untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa.
Sementara dalam kasus ini, peneliti mencoba mengamati adanya legitimasi budaya pada pengembangan kurikulum penididikan agama Islam,
dalam hal ini adalah budaya keagamaan masyarakat setempat.
2.5.2 Klasifikasi Simbolik Budaya Keagamaan Masyarakat Nyatnyono
Salah satu kebudayaan yang masih hidup dalam masyarakat dan dihayati secara turun temurun oleh masyarakat pendukungnya adalah
budaya keagamaan. Setara dengan sistem budaya dari agama yang di anut orang Jawa, terdapat berbagai keyakinan, konsep, pandangan dan nilai,
seperti yakin akan adanya Allah, yakin bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yakin akan adanya nabi-nabi lain, yakin akan adanya tokoh-tokoh
Islam yang keramat, yakin akan adanya kosmogoni tertentu tentang penciptaan alam, dan yakin akan adanya kekuatan-kekuatan gaib dalam
alam semesta ini. Berbagai keyakinan, konsep, dan pandangan tersebut saling terjalin dalam pikiran dan membentuk gagasan-gagasan kolektif yang
terintegrasi dan yang masing-masing memiliki arti khusus menurut saat, tempat, atau keadaan, dalam kehidupan keagamaan nyata masyarakat Jawa.
Berkenaan dengan orang Jawa, dipahami bahwa dalam struktur masyarakat Jawa, dikenal dua kelompok masyarakat Jawa yang oleh
Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa 1994 : 379 disebut sebagai masyarakat petani atau juga dikenal dengan sebutan wong cilik dan
kelompok lainnya adalah priyayi.
Lebih lanjut Muhammad Idrus dalam artikelnya Makna Agama dan Budaya Bagi Masyarakat Jawa menegaskan bahwa, masyarakat Jawa,
memandang penting pada kehidupan beragama, sehingga anak- anak dalam keluarga Jawa sejak dini telah dikenalkan dengan ritual ibadah yang
dilakukan oleh orangtua mereka. Terkait dengan tradisi keagamaan, masyarakat Jawa juga mengenalkan anak-anak mereka dengan aktivitas
rutin keagamaan. Nilai-nilai tersebut kemudian oleh anak akan dijadikan sebagai pegangan untuk berinteraksi dengan orang-orang di dalam atau pun
di luar lingkungan keluarganya, dan bahkan tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan bagi seorang individu untuk masa
kehidupan berikutnya. Keterikatan antara individu-masyarakat Jawa terhadap agama
tampak dalam ungkapan Mulder Idrus, 2007 bahwa manusia Jawa tunduk kepada masyarakat, sebaliknya masyarakat tunduk kepada kekuatan-
kekuatan yang lebih tinggi dan halus, yang memuncak ke Tuhan. Begitu juga hasil penelitian Geertz Idrus, 2007 yang
mengisyaratkan betapa masyarakat Jawa adalah manusia yang religius, meski Geertz menyebutnya dengan terminologi berbeda, santri-abangan-
priyayi. Geertz melihat agama sebagai fakta kultural sebagaimana adanya dalam kebudayaan Jawa, bukan hanya sekadar ekspresi kebutuhan sosail
atau ekonomis. Merujuk pada pendapat tersebut, tampaknya bagi masyarakat
Jawa, pengaruh budaya pada agama dan kehidupan bermasyarakat di Jawa
maupun sebaliknya, begitu kuat. Kenyataan ini setidaknya dimunculkan dengan adanya “kejawen” sebagai model sinkritisme agama dan budaya.
Dari sinilah kemudian muncul ajaran-ajaran tentang hidup. Mulder Idrus, 2007 mengungkap bahwa Javanisme kejawen menekankan ketentraman
batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat
dan masyarakat di bawah semesta alam. Bagi masyarakat muslim Jawa kejawen, ritualitas sebagai wujud
pengabdian dan ketulusan penyembuhan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan
makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi dari pengkhayatan dan pemahaman akan “realitas yang tak terjangkau” sehingga
mampu lebih mendalam merasakan kebesaran Allah. Kebiasaan yang membudaya dalam simbolisme keagamaan, orang jawa mengenal upacara
menghormati orang yang sudah meninggal, sehingga dikenal nyadran, ziarah, sedekah mitung dino dan seterusnya.
Koentjaraningrat 1994 membagi Islam Jawa menjadi dua, yaitu Islam Jawa yang bersifat Sinkretik dan Islam Jawa Puritan santri. Yang
pertama bersikap sinkretik yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu dan Islam. Sedang yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama
Islam dan bersikap puritan. Budaya keagamaan masyarakat Desa Nyatnyono didominasi
ajaran-ajaran santri. Hal ini selaras dengan pengamatan dan wawancara
awal peneliti dengan tokoh masyarakat setempat pada hari Kamis, tanggal 4 Februari 2016 menghasilkan beberapa pernyataan, antara lain bahwa
budaya keagamaan di Nyatnyono sarat dengan budaya keagamaan santri. Adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang sering dilakukan dalam
berbagai perkumpulan seperti kelompok-kelompok karang taruna, kelompok organisasi PKK desa dan kelompok-kelompok pengajian.
Sedangkan dampak budaya terlihat dari adanya tradisi ziarah dan upacara-upacara ritual keagaamaan yang memberikan corak dan nilai
terhadap budaya masyarakat Desa Nyatnyono, yaitu religi yang dalam hal ini merupakan kepercayaan atau keyakinan yang bersifat turun-temurun dari
nenek moyang yang masih menimbulkan sinkretisme yaitu perpaduan antara budaya lama pra-Islam dengan budaya Islam. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan adanya upacara ritual keagamaan yang memadukan antara budaya lama pra-Islam di mana adanya cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat
pra-Islam seperti menabur bunga dan sebagainya dengan budaya Islam yang dalam pelaksanaanya menggunakan doa-doa ayat suci Al-
Qur’an.
2.6. Tipologi Hubungan Budaya dan Agama