Prosedur pengendalian Mempelajari Sistem Pelaksanaan, Memverifikasi Program Higiene pada

6 Pengawasan binatang pengerat pest kontrol Prosedur pengendalian binatang pengganggu dilakukan dengan memasang perangkap di sekitar bangunan unit pengolahan dan lampu insectkill di setiap pintu masuk menuju ruang produksi. Selain itu, perusahaan juga melakukan fogging setiap bulan. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa perusahaan mengontrak suatu instansi untuk penanganan binatang pengganggu. Instansi tersebut membuat peta penyebaran pemasangan perangkap untuk memudahkan pengontrolan. Pengontrolan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari setelah proses produksi selesai. Fogging merupakan prosedur disinfeksi ruangan menggunakan bahan kimia yang didispersikan. Berdasarkan wawancara dengan supervisor sanitasi unit pengolahan, fogging dilakukan setiap satu bulan sekali. Prosedur ini dilakukan pada saat tidak ada proses produksi dan biasanya dilakukan pada sore hari. Fogging efektif untuk menurunkan populasi mikroba di udara hingga 2-3 log dalam 30-60 menit. Alat fogging yang paling efektif adalah kompresor udara yang dapat menghasilkan partikel berukuran 10-20 mikron. Untuk disinfeksi permukaan, fogging hanya efektif jika bahan kimia dapat mengendap di permukaan alat Holah 2003.

4.2.3 Prosedur pengendalian

Prosedur pengendalian adalah upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang berlangsung senantiasa berada pada kondisi yang terkontrol. Pengendalian proses adalah upaya menjamin bahwa proses sesuai dengan standar yang diadopsi agar menghasilkan produk yang sesuai permintaan. Pada penerapan sistem manajemen keamanan pangan, prosedur pengendalian diarahkan kepada prinsip keamanan, penekanan risiko dan dampak yang merugikan Wallace et al. 2011. 1 Kontrol terhadap bahaya Pelaku industri pangan harus menerapkan suatu sistem kontrol terhadap bahaya keamanan pangan dalam hal ini HACCP. Kontrol terhadap bahaya diterapkan dengan melakukan identifikasi bahaya pada seluruh alur proses sehingga perusahaan dapat merancang sistem higiene yang tepat untuk mencegah timbulnya risiko bahaya tersebut CAC 2003. 44 Upaya PT X dalam menerapkan HACCP sebagai sistem kontrol terhadap bahaya, dimulai dengan melakukan identifikasi bahaya pada setiap alur proses produksi tuna loin beku oleh Tim HACCP perusahaan. Berdasarkan identifikasi tersebut, PT X menetapkan penerimaan bahan baku dan proses packing sebagai tahapan yang memiliki bahaya potensial. Bahaya potensial pada penerimaan bahan baku adalah dekomposisi dan kadar histamin bahan baku yang timbul karena penyalahgunaan waktu. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemeriksaaan suhu dan kesegaran ikan uji organoleptik saat kedatangan ikan; dan menolak bahan baku jika ditemukan dekomposisi. Berdasarkan penelitian Kanoko 2000 pada tahap penerimaan bahan baku di Hawaiian fishery, dari 583 ekor ikan pelagis scombroid yang disortasi berdasarkan bau odor, 464 79.58 ekor ikan diterima. Setelah dianalisis, dari 464 yang diterima tersebut hanya 14 ekor 11 yang kadar histaminnya melebihi 5 mg100 gram standar Amerika. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa analisis sensori efektif diterapkan pada tahap sortasi bahan baku untuk mencegah risiko histamin. Oleh karena itu, pada tahap penerimaan bahan baku sebaiknya perusahaan menempatkan karyawan yang terlatih melakukan uji sensori dan QC Quality control harus lebih teliti dan memperketat pengawasan. Pengemasan memiliki potensi bahaya mikrobiologi TPC akibat kebocoran kemasan dan peningkatan histamin akibat penyimpangan suhu dan waktu. Upaya pencegahan kedua bahaya potensial tersebut adalah dengan pemeriksaan setiap 30 menit. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan CAC 2003, ketidaksesuaian pada tahap ini yaitu tidak semua tahapan proses dicantumkan dalam identifikasi bahaya. Tahapan tersebut adalah pemberian gas CO dan penyimpanan pada suhu 0-1 o C chilling selama 48 jam setelah pemberian gas CO. Sebaiknya perusahaan memperbaiki prosedur lamanya proses penyimpanan tersebut dengan penyimpanan yang lebih singkat. Upaya ini dapat dilakukan untuk memperkecil peluang terbentuknya enzim histidine dekarboksilase oleh bakteri psikrotrofik. 2 Aspek kunci dalam pengendalian sistem higiene CAC 2003 section V menyatakan bahwa aspek kunci sistem pengendalian higiene sangat penting untuk dilakukan. Pengendalian tersebut dilakukan dengan beberapa upaya yaitu memastikan bahwa suhu produk selalu dipertahankan dalam suhu dingin, pengendalian terhadap cemaran baik secara mikrobilogi, kimia maupun fisika, dan pencegahan kontaminasi silang baik yang berasal dari pekerja maupun peralatan. 1 Waktu dan suhu Pengendalian suhu ikan selama proses produksi tuna loin beku dilakukan dengan pemberian es curai. Berdasarkan pengamatan, karyawan pada beberapa tahap proses kurang cepat menangani ikan. Kecepatan waktu proses pada beberapa tahap penting produksi tuna loin perlu dianalisis. Hal ini mengingat penyimpangan waktu proses dapat menurunkan suhu ikan, terutama apabila pada proses tersebut ikan tidak kontak langsung dengan es. 2 Tahapan proses spesifik Tahapan proses spesifik merupakan tahapan khusus atau perlakuan khusus pada produk yang berkontribusi pada higiene pangan. Tahapan tersebut diantaranya pendinginan chilling, proses termal, iradiasi, pengeringan, penambahan bahan kimia dan pengemasan vakum atau modified atmosphere packaging CAC 2003. Tahapan proses spesifik yang ada pada PT X adalah pendinginan chilling dan pengemasan vakum. Proses chilling dilakukan setelah proses smooking dengan CO selama 48 jam 2 hari agar warna merah pada daging terbentuk dengan baik dan merata. Suhu pada proses ini adalah 0-1 o C. Kenaikan suhu ruang chilling dapat terjadi apabila aktivitas buka tutup pintu ruangan ini relatif sering dilakukan. Menurut Emborg dan Dalgaard 2008, pada proses penyimpanan suhu chilling pembentukan histamin oleh bakteri psikrotrofik dapat terus berlangsung meskipun kecil. Fluktuasi suhu dapat terjadi akibat buka tutup ruang chilling terutama pada saat bahan baku yang diterima dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, monitoring terhadap suhu ruang chilling perlu ditingkatkan. Proses pemvakuman bertujuan untuk menghampakan udara sehingga menghambat pertumbuhan bakteri aerobik. Pengecekan dilakukan untuk 46 memastikan bahwa semua loin tervakum dengan baik tidak ada celah udara. Ketidaksesuaian pada tahap ini adalah tidak adanya kegiatan perekaman atau monitoring. 3 Pencegahan kontaminasi silang Kontaminasi pada produk, khususnya bakteri sangat berpengaruh pada peningkatan histamin pada tuna loin. Kontaminasi silang dicegah dengan menerapkan cara produksi makanan yang baik CPMB dan prosedur sanitasi. 3 Persyaratan bahan baku Bahan baku yang digunakan PT X adalah bahan baku dengan grade B. Hasil pengujian kadar histamin Lampiran 15 dan TPC Lampiran 16 oleh laboratorium internal menunjukkan bahan baku yang masuk dalam rantai proses merupakan bahan baku dengan kualitas baik. Data mengenai bahan baku dicatat dalam form Daily record of raw material receiving Lampiran 17. PT X melakukan sortasi bahan baku dengan pengukuran suhu dan analisis sensori. Penolakan dilakukan jika suhu pusat ikan melebihi 4.4 o C dan ditemukan dekomposisi. Selain itu, analisis histamin dan mikrobiologi dilakukan pada setiap batch bahan baku yang diterima. Dengan kata lain, hasil analisis sensori dan pengukuran suhu tidak dijadikan sebagai dasar dilakukannya analisis histamin dan mikrobiologi. Menurut pihak PT X, apabila setelah analisis diketahui bahwa suatu batch bahan baku memiliki kadar histamin dan jumlah mikrobiologi yang tinggi melampaui ambang batas, maka produk akhir dari batch tersebut tidak diekspor melainkan dialihkan ke pasar lokal. Penerimaan bahan baku merupakan titik kendali kritis CCP pada proses produksi tuna. Kadar biogenik amin khususnya histamin yang telah terbentuk pada bahan baku, akan berpengaruh pada kadar histamin produk akhir. Hal ini karena histamin tidak dapat didegradasi dengan proses pengolahan Tsai 2006. Tindakan preventif yang paling efektif adalah penerapan praktek higiene yang baik selama penanganan pasca tangkap dan transportasi, khususnya dengan memelihara suhu ikan dibawah 4,4 o C FDA 2009. Kecepatan perkembangan histamine dipengaruhi oleh jenis bakteri yang banyak mengkontaminasi tuna. Jenis bakteri yang mendominasi ditentukan oleh iklim perairan lokasi penangkapan ikan. Berdasarkan informasi dari PT X, bahan baku yang diterima berasal dari lokasi penangkapan 572-573 yaitu daerah Samudera Hindia dan Laut Jawa dimana perairan tersebut merupakan perairan dengan iklim tropis. Berdasarkan Emborg et al. 2008 bakteri yang lebih banyak mengkontaminasi ikan yang berasal dari perairan tropis adalah jenis bakteri mesofilik. Sehingga lebih tepat untuk menjaga suhu ikan dibawah 4,4 o C 4 Pengemasan dan pelabelan Produk tuna loin beku menggunakan polyethylene sebagai kemasan primer inner carton dan karton tebal berlapis lilin sebagai kemasan sekunder master carton MC. Pemilihan bahan pengemas harus diperhatikan, karena bahan pengemas dapat menjadi sumber kontaminasi bagi produk Lelieveld 2003. Metode pengemasan loin yang digunakan adalah pengemasan vakum. Wei et al. 1990 menyatakan bahwa pengemasan vakum tidak berfungsi dalam menghambat aktivitas enzim dalam pembentukan histamin. Jika perusahaan menginginkan kemasannnya memiliki fungsi untuk menghambat pembentukan histamin, disarankan untuk menggunakan Modified atmospher packaging MAP Reddy et al. 1992. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Emborg et al. 2004 diketahui bahwa penggunanaan MAP dengan komposisi ~40 CO2~60 O 2 dan penyimpanan 2 o C mampu mereduksi pertumbuhan bakteri penghasil histamin termasuk bakteri psikotrofik seperti M. morganii dan P. phosphoreum . Label pada kemasan primer tuna loin yang diproduksi PT X berisi jenis produk dan nutrition fact, sedangkan pada master carton terdiri dari jenis produk, berat bersih, nutrition fact tuna, kode produksi, informasi penyimpanan, nomor registrasi, size produk, logo, data tanggal produksi, dan bar code. Selain itu, pada master carton juga tertulis kalimat yang menunjukkan produk tersebut berasal dari Indonesia. Berdasarkan PP No.691999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan, label pangan sekurang-kurangnya mencantumkan nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih serta tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Pemilihan bahan kemasan dan konten dalam pelabelan yang dilakukan oleh PT X telah sesuai dengan PP No.691999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan dan peraturan dirjen P2HP 2007. Pencatatan dilakukan dalam Dailly Report of 48 Packing and Labelling Lampiran 18. Kemasan dan Label yang digunakan pada PT X dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Kemasan dan label yang digunakan PT X. 5 Air Air dalam industri pangan digunakan sebagai bahan baku proses produksi dan untuk pembersihan wang et al. 2003. Air sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi dapat meningkatkan potensi kontaminasi. Oleh karena itu, semua air yang ditujukan untuk pengolahan pangan harus bebas dari bakteri patogen Lelieveld 2003; Winarno Surono 2004. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa air yang digunakan oleh PT X dalam proses produksinya adalah air dengan kualitas air minum dan dilakukan pengecekan kualitas air setiap satu minggu sekali. Hasil pengecekan air PT X dapat dilihat pada Lampiran 20. 6 Manajemen dan supervisi Kontrol sistem higiene sangat bergantung pada kemampuan manajerial pihak manajemen dan supervisi. Pihak tersebut merupakan perancang sistem higiene yang diterapkan oleh perusahaan. Untuk itu suatu perusahaan harus mempunyai pihak manajemen yang kompeten dibidang higiene CAC 1997. Berdasarkan pengamatan, secara umum sistem higiene yang berjalan cukup teratur. Hal ini menggambarkan kompetensi pihak manajemen dan supervisi PT X dalam merancang dan mengawasi sistem higiene. Data yang dapat digunakan untuk memverifikasi hal ini adalah data penilaian pelaksana sistem karyawan terhadap pembuat sistem manajemen puncak dalam suatu perusahaan Brown 1999. 7 Dokumen dan rekaman Dokumen merupakan bagian penting yang tidak boleh dilupakan oleh perusahaan. Rekaman terhadap seluruh aspek dimulai dari penerimaan bahan baku hingga proses stuffing sangat diperlukan. Dokumen dari suatu perusahaan akan menggambarkan kredibilitas dan efektivitas sistem kontrol keamanan pangan yang dilakukan oleh perusahaan CAC 1997. Sistem perekaman produksi tuna loin dilakukan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan pengiriman produk akhir. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemberian gas CO karbon monoksida dan pemvakuman tuna loin tidak direkam oleh pihak PT X. Pemberian gas CO dilakukan dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruangan khusus. Pada perlakuan ini, karyawan hanya melakukan pengaturan pada tekanan gas tanpa memperhatikan mutu daging dan memperhitungkan volume atau kuantitas gas. Akibatnya, sering ditemukan loin yang tidak memenuhi standarkriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan pemberian ulang gas CO. Kualitas organoleptik warna daging tuna yang terbentuk merupakan kunci keberhasilan pemberian gas CO. Tingginya potensi kegagalan akibat standard operational procedur SOP yang kurang lengkap serta waktu tunggu proses yang lama, menyebabkan kegiatan perekaman sangat dibutuhkan. Rekaman tersebut meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin. Pemvakuman dilakukan dengan mengelompokkan produk sejenis dan batch yang sama dalam mesin vakum. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sekali proses sekitar 41.40 detik. Adakalanya hasil pemvakuman tidak sempurna, beberapa buah kemasan seringkali tidak tervakum dengan baik masih ditemukan ruang udara bebas di dalam kemasan. Kegagalan dalam penvakuman dapat diakibatkan oleh kemampuan alat yang menurun dan penvakuman bersamaan pada jenis produk yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kegiatan perekaman mengenai informasi tentang waktu proses, kode batch, suhu ruang, efisiensi alat, dan jenis produk yang akan divakum. Rekaman yang lengkap akan memudahkan dalam melakukan penelusuran traceback apabila suatu saat dilakukan penarikan produk withdrawl atau recall. 8 Prosedur penarikan Sistem mampu telusur traceability internal yang dilaksanakan oleh PT X terintegrasi dalam prinsip HACCP keenam yaitu record keeping. Prinsip dasar sistem traceability adalah kemampuan untuk mengidentifikasi produk sepanjang rantai pemasok supply chain atau produsen Frederiksen dan Gram 2003. Secara teknis, traceability adalah sistem perekaman record keeping yang menunjukkan alur produk dari pemasok, produsen sampai ke konsumen akhir Nimmo Bell and Company Ltd 2007. Salah satu kunci sukses dalam penerapan traceability adalah pemberian kode identifikasi batch. Kode produk merupakan pembawa data atau informasi dari suatu produk sepanjang proses produksi. Ketika kode produk dibaca oleh database maka akan ditemukan sejumlah informasi tentang proses Derrick dan Dillon 2004. Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap pembelian purchasing sampai tahap penimbangan akhir dan pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Pengkodean pada tahap pembelian sampai penimbangan akhir menggunakan selembar kertas atau plastik pembungkus produk. Kode batch terdiri dari huruf dan angka. Digit pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4 merupakan nomor urut penerimaan bahan baku dimulai dari 001-999, digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir. Pada tahap pengemasan-stuffing kode batch sebelumnya dari tahap pembelian-penimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan 51 ke-4 yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yang hanya diketahui oleh pihak perusahaan. Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6 Contoh kode produksi pengemasan- stuffing pada master carton. Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan mempunyai ciri khusus. Akan tetapi, kode tersebut tidak menunjukkan jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk. Hal ini akan menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product khususnya saat terkena masalah histamin.

4.2.4 Sanitasi