Integrasi dan Konvergensi Pendidikan
Pada 12 November 1957, Natsir menyampaikan pidatonya dalam sidang pleno konstituante dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara.
31
Dalam pidatonya itu, Natsir menyatakan bahwa “Indonesia hanya mempunyai dua alternatif pilihan sebagai dasar Negara: paham sekularisme
La diniyah atau p aham agama diniy”.
32
Natsir menjelaskan paham sekularisme itu dan akibatnya apabila masuk dalam ketatanegaraan.
33
Kemudian uraian tentang sekularisme itu ditutup oleh Natsir bahwa, “Pancasila bukan bersumber kepada salah satu wahyu ilahi”,
34
oleh karena itu
Pancasila adalah sekuler sebab dia merupakan produk manusia.
Setelah itu, Natsir menjelaskan bahwa Islam akan memelihara yang telah ada dan menumbuhkan yang belum ada dalam Pancasila. Dari kaidah-
kaidah Islam yang banyak terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, dia menerangkan tujuh butir diantaranya, yaitu mengenai: Nilai
tolong-menolong, Nilai demokrasi atau musyawarah, Nilai cinta tanah air, Nilai cinta kemerdekaan, Nilai kesukaan membela yang lemah, Nilai tidak
mementingkan diri sendiri serta kesediaan hidup dan memberi hidup, Nilai toleransi antara para pemeluk agama-agama.
35
31
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, h.179.
32
Lukman Hakiem, Pemimpin Pulang: Rekaman Peristiwa Wafatnya M.Natsir, h.254.
33
M.Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.12-21.
34
Fachri Ali dan Bachtiar Efendy, Menambah Jalan Baru Islam, Bandung,: Mizan, 1986, h.90.
35
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun : Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan, h.194-200.
Peranan Natsir dalam perdebatan di Konstituante diakui oleh banyak penulis dan pengamat politik Indonesia, tidak hanya sebagai pemimpin
Masyumi, tetapi sekaligus pemimpin kelompok Islam di majelis itu. Lebih dari semua itu, Ahmad Suhelmi bahkan menyebut, “Perjuangan ideologis
Masyumi untuk menegakkan Negara yang didasarkan pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan dari figur Natsir, karena dia adalah ideologi terkemuka partai
itu.”
36
Penilaian itu juga didukung oleh George McTurnan Kahin, professor pada Universitas Cornell AS yang menyatakan, “mengenai peranan Natsir
dalam pekerjaan Konstituante, tampaknya bagi saya dia telah menyelesaikan lebih dari pada apa yang umumnya telah diakui
”. Di tengah-tengah adanya satu kecurigaan keras pada mulanya oleh partai-partai non-Islam, maka Natsir,
Prawoto Mangkosasmito, Osman Raliby, dan pemimpin-pemimpin progresif Masyumi lainya pada akhirnya telah bergerak jauh dalam menyesuaikan
kedudukan partai mereka dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam perwakilan politik di Konstituante.”
37
Akan tetapi, keberanian Natsir dan teman-temannya dalam menyalurkan aspirasinya mengajukan Islam sebagai dasar Negara, banyak
disalahpahami oleh orang-orang yang tidak senang kepada Islam, termasuk pemerintahan Orde Baru dibawah rezim Soeharto. Muncul tuduhan bahwa
36
Ahmad Suhelmi, “Sekitar Islam dan Negara” Makalah pada seminar PEDATI v, 5
April 1995, di UI Depok, h.6.
37
Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natsir 70 Tahun : Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan , h.328.
Natsitr hendak mendirikan Negara Islam Indonesia. Ada pula yang menyatakan bahwa Natsir tidak mengakui Pancasila sebagai dasar Negara dan
hendak menggantinya dengan Islam. Tuduhan-tuduhan itu terus terlontarkan meskipun dia telah wafat. Misalnya, oleh R.William Liddle, “Ide Negara
Islam ini tetap hidup, meskipun diungkapkan secara hati- hati.”
38
Sebenarnya tuduhan-tuduhan terhadap Natsir itu tidak akan keluar jika dipahami konteks sejarahnya. Memang benar bahwa Natsir pernah berusaha
menjadikan Islam sebagai dasar Negara untuk menggantikan Pancasila yang saat itu sedang berlaku, sebagaimana diuraikan di muka. Tapi yang mesti
dipahami bahwa perjuangan untuk menjadikan Islam atau Pancasila, bahkan Sosialisme dan Komunisme sekalipun adalah sesuatu yang legal dan sah
dilakukan pada saat itu.. Bahkan, lembaga untuk memperjuangkan ide-ide itupun dibentuk secara resmi melalui pemilu 1955, yaitu Majelis Konstituante.
Harus diingat pula bahwa yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, bukan hanya Nastir dan Masyumi, melainkan juga ada politisi dari NU 91
orang, PSII 16 Orang, Perti 7 Orang dan beberapa partai kecil lainnya sehingga jumlah pendukung Islam sebagai dasar negara ada 230 orang.
39
Walaupun pada akhirnya Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 dan UUD 1945 dengan Pancasila sebagai dasar
Negara dinyatakan berlaku kembali, tidaklah beralasan untuk terus menerus menuduh Natsir dan para politisi Islam masa itu sebagai kelompok yang anti-
38
R.William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam Masa Orde Bar
u”, Jurnal Ulumul Quran, nomor 3 volume IV, Tahun 1993, h.57.
39
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h. 119.