1. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer
Dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang
menunjukkan bahwa manajer mempertimbangkan saran dari stafnya yang bertujuan untuk perbaikan keselamatan pasien, menghargai stafnya ketika
mereka mengikuti prosedur keselamatan pasien dan tidak mengabaikan masalah keselamatan pasien Robb dan Seddon, 2010. Dalam dimensi ini
yang dimaksud sebagai manajer adalah atasan langsung dari tenaga kesehatan baik secara fungsional maupun struktural di unit tempatnya bertugas.
Berdasarkan hasil penelitian, respon positif dari dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer di Rumah Sakit X adalah sebesar 76
sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 65. Dimensi ini terdiri dari 4 pertanyaan yang diwakili pada item B1, B2, B3 dan B4 dalam kuesioner
penelitian ini. Respon positif dimensi ini di Rumah Sakit X cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit Y. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya sistem
yang lebih komprehensif yang berlaku di Rumah Sakit X. Sistem komprehensif di Rumah Sakit X yang dimaksudkan disini
adalah karena memiliki safety officer pada tiap unit yang merupakan representatif dari unit masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya proses
integrasi yang baik antara unit yang menangani keselamatan rumah sakit dengan seluruh unit di rumah sakit. Sedangkan di Rumah Sakit Y, unit yang
bertanggungjawab terhadap masalah keselamatan pasien dipisahkan dengan K3 rumah sakit. Sehingga koordinasi terkait keselamatan pasien dan
komitmen yang tercipta pada manajer di Rumah Sakit Y tidak sebaik di Rumah Sakit X Jakarta Timur.
Keselamatan dan kepemimpinan sendiri berkorelasi sangat erat. Seperti yang dinyatakan oleh Katz-Navon 2005 dalam WHO 2009 bahwa
ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.
Sherriff dan Rose 2011 lebih lanjut manyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh setiap organisasi bergantung pada kepemimpinan di organisasi tersebut.
Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi tindakan promotif keselamatan oleh manajer berkorelasi dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Temuan ini selaras dengan hasil penelitian pada tenaga kesehatan yang dilakukan oleh
Erler dkk. 2013 di Midwestern Amerika Serikat dan El-Jardali dkk. 2011 di Libanon yang menyatakan bahwa ada korelasi signifikan antara dimensi
tindakan promotif keselamatan oleh manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis.
Hal tersebut juga selaras dengan hasil penelitian Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen 2014 yang dilakukan dengan responden perawat di 3
kota berbeda di negara bagian Østfold, Norwegia. Mereka menemukan bahwa penyebab perawat cenderung tidak melaporkan kesalahan medis adalah
karena atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan pasien. Atasan yang tidak suportif terhadap keselamatan cenderung menyuruh informan untuk
berhati-hati dan selektif dalam melaporkan tiap kesalahan medis yang terjadi.
McFadden dkk. 2009 juga menyatakan bahwa ada korelasi antara kepemimpinan dan budaya keselamatan dengan keselamatan pasien pada 371
rumah sakit di Amerika Serikat. Ballangrud dkk. 2012 juga menemukan korelasi signifikan antara dimensi tindakan promotif keselamatan oleh
manajer dengan persepsi pelaporan kesalahan medis pada perawat unit ICU pada studi cross sectional yang dilakukan di 10 ICU dalam 6 rumah sakit di
Norwegia. Pelaporan kesalahan medis Umumnya ahli Keselamatan Kerja di seluruh dunia menyatakan
bahwa pengembangan budaya keselamatan dimulai dari manajemen puncak dan tim manajemen dalam organisasi. Dengan demikian safety leadership
sangat berperan sebagai kunci keberhasilan dalam membangun budaya keselamatan yang kuat pada industry beresiko tinggi Astuti, 2010. Heni
2011 menyatakan bahwa komitmen manajer terhadap keselamatan menentukan pembangunan budaya keselamatan bagi tiap bawahannya. Dan
komitmen pemimpin harus ditunjukkan dalam perkataan dan tindakan. Pemimpin memiliki pengaruh dalam mengubah mindset tenaga kesehatan
baik cara pikir, sikap dan perilaku mereka dalam membangun budaya keselamatan baik demi petugas ataupun pasien. Faktor keteladanan dalam
safety leadership sangat diutamakan dalam membangun budaya keselamatan suatu organisasi. Manajer atau pemimpin dalam organisasi dapat memberi
contoh nilai-nilai keselamatan yang ditunjukkan dalam perilaku dan tindakan serta etika kerja untuk meningkatkan keselamatan.
Astuti 2010 menegaskan kembali hal tersebut dengan menyatakan bahwa tim manajemen dalam organisasi mempunyai kepemimpinan
keselamatan yang efektif dan mendemonstrasikan karakter khusus, berkorelasi dengan perilaku yang spesifik, dan cenderung menciptakan
budaya organisasi yang tepat. Jika atasan melihat suatu pekerjaan dilakukan tidak benar, maka manajemen harus segera turun mengoreksi kondisi tersebut
untuk melihatkan komitmen yang tinggi dan meyakinkan pada pekerja bahwa tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan prosedur. Keselamatan harus
dipenuhi sepenuhnya dan tidak boleh kurang agar suatu kecelakaan bisa dihindari.
Kita sering melihat kebijakan atau ucapan pimpinan bahwa keselamatan adalah prioritas utama, kenyataan di lapangan kebijakan dan
ucapan pimpinan ini belum dilaksanakan. Pimpinan atau manajer perlu mewujudkan prioritas pertama dalam keselamatan dengan cara:
a. Para manajer perlu memeriksa potensi permasalahan aspek keselamatan, dengan menggunakan matrik resiko.
b. Menjadikan aspek keselamatan dibahas pertama dalam agenda pertemuan dan jadikan keselamatan menjadi bagian dari bisnis.
c. Bila aspek keselamatan tidak dimasukkan dalam budget, maka penyebabnya harus disampaikan secara terus terang
d. Bila ada konflik prioritas produktivitas dengan keselamatan maka dulukanlah
aspek keselamatan,
pujilah pekerja
yang telah
melaksanakan aspek keselamatan dengan baik di depan koleganya.
Manajer sering mendelegasikan tanggungjawab ke bawahannya. sering menyalahkan korban dan bukan mengidentifikasi kegagalan sistem dan
akar permasalahan, tidak menanyakan isu-isu keselamatan, dan tidak senang mendengarkan informasi buruk tentang penerapan keselamatan dan
menyalahkan si pembawa berita. Beberapa hal yang bisa ditingkatkan oleh manajer untuk meningkatkan motivasinya adalah :
a. Kunjungi lapangan secara perorangan dan minta pekerja membantu menunjukkan kondisi dan perilaku tidak aman.
b. Sampaikan apa yg dilakukan sebagai manajer untuk aspek keselamatan dan mengapa hal ini dilakukan.
Pada akhirnya kemajuan dan penerapan safety leadership di setiap rumah sakit sangat tergantung dari komitmen pihak top management dalam
menumbuhkembangkan budaya keselamatan di organisasinya masing- masing.
2. Organizational learning – perbaikan berkelanjutan