VII. ANALISIS HASIL RAMALAN EKSPOR, KONSUMSI DOMESTIK DAN PRODUKSI CPO INDONESIA
7.1. Proyeksi Permintaan dan Penawaran CPO dari Tahun 2011-2015
Selama ini Indonesia masih melakukan impor CPO dengan tujuan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Namun di sisi lain Indonesia adalah
pemegang pangsa pasar CPO nomor satu di dunia. Sebenarnya Indonesia bukan sanggup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi Indonesia belum
memiliki keseimbangan dalam pemenuhan kedua jenis permintaan tersebut. Ketidakseimbangan antara volume ekspor dan pemenuhan konsumsi dalam negeri
menjadi permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini, dengan beberapa rekomendasi kebijakan yang mungkin bisa diambil berdasarkan hasil
pembahasan pada penelitian ini. Proyeksi yang dilakukan sampai lima tahun kedepan dari tahun 2010-
2015, menunjukkan pola permintaan CPO dalam bentuk ekspor dan konsumsi domestuk diperkirakan terus meningkat. Apabila kedua jenis permintaan tersebut
digabung maka dapat terlihat pada Tabel 19, bahwa penawaran CPO Indonesia dalam bentuk produksi diperkirakan masih belum mampu memenuhi permintaan
yang ada. Perbandingan hasil ramalan dapat dilihat pada Tabel 19 :
Tabel 19. Selisih Antara Perkiraan Permintaan dan Penawaran CPO Indonesia
Tahun 2011-2015
Tahun Permintaan ton
Penawaran ton Selisih ton
Ekspor Konsumsi
Produksi
2011 19.534.366
5.429.199 23.395.252
1.568.313 2012
21.010.440 5.770.766
24.790.504 1.990.702
2013 21.637.678
5.996.138 26.185.756
1.448.060 2014
23.704.065 6.310.120
27.581.008 2.433.177
2015 25.257.527
6.556.527 28.976.260
2.837.794 Rata-rata
22.228.815 6.012.550
26.185.756 2.055.609
Keterangan : = angka ramalan dengan model ARIMA terpilih
Merujuk pada Tabel 19, apabila tidak ada peningkatan produksi dan pengendalian ekspor, maka volume selisih tersebut hanya bisa dipenuhi oleh
impor. Dan diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat dari tahun ke tahun.
82
7.2. Kebijakan Ekspor
Proporsi ekspor CPO Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Rata- rata proporsi CPO yang diekspor adalah 74,46 persen dari tahun 2000 sampai
2010. Hal ini dirasa terlalu besar apabila tidak ada peningkatan produksi CPO. Selama ini pemerintah merumuskan kebijakan pajak ekspor untuk menekan
ekspor CPO dilakukan Indonesia. Hal ini sudah tepat berdasarkan hasil analisis hubungan antara keputusan ekspor terhadap harga CPO Rotterdam, yang
menyatakan ada hubungan yang keduanya. Hasil analisis hubungan dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Korelasi Antara Harga CPO Rotterdam dan Selisih Harga Rotterdam-
Medan Terhadap Ekspor CPO Indonesia Tahun 1998-2010
Correlations
EKSPOR HARG
ROTT ROTT-
MEDAN Spearmans
rho EKSPOR
Correlation Coefficient
1,000 ,742
,099 Sig. 2-tailed
. ,004
,748 N
13 13
13 HARG
ROTT Correlation
Coefficient ,742
1,000 ,500
Sig. 2-tailed ,004
. ,082
N 13
13 13
ROTT- MEDAN
Correlation Coefficient
,099 ,500
1,000 Sig. 2-tailed
,748 ,082
. N
13 13
13 Correlation is significant at the 0.01 level 2-tailed.
Keterangan : EKSPOR
: Ekspor CPO Indonesia dari tahun 1998-2010 HARG ROTT
: Harga CPO Rotterdam dari 1998-2010 ROTT-MEDAN :Selisih harga antara harga CPO Rotterdam dan harga CPO
Medan Berdasarkan Tabel 20 diperoleh nilai koefisien korelasi antara ekspor dan
harga Rotterdam sebesar 0,742 dan nilai ini lebih besar dari nilai kritis koefisien korelasi rank Spearman dengan taraf nyata 0,01 yang sebesar 0,673. Karena r
s hitung
r
s tabel
maka tolak H atau terima H
1
. Artinya, ada hubungan positif yang kuat antara harga CPO Rotterdam dengan ekspor.
83
Namun jika dilihat dari Tabel 20, diperoleh nilai koefisien korelasi dari hubungan antara ekspor dan selisih harga CPO Rotterdam-Medan sebesar 0,099
dan ternyata nilai ini lebih kecil dari nilai kritis koefisien korelasi rank Spearman dengan taraf nyata 0,01 yaitu sebesar 0,673. Karena r
s hitung
r
s tabel
maka tolak H
1
atau terima H . Artinya, tidak ada hubungan antara selisih harga CPO Rotterdam-
Medan dengan ekspor CPO yang dilakukan Indonesia. Oleh karena itu pemerintah merumuskan kebijakan pajak ekspor
berdasarkan perilaku ekspor yang responsif terhadap harga referensinya Rotterdam. Pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
223PMK.0112008 mengatur tentang besaran tarif pajak ekspor terhadap CPO. Besaran pajak ekspor disajikan dalam Tabel 21 :
Tabel 21. Besaran Pajak Ekspor PE Berdasarkan Harga Referensi
No Harga Referensi USTon
PE
1 700
0,0 2
701-750 1,5
3 751-800
3,0 4
801-850 4,5
5 851-900
6,0 6
901-950 7,5
7 951-1000
10,0 8
1001-1050 12,5
9 1051-1100
15,0 10
1101-1150 17,5
11 1151-1200
20,0 12
1201-1250 22,5
13 1251
25,0 Sumber : Peraturan Mentri Keuangan Nomor 223PMK.0112008
Berdasarkan hasil ramalan dan analisis hubungan harga terhadap ekspor CPO Indonesia maka kebijakan yang bisa diambil adalah menaikkan besaran
pajak ekspor untuk menurunkan ekspor CPO, dan sebagian dari volume CPO dapat dialihkan penjualannya ke dalam negeri. Menurut Askadarimi 2007
meningkatkan pajak ekspor sebesar lima persen dapat menurunkan volume ekspor CPO Indonesia sebesar 1,19 persen, hal ini tidak begitu berpengaruh dengan
penurunan pangsa pasar CPO Indonesia di dunia. Hal ini terbukti ketika tahun 2010 ekspor CPO Indonesia turun 2,38 persen karena terjadi peningkatan pajak
84
ekspor sebesar 12,5 persen. Diperkirakan perlu penurunan ekspor sebesar 8,03 persen agar dapat memenuhi selisih antara permintaan dan penawaran CPO tahun
2011. Dengan demikian pajak ekspor yang dikenakan sebesar 40 persen, tetapi hal ini dapat merugikan eksportir dan menurunkan pangsa pasar CPO Indonesi di
dunia serta memperbesar peluang Malaysia merebut pangsa pasar CPO Indonesia. Oleh karena itu kebijakan yang perlu diambil bukan saja difokuskan
kepada peningkatan besaran pajak ekspor tetapi juga pada pengaturan konsumsi domestik melalui penganekaragaman produk substitusi CPO dan peningkatan
produksi CPO Indonesia.
7.3. Kebijakan Konsumsi Domestik