Latar Belakang Sektor pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor ekonomi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sektor pertanian dalam arti luas merupakan salah satu sektor ekonomi

yang berbasis sumber daya alam dan menjadi tumpuan utama sebagian besar rakyat Indonesia mencari nafkah kehidupan. Hal ini karena sebagian besar usaha pertanian di Indonesia dilakukan oleh petani kecil, baik petani pangan dari palawija dan hortikultura, serta petani perkebunan dan nelayan baik budidaya maupun tangkap. Salah satu subsektor dari sektor pertanian yang menarik adalah subsektor perkebunan. Beberapa dari komoditas subsektor perkebunan memberikan sumbangan devisa yang tinggi bagi Indonesia, sebagai contoh tanaman karet, kopi, kelapa, kakao dan kelapa sawit Badrun, 2010. Tiga dekade ini komoditas perkebunan yang paling gencar pengembanganya karena permintaannya yang tinggi adalah kelapa sawit. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan, dari sembilan komoditas unggulan perkebunan, minyak kelapa sawit CPO menempati urutan pertama dalam ekspor di tahun 2009 sebesar 21.000.000 ton, kemudian urutan kedua dimiliki oleh karet sebesar 1.991.533 ton, lalu kakao sebesar 535.236 ton, kopi sebesar 510.898 ton, kopra sebesar 209.646 ton dan selanjutnya diikuti oleh teh, tembakau, lada serta gula tebu hablur. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang menjadi primadona di mata internasional. Hasil olahannya berupa minyak kelapa sawit mentah atau disebut juga crude palm oil CPO menjadi unggulan dalam ekspor komoditas pertanian Indonesia Suprihatini, 2001; Badrun, 2010. Tercatat devisa yang dihasilkan dari ekspor CPO pada tahun 2001 sampai 2006 terus meningkat dengan laju peningkatan sebesar 36,189 persen dan terus meningkat sampai tahun 2010. Kontribusi terhadap total ekspor pun terus meningkat dari 2,6 persen sampai 6,1 persen Badan Pusat Statistik, 2007. Secara iklim, kondisi lahan, dan tanah, Indonesia sangat cocok untuk pengembangan kelapa sawit. Kelapa sawit mampu tumbuh di Indonesia dengan subur. Letak Indonesia yang berada di bawah garis katulistiwa menyebabkan kelapa sawit memperoleh sinar matahari setiap tahun dan itu sangat sesuai dengan 2 karakteristik tanaman tersebut. Kondisi lahan yang tidak terlalu berkontur dan curah hujan yang sesuai juga banyak dimiliki Indonesia khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan. Selain itu tanaman kelapa sawit cocok tumbuh di tanah gambut seperti yang dimiliki pulau Kalimantan Pahan, 2006; Semangun et all, 2005. Pengusahaan kelapa sawit secara komersil dimulai pada sejak zaman penjajahan Belanda. Pada mulanya dilakukan di Deli, Sumatera Utara Wahyono, 2003; Semangun et all, 2005. Tercatat dari tahun ke tahun perkembangan perkebunan kelapa sawit terus meningkat, seiring dengan peningkatan kebutuhan CPO bagi industri di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan luas lahan pengusahaan kelapa sawit menjadi indikator bahwa kelapa sawit sangat menarik untuk diusahakan secara komersial, baik oleh perkebunan yang dikelola oleh negara maupun swasta, bahkan juga perkebunan rakyat. Pada tahun 1990 ada 1.126.677 ha dan terus meningkat pada tahun 2000 seluas 4.158.077 ha, bahkan pada tahun 2008 mencapai angka 7 juta ha Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010. Peningkatan luasan kelapa sawit tertinggi dilakukan oleh perkebunan rakyat dengan tingkat pertumbuhan mencapai 185,43 persen dalam sepuluh tahun terakhir, diikuti oleh perkebunan swasta dengan tingkat pertumbuhan 61,67 persen dan terakhir oleh perkebunan negara dengan tingkat pertumbuhan 3,47 persen Gambar 1. Hal ini disebabkan dukungan pemerintah terhadap pengembangan kelapa sawit cukup baik. Program-program pemerintah seperti bantuan kredit perluasan lahan, pengembangan infrastruktur dan pabrik pengolahan CPO dari tandan buah segar TBS kelapa sawit, memberikan kemudahan bagi perkebunan rakyat untuk semakin berkembang dalam aspek finasial maupun aspek pasar. Selain itu perkembangan ini disebabkan oleh sistem Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan PIR-Bun yang dikembangkan sejak tahun 1978 oleh perkebunan negara dan perkebunan swasta sebagai inti dan perkebunan rakyat sebagai plasma Hansen, 2008. Gambar 1 menunjukkan luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia : 3 Gambar 1. Luas Areal Perkebunan Indonesia Menurut Pengusahaan Tahun 2000-2009 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010 Dilihat dari total luasan lahan, pada tahun 2009 perkebunan swasta menempati urutan pertama dengan persentase 51,75 persen, sedangkan perkebunan rakyat 40,14 persen dan perkebunan negara hanya 8,1 persen saja Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010. Pada tahun yang sama, jika dilihat total produksi sebesar 21.000.000 ton, kontribusi produksi CPO dari setiap perkebunan adalah 50,59 persen untuk perkebunan swasta; 38,88 persen untuk perkebunan rakyat dan 10,52 persen untuk perkebunan negara. Hal ini menunjukkan produktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia masih rendah, padahal produktivitas ideal kelapa sawit adalah 5,8 ton CPOhatahun Pahan, 2006; Puwantoro, 2008; Semangun et all, 2005. Dapat dilihat pada Gambar 2 dari tahun ke tahun perkebunan negara memiliki produktivitas yang lebih baik dibandingkan perkebunan rakyat dan swasta. Oleh sebab itu perlu adanya perbaikan dalam peningkatan produktivitas 1 . 1 Purwantoro. 2008. Sekilas Pandang Industri Sawit. Majalah USAHAWAN LMFEUI edisi No.042008 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 H e kt ar Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta 4 Gambar 2. Perkembangan Produktivitas Kelapa Sawit Nasional Tahun 2005- 2009 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pusat Pengembangan Kelapa Sawit, 2010 diolah. Produksi CPO Indonesia di dunia adalah yang tertinggi, memang sebelum tahun 2006 volume produksi CPO Indonesia sebesar 14.100.000 ton masih kalah dengan Malaysia dengan volume produksi sebesar 14.962.000 ton Oil World, 2007. Tetapi pada tahun 2006 sampai 2010 produksi CPO Indonesia nomor satu di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia 22.000.000 ton sedangkan Malaysia hanya memproduksi 17.763.000 ton. Menurut Oil World Annual dalam Direktorat Jenderal Perkebunan 2008, diperkirakan posisi Indonesia sebagai produsen CPO dunia berpotensi besar menjadi pemain paling dominan pasar bahkan hingga 50 persen dari pangsa pasar CPO. Pada tahun 2010 produksi CPO yang dihasilkan oleh Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Produksi Total Negara-Negara Pengekspor CPO Tahun 2010 Sumber : United State Departement of Agriculture, 2011 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 2005 2006 2007 2008 2009 to nh a t a hu n Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta 5000 10000 15000 20000 25000 Indonesia Malaysia Thailand Nigeria Kolombia Lainnya ribu to n 5 Negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia terus meningkatkan permintaannya. Terbukti lebih dari 60 persen hasil produksi dialokasikan untuk ekspor Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2010. Pada tahun 2008 India menempati urutan pertama dalam mengimpor CPO Indonesia dengan total impor sebesar 4,78 juta ton, sedangkan urutan kedua ditempati oleh Cina dengan total impor sebesar 1,76 juta ton dan Belanda pada urutan ketiganya. Ketidaksanggupan negara-negara pengimpor CPO untuk mengembangkan kelapa sawit di negaranya, menjadi peluang bagi Indonesia untuk terus meningkatkan ekspor CPO, seiring dengan peningkatan kebutuhan akan CPO sebagai bahan baku industri dan makanan di negara tujuan ekspor. Negara-negara pengimpor CPO dunia ini ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Ekspor CPO Indonesia Menurut Negara Tujuan Utama Tahun 2004- 2008 ribu ton Negara Tujuan 2004 2005 2006 2007 2008 India 2.761,60 2.558,30 2.482,00 3.305,70 4.789,70 Cina 1.083,80 1.354,60 1.758,60 1.441,10 1.766,90 Belanda 799,60 1.101,10 1.212,20 829,30 1.295,90 Pakistan 537,30 850,20 835,00 788,10 409,70 Malaysia 572,80 621,40 660,50 382,70 745,50 Singapura 396,60 467,10 631,60 624,50 600,90 Mesir 78,40 151,30 476,20 408,50 495,90 Bangladesh 260,90 412,70 466,00 520,20 506,80 Srilangka 40,60 308,70 445,00 246,60 48,40 Jerman 247,20 340,40 365,50 504,90 404,80 Lainnya 1.882,80 2.210,40 2.768,30 2.823,80 3.226,20 Jumlah 8.661,60 10.376,20 12.100,90 11.875,40 14.290,70 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008. Namun dalam perkembangannya, perkebunan kelapa sawit tetap perlu memperhatikan aspek lingkungan. Menurut Greenpeace yaitu lembaga swadaya masyarakat LSM dari Belanda, menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia dan Malaysia menyumbang emisi CO 2 yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global 2 . Berdasarkan data Kementrian Kehutanan dalam Badrun 2010, saat ini luasan total kawasan hutan seluas 110.842.000 ha. Luasan 2 www.greenpeace.org. 2008. Greenpeace Menantang RSPO untuk Berhenti Menjadi Tameng Hijau Anggota-anggotanya. [28 April 2011] 6 ini termasuk dengan luas hutan suaka dan lindung sebesar 49.928.000 ha serta hutan produksi tetap dan terbatas sebesar 60.915.000 ha. Sedangkan saat ini perkebunan kelapa sawit hanya mengambil 7 juta ha dari total luas kawasan hutan. Tuduhan Greenpeace bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagai penyumbang emisi CO 2 sangat berlebihan karena negara-negara industri seperti Amerika dan Eropa-lah yang seharusnya lebih pantas menerima tuduhan ini Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010. Isu tentang Renewable Energy Directive RED ternyata memiliki kriteria yang dianggap pemerintah merugikan indusri kelapa sawit. Hal ini dapat menjadi hambatan non tarif bagi perdagangan CPO Indonesia ke Eropa. Oleh karena itu pada tahun 2010, Menteri Pertanian Suswono beserta tim melakukan kampanye produk ramah lingkungan dari kelapa sawit ke Madrid, Spanyol dan Paris, Prancis untuk menanggapi isu ini. Akibat isu ini produksi biodiesel akan sulit diekspor ke Eropa 3 . Bila dibandingkan dengan kedelai, kelapa sawit 9,5-10 kali lebih baik dalam menghasilkan minyak nabati dari tiap satu hektarnya Pangaribuan et all, 2001; Oil World, 2007. Jadi jauh lebih menguntungkan apabila membudidayakan sawit dibandingkan kedelai dalam memproduksi minyak, selain itu kelapa sawit merupakan tanaman tahunan yang tidak perlu penanaman ulang di tiap tahunnya. Secara logika kontribusi oksigen satu pohon kelapa sawit pasti jauh lebih besar dibandingkan satu tanaman kedelai. Pangsa konsumsi minyak kedelai telah tergeser oleh CPO semenjak tahun 2005 Oil World, 2008. Hal ini membuat aksi black campaign yang menyudutkan Indonesia sebagai produsen CPO terbesar di dunia Solidaritas Petani Sawit Indonesia, 2010. Menurut Krisnamurti 2010, penanaman kelapa sawit di lahan yang dahulunya hutan dan dipenuhi alang-alang jauh lebih baik jika ditanami kelapa sawit karena kelapa sawit jauh lebih baik daripada alang-alang. Namun isu-isu yang menyudutkan Indonesia itu, tetap membuat produsen kelapa sawit Indonesia terus peduli kepada lingkungan terutama dalam hal perluasan lahan. Konsep Indonesia Sustainable Palm Oil ISPO adalah konsep 3 www.sinartanionline.com .2010. Mentan Kampanyekan Sawit Ke Spanyol dan Perancis. [8 Mei 2011]. 7 yang menyelaraskan perkembangan perkebunan kelapa sawit dengan konservasi lingkungan Kementan, 2011 4 . Konsep ini bertujuan meningkatkan tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam serta keragaman hayati. Selain isu lingkungan akhir-akhir ini isu tentang penggunaan bahan bakar nabati sangat gencar dibicarakan. Konsep biofuel atau bahan bakar nabati membuat permintaan akan komoditas pertanian yang menjadi sumber bahan baku biofuel meningkat. Salah satu contoh bahan baku dari biofuel adalah minyak kelapa sawit karena rendemennya yang lebih tinggi daripada kedelai, jarak dan tebu. Redemen minyak yang dihasilkan oleh kelapa sawit sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan kedelai Pangaribuan et all, 2001; Oil World, 2008. Saat ini kebutuhan akan hasil kelapa sawit tidak hanya tertumpu pada hasil secara kuantitas saja tetapi juga kepada mutu minyak, antara lain adalah kandungan dan susunan asam-asam lemak. Kualitas dari CPO berpengaruh terhadap harga jualnya Subronto et all, 2003. Pemanfaatan CPO tidak hanya sebatas menjadi bahan bakar nabati ataupun minyak goreng saja, tetapi juga berguna bagi industri makanan, kosmetika, dan farmasi. Sebagai contoh produk olahan CPO antara lain margarin, asam lemak, ester, pengemulsi dalam industri susu dan es krim, lilin, sabun mandi, lotion dan cream dalam industri kosmetik, salep dalam industri farmasi dan masih banyak lainnya Poeloengan, et all, 2000. Pentingnya CPO sebagai bahan baku di berbagai industri ini menandakan bahwa CPO merupakan salah satu komoditas ekspor non migas yang diandalkan di Indonesia. Menurut Budiyana 2005, faktor-faktor yang mendukung pengembangan CPO Indonesia selain pemenuhan bahan baku industri antara lain : 1 Secara komparatif, lahan untuk perluasan produksi kelapa sawit di Indonesia tersedia luas, 2 Kompetitif, pesaing yang dapat menyamai produksi minyak kelapa sawit Indonesia masih sedikit, dan 3 Produktivitas kelapa sawit adalah yang paling dibandingkan tanaman perkebunan lainnya. 4 www.sinartanionline.com.2010. Indonesia Sustainable Palm Oil Segera Diberlakukan di 2010. [8 Mei 2011]. 8 Secara komparatif, Indonesia adalah nomor satu dalam luasan lahan. Terdapat banyak lahan yang sangat sesuai dengan tanaman kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan dalam hal kompetitif, negara-negara pesaing yang mampu menyamai produksi CPO Indonesia masih belum banyak Budiyana, 2005. Malaysia sebagai pesaing utama Indonesia memiliki produktivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia, tetapi Malaysia tidak memiliki luasan lahan seluas Indonesia. Hal ini cukup mengkhawatirkan apabila Indonesia tidak segera memperbaiki kelemahan ini, karena bisa jadi Indonesia kembali menempati urutan kedua dalam produksi CPO seperti sebelum tahun 2007. Produktivitas kelapa sawit dalam menghasilkan minyak nabati jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya. Tanaman yang lazim diusahakan sebagai sumber minyak nabati adalah kedelai, bunga matahari, rapeseed, kacang tanah, wijen, zaitun dan kelapa. Perbandingan produktvitas antara tanaman utama penghasil minyak nabati dapat dilihat pada Gambar 4 : Gambar 4. Produktivitas Minyak Nabati Utama Dunia Tahun 2005-2007 Sumber : Oil World 2007; International Potash Institute 2005 Pangsa konsumsi terbesar minyak nabati dunia saat ini dimiliki oleh minyak sawit CPO. Sejak tahun 2005 pangsa konsumsi CPO menggeser pangsa konsumsi minyak kedelai. Di tahun tersebut pangsa CPO sebesar 33.156.000 ton atau 24 persen, sedangkan minyak kedelai sebesar 32.879.000 ton atau 23 persen dari total perdagangan minyak nabati dunia yang mencapai 138.028.000 ton. 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 to nh a t a hu n 9 Kemudian tahun 2008 pangsa konsumsi CPO sebesar 26 persen sedangkan minyak kedelai 23 persen dari total perdagangan sebesar 159.530.000 ton. Tabel 2 yang menyajikan pangsa konsumsi CPO terhadap minyak nabati dunia : Tabel 2. Pangsa Konsumsi CPO Terhadap Minyak Nabati Dunia 2002-2008 Tahun Konsumsi ribu ton CPO Minyak Kedelai Minyak Rapeseed Minyak Bunga Matahari Minyak Kelapa Lainnya Dunia 2002 25.595 29.964 13.489 7.721 3.291 41.472 121.532 2003 28.201 31.246 12.716 8.921 3.322 41.287 125.693 2004 30.050 31.163 14.825 9.583 3.054 42.421 131.100 2005 33.156 32.879 15.914 9.546 3.047 43.666 138.208 2006 36.192 34.670 18.196 10.946 3.047 43.666 146.717 2007 37.892 37.067 19.073 11,174 3.153 45.424 153.783 2008 42.500 37.930 19.125 10.326 3.142 45.907 159.530 Sumber : Oil World, 2008 Berdasarkan Tabel 2, pangsa konsumsi CPO terus naik dan semakin meninggalkan pesaingnya. Hal ini menjadi peluang bagi industri pengolahan kelapa sawit untuk terus mengoptimalkan produksi CPO Indonesia. Sehingga perlu ada perbaikkan dari dalam hal produksi CPO Indonesia, baik dari segi hulu berupa budidaya dan SOP pengusahaan kebun kelapa sawit sampai panen tandan buah segar TBS, juga dari segi hilir yaitu kualitas dan kemampuan meningkatkan bargaining power dalam menentukan harga di pasar dunia. Sebagai pemegang pangsa pasar CPO terbesar di dunia, pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan prestasi tersebut dan meningkatkan produktivitas perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Program ini berjalan mulai tahun 2007 sampai 2010, bentuk dari realisasinya adalah perluasan lahan dan peremajaan tanaman kelapa sawit. Pada tahun 2007 perluasan lahan sebesar 354.000 ha, sampai tahun 2010 mencapai 1,37 juta ha. Sedangkan peremajaan kelapa sawit tahun 2007 sebesar 19.000 ha, tahun 2008 sebesar 10.000 ha dan sampai 2010 seluas 50.000 ha Purwantoro, 2008. Tabel 3 menunjukkan potensi peremajaan lahan kelapa sawit berdasarkan beberapa provinsi di Indonesia : 10 Tabel 3. Potensi Peremajaan Lahan Kelapa Sawit Tahun 2004 di Beberapa Provinsi No. Propinsi Pangsa Areal Peremajaan ha 1 Sumatera Utara 33,20 6644 – 16.609 2 Riau 25,70 5144 – 12.860 3 Sumatera Selatan 12,60 2520 – 6300 4 Kalimantan Barat 10,40 2080 – 5200 5 Aceh 8 1600 – 4000 6 Lainnya 10,10 2013 – 5031 Sumber : Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, 2009 Perencanaan dalam hal produksi sangat penting dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar CPO Indonesia di pasar dunia. Kebutuhan CPO dunia sebagai bahan baku industri, membuat volume ekspor CPO Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu harga yang internasional yang lebih tinggi dari harga CPO nasional menjadi pertimbangan pebisnis untuk terus mengekspor produksi CPO nasional Hansen, 2008. Namun perlu disadari kebutuhan domestik juga perlu diperhatikan, karena ada banyak perusahaan- perusahaan dalam negeri yang memproduksi hasil olahan kelapa sawit dan permintaannya terus meningkat dari tahun ke tahun Biro Pusat Statistik, 2010. Sampai saat ini kekurangan kebutuhan CPO dalam negeri masih dipenuhi oleh impor, dari negara Malaysia. Peramalan trend adalah salah satu upaya perencanaan yang dapat dilakukan. Melalui peramalan trend, dapat dilihat pergerakan dan kecenderungan yang akan terjadi dari data historis yang telah terjadi di masa lalu sehingga akan mudah untuk memprediksi kemungkinan terbesar apa yang terjadi di masa yang akan datang. Peramalan mengenai kelapa sawit dapat dilakukan dalam aspek ekspor, impor, konsumsi domestik, produksi dan harga. Hasil dari peramalan tersebut dapat menjadi gabungan dari aktivitas perencanaan untuk merumuskan kebijakan pengembangan industri kelapa sawit nasional. Peramalan mengenai CPO dibutuhkan sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengantisipasi semua peluang atau tantangan dalam dunia kelapa sawit sehingga dapat menyusun kebijakan yang tepat. Misalnya peramalan terhadap harga yang dilakukan oleh 11 staf Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS, Sumatera Utara, menjadi acuan pengalokasian anggaran kebijakan pemerintah Hansen, 2008.

1.2 Perumusan Masalah