Selain faktor pendukung, terdapat juga beberapa penghambat dari pelaporan kesalahan medis diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Standar operasional prosedur pelaporan kesalahan medis yang menyulitkan Wolf dan Hughes, 2005.
b. Kurangnya feedback dan dukungan organisasi terhadap pelaporan insiden Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; White dan
Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013. c. Budaya yang menyalahkan apabila kesalahan medis tersebut terungkap
Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Waters dkk., 2012; Espin dkk., 2007.
d. Waktu yang dibutuhkan untuk melapor Winsvold Prang dan Jelsness- Jørgensen, 2014; White dan Gallagher, 2013; Lederman dkk., 2013;
Sinicki dkk., 2012. e. Derajat keparahan cidera akibat kesalahan medis yang terjadi
Winsvold Prang dan Jelsness-Jørgensen, 2014; Williams dkk., 2013; White dan Gallagher, 2013; Wolf dan Hughes, 2005.
B. Konsep Pembentukan Persepsi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan penerimaan atas sesuatu Setiawan, 2014. Persepsi didefinisikan lebih aplikatif
lagi sebagai
kemampuan untuk
membeda-bedakan, mengelompokkan,
memfokuskan dan selanjutnya diinterpretasikan Sarwono, 2010. Persepsi berlangsung saat tenaga kesehatan menerima stimulus dari dunia
luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam
otak. Didalamnya terjadi proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman. Pemahaman inilah yang disebut sebagai persepsi. Sarwono,
2010 Sebelum terjadi persepsi pada tenaga kesehatan, diperlukan stimuli yang
merangsang individu dan stimuli tersebut haruslah ditangkap melalui organ-organ tubuh individu yang diantaranya adalah panca indra. Selanjutnya sensasi dari
stimulan dibawa ke dalam sistem syaraf dan dilakukan penambahan informasi kepada stimulus yang diterima yang didapat sebagai interpretasi hingga kemudian
menjadi persepsi. Organisasi dalam persepsi mengikuti beberapa prinsip diantaranya wujud dan latar figure and ground atau emergence, pola
pengelompokan serta ketetapan Sarwono, 2010.
C. Konsep Keselamatan di Rumah Sakit
Konsep keselamatan yang berlaku pada rumah sakit tidak berbeda dengan yang berlaku pada dunia industri lainnya dimana keselamatan dipandang dengan
pola pendekatan sistem dan bukan individu. Karena pada dasarnya keselamatan tenaga kerja berhubungan erat dengan keselamatan pasien Occupational Safey
and Health Administration, 2014. Lingkungan yang aman bagi pasien juga akan menjadi lingkungan yang lebih
aman bagi pekerja dan sebaliknya karena keduanya terikat dalam banyak aspek kebudayaan yang sama serta isu sistemik yang terjadi didalam lingkungan rumah
sakit. Salah satu contohnya adalah bahaya yang ada dalam ruang lingkup rumah sakit yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengendalian infeksi, kelelahan
ataupun kesalahan teknis dapat menimbulkan cidera atau penyakit bukan hanya
berbahaya terhadap pasien tetapi juga kepada pekerja di rumah sakit tersebut. Tenaga kesehatan yang harus senantiasa berhadapan dengan lingkungan yang
tidak menempatkan keselamatan dan kesehatan mereka sebagai prioritas utama tidak akan bisa memberikan pelayanan kesehatan yang benar-benar bebas dari
kesalahan Occupational Safey and Health Administration, 2014.
1. Definisi Keselamatan Pasien
Keselamatan merupakan isu global termasuk juga untuk rumah sakit World Health Organization 2014. Ada lima isu penting keselamatan di
rumah sakit dan salah satunya adalah keselamatan pasien Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
Canadian Council on Health Services Accreditation 2003 memberikan definisi keselamatan pasien yakni pencegahan dan mitigasi dalam lingkup
pelayanan kesehatan. Konsep mengenai keselamatan pasien berikutnya lebih menggambarkan outcome dari keselamatan pasien dimana keselamatan pasien
diartikan sebagai reduksi dan mitigasi perilaku tidak aman didalam ruang lingkup sistem pelayanan kesehatan, melalui pelaksanaan pelayanan terbaik
yang terbukti menghasilkan outcome pasien yang optimal Davies dkk., 2003. Keselamatan pasien rumah sakit sendiri adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi kegiatan penilaian risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya
cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Berdasarkan definisi yang disebutkan diatas maka dapat dirumuskan
bahwa keselamatan pasien merupakan usaha-usaha yang dilaksanakan dalam melakukan pencegahan kesalahan yang ditimbulkan dari perilaku tidak aman
serta mitigasi untuk meringankan outcome yang tidak diharapkan seperti insiden keselamatan pasien dalam rangka pelaksanaan upaya kesehatan yang
optimal. Strategi untuk memperbaiki keselamatan pasien meliputi pembuatan
budaya yang mendukung identifikasi dan pelaporan perilaku tidak aman, pengukuran yang efektif terhadap cidera yang dialami pasien dan indikator
outcome relevan lainnya serta alat untuk membangun atau menyesuaikan struktur dan proses untuk mereduksi kepercayaan terhadap kewaspadaan yang
dimiliki tiap individu Canadian Council on Health Services Accreditation, 2003.
2. Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia
Standar keselamatan pasien di Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Joint Commision on
Accreditation of Health Organizations JCAHO pada tahun 2002 yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar
keselamatan pasien di Indonesia disusun dalam Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang kemudian diterbitkan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. Standar keselamatan tersebut diantaranya adalah :
a. Hak pasien Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan
informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya kejadian tidak diharapkan.
b. Mendidik pasien dan keluarga Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang
kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Rumah Sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
d. Penggunaan metoda-metoda
peningkatan kinerja
untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Rumah sakit harus mendesign proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis secara intensif kejadian tidak diharapkan, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan
kinerja serta keselamatan pasien. e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
1 Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi
melalui penerapan ―Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit ‖.
2 Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program
menekan atau mengurangi kejadian tidak diharapkan. 3 Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan
koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
4 Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit
serta meningkatkan keselamatan pasien. 5 Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya
dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien 1 Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan
orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas
2 Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara
kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
1 Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal dan eksternal. 2 Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
3. Tujuan Keselamatan Pasien
Berdasarkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006 maka tujuan dari
keselamatan pasien adalah sebagai berikut : a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
b. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya kejadian tidak diharapkan KTD di rumah sakit. d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.
4. Insiden Keselamatan Pasien
Kegiatan perawatan medis tidak selalu dapat menghasilkan outcome positif yang diharapkan namun dapat menghasilkan beberapa kemungkinan
outcome termasuk insiden keselamatan pasien. Kemungkinan outcome tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini Suharjo dan Cahyono, 2008.
Bagan 2. 1 Outcome Asuhan Medis
Sumber : Suharjo dan Cahyono 2008 Berdasarkan bagan 2.1. dapat kita ketahui bahwa terdapat dua jenis
outcome dari asuhan medis yang diberikan yakni hasil positif dan hasil negatif. Hasil positif berarti pasien mengalami kesembuhan atau perbaikan
dari kondisi sebelumnya sedangkan hasil negatif berarti pasien tidak sembuh atau bahkan mengalami masalah kesehatan yang baru Suharjo dan Cahyono,
2008. Hasil negatif yang diakibatkan kesalahan medis berupa cidera atau kejadian tidak diharapkan.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 terdapat 3 jenis insiden keselamatan pasien diantaranya adalah :
a. Kejadian tidak diharapkan KTD atau adverse events adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia, 2011. Kejadian tidak diharapkan juga diartikan sebagai cidera yang tidak dikehendaki atau komplikasi yang
menghasilkan kecacatan, kematian atau periode perawatan yang diperlama. Canadian Institute for Health Information, 2003.
Selanjutnya kejadian tidak diharapkan didefinisikan secara lebih spesifik sebagai sebuah outcome merugikan bagi pasien, termasuk
cedera atau komplikasi dimana outcome tersebut berasal dari manajemen medis yang diterima pasien dan bukan dari penyakit dasar
yang diderita oleh pasien Wang dkk., 2014. b. Kejadian Nyaris Cedera KNC atau near miss adalah terjadinya
insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. c. Kejadian Tidak Cedera KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke
pasien, tetapi tidak timbul cedera. d. Kondisi Potensial Cedera KPC adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. e. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian
atau cedera yang serius
D. Budaya Keselamatan Pasien
Budaya keselamatan merupakan salah satu bagian penting dari keseluruhan budaya yang dianut dalam organisasi. Budaya keselamatan adalah produk dari
nilai individu dan kelompok, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku yang menentukan komitmen untuk, dan gaya serta kecakapan dari manajemen
keselamatan dan kesehatan organisasi. Organisasi dengan budaya keselamatan positif ditandai dengan komunikadi yang dibangun atas kepercayaan mutual,
dengan persepsi bersama terhadap pentingnya keselamatan dan dengan efikasi dari pengukuran preventif Advisory Committee on the Safety of Nuclear
Installations, 1993.
Budaya keselamatan juga didefiniskan sebagai lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan
tingkat atas dan berfokus pada sistem AORN Journal, 2006. Konsep budaya keselamatan pasien dikembangkan dari konteks budaya keselamatan di dunia
industri dimana budaya keselamatan pasien didefinisikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku, yang dihubungkan dengan keselamatan pasien dan dianut bersama oleh
tenaga kesehatan yang berada didalam ruang lingkup rumah sakit Beginta, 2012. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka budaya keselamatan pasien
dapat diartikan sebagai keyakinan, nilai, perilaku yang mendukung keselamatan pasien dan dianut oleh seluruh anggota organisasi kesehatan yang membentuk
lingkungan yang mendukung dilakukannya pelaporan, tidak saling menyalahkan, melibatkan kepemimpinan tingkat atas dan berfokus pada sistem. Budaya dalam
organisasi kesehatan merupakan hal yang penting dan menentukan proses kemampuan pendeteksian serta penanganan kesalahan yang telah terjadi Kohn
dan Corrigan, 1999.
1. Pengukuran Budaya Keselamatan Pasien
Pengukuran budaya keselamatan pada umumnya dilakukan pada tiap individu kemudian dijadikan agregat pada tingkat yang lebih tinggi. Derajat
kesamaan persepsi pekerja terhadap budaya keselamatan itulah yang menjadi kelebihan yang patut dipertimbangkan dari pengukuran budaya keselamatan
Flin dkk., 2006. Terdapat berbagai alat ukur untuk mengukur budaya keselamatan dengan
karakteristik organisasi dan dimensi budaya yang berbeda. Budaya
keselamatan pada dunia industri lain memiliki dimensi esensial berupa komitmen manajemen terhadap keselamatan. Sedangkan dimensi yang
umumnya diukur pada tiap alat pengukuran budaya keselamatan di industri adalah manajemen, sistem keselamatan, risiko, pressure pekerjaan,
kompetensi dan prosedur. Organisasi kesehatan sendiri mengembangkan definisi danatau alat pengukuran budaya keselamatan pasien berdasarkan
literatur budaya keselamatan di industri Flin dkk., 2006. C Burns dan S Yulle dalam Flin dkk. 2006 menjabarkan dimensi
budaya keselamatan pasien yang paling umum diukur di rumah sakit adalah manajemen, sistem keselamatan, persepsi risiko, tuntutan pekerjaan, pelaporan
atau pengungkapan, sikap atau perilaku keselamatan, komunikasi atau feedback, kerjasama, sumber daya individu dan faktor organisasional. Berikut
ini adalah karakteristik dari tiap-tiap alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada seluruh unit secara umum dan
tidak terfokus pada salah satu profesi tenaga kesehatan Robb dan Seddon,
2010; Colla dkk., 2005.
Tabel 2. 1 Matriks Alat Ukur Budaya Keselamatan PasienMatriks Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien
Karakteristik Nama Alat ukur
SLOAPS PSCHO
VHA PSCQ HSOPS
CSS Pengembang
IHI Singer, dkk
Burr, dkk. AHRQ
Weingart, dkk
Karakteristik umum alat ukur
Untuk diisi secara individual
Tidak Ya
Ya Ya
Ya Jumlah pertanyaan
58 45
112 44
34
Dimensi Yang Tercakup
Manajemen Ya
Ya Ya
Ya Ya
Kebijakan dan prosedur
Ya Sebagian
Ya Sebagian
Tidak Penyusunan staf
Ya Sebagian
Ya Ya
Sebagian Komunikasi
Ya Ya
Ya Ya
Ya Pelaporan
Ya Ya
Ya Ya
Ya Cronbach’s Alpha
- -
0.45-0.90 0.63-0.83
Buruk
Penggunaannya pada studi yang telah dilakukan sebelumnya
Perbandingan dengan institusi lain
Tidak Ya
Tidak Ya
Ya Korelasi dengan
pelaporan Tidak
Tidak Tidak
Ya Ya
Sumber : Robb dan Seddon 2010; J.B. Colla 2005 Dari matriks diatas dapat kita lihat masing-masing kelebihan dan kekurangan
dari seluruh alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit secara umum. Instrumen pertama adalah SLOAPS yang
merupakan akronim dari Strategies for Leadership: An Organizational Approach to Patient Safety dan merupakan alat ukur yang dikembangkan oleh The Institute
of Healthcare Improvement Inoue dkk. yang dpat digunakan untuk mengukur budaya keselamatan pasien pada tiap bagian di rumah sakit namun kelemahan dari
alat ukur ini adalah alat ukur ini tidak dapat mengukur budaya keselamatan secara individual pada tiap tenaga kesehatan melainkan harus diisi oleh manajer tenaga
kesehatan yang telah senior World Health Organization, 2009. Selain itu nilai
Cronbach’s Alpha instrumen ini tidak diketahui sehingga tidak dapat dibandingkan nilai realibilitas dan validitasnya.
PSCHO atau Patient Safety Cultures in Healthcare Organizations merupakan instrumen yang dikembangkan oleh Singer dkk. pada tahun 2003.
Secara umum matriks ini dapat mengukur seluruh dimensi yang umum terdapat pada budaya keselamatan namun tidak didapatkan penelitian yang melakukan
pengukuran budaya keselamatan untuk dikaitkan dengan pelaporan karena instrumen ini memang tidak memiliki outcome spesifik sehingga hanya dapat
menggambarkan budaya keselamatan secara umum. Selain itu nilai Cronbach’s
Alpha dari instrumen juga tidak diketahui secara spesifik. VHA-PSCQ atau Veterans Administration Patient Safety Culture
Questionnaire adalah instrumen yang dikembangkan oleh Burr dkk. pada tahun 2000 yang menjadi cikal bakal dari HSOPS. Jumlah pertanyaan instrumen ini
cenderung terlalu banyak bila dibandingkan dengan instrumen lainnya dengan Cronbach’s Alpha yang masih lebih rendah bila dibandingkan dengan HSOPS.
HSOPS atau Hospital Survey on Patient Safety merupakan pengembangan dari VHA-PSCQ dan mencakup seluruh dimensi yang akan diukur dalam
penelitian ini. Nilai Cronbach’s Alpha dalam instrumen ini juga tergolong lebih
tinggi. HSOPS juga memiliki dimensi outcome berupa pelaporan dan didukung oleh database AHRQ yang dapat diakses. Alat analisa data HSOPS juga mudah
didapatkan yakni berupa aplikasi Hospital Survey on Patient Safety Culture Data Entry and Analysis Tools Agency for Healthcare Research and Quality, 2014.
HSOPS juga memiliki kriteria psikometrik spesifik yang lebih baik dibandingkan
instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada struktur internalnya Flin dkk., 2006.
CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan.
Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak
mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan
statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini.
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ
Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004 yakni dimensi budaya keselamatan
pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva 2004
Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat diukur diantaranya adalah :
a. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer kepemimpinan Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan
manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga middle-manager seperti contohnya kepala unit rumah sakit pada tingkat
taktis pelaksana maupun top-level manager seperti contohnya manajer senior rumah sakit pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian
terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap,
perilaku maupun gaya kepemimpinan World Health Organization,
Tingkat Unit
• Tindakan promotif keselamatan oleh manajersupervisor
• Perbaikan berkelanjutan • Kerjasama dalam rumah sakit
• Keterbukaan komunikasi • Umpan balik dan komunikasi
terkait kesalahan yang terjadi • Respon yang tidak menyalahkan
• Penyusunan staf
Tingkat Rumah Sakit
• Dukungan manajemen rumah sakit terhadap
budaya keselamatan
pasien • Kerjasama antar unit di rumah
sakit • Serah terima dan transisi pasien
dari unit ke unit lain
Outcome Keselamatan
• Persepsi keselamatan secara keseluruhan
• Frekuensi kejadian yang dilaporkan
• Tingkat Keselamatan pasien pada unit
• Jumlah kejadian yang dilaporkan
2009. Katz-Navon 2005 dalam WHO 2009 menyatakan bahwa ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi
penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.
Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti
berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat Thomas dkk., dalam WHO, 2009. Pendekatan lainnya adalah dengan
memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung
dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada tenaga kesehatan bahwa keselamatan
lebih penting daripada
produktivitas World Health Organization, 2009. b. Organizational learning-perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi
kesehatan Kreitner dan Kinicki, 2007. Rumah sakit haruslah menjadi organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan
pada sistem keselamatan dan kesehatan. Konsep learning organization merupakan konsep yang penting
dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek
organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi
perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik.
c. Kerjasama dalam rumah sakit Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa
orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama Setiawan, 2014 Kerjasama dalam rumah sakit
merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga
berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin
WHO, 2009. Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang
harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer dkk. dalam WHO 2009 menyatakan bahwa 70-80 kesalahan medis
yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian dalam tim.
d. Keterbukaan komunikasi Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi
efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing.
Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan standarisasi
komunikasi mengenai
hal-hal apa
yang wajib
dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang
buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya
akan menangani pasien tersebut. Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan
medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya
keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan The comission of patient safety and quality assurance of
Irlandia, 2008. e. Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi
Menurut The Joint Commission dalam White 2013 kegagalan komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan
medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit
yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan
kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman
2013 menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak
melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka
lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan
lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif. f.
Respon yang tidak menyalahkan Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan
sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang
efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat
pelaporan kesalahan medis di rumah sakit. Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari
adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan
melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada
kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang melakukannya Kachalia dan Bates, 2014.
g. Penyusunan staf Doughlas dalam Beginta 2012 menjelaskan bahwa staffing atau
penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.
Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi
atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan keterampilannya Siswandi, 2011. Dengan adanya penyusunan staf
maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit.
Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga
kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam Beginta 2012 menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara
penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien. Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang
dapat dinilai, diantaranya adalah : a. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah
sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah
sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan
prioritas di rumah sakit tersebut Rosyada, 2014.
b. Kerjasama antar unit di rumah sakit Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan
dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut. Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan
kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien Rosyada, 2014. Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit
membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut akan memberikan bantuan kepada unit tersebut.
c. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan
dari keadaan tempat, tindakan dan sebagainya kepada keadaan yang lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat
diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis
kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan
sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis
seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.
Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah :
a. Persepsi keselamatan secara keseluruhan Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang
merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan
pasien di seluruh unit tanpa kecuali. b. Frekuensi pelaporan kejadian
Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya membuat laporan
berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien.
c. Tingkat keselamatan pasien Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan
terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang sangat baik hingga sangat buruk.
d. Jumlah kejadian yang dilaporkan Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang
menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir.
E. Rumah Sakit
Republik Indonesia 2009b menyatakan bahwa rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Republik Indonesia 2009b juga mengelompokkan rumah sakit berdasarkan
jenis pelayanan yang diberikan menjadi Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang
dan jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan
umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan,
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit.
1. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
a. Rumah sakit umum kelas A Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang medik, 12 spesialis lain dan 13 tiga
belas subspesialis.
b. Rumah sakit umum kelas B Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 8 spesialis lain dan 2
subspesialis dasar. c. Rumah sakit umum kelas C
Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4
spesialis dasar dan 4 spesialis penunjang medik d. Rumah sakit umum kelas D
Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2
spesialis dasar.
2. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
a. Rumah sakit khusus kelas A Rumah sakit khusus kelas A adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai
kekhususan yang lengkap. b. Rumah sakit khusus kelas B
Rumah sakit khusus kelas B adalah rumah sakit khusus yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit
pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai kekhususan yang terbatas.
c. Rumah sakit khusus kelas C Rumah sakit khusus kelas C adalah rumah sakit khusus yang
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit pelayanan medik spesialis dan pelayanan medik subspesialis sesuai
kekhususan yang minimal.
F. Analisis Kesesuaian Uji Hipotesis
Uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji korelasi. Uji hipotesis jenis ini merupakan jenis uji hipotesis yang diperuntukkan untuk data
variabel dependen dan independen yang berjenis numerik. Seluruh data yang akan dihasilkan dari penelitian ini bersifat numerik dan oleh karena itu peneliti
menggunakan uji korelasi untuk melihat ada atau tidaknya korelasi dan keeratan korelasi diantara kedua variabel tersebut.
G. Kerangka Teori
Berdasarkan seluruh teori yang dipaparkan maka dapat disusun skema kerangka teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaporan
kesalahan medis oleh tenaga kesehatan.
Bagan 2. 3 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Waters 2012; AHRQ 2004; Wolf dan Hughes 2005;Winsvold
Prang dan Jelsness-Jørgensen 2014; White dan Gallagher 2013; Lederman dkk. 2013;
7
Waters dkk. 2012; Sinicki dkk. 2013; Williams dkk. 2013; El-
Jardali dkk. 2011
37
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang dijelaskan pada bab sebelumnya maka kerangka konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
Pada kerangka konsep ini seluruh dimensi budaya keselamatan yang terdiri dari 10 dimensi diteliti. Dimensi budaya keselamatan pasien
berdasarkan AHRQ terdiri dari tindakan promotif keselamatan oleh manajersupervisor, perbaikan berkelanjutan, kerjasama dalam rumah sakit,
keterbukaan komunikasi, umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi, respon yang tidak menyalahkan, penyusunan staf, dukungan
Budaya Keselamatan Pasien
Tindakan promotif keselamatan oleh manajersupervisor
Perbaikan berkelanjutan Kerjasama dalam rumah sakit
Keterbukaan komunikasi Umpan balik dan komunikasi terkait
kesalahan yang terjadi Respon yang tidak menyalahkan
Penyusunan staf Dukungan manajemen rumah sakit
terhadap budaya keselamatan pasien Kerjasama antar unit di rumah sakit
Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain
Persepsi Pelaporan
Kesalahan Medis Oleh
Tenaga Kesehatan