instrumen lain karena telah dilakukan pengujian yang lebih sistematik pada struktur internalnya Flin dkk., 2006.
CSS atau Culture of Safety Survey adalah instrumen yang dikembangkan oleh Weingart dkk. pada tahun 2004 untuk mengukur budaya keselamatan.
Instrumen ini cocok untuk digunakan di tiap unit di rumah sakit dan memiliki jumlah item yang relatif lebih sedikit dibanding instrumen lain namun tidak
mencakup seluruh dimensi yang diinginkan dalam penelitian ini. Selain itu nilai Cronbach’s Alpha dari instrumen ini tidak diketahui dan hanya diberikan
statement bahwa nilai Cronbach’s Alpha CSS berada pada kategori ‗buruk‘.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa HSOPS lebih adekuat untuk digunakan mengukur budaya keselamatan pasien dalam penelitian ini.
2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien Berdasarkan AHRQ
Terdapat 3 aspek dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ Stone dkk., 2006; Sorra dan Nieva, 2004 yakni dimensi budaya keselamatan
pasien pada tingkat unit, tingkat rumah sakit dan dimensi outcome keselamatan yang dapat digambarkan dalam bagan berikut.
Bagan 2. 2 Bagan Dimensi Budaya Keselamatan Pasien
Sumber : AHRQ dalam Sorra dan Nieva 2004
Pada tingkat unit terdapat 7 aspek budaya keselamatan pasien yang dapat diukur diantaranya adalah :
a. Tindakan promotif keselamatan oleh manajer kepemimpinan Kepemimpinan memegang peran penting dalam pelaksanaan
manajemen keselamatan yang efektif, mulai dari pemimpin tim hingga middle-manager seperti contohnya kepala unit rumah sakit pada tingkat
taktis pelaksana maupun top-level manager seperti contohnya manajer senior rumah sakit pada tingkat perencanaan strategis. Perhatian
terhadap kepemimpinan dan outcome keselamatan ditunjukkan dengan banyaknya penelitian yang meneliti kepemimpinan baik pada sikap,
perilaku maupun gaya kepemimpinan World Health Organization,
Tingkat Unit
• Tindakan promotif keselamatan oleh manajersupervisor
• Perbaikan berkelanjutan • Kerjasama dalam rumah sakit
• Keterbukaan komunikasi • Umpan balik dan komunikasi
terkait kesalahan yang terjadi • Respon yang tidak menyalahkan
• Penyusunan staf
Tingkat Rumah Sakit
• Dukungan manajemen rumah sakit terhadap
budaya keselamatan
pasien • Kerjasama antar unit di rumah
sakit • Serah terima dan transisi pasien
dari unit ke unit lain
Outcome Keselamatan
• Persepsi keselamatan secara keseluruhan
• Frekuensi kejadian yang dilaporkan
• Tingkat Keselamatan pasien pada unit
• Jumlah kejadian yang dilaporkan
2009. Katz-Navon 2005 dalam WHO 2009 menyatakan bahwa ketika keselamatan betul-betul diprioritaskan oleh manajer maka terjadi
penurunan jumlah kesalahan medis yang terjadi di unit rumah sakit tersebut.
Senior manager perlu menunjukkan komitmen mereka terhadap keselamatan dengan mengunjungi bangsal perawatan dan hal ini terbukti
berpengaruh terhadap budaya keselamatan pada tenaga perawat Thomas dkk., dalam WHO, 2009. Pendekatan lainnya adalah dengan
memberikan feedback terhadap komitmen tenaga kesehatan pada keselamatan pasien. Sedangkan middle-manager harus terlibat langsung
dalam inisiatif keselamatan di unit terkait serta terus menekankan kepada tenaga kesehatan bahwa keselamatan
lebih penting daripada
produktivitas World Health Organization, 2009. b. Organizational learning-perbaikan berkelanjutan
Organizational learning adalah kegiatan proaktif yang dapat menciptakan serta mentransfer pengetahuan dalam nilai-nilai organisasi
kesehatan Kreitner dan Kinicki, 2007. Rumah sakit haruslah menjadi organisasi pembelajar agar dapat melakukan perbaikan berkelanjutan
pada sistem keselamatan dan kesehatan. Konsep learning organization merupakan konsep yang penting
dalam mendukung upaya penerapan dan peningkatan program keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit. Dengan adanya aspek
organizational learning yang baik maka diharapkan akan terjadi
perbaikan yang berkelanjutan sehingga tercipta budaya keselamatan pasien yang baik.
c. Kerjasama dalam rumah sakit Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yg dilakukan oleh beberapa
orang baik dalam berupa lembaga, pemerintah atau organisasi untuk mencapai tujuan bersama Setiawan, 2014 Kerjasama dalam rumah sakit
merupakan aspek penting dalam tiap organisasi karena banyak pekerjaan yang melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya. Hal tersebut juga
berlaku di rumah sakit dimana hampir semua pelayanan kesehatan yang diberikan melibatkan tenaga kesehatan dalam kelompok interdisiplin
WHO, 2009. Kerjasama tim dalam rumah sakit merupakan aspek krusial yang
harus dikembangkan untuk memastikan keselamatan pasien. Schaefer dkk. dalam WHO 2009 menyatakan bahwa 70-80 kesalahan medis
yang terjadi merupakan akibat buruknya komunikasi dan pengertian dalam tim.
d. Keterbukaan komunikasi Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi
efektif yang menyeluruh mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing.
Keterbukaan komunikasi akan lebih baik jika terdapat pendekatan standarisasi
komunikasi mengenai
hal-hal apa
yang wajib
dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Karena komunikasi yang
buruk saat serah terima akan menyebabkan kurang atau hilangnya informasi pasien yang penting pada rekan sejawatnya yang berikutnya
akan menangani pasien tersebut. Prinsip komunikasi terbuka tenaga kesehatan juga dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan
medis. Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya
keselamatan, dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan The comission of patient safety and quality assurance of
Irlandia, 2008. e. Umpan balik dan komunikasi terkait kesalahan yang terjadi
Menurut The Joint Commission dalam White 2013 kegagalan komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan
medis di rumah sakit karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit
yang sebelumnya dihadapi oleh rekan sejawat dalam timnya. Kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan
kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Ketiadaan atau minimnya umpan balik terkait kesalahan medis yang terjadi juga merupakan salah satu kegagalan komunikasi. Lederman
2013 menyatakan bahwa perawat dan dokter seringkali tidak
melaporkan kesalahan medis yang terjadi akibat ketiadaan umpan balik yang mereka dapatkan dari kegiatan pelaporan yang telah mereka
lakukan. Ketika tenaga kesehatan telah meluangkan waktunya untuk melakukan pelaporan disaat mereka seharusnya bisa melakukan kegiatan
lain, tenaga kesehatan menginginkan adanya outcome positif. f.
Respon yang tidak menyalahkan Respon yang tidak menyalahkan baik dari manajemen maupun rekan
sejawat atas pelaporan kesalahan medis yang terjadi dibutuhkan untuk dapat mendukung adanya budaya pelaporan kesalahan medis yang
efektif. Karena hingga saaat ini ketakutan akan adanya penyalahan individu yang melakukan pelaporan masihlah menjadi faktor penghambat
pelaporan kesalahan medis di rumah sakit. Lingkungan yang tidak menyalahkan diperlukan untuk menghindari
adanya under-reporting dalam pelaporan kesalahan medis. Lingkungan dengan respon yang tidak menyalahkan tersebut dapat dibangun dengan
melakukan pendekatan sistem dimana tenaga medis melaporkan kesalahan medis dengan berfokus pada outcome yang dihasilkan pada
kesalahan medis tersebut dan tidak berfokus pada siapa yang melakukannya Kachalia dan Bates, 2014.
g. Penyusunan staf Doughlas dalam Beginta 2012 menjelaskan bahwa staffing atau
penyusunan staf adalah proses menegaskan pekerja yang ahli untuk mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan personel.
Selain itu penyusunan staf juga didefinisikan sebagai proses menetapkan orang-orang yang akan menduduki posisi tertentu didalam organisasi
atau dengan kata lain pemilihan penempatan tenaga kerja sesuai dengan keterampilannya Siswandi, 2011. Dengan adanya penyusunan staf
maka diharapkan jumlah dan keterampilan yang dimiliki setiap perawat sesuaai dengan kebutuhan dan beban kerja di tiap unit rumah sakit.
Kesesuaian jumlah tenaga kesehatan dengan beban kerja atau kebutuhan di tiap unit akan berpengaruh terhadap kinerja tenaga
kesehatan dalam meningkatkan keselamatan pasien. Aiken dkk. dalam Beginta 2012 menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara
penyusunan staf pada perawat dan keselamatan pasien. Pada tingkat rumah sakit terdapat 3 aspek budaya keselamatan pasien yang
dapat dinilai, diantaranya adalah : a. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien
Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan dapat dilihat dengan ada atau tidaknya sistem keselamatan pasien di dalam rumah
sakit tersebut. Sistem keselamatan pasien sendiri dapat mendukung terciptanya iklim kerja yang mendukung keselamatan pasien di rumah
sakit. Dukungan manajemen juga dapat dilihat dari kebijakan manajemen rumah sakit yang menunjukkan bahwa keselamatan pasien dijadikan
prioritas di rumah sakit tersebut Rosyada, 2014.
b. Kerjasama antar unit di rumah sakit Pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan rangkaian kegiatan
dari berbagai unit yang ada dalam lingkup rumah sakit tersebut. Kerjasama antar unit menunjukkan sejauh mana kekompakkan dan
kerjasama tim lintas unit atau bagian dalam melayani pasien Rosyada, 2014. Kerjasama antar unit yang positif dapat dilihat ketika suatu unit
membutuhkan bantuan maka unit lainnya dalam rumah sakit tersebut akan memberikan bantuan kepada unit tersebut.
c. Serah terima dan transisi pasien dari unit ke unit lain. Transisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah peralihan
dari keadaan tempat, tindakan dan sebagainya kepada keadaan yang lain. Dalam ruang lingkup keselamatan pasien rumah sakit, transisi dapat
diartikan sebagai peralihan dari satu unit ke unit lainnya. Kegiatan serah terima dan transisi pasien merupakan dua jenis
kegiatan yang sangat rawan menghasilkan kesalahan medis karena adanya informasi yang terlewat dan tidak tersampaikan pada rekan
sejawat yang bertugas selanjutnya. Selain informasi yang tidak tersampaikan, pada kegiatan ini juga rentan terjadi kesalahan medis
seperti terjatuhnya pasien saat pemindahan pasien.
Sedangkan keluaran atau outcome dari budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ terdiri dari 4 aspek yang dapat dinilai diantaranya adalah :
a. Persepsi keselamatan secara keseluruhan Persepsi keselamatan secara keseluruhan merupakan dimensi yang
merangkum persepsi keselamatan pasien oleh tenaga kesehatan secara keseluruhan di rumah sakit tersebut. Dimensi ini mencakup keselamatan
pasien di seluruh unit tanpa kecuali. b. Frekuensi pelaporan kejadian
Frekuensi pelaporan kejadian adalah persepsi tenaga kesehatan tentang seberapa sering ia dan rekan sejawatnya membuat laporan
berupa kesalahan medis baik yang sudah terjadi ataupun tidak terjadi serta baik mencelakai ataupun tidak mencelakai pasien.
c. Tingkat keselamatan pasien Tingkat keselamatan pasien adalah persepsi tenaga kesehatan
terhadap tingkat keselamatan pasien di rumah sakit tersebut dari rentang sangat baik hingga sangat buruk.
d. Jumlah kejadian yang dilaporkan Jumlah kejadian yang dilaporkan merupakan dimensi yang
menjelaskan jumlah laporan yang dibuat oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir.
E. Rumah Sakit