Bentuk Legitimasi Budaya dalam Pengembangan Kurikulum

sifat bijaksana dan secara damai memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat dengan mendirikan Pesantren Saat ini kegiatan perekonomian warga seperti terutama berdagang masih menjadi pilihan utama warga untuk menggantungkan hidup mengingat kultur demografis lingkungan Desa Nyatnyono yang terpusat di kawasan makam Sunan Munadi sebagai objek wisata religi untuk daerah Semarang dan sekitarnya. Umumnya warga menghabiskan waktu pagi sampai sore hari di area wisata. Kegiatan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh hari-hari besar keagamaan. Selain berdagang dan bertani, mata pencaharian yang saat ini mendominasi adalah buruh pabrik, baik buruh harian maupun buruh tetap atau karyawan. Profesi ini menuntut pekerjanya menyita waktu dijam-jam khusus, biasanya dari pagi hingga menjelang sore hari. Kondisi ini juga turut mewarnai kebiasaan dan keseharian masyarakat setempat.

4.3.1 Bentuk Legitimasi Budaya dalam Pengembangan Kurikulum

Pendidikan Agama Islam di MTs Ma’arif Budaya yang masih berlangsung di masyarakat desa Nyatnyono sampai saat ini banyak dipengaruhi oleh legitimasi atau dorongan dari tokoh masyarakat dan warga pada umumnya selain memang keyakinan yang sama untuk meyakini ajaran tersebut menjadi poin utama. Legitimasi dapat dipengaruhi oleh pemimpin suatu wilayah atau kelompok, tokoh masyarakat dan sebagainya. Menurut UU Nomor 8 Tahun 1987 pasal 1 ayat 6 Tentang Protokol bahwa tokoh masyarakat adalah seseorang yang karena kedudukan sosialnya menerima kehormatan dari masyarakat danatau pemerintah. Berkenaan dengan budaya yang berlangsung di masyarakat ini merupakan budaya keagamaan yang bersifat dinamis. Dipahami bahwa dalam struktur masyarakatnya Nyatnyono dikenal dengan Islam sebagai keyakinan yang ajarannya mengarah pada budaya Jawa dan pesantren. Effat al-Syarqawi 1984 mendefinisikan budaya berdasarkan dari sudut pandang Agama Islam, Ia menjelaskan bahwa budaya adalah khazanah sejarah sekelompok masyarakat yang tercermin didalam kesaksian dan berbagai nilai yang menggariskan bahwa suatu kehidupan harus mempunyai makna dan tujuan rohaniah. Dapat dipahami bahwa masyarakat yang masih memiliki pandangan untuk tetap menggiatkan kegiatan atau kebiasaan saat ini adalah mereka yang tetap mempertahankan warisan sistem budaya yang telah terinternalisasi dalam individu di masyarakat. Budaya Islam Jawa- santri, peneliti menyebutnya, masih berlangsung hingga kini tentu tidak berjalan begitu saja. Ada pengaruh atau dorongan tertentu selain dari keyakinan masyarakat itu sendiri, hal inilah yang dimaksud dengan legitimasi. Mengutip ulasan Irawan dalam Faktor-faktor yang menjadi Basis Legitimasi dalam Pelayanan, Legitimasi yang berdasarkan budaya- kognisi adalah kesesuaian dengan kepercayaan budaya secara luas dipegang dan praktek yang taken-for-granted diambil begitu saja Scott, 2001 Rofik dalam tulisannya berjudul Budaya Lokal dalam Pendidikan Agama Islam sebagai Kurikulum Muatan Lokal menegaskan bahwa legitimasi budaya juga berpengaruh hingga ranah pendidikan baik pendidikan non formal maupun pendidikan formal di sekolah. Termasuk didalamnya pendidikan agama Islam. Secara kategoris, Pendidikan Agama Islam dapat dilihat dalam 2 dua perspektif, yaitu pertama, sebagai proses pendidikan agama atau sebagai mata pelajaran di lembaga pendidikan, kedua, menunjuk sistem kelembagaan. Pendidikan Agama Islam dalam penelitian ini merujuk pada pengertian pertama, yaitu sebagai mata pelajaran yang proses pembelajarannya dilakukan dalam lembaga pendidikan. Sehingga pemanfaatan budaya lokal dalam pendidikan Agama dimaksudkan sebagai pemanfaatan budaya lokal dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah. Dalam implementasinya, pemanfaatan budaya lokal dalam Pendidikan Agama Islam ini dapat dilihat pengembangan kurikulumnya. Setiap kurikulum memiliki struktur kurikulum yang didalamnya tercantum sejumlah mata pelajaran. Dalam Struktur dan muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam Standar Isi, kurikulum pendidikan meliputi lima kelompok mata pelajaran, yaitu : 1 Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, 2 Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, 3 Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, 4 Kelompok mata pelajaran estetika, dan 5 Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia di Madrasah Tsanawiyah dapat dilihat dalam struktur kurikulum SMPMTs meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun, yakni kelas VII, VIII, dan IX. Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan suatu ketentuan. Disamping itu pendekatan kontekstual dengan kondisi setempat akan memudahkan siswa sekaligus menjadi sarana penyebarluasan ajaran dan budaya keagamaan yang dianggap baik oleh pendidik untuk diajarkan kepada siswa. Hal ini terlihat dari adanya kecenderungan untuk menyesuaikan pembelajaran agama yang dilaksanakan oleh tokoh agama dengan pembelajaran agama yang dilaksanakan oleh sekolah.

4.3.2 Implementasi pengembangan kurikulum pendidikan agama di MTs