Dimensi Kurikulum Hidden Curriculum

Adapun beberapa definisi kurikulum menurut para ahli adalah sebagai berikut: 2.1.1.1 Nasution 2014 : 5 mengutip pendapat B. Othanel Smith, W.O. Stanley dan J. Harlan Shores yang memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experiences set up in the school for the purpose of disciplining children and youth in group ways of thinking and acting ”, mengartikan bahwa mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berpikir sesuai dengan masyarakatnya. 2.1.1.2 Menurut Hilda Taba dalam Nasution, 2014 : 7 bahwa hakikatnya kurikulum merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota yang produktif dalam masyarakatnya. 2.1.1.3 DR. Nana Sudjana menuliskan dalam bukunya “Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah” 1989 : 13 bahwa isi pendidikan kurikulum adalah kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang. Baik kebudayaan universal seperti bahasa, sistem pengetahuan, agamasistem religi, dan sistem pengetahuan serta teknologi, adalah unsur-unsur utama isi kurikulum secara universal. Sedangkan unsur kebudayaan khusus masuk sebagai isi kurikulum dalam bentuk kurikulum muatan lokal.

2.1.2 Dimensi Kurikulum

Menurut Hidayat 2011, terdapat dua dimensi dalam kurikulum. Pertama, kurikulum sebagai alat means untuk mendapatkan hasil end pembelajaran yang berkualitas. Dimensi ini menunjukan bahwa kurikulum disusun sebagai alat media yang terdiri atas rancangan, sistematik, panduan pembelajaran yang di praktikkan di sekolah. Sebagai alat, kurikulum berupaya mendapatkan hasil yang terbaik dalam proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu tidak bisa dipisahkan antara “means” dan “end”. “Means” atau alat ini dibangun atas serangkaian pengetahuan, nilai, emosi, keterampilan yang disampaikan kepada murid dalam bahasa la in digunakan juga istilah “learner”. Pengetahuan sendiri merupakan akumulasi dari kebudayaan, kognitif, dan dimensi afektif. “end” sendiri bisa juga dipahami sebagai “outcomes” pembelajaran di sekolah. Kedua, kurikulum sebagai refleksieksistensi personal melalui pengalaman murid. Dimensi menjelaskan adanya keterkaitan antara kurikulum yang perannya sudah semakin diakui sekolah dengan semakin dinamisnya interaksi murid dalam seluruh intruksi melalui kurikulum tersebut. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa kurikulum sudah menjadi sebuah metodologi pembelajaran sejak munculnya masalah interaksi murid dalam berbagai pelaksanaan tujuan utama kurikulum tersebut. Karena menjadi sebuah metodologi pembelajaran, kurikulum dapat mengatur dan mengendalikan interaksi murid yang sering kali bermasalah. Misalnya persoalan kesenjangan etnis, ekonomi dalam kehidupan sehari-hari disekolah. Dengan kurikulum bisa diatur dan di standarisasi seluruh perbedaan yang ada di sekolah. Interaksi inilah yang kemudian melahirkan serangkaian pengalaman dilingkunagn murid-murid dalam lingkungan praktek kurikulum di sekolah.

2.1.3 Hidden Curriculum

Nurhayati 2010 : 7 mengartikan kurikulum tersembunyi the hidden curriculum sebagai kurikulum yang tidak direncanakan. Selaras dengan pendapat tersebut, Nasution Nurhayati, 2010 : 7 menyatakan bahwa kurikulum sebenarnya mencakup pengalaman yang direncanakan tetapi juga yang tidak direncanakan, yang disebut kurikulum tersembunyi. Peserta didik mempunyai aturan-aturan tersendiri sebagai reaksi terhadap kurikulum yang formal seperti mencontek, sikap terhadap guru, menjadi juara kelas, mencari strategi belajar yang efektif dan banyak lagi hal lainnya. Hal ini menunjukan bahwa hidden curriculum tidak direncanakan oleh sekolah dalam programnya dan tidak tertulis atau dibicarakan oleh guru, sehingga kurikulum ini merupakan upaya murni anak didik atas potensi dan kreatifitasnya yang tentunya bisa berkonotasi negatif maupun positif. Dalam arti positif, berarti hidden curriculum memberi manfaat bagi individu anak didik, guru, dan sekolah. Misalnya, anak didik memiliki cara sendiri untuk menjadi juara kelas, melalui cara belajar yang dimilikinya. Sebaliknya bisa berkonotasi negatif, artinya keberadaan hasil dari kurikulum ini tidak menguntungkan bagi anak didik, guru, maupun sekolah. Sementara Hidayat 2011 : 80-81 menyimpulkan, bahwa hidden curriculum merupakan pada transmisi norma, nilai, dan kepercayaan yang disampaikan baik dalam isi pendidikan formal dan interaksi sosial di dalam sekolah. Bahwa sekolah tidak sekadar menjelaskan pengetahuan maupun gagasan, tetapi juga melakukan lebih dari sekadar menyebarkan pengetahuan maupun gagasan, seperti tercantum dalam kurikulum formal. Sumber hidden curriculum bisa mencakup praktik, prosedur, aturan, hubungan, dan strutur, struktur sosial dari ruang kelas, latihan otoritas guru, aturan yang mengatur guru dan siswa, aktivitas belajar standar, penggunaan bahasa, buku teks, alat bantu audio-visual, berbagai perkakas, arsitektur, ukuran disiplin, daftar pelajaran, sistem pelacakan, dan prioritas kurikulum. Kurikulum formal dan hidden curriculum saling melengkapi serta tidak dapat dipisahkan dalam praktenya di sekolah. Hidden curriculum mengkaji berbagai penjelasan maupun materi yang tidak disampaikan dalam kurikulum formal, tetapi ditanamkan melalui serangkaian aktivitas yang berlangsung disekolah. Lebih lanjut, Rakhmat Hidayat menegaskan adanya dua aspek dalam kajian hidden curriculum yaitu aspek struktural organisasi dan aspek budaya. Aspek struktural menjelaskan tentang pembagian kelas, berbagai kegiatan sekolah diluar kegiatan belajar seperti ektrakurikuler, dan berbagai fasilitas, mencakup fasilitas yang ada di sekolah yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran. Kemudian aspek kultural atau budaya, aspek ini mencakup norma sekolah, etos kerja keras, peran dan tanggung jawab, relasi sosial antar pribadi dan antar kelompok, konflik antar pelajar, ritual dan perayaan ibadah, toleransi, kerjasama, kompetisi, ekspektasi guru terhadap muridnya serta disiplin waktu.

2.1.4 Konsep Pengembangan Kurikulum