BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Screening Bakteri Penghasil Mananase
Dalam penelitian ini digunakan sampel tempe dari beberapa daerah di pulau Jawa, yaitu: Bogor, Wonogiri, Surabaya, Malang, Kediri, dan Lamongan.
Dari proses screening diperoleh tujuh isolat bakteri yang memiliki aktivitas mananase berdasarkan zona bening yang dihasilkan di sekitar koloninya. Dari
ketujuh bakteri tersebut kemudian dimurnikan dan dipilih empat isolat yang diduga memiliki aktivitas mananase paling bagus ditandai dengan zona bening
yang jelas dan besar di sekeliling koloninya. Keempat isolat tersebut diberi kode A, D, E, dan N. Zona bening yang besar mengindikasikan konsentrasi enzim yang
dihasilkan oleh bakteri juga tinggi Farias et al. 2010. Namun, tidak dijelaskan mengenai kualitas enzim yang dihasilkan tersebut. Oleh karena itu, keempat isolat
tersebut diuji aktivitas enzim yang dihasilkannya terlebih dahulu sebelum dipilih isolat terbaik untuk dikarakterisasi lebih lanjut.
Tabel 3. Indeks mananolitik isolat A, D, E, dan N
Isolat Diameter
Koloni cm Diameter Zona
Bening cm Indeks
Mananolitik Asal
Tempe
A 0,25
0,55 1,20
Bogor D
0,15 0,75
4,00 Bogor
E 0,30
0,75 1,50
Bogor N
0,15 0,55
2,67 Wonogiri
Gambar 4. Kenampakan zona bening yang dihasilkan oleh isolat A, D, E, dan N ketika ditumbuhkan pada media agar mengandung LBG 0,3 24
jam, 37
o
C
4.2. Pengujian Pengaruh Suhu Terhadap Aktivitas Mananase
Keempat isolat tersebut kemudian ditumbuhkan pada media cair mengandung LBG 0,3 untuk diproduksi enzim mananasenya. Supernatan yang
diperoleh kemudian diuji aktivitas mananasenya menggunakan pereaksi dinitrosalisilat DNS. Pengujian pengaruh suhu dilakukan menggunakan dua
substrat yang berbeda, yaitu Palm kernel meal PKM dan Soybean meal SBM. Hal ini sekaligus bertujuan sebagai percobaan awal untuk melihat apakah enzim
mananase yang dihasilkan memiliki potensi untuk diaplikasikan pada substrat kompleks atau tidak. Suhu yang digunakan ada lima yaitu 37, 42, 50, 60, dan
65
o
C. Suhu 50, 60, dan 65
o
C mewakili pengujian untuk enzim golongan termofilik, sedangkan 37 dan 42
o
C dari golongan mesofilik. Pemilihan suhu 37 dan 42
o
C ini juga didasarkan pada proses fermentasi tempe dan suhu optimum pertumbuhan beberapa bakteri asam laktat, karena mungkin saja suhu optimum
enzim tidak berbeda jauh dengan suhu optimum pertumbuhannya. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa isolat E memiliki aktivitas
unit yang paling tinggi 0,35 Uml Lampiran 2 dibandingkan isolat yang lain, sedangkan untuk aktivitas spesifik yang paling tinggi dimiliki oleh isolat N 0,41
Umg protein. Oleh karena itu, isolat N dipilih untuk dikarakterisasi lebih lanjut. Isolat N memiliki aktivitas unit dan spesifik tertinggi pada suhu 60
o
C dengan substrat PKM.
Isolat N yang ditumbuhkan pada media agar mengandung LBG 0,3 menghasilkan zona bening di sekitar koloninya dengan indeks mananolitik hanya
2,67. Nilai ini lebih rendah bila dibandingkan dengan isolat D yang memiliki indeks mananolitik sebesar 4,00. Namun, isolat D tidak dikarakterisasi lebih lanjut
dengan pertimbangan aktivitas unit maupun spesifiknya tidak setinggi isolat yang lain. Zona bening ini diperjelas dengan melakukan pewarnaan menggunakan
congo red 0,1.