Latar Belakang Kajian keterkaitan sistem pelaksanaan program higiene dalam mereduksi risiko bahaya histamin pada proses produksi tuna loin beku

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuna merupakan komoditas ekspor terbesar ke-2 Indonesia setelah udang dengan nilai ekspor mencapai US 243 juta pada tahun 2009 KKP 2010. Data ekspor dan impor KKP tahun 2010 menunjukkan bahwa produksi tuna Indonesia naik yaitu dari 203.269 ton pada tahun 2009 menjadi 207.010 ton pada tahun 2010 atau mengalami peningkatan sebesar 1,84 KKP 2011. Produksi dan pasar tuna Indonesia yang besar tersebut, ternyata masih memiliki kendala, diantaranya adalah penolakan oleh negara importir akibat kadar histamin yang melampaui batas. Rapid Alert System for Food and Feed RASFF Uni Eropa tahun 2007 mencatat bahwa terdapat 22 kasus ekspor tuna dari Indonesia dengan kadar histamin yang melebihi ambang batas EC 2007. Food and Drugs Administration FDA Amerika Serikat juga melaporkan bahwa telah terjadi kasus penolakan ikan tuna asal Indonesia, dengan 13 kasus pada tahun 2007 dan 7 kasus pada tahun 2008, yang disebabkan oleh kadar histamin yang melebihi ambang batas FDA 2009. Histamin merupakan bahaya potensial penyebab keracunan yang terdapat pada ikan-ikan scombroid, seperti tuna. Keracunan dapat terjadi dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan dengan kandungan histamin tinggi Emborg et al. 2008. Pembentukan histamin terjadi dari proses dekarboksilasi histidin oleh mikroorganisme, baik yang terdapat dalam tubuh ikan maupun mikroorganisme dari lingkungan Rawles et al. 1996. Kontaminasi khususnya oleh bakteri penghasil histamin jenis psikrofilik dapat mempertinggi risiko keracunan histamin. Hal ini karena bakteri psikrofilik masih dapat mendekarboksilasi histidin menjadi histamin, walaupun penyimpanan dilakukan pada suhu chilling Dalgaard dan Emborg 2008. Selain itu enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk oleh kontaminan, dapat terus membentuk histamin walaupun ikan disimpan pada suhu beku dan sel bakteri telah injury Baranowski et al. 1990. Kontaminasi yang menyebabkan terbentuknya histamin terutama disebabkan oleh adanya penanganan yang tidak higiene FDA 1998. Kaitan antara higiene dengan histamin ini diperkuat oleh Hui dan Taylor 1983 yang menyatakan bahwa histamin merupakan parameter yang menggambarkan penerapan higiene yang kurang baik pada penanganan bahan baku dan proses produksi tuna. Selain itu, United States-Food and Drugs Assosciation US-FDA telah mengeluarkan standar kadar histamin pada tuna 20 mg per 100 g yang menunjukkan adanya indikasi yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap tuna FDA 2001. Higiene adalah semua kondisi dan tindakan yang dibutuhkan untuk memastikan dan menjamin dihasilkannya produk yang aman pada setiap tahapan pada rantai proses CAC 2003. Higiene pangan memiliki tujuan untuk mengeliminasi dan meminimalisasi kontaminasi pada pangan Johns 1991. Penerapan higiene yang tidak baik, tidak hanya berakibat pada peningkatan histamin tetapi juga menimbulkan berbagai permasalahan. RASFF melaporkan bahwa 70,45 dari total notifikasi pada produk perikanan terjadi karena adanya ketidaksesuaian pada pelaksanaan sistem higiene EC 2010. Di Italia, 74 infeksi Salmonella disebabkan karena kondisi lingkungan yang tidak higiene Jones 1998. Wallace et al. 2011 mencatat berbagai insiden besar karena makanan sejak 1989-2009, dan dari 15 kasus yang tercatat terdapat 4 kasus yang timbul karena praktek higiene yang tidak baik. Masalah-masalah keamanan pangan yang ditimbulkan karena praktek higene yang tidak baik, khususnya histamin dalam industri tuna perlu dikendalikan dengan suatu sistem manajemen keamanan pangan yang efektif Huss et al. 2004. Sistem manajemen keamanan pangan berbasis science yang direkomendasikan oleh Codex Allimentarius Commission CAC adalah Hazard Analysis Critical Control Point HACCP Wallace et al. 2011. HACCP merupakan salah satu sistem manajemen keamanan pangan dengan pendekatan sistematik yang mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya-bahaya untuk memastikan jaminan keamanan pangan CAC 2003. Berdasarkan laporan Keener 1999, Wallace dan Williams 2001, Paniselo Quantick 2001, dan Wallace et al. 2011 bahwa penerapan HACCP banyak mengalami kegagalan. Kajian Paniselo Quantick 2001 memperlihatkan gambaran umum adanya 5 hambatan teknis yang menjadi penyebab kegagalan HACCP, yaitu persepsi yang salah terhadap pengawasan kontrol, ukuran 2 perusahaan, jenis produk, dan syarat atau standar keamanan pangan oleh konsumenbuyer. Persepsi yang salah terhadap pengawasan kontrol oleh perusahaan merupakan hambatan teknis utama dalam penerapan HACCP. Hal ini berhubungan dengan komitmen manajemen, yang berarti bahwa pihak manajemen kurang serius dalam menegakkan dan mengawasi aspek mendasar penerapan HACCP Keener 1999, Paniselo Quantick 2001. Aspek mendasar yang dimaksud adalah sistem higiene, dimana sistem tersebut merupakan suatu Pre Requisite Programe PRP atau pondasi dasar dari HACCP Wallace dan Williams 2001, Wallace et al. 2011. Ketidakseriusan dalam penerapan sistem higiene yang mengakibatkan kegagalan dalam implementasi HACCP akan menyulitkan pengendalian bahaya histamin. Hal ini sering tidak disadari oleh pihak manajemen, sehingga dibutuhkan suatu informasi mengenai keterkaitan ketidaksesuaian pelaksanaan sistem higiene terhadap risiko bahaya yang dapat ditimbulkan. Oleh karena itu, pengkajian mengenai keterkaitan antara program higiene yang dilaksanakan pada produksi tuna loin beku dengan risiko bahaya histamin menjadi penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan