Konsumsi Domestik Analisis Pola Data 1. Ekspor

55 sebagai bahan baku minyak goreng. Hal ini menyebabkan penurunan ekspor pada tahun 1998 Fauzi, et. al., 2002. Namun hal ini tidak berlangsung lama, hanya hingga April 1998, dan setelah itu pemerintah bersama IMF membuka lagi perdagangan kelapa sawit. Walaupun demikian pajak ekspor tetap di kenakan dari 40 sampai 60 persen berhubung terjadinya kelangkaan CPO di dalam negeri yang mengakibatkan booming harga dan kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Hal ini juga diperkuat dengan peningkatan konsumsi CPO domestik sebesar 80 persen, seperti diketahui CPO adalah bahan baku minyak goreng. Harga minyak goreng pada tahun 1998 meningkat hingga 2,5 kali lipat dari harga di tahun sebelumnya 1 . Disamping itu beberapa negara konsumen juga meningkatkan bea masuk impornya sehingga semakin mempersulit masuknya ekspor CPO Indonesia ke negara-negara tersebut. Kejadian ini tercatat telah menimbulkan ketidakstabilan politik Indonesia Agustian A. et all., 2002. Pajak ekspor ini kemudian berangsur-angsur dikurangi menjadi 30 persen pada tahun 1999, dan menurun lagi menjadi 5 persen pada tahun 2000, bahkan menjadi 3 persen pada tahun 2001. Hal ini menyebabkan ekspor Indonesia meningkat pada periode tahun-tahun tersebut Hansen, 2008. Peningkatan ekspor tanpa terjadi penurunan terjadi dari tahun 2000 sampai 2009. Hal ini diakibatkan harga CPO dunia memiliki trend meningkat yang cukup bagus dan tidak terlalu berfluktuasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Hal ini juga disebabkan produksi CPO dalam negeri memiliki trend meningkat pula. Namun pada tahun 2010 ekspor CPO Indonesia turun sebesar 2,7 persen karena pajak ekspor yang dikenakan naik menjadi 12,5 persen Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010.

5.1.2. Konsumsi Domestik

Konsumsi CPO Indonesia menunjukkan trend meningkat.Walaupun demikian dapat dilihat pada Gambar 11. peningkatan konsumsi domestik dari tahun 1980-2010 ditandai dengan fluktuasi-fluktuasi yang tajam. 1 Sistem Informasi Terpadu Penembangan Usaha Kecil. 2010. Harga Minyak Goreng. www.bi.go.id . [4 April 2011] 56 Gambar 11. Konsumsi CPO Domestik Indonesia Tahun 1980-2010 Sumber : Biro Pusat Statistik, 2008 dan United State Departement of Agriculture, 2010 diolah. Mengacu pada Gambar 11, kenaikan dan penurunan yang tajam dari konsumsi CPO domestik ini merupakan salah satu wujud dari mekanisme pajak ekspor dan fluktuasi harga CPO di pasar Rotterdam selain dari permintaan CPO dalam negeri itu sendiri, sebagai bahan baku industri dalam negeri. Sebagai bukti saat tahun pada tahun 1984 terjadi peningkatan harga CPO dunia yang tinggi dan mendorong ekspor besar-besaran sehingga terjadi kelangkaan CPO dalam negeri pada awal tahun tersebut. Namun pemerintah mengenakan pajak ekspor untuk mengatasi hal tersebut sehingga volume ekspor pada saat itu menurun dan hasil produksi di arahkan pada penjualan ke dalam negeri sehingga konsumsi CPO saat itu naik drastis hingga 68 persen dari konsumsi CPO di tahun sebelumnya. Banyak kejadian yang mirip dengan kejadian pada tahun 1984, sebagai contoh lagi pada tahun 1992, saat itu harga CPO pasar Rotterdam meningkat menjadi 524 US dari 463 US dan ekspor menurun sebesar 5,8 persen dan konsumsi domestik naik 37,22 persen. Begitupun pada tahun 1994 dan 1998, konsumsi domestik meningkat sebesar 47,66 persen di tahun 1994 dan 73 persen di tahun 1998 BAPPEBTI, 2011; PPKS, 2010. 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 to n 57 Sebenarnya harga di pasar Rotterdam dan dunia merupakan acuan pemerintah untuk memutuskan berapa pajak ekspor yang harus dikenakan untuk mengkontrol volume ekspor Indonesia. Kenaikkan dan penurunan volume ekspor menunjukkan besarnya alokasi produksi CPO untuk pasar dalam negeri. Dengan demikian harga CPO Rotterdam dapat dijadikan indikator bagi fluktuasi volume konsumsi CPO domestik. Berikut adalah hasil analisis asosiasi dengan metode rank Spearman yang menunjukkan bahwa harga CPO Rotterdam berhubungan kuat dengan pola pergerakan konsumsi CPO domestik. Tabel 8. Korelasi Antara Konsumsi Domestik dan Harga CPO Rotterdam Correlations KONSUMSI HARGA ROTTERDAM Spearmans rho KONSUMSI Correlation Coefficient 1,000 ,550 Sig. 2-tailed . ,034 N 15 15 HARGA ROTTERDAM Correlation Coefficient ,550 1,000 Sig. 2-tailed ,034 . N 15 15 Correlation is significant at the 0.05 level 2-tailed. Mengacu pada Tabel 8, terlihat bahwa konsumsi domestik memiliki hubungan yang signifikan di taraf nyata 0,05 dan memiliki hubungan positif satu sama lain. Artinya semakin tinggi harga CPO Rotterdam, semakin tinggi pula konsumsi CPO domestik. Ataupun sebaliknya, semakin rendah harga CPO Rotterdam, semakin rendah pula konsumsi CPO domestik. Namun konsumsi CPO domestik bukan hanya terjadi karena mekanisme pajak ekspor dan harga CPO pasar dunia Rotterdam, melainkan juga dipengaruhi oleh permintaan dalam negeri itu sendiri. Permintaan industri dalam negeri, sebagai contoh industri minyak goreng sangat berpengaruh pada tingkat konsumsi CPO saat itu. Sebagai contoh pada tahun 1998 harga minyak goreng naik tajam dari Rp. 1527 menjadi Rp. 5449. Hal ini mendorong industri minyak goreng untuk memproduksi lebih banyak lagi dan hal itu tercatat meningkatkan konsumsi domestik sebesar 73,7 persen dari tahun sebelumnya Bank Indonesia, 2009. Konsumsi CPO domestik dari tahun 2000-2010 tampak memiliki pola data yang tidak terlalu fluktuatif dengan trend meningkat. Hal ini disebabkan pola 58 perdagangan ekspor CPO Indonesia tidak terlalu sensitif terhadap perubahan pajak ekspor yang diakibatkan oleh perubahan harga CPO di pasar dunia Lampiran 3. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan permintaan konsumsi CPO sebagai bahan baku minyak goreng terus meningkat selama sebelas tahun belakangan ini. Terbukti dengan semakin banyaknya merk minyak goreng yang bermunculan pada periode 2005-2009, sebagai contoh SunCo, Sania, Tropical, Vico, Fortune, Minyakita, dan Kunci Mas. Daftar perusahaan yang mengolah CPO menjadi minyak goreng tercantum pada Lampiran 4. Selain itu industri pengolahan produk turunan kelapa sawit selain minyak goreng yang berorientasi ke pasar domestik maupun ekspor mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2005 tercatat ada 420 unit pabrik pengolahan yang tersebar di 20 propinsi yang ada di Indonesia. Selain itu isu biofuel atau bahan bakar nabati gencar dibicarakan pada dekade ini, sehingga permintaan CPO domestik selalu meningkat dari tahun ke tahun. Menurut pedoman Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit edisi dua Kementan, 2007, alokasi untuk CPO yang direncanakan pada tahun 2014 untuk biodiesel adalah sebesar 6,4 juta Ton. Hal ini tentunya harus dipikirkan secara matang karena produksi CPO juga harus mampu memenuhi konsumsi lain selain konsumsi untuk biodiesel.

5.1.3 Produksi CPO