diketuai oleh Soekarno. Penanganan sehari-hari DPAS diserahkan oleh wakilnya, Roeslan Abdoelgani, tokoh PNI. DPAS ini pulalah yang
mengusulkan agar pidato kenegaraan presiden tanggal 17 Agustus 1959 dijadikan sebagai Manifesto Politik.
46
Demokrasi Terpimpin dengan pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini Soekarno, membawa konsekuensi politik
bagi umat Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti diizinkan hidup di bawah payung Demokrasi terpimpin. Mereka berusaha
menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang baru dan berusaha bertindak selalu menyenangkan Soekarno.
Di sisi lain, kaum modernis bagi Soekarno merupakan penghalang revolusi. Kaum modernis terutama Masyumi dianggap sebagai musuh
revolusi. Adanya perbedaan antara musuh dan kawan revolusi menyebabkan kristalisasi dalam tubuh umat Islam. Pada tanggal 20 Maret
1960 Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPRGR.
47
Anggota DPRGR yang dipilih merupakan mereka yang mengiakan Soekarno. Tokoh-tokoh
Masyumi dan PSI tidak dimasukan dalam anggota DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan. Jika diteliti
lebih cermat, keanggotaan DPRGR terdiri dari 94 pihak Nasionalis- Sekuler, kelompok Komunis mendapat 81 kursi, dan wakil Islam hanya
46
Ibid,. h.182.
47
Hazairin, Demokrasi Pancasila Jakarta:Tintamas, 1970, h.53-57.
mendapat 67 kursi. Di sini umat Islam kehilangan kursi sebanyak 48 jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya. Namun, yang lebih menderita
kerugian adalah modernis yang telah dicap sebagai musuh revolusi.
48
Soekarno juga menyampaikan ideologi Demokrasi Terpimpin yang beberapa bulan kemudian disebut Manifesto Politik Manipol. Ia
menyerukan semangat revolusi, keadilan sosial, dan revitalisasi lembaga- lembaga dan organisasi-organisasi Negara demi revolusi yang
berkesinambungan. Pada awal tahun 1960 ideologi yang samar-samar ini menjadi semakin rumit dengan ditambahkannya kata USDEK Undang-
Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia.
Soekarno mengharuskan pers mendukung Manipol-USDEK yang dicetuskannya.
Namun, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak sikap mendukung terhadap Manipol-USDEK. Sebagai akibatnya, terjadi
pembredelan surat kabar.
49
Kebijakan-kebijakan politik Soekarno kini lebih menekankan pada adanya persatuan antara Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Dengan
berkurangnya peran umat Islam dalam panggung politik Demokrasi Terpimpin menunjukan bahwa Soekarno menginginkan suatu koalisi
politik antara kaum Nasionalis, Agama, dan Komunis. Tema yang diangkat oleh Soekarno adalah Nasakom Nasionalis, Agama, dan
48
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.183-186.
49
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1994, h. 403-404.
Komunis. Perwujudan dari politik Nasakom ini adalah tampilnya PNI sebagai wakil Nasionalis, NU sebagai wakil Agama, dan PKI sebagai
wakil Komunis dalam koalisi kabinet baru bentukan Soekarno.
50
2. Kebijakan Orde Lama Terhadap Islam
Dekrit Soekarno yang diikuti oleh pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama
kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Bagi kelompok modernis periode Demokrasi Terpimpin adalah
suatu kenyataan politik yang amat pahit dan memperkosa. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat Islam
mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini.
51
Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggung jawab bagi jatuhnya kekuatan
politik Islam Indonesia. Pemusatan kekuasaan ditangan seorang pemimpin dalam hal ini
Soekarno mempunyai konsekuensi politik yang berbeda bagi partai-partai Islam. Sayap pesantren, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diizinkan hidup
dibawah payung Demokrasi Terpimpin dengan gaya dan retorika politiknya, masing-masing partai ini telah melakukan berbagai langkah
penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang serba sulit. Bagi kaum modernis, situasi baru ini cukup jelas. Menurut kategori
Soe karno, kelompok modernis ini “merintangi penyelesaian revolusi kita,“
50
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 406.
51
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, h.83-84.
atau dengan memakai jargon komunis, mereka adalah golongan kepala batu, suatu jargon yang juga popular dalam kamus politik Soekarno.
Sebagai kekuatan perintang, logika revolusioner Soekarno menyatakan lebih jauh, bahwa golongan modernis, terutama Masyumi, tidaklah hidup
pada masa Demokrasi Terpimpin.
52
Sebaliknya, tiga partai Islam lainnya, yakni NU, PSII, dan Perti, berusaha menyesuaikan diri dengan demokrasi ala Soekarno tersebut.
Mereka bersikap akomodatif sehingga bisa hidup berdampingan dengan Soekarno dan bertahan dalam alam demokrasi terpimpinnya Soekarno. NU
adalah partai yang paling besar di antara ketiganya, karenanya dapat dianggap sebagai pendukung utama setiap gagasan Soekarno. Bahkan NU
menikmati sekali iklim politik yang diciptakan Soekarno dengan sistem Nasakomnya. Memang dalam era ini NU terlibat aktif dalam Demokrasi
Terpimpin dan ingin mewarnai peta percaturan politik berkembang ketika itu. Setidaknya NU berusaha memasukkan Islam dalam tataran politik dan
mengimbangi dominasi komunisme yang sudah sangat berpengaruh.
53
Namun demikian, antara NU dan Soekarno sudah terjalin hubungan yang baik sekali. Antara keduanya seakan-akan saling
membutuhkan. Bahkan NU, bersama-sama partai Islam lainnya yang mendukung Demokrasi Terpimpin serta pendukung-pendukung Soekarno
dari pihak nasionalis dan komunis, pada sidang MPRS 18 Mei 1963 mengangkat Soekarno menjadi presiden Seumur Hidup. Ini tentu suatu
52
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h.190.
53
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, h.23.
bentuk penyimpangan dari UUD 1945. NU, dengan juru bicara Sjaikhu, mencari dalil agama bagi pembenaran sikap mereka.
54
3. Aspirasi dan Perjuangan Umat Islam Terhadap Kebijakan Orde
Lama.
Dalam Periode Orde Lama, tampaknya peran umat Islam terpilahkan dalam 3 aspirasi besar: Pertama, peran umat Islam yang
bersikap kritis kepada Negara yang diwakili oleh Masyumi; Kedua, peran umat Islam yang bersikap akomodatif kepada Negara yang diwakili oleh
NU; Ketiga, peran umat Islam yang bersebelahan pemikiran di luar pagar
sampai memberontak yang diwakili oleh gerakan DITII. Sehingga dalam
posisi ini Douglas Ramage, memberikan makna yang khas, bahwa umat Islam lebih disosokkan sebagai ancaman. Dalam pandangannya, Islam
pernah ditempatkan sebagai kekuatan terlarang sebagaimana kekuatan komunis.
55
Umat Islam membentuk Kogalam Komando Kesiapsiagaan Umat Islam dan GEMUIS Genarasi Muda Islam, Organisasi-organisasi Islam
mendirikan pasukan Banser, Kokam, Brigade PII, Korba HMI, dan sebagainya, sebagai kekuatan untuk menghadapi pemberontakan PKI 1965
itu. Gerakan pemberontakan G. 30. SPKI di pusat maupun daerah-daerah berhasil ditumpas, sehingga selamatlah Negara Republik Indonesia dari
54
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010 h. 270-
271.
55
Douglas E. Ramage, Democracy, Islam and The Ideology of Tolerance, Penerjemah: Dharmono Hardjowidjono London:Routledge, 1995, h.115.
usaha dijadikan Negara komunis. Situasi negara mulai ada perubahan, masyarakat menyadari akan bahaya laten komunis, dan membuka
lembaran baru dalam kehidupan Negara yang memiliki nuansa keagamaan atau religiositas yang memang sebagai jati diri Bangsa Indonesia. Dengan
adanya Ketetapan MPRS No. XXV 1966, Partai Komunis Indonesia PKI dan antek-anteknya dibubarkan serta dihilangkan, ajaran
Komunisme Marxisme dilarang untuk seluruh Indonesia.
56
56
Ahmad Adaby Darban, Peran Serta Islam dalam Perjuangan di Indonesia Yogyakarta : UII Press, 1989 h.79.