaban pernah membeli sesuatu atau jajan di luar lingkungan panti. Adapun penggunaan saluran
komunikasi yang disebutkan responden dalam aktivitas tersebut adalah bahasa isyarat dan sedikit bicara dengan seadanya. Hal ini mengungkapkan bahwa terdapat pola
interaksi yang terjadi antara responden dengan masyarakat sekitar panti. Aktivitas responden ini merupakan bentuk dari interaksi sosial yang menggunakan saluran
Universitas Sumatera Utara
komunikasi, walaupun dalam melakukan hubungan tersebut terdapat kesulitan dalam penyampaian maksud dan pesan.
Hasil wawancara dalam penelitian ini juga mengungkapkan bagaimana respon tuna rungu wicara terhadap kehadiran orang lain atau orang normal. Petugas asrama
putra, Dimas Pranata 15 mengutarakan: “Biasa aja ku tengok bang. Kalau orangnya dikenal orang ini, paling ngomong-
ngomong gitu lah. Kalau gak kenal, cuek aja nya orang ini bang”. Sementara Laila Fitriani 22, petugas asrama putri memberikan penuturan:
“Lumayan lah bang. Gak terlalu kaku kali kalaupun ada orang lain. Kalo dicakapin ya dijawab orang ini. Kan pelajaran juga sama orang tuna rungu ini bang, bisa sikit-
sikit ngomong walaupun sama-sama susah ngertinya. Namanya pun yang bisu tuli”. Hal yang diungkapkan oleh kedua petugas asrama tersebut memang
menunjukkan adanya sifat dari responden yang cenderung tertutup akan kehadiran orang normal. Hasil observasi dan pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan
hal yang sama, dimana tingkat intensitas komunikasi warga binaan sosial tuna rungu wicara dengan orang normal di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan
Lansia Pematangsiantar ini masih sangat kurang. Ada kecenderungan untuk membatasi diri oleh warga binaan tuna rungu wicara maupun orang normal di
lingkungan sekitar panti untuk berhubungan dan berinteraksi dalam kehidupan sosial antara keduanya. Hal ini tentunya akan melemahkan kemampuan komunikasi warga
binaan sosial tuna rungu wicara, ketika berkomunikasi dengan orang normal. Dengan kata lain, intensitas hubungan dan komunikasi yang tinggi antara tuna rungu wicara
dan orang normal merupakan suatu pembelajaran yang nantinya akan berguna ketika
Universitas Sumatera Utara
tuna rungu wicara keluar dari panti dan hidup bermasyarakat, serta dalam pekerjaan
yang akan mereka dapatkan.
5.4 Faktor Berlangsungnya Interaksi