Legitimasi budaya lokal dalam pengembangan kurikulum pendidikan

termasuk kepala sekolah, guru, siswa, bahkan warga semua mendukung mengg iatkan kegiatan pembelajaran keagamaan di MTs Ma’arif. Setelah pembelajaran berlangsung diharapkan siswa memiliki kompetensi dari implementasi kurikulum pendidikan agama, minimal mampu membaur dan mengikuti dalam kegiatan masyarakat. Sementara evaluasi tahunan untuk mengetahui keberhasilan pendidikan rutin dilakukan oleh pengurus sekolah di akhir tahun pembelajaran sekaligus menjadi musyawarah perencanaan program kegiatan dan pembelajaran di MTs setahun mendatang. Dalam konteks hasil, masyarakat menilai positif kegiatan pembelajaran. ini dapat terlihat dengan adanya antusias warga menyekolahkan anak-anak mereka perlibatan dalam kegiatan di sekolah tersebut.

4.3.3 Legitimasi budaya lokal dalam pengembangan kurikulum pendidikan

agama dilembagakan melalui praktek pembelajaran di MTs Ma’arif Karakteristik utama PAI adalah banyaknya muatan komponen being, di samping komponen knowing dan doing. Maka, lumrah adanya tuntutan perlakuan pendidikan yang banyak berbeda dari pendidikan bidang studi umum, yakni mengarahkan pada usaha pendidikan agar murid melaksanakan apa yang didapatnya dalam pendidikan agama di madrasah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memberi ruang lebih untuk mengintegrasikan teori dan konsep mata pelajaran dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat. Kebiasaan masyarakat Nyatnyono memiliki kekuatan sebagai khazanah budaya yang patut dilestarikan. Legitimasi atas eksistensi budaya ini berpengaruh pada pengembangan kurikulum pembelajaran di madrasah. Pengalamana nyata yang terjadi dalam lingkungan sekitar siswa akan memberikan efek, seperti kegiatan pembelajaran lebih menarik sehingga merangsang tumbuhnya motivasi belajar. Sejalan dengan Rofik dalam tulisannya Budaya Lokal Dalam Pendidikan Agama Islam Sebagai Kurikulum Muatan Lokal, disatu sisi pembelajaran dapat memanfaatkan lingkungan sebagai upaya memberikan pengalaman nyata bagi siswa dan disisi lain dapat mengintegrasikan pengetahuan yang diperoleh. Dengan atau tanpa adanya aturan tertulis, nilai-nilai sosial dan kegamaan dalam masyarakat terintegrasi dalam pembelajaran melalui mata pelajaran dan ektrakurikuler. Sependapat dengan Andersen dan Cusher 1994 : 320, bahwa keragamaan kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari dan berstatus sebagai objek studi. Dengan kata lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para pengembang kurikulum. Posisi kurikulum sebagai konsekuensi logis akan tuntutan sejarah masa lampau maupun tuntutan budaya yang berlangsung saat ini, secara tidak langsung memaksa pemerhati pendidikan di Nyatnyono untuk mengintegrasikan budaya dalam implementasi pembelajaran di madrasah. Semangat gotong royong, tolong menolong, sowan atau dalam arti lain adalah silaturrahim kepada yang lebih berusia, nyuwun pangestu, dan lain-lain diintegrasikan dalam mata pelajaran Akidah akhlak. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan budi pekerti yang luhur, dengan adanya akhlaqul karimah hubungan manusia satu dengan lainnya akan terjalin dengan baik, yang mana hal ini juga menjadi tujuan pembelajaran pendidikan agama. Kemudian pengintegrasian budaya masyarakat Nyatnyono seperti nyadran, iriban, dan selikuran, dijadikan sebagai media menggali nilai-nilai luhur yang dapat ditransformasikan kepada peserta didik. Sebagai contoh, terintegrasinya budaya lokal selikuran atau mauludan dalam mata pelajaran sejarah kebudayaan Islam. Sebagai budaya lokal dintegrasikan dalam materi pelajaran kelahiran Nabi Muhammad. Kurikulum pendidikan agama mampu membentuk perilaku maupun pola pikir peserta didik. Selaras dengan pendapat Ahmad D. Marimba Hamdani, 1998 : 15, bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. Penanaman nilai-nilai yang terkait dengan perilaku kehidupan sehari-hari yang disampaikan melalui praktik pembelajaran nyatanya lebih mudah dipahami oleh siswa seperti membiasakan siswa membaca A lqur’an, mendoakan dan membaca tahlil bagi yang sudah meninggal dan sebagainya. Pengembangan kurikulum tidak saja mencakup kurikulum intra intrakurikuler seperti yang telah tertulis diatas, melainkan juga kurikulum ekstra sekolah ekstrakurikuler. Ektrakurikuler berupa kegiatan tambahan atau kegiatan pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri di MTs Ma’arif antara lain; Pramuka, Baca Tulis Alqur’an, Kaligrafi, Seni Rebana, Aplikasi Olahraga, PMR Palang Merah Remaja, dan Komputer.

4.3.4 Pentingnya pengembangan kurikulum pendidikan agama di MTs