mempertahankan dan memperbaiki kinerja tim. DiTullio 2010 menyatakan bahwa ketika ada rasa tidak dihargai dalam suatu tim maka mereka memiliki
hak untuk bertindak sesuai yang diperlukan. Tidak ada tim yang sempurna namun ketika ada hal yang tidak berjalan sesuai keinginan maka anggota tim
harus dapat menggunakan kemampuan komunikasi yang dimilikinya untuk memecahkan situasi tersebut.
4. Keterbukaan komunikasi
Dimensi keterbukaan komunikasi adalah salah satu dimensi budaya keselamatan pasien berdasarkan AHRQ yang menunjukkan adanya kebebasan
staf untuk berbicara tentang hal yang berpotensial menciderai pasien dan bebas untuk mempertanyakan hal-hal tersebut kepada atasan mereka Robb
dan Seddon, 2010. Berdasarkan hasil analisa data, respon positif dari dimensi
keterbukaan komunikasi di Rumah Sakit X adalah sebesar 62 sedangkan di Rumah Sakit Y adalah sebesar 82. Dimensi ini terdiri dari 3 pertanyaan
yang diwakili pada item C2, C4 dan C6 dalam kuesioner penelitian ini. Respon positif dimensi ini cenderung cukup tinggi. Selama observasi di
kedua rumah sakit peneliti menemukan bahwa komunikasi antar tenaga kesehatan sudah cukup baik dan tiap tenaga kesehatan dapat menyuarakan
pendapatnya secara bebas ketika melihat sesuatu yang menyimpang dari standar, mempertanyakan keputusan yang diambil oleh atasan. Tenaga
kesehatan juga tidak merasa takut untuk bertanya jika ada suatu hal yang
tidak benar sedang terjadi dan hal tersebut berkaitan dengan keselamatan pasien.
Namun respon positif dimensi ini yang didapat di Rumah Sakit X cenderung lebih rendah dari Rumah Sakit Y. Keterbukaan komunikasi di RS
Y yang cenderung lebih tinggi daripada di Rumah Sakit X dapat disebabkan oleh karena mulainya pemberlakukan budaya keselamatan dimana seluruh
staf Rumah Sakit Y diwajibkan untuk mulai berkomunikasi dengan santun kepada semua pihak dan berkomukasi dengan terbuka. Komitmen manajemen
untuk membentuk budaya tersebut serta seluruh program yang dibentuk guna mewujudkannya menjadi faktor pendukung terciptanya lingkungan dengan
komunikasi terbuka demi mendukung perbaikan keselamatan di Rumah Sakit Y.
Berdasarkan hasil uji statistik juga didapatkan bahwa dimensi keterbukaan komunikasi memiliki korelasi yang bermakna dengan persepsi
pelaporan kesalahan medis oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit X dan Rumah Sakit Y. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Erler dkk.
2013 pada 76 personil critical care transport program di Midwestern, Amerika Serikat dimana mereka menyatakan bahwa ada korelasi yang
signifikan antara dimensi keterbukaan komunikasi dengan persepsi pelaporan kesalahan medis. El-Jardali dkk. 2011 juga menyatakan hal yang sama
dalam penelitiannya pada 68 rumah sakit di Libanon. Dalam rangka meningkatkan budaya keselamatan pasien yang lebih
positif, maka komunikasi antar tenaga kesehatan haruslah lebih suportif dan
terbuka serta bebas dari penyalahan individu Ross, 2011. Keterbukaan komunikasi diwujudkan dengan adanya komunikasi efektif yang menyeluruh
mengenai hal-hal yang terjadi dan terkait keselamatan pasien pada saat serah terima maupun pada saat briefing Hamdani, 2007. Menurut The Joint
Commission dalam White dan Gallagher 2013 kegagalan komunikasi adalah faktor utama dan terpenting dari terjadinya kesalahan medis di rumah sakit
karena tenaga kesehatan dapat meminimalisasi kesalahan medis atau kondisi potensial kesalahan medis di rumah sakit yang sebelumnya dihadapi oleh
rekan sejawat dalam timnya. Komunikasi antar petugas akan lebih baik dan terbuka jika terdapat
standarisasi komunikasi mengenai hal-hal apa yang wajib dikomunikasikan kepada rekan sejawatnya. Dengan begitu maka tenaga kesehatan akan
terbiasa menyampaikan apa yang harus disampaikan dan tidak ada informasi yang terlewat. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa
kurangnya komunikasi menyebabkan timbulnya kesalahan medis yang berujung pada kejadian tidak diharapkan Chakravarty, 2013; Erler dkk.,
2013; Waters dkk., 2012. White 2013 juga menyatakan bahwa kegagalan komunikasi seringkali merupakan kombinasi keteledoran manusia dan
kegagalan sistem yang laten dalam sistem keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit.
Sebagian besar tenaga kesehatan mengakui bahwa komunikasi adalah faktor terpenting yang paling diperlukan untuk mencapai peningkatan
keselamatan dan efisiensi Chakravarty, 2013; Bognár dkk., 2008. Oleh
karena itu prinsip komunikasi terbuka harus diterapkan pada setiap komunikasi yang dilakukan termasuk komunikasi dengan pasien dan
keluarganya bila ada risiko atau kejadian yang tidak diharapkan. Pasien berhak mendapat dukungan dan perlindungan bila terjadi kesalahan medis.
Organisasi dengan budaya keselamatan yang positif dicirikan oleh komunikasi saling percaya, oleh persepsi bersama pentingnya keselamatan,
dan oleh kepercayaan dalam keberhasilan langkah-langkah pencegahan The Comission of Patient Safety and Quality Assurance of Irlandia, 2008.
Pendidikan terkait keterbukaan komunikasi dan kemampuan komunikasi interpersonal bagi tenaga kesehatan sejak mereka masih berada
dibangku pendidikan sangat dibutuhkan dalam membangun dimensi ini. Karena kemampuan komunikasi didapatkan dengan proses yang cukup lama
dan tidak instan. The Accreditation Council for Graduate Medical Education sendiri sebagai institusi akreditasi pendidikan kedokteran mewajibkan para
calon dokter untuk membangun dan mengembangkan kemampuan komunikasi dan interpersonal. Hal ini dilakukan karena tidak semua resident
memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan topik sensitif seperti terjadinya kesalahan medis terkadang menjadi stressor yang sangat
memberikan efek psikologis bagi para dokter Raper dkk., 2014.
5. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan medis yang terjadi