3. Peranan Islam dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui
secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara wakil- wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama 57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya
maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945
bersifat sementara. Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945 tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni
1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu sila dasar Negara.
36
Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan,
sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika Soekarno berkata:
“Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah Negara Nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan
Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang penduduk- penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya
Maluku, Bali, Flores, Timor, Kutai dan juga Irian barat yang belum masuk
36
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.49.
wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik ”.
37
Pidato Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai
kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam. Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi
pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan
antara Pancasila dan Ideologi Islam.
38
Dalam masa kepemimpinan Mohammad Natsir ini juga, Masyumi ikut dan berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pemilihan Umum tahun
1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk
di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman Busyairi, “Dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UUDS 1950, khususnya
Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 35”.
39
Partisipasi aktif Masyumi terlihat sejak awal persiapan dan pelaksanaan pemilu itu, termasuk ikut berkompetisi
bersama partai-partai lain pada hari pelaksanaannya. Berdasarkan telaahan dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan
bahwa Pemilu 1955 adalah unik dan istimewa, karena melibatkan tiga
37
Ibid,. h.153.
38
Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam, h.103.
39
Badruzzaman Busyairi, Boerhanudin Harahap: Pilar Demokrasi Jakarta:Bulan Bintang, 1989, h.87.
kabinet berturut-turut secara langsung, yakni Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, dan Kabinet Boerhanuddin, mulai masa persiapan, masa kampanye,
sampai tahap pelaksanaannya sejak 1952 hingga awal 1956.
C. Kebijakan Politik Orde Lama
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam
perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai
Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan
Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi. Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama.
Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam tubuh Masyumi.
Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami‟ah
gerakan sosio-keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri. Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi
Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
40
Dengan tampilnya NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat
40
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.115.
partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.
41
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet
Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim tokoh NU dalam Masyumi. Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto
yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H. Fakih Usman unsur Muhammadiyah dalam Masyumi. Dalam masa
kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo
digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya
menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam
negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1955 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap Masyumi.
Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil
menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.
42
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, pada tanggal 22 April 1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi
41
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 Yogyakarta:IAIN Suka Press, 1988, h. 38.
42
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 38-40.