Tipologi Hubungan Budaya dan Agama

awal peneliti dengan tokoh masyarakat setempat pada hari Kamis, tanggal 4 Februari 2016 menghasilkan beberapa pernyataan, antara lain bahwa budaya keagamaan di Nyatnyono sarat dengan budaya keagamaan santri. Adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang sering dilakukan dalam berbagai perkumpulan seperti kelompok-kelompok karang taruna, kelompok organisasi PKK desa dan kelompok-kelompok pengajian. Sedangkan dampak budaya terlihat dari adanya tradisi ziarah dan upacara-upacara ritual keagaamaan yang memberikan corak dan nilai terhadap budaya masyarakat Desa Nyatnyono, yaitu religi yang dalam hal ini merupakan kepercayaan atau keyakinan yang bersifat turun-temurun dari nenek moyang yang masih menimbulkan sinkretisme yaitu perpaduan antara budaya lama pra-Islam dengan budaya Islam. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya upacara ritual keagamaan yang memadukan antara budaya lama pra-Islam di mana adanya cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat pra-Islam seperti menabur bunga dan sebagainya dengan budaya Islam yang dalam pelaksanaanya menggunakan doa-doa ayat suci Al- Qur’an.

2.6. Tipologi Hubungan Budaya dan Agama

Pals 2012 : 328 menerangkan, seand ainya kita ingin “menjelaskannya” dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan eksakta dalam memahami alam, kita tidak akan mendapat apa-apa. Suka atau tidak, manusia pada kenyataannya memang berbeda dengan atom-atom atau serangga. Manusia hidup dalam suatu sistem makna yang sungguh kompleks, yang dinamakan para antropolog dengan “kebudayaan”. Kalau kita ingin memahami aktivitas kebudayaan, dan salah satu elemen terpenting di dalamnya adalah agama. Sementara Surjo Budiyanto, 2008 : 652 menyatakan bahwa hubungan dialektika agama dan budaya lokal dapat dilihat paling tidak dari beberapa varian, yaitu, I pribumisasi, 2 negosiasi, dan 3 Konflik. Pertama, pribumisasi. Pribumisasi dalam hal ini diartikan sebagai penyesuaian Islam dengan tradisi lokal dimana ia disebarkan Abdullah dalam Budiyanto, dkk., 2008 : 653. Selanjutnya menurut Wahid dalam jurnal ilmiah yang sama menerangkan antara agama Islam dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memiliki wilayah tumpang tindih. Tumpang tindih agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan. Dari situlah sebenarnya gagasan tentang pribumisasi Islam menjadi sangat urgen. Hal demikian karena dalam pribumisasi Islam tergambar sebagai ajaran normatif yang berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Bagi Abdurrahman Wahid, Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Lebih dari itu, Arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya menghindarkan tirnbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Karena itu, inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindarkan polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan Wahid dalam Budiyanto, dkk., 2008 : 653. Pribumisasi Islam dengan demikian menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk yang outentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya. Dengan demikian tidak ada lagi pertentangan agama dan budaya. Dalam prakteknya, konsep pribumisasi Islam ini dalam semua bentuknya dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi keanekaragaman interpretasi dalam praktek kehidupan beragama di setiap wilayah yang berbeda-beda. Lebih dari itu pribumisasi Islam juga bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukun agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan upaya meninggalkan normademi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh berbagai pemahaman. Sedang sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistern kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan ghaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam yang lalu membentuk panteisme Wahid, dalam Budiyanto, dkk., 2008 : 653. Kedua, negosiasi. Ketika agama Islam, dengan segenap perangkat doktrin yang dipunyai, berdialektika dengan berbagai budaya yang ada dalam sebuah masyarakat, maka disana ada kebutuhan untuk saling sama-sama mengubah tradisi yang dimiliki Surjo dalam Budiyanto, dkk., 2008 : 654. Pada wilayah itulah sebetulnya berlangsung sebuah proses negosiasi yang kadangkala, pada batas-batas tertentu, berujung pada perubahan bentuk masing-masing tradisi. Ketiga, Konflik. Pola terakhir dalam dialektika hubungan agama dan budaya lokal adalah mengambil bentuk konflik. Pola ini mengandaikan adanya sikap yang saling bertahan antara agama dan budaya dalam pergumulan antara keduanya. Hal ini akan terwujud dari pola yang relatif menyimpang yang dilakukan satu diantara keduanya Surjo dalam Budiyanto, dkk., 2008 : 654. Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis. Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang lebih besar bisa secara pelan- pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal” yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik, tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan seiring dengan perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan hilang dengan sendirinya. Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang tidak bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak tempat. Setiyawan, 2012 : 211. 40

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Moleong, 2007 : 6. Penelitian ini memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, digunakannya teknik wawancara untuk pengumpulan data, serta membuat prediksi dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus, mencoba mendeskripsikan latar belakang dan implementasi pendidikan agama di MTs Ma’arif untuk menemukan gambaran legitimasi budaya dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama di sekolah tersebut. Seperti halnya pada tujuan penelitian lain pada umumnya, pada dasarnya peneliti yang menggunakan metode penelitian studi kasus bertujuan untuk memahami objek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami objek yang ditelitinya secara khusus sebagai suatu “kasus”. Berkaitan dengan hal tersebut Yin Salim 2006 menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak sekadar untuk menjelaskan seperti