Sejarah dan Perkembangan Ziki Guru Bura

3. Sekilas Tentang Mbojo Bima, NTB

a. Geografis

1 Letak dan Luas Daerah Bima berada di ujung Timur Pulau Sumbawa, salah satu pulau di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, selain Pulau Lombok dan pulau kecil lainnya. Luas wilayah Bima pada saat sekarang diperkirakan 4.596,90 km² atau 13 dari luas Pulau Sumbawa. Bima terletak di tengah-tengah Kepulauan Nusantara dan di tengah-tengah gugusan pulau-pulau yang sebelum tahun 1950 bernama Sunda Kecil Bali, NTB, dan NTT sekarang. Samudera Indonesia di Selatan, Laut Flores di Utara, Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa di Barat, dan Selat Sape di Timur. 47 Peta Bima NTB Secara sosiologis dan antropologis budaya, Pulau Sumbawa tiga kali lebih luas dari Pulau Bali, dihuni oleh dua kelompok etnis, yaitu; etnis Samawa Tau Samawa yang menghuni bagian Barat Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat dan etnis Mbojo dou Mbojo di bagian Tengah dan Timur Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Pulau Sumbawa menjadi sangat penting mengingat keberadaannya di antara dua keyakinan ideologi yang berbeda, yaitu; antara keyakinan agama Hindu Bali dan Kristen Flores, NTT. 47 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo Bima 1540-1950, Bogor: CV Binasti, 2008, h. 11. 2 Keadaan Alam Alam Bima mempunyai keelokan tersendiri, di sepanjang pesisir terdapat banyak teluk. Dari sekian banyak teluk, yang paling menonjol adalah Teluk Bima, Teluk Sape, Teluk Waworada, ketiga teluk itu sejak abad 11 M 48 telah berperan sebagai pelabuhan alam yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru negeri. 49 Daratan yang unik dengan gugusan pegunungan dan perbukitan yang sejuk. Di antara gugusan pegunungan itu, terdapat gunung berapi yang paling terkenal yaitu Gunung Tambora, pada tanggal 11 April tahun 1815 meletus dengan dahsyat dan menghancurkan Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar dan Kerajaan Pekat. Selain Gunung Tambora, terdapat pula Gunung Sangiang 50 yang terletak di daerah bima bagian utara sekarang Kec. Wera. Luas dataran rendah ± 30 dari luas wilayah Bima, dulu dikenal subur, namun kini berubah kering, akibat kemarau setiap tahunnya. Lahan pertanian beralih fungsi sebagai daerah pemukiman dan perkantoran, akibatnya wilayah Bima semakin sempit dan berkurang. 3 Sosial Budaya Selain masyarakat pribumi Dou Mbojo, daerah Bima juga didiami oleh pendatang-pendatang yang terdiri dari beragam suku etnik seperti Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Sasak dan Manggarai yang mendiami daerah pesisir pantai. 51 Menurut M. Hilir Ismail, Suku Mbojo dikenal sebagai suku yang taat agama, hampir seluruh masyarakat menganut agama Islam. Suku Mbojo memiliki pandangan hidup “Maja Labo Dahu”. Malu dan takut melanggar larangan agama dan adat-istiadat. 52 Jika terdapat masyarakat melanggar norma agama dan adat, 48 Abad 11 M, perkembangan politik di Nusantara bagian Barat memberi peluang bagi Bima untuk memanfaatkan potensi geografis yang dimilikinya. Pada masa pemerintahan Raja Erlangga politik ofensif Sriwijaya berakhir, sehingga antara kedua kerajaan besar terjalin perdamaian. Erlangga berusaha memajukan perniagaan di Nusantara bagian Timur melalui jalur selatan. Akibatnya perairan laut Flores menjadi ramai, dan pelabuhan Bima yang tenang menjadi pusat niaga di Nusantara. 49 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 12. 50 Abdullah Tajeb, Sejarah Bima Dana Mbojo...,h. 9-12. 51 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kerajaan..., h.16 52 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 13. misalnya, laki-laki beristri selingkuh zina dikenakan hukum agama dera 53 , hukum adat senda 54 , dan sangsi sosial dikucilkan atau diusir. Penduduk asli Bima yang masih bertahan dengan adat dan budaya tersendiri adalah suku Donggo dou Donggo. Mereka bermukim di sepanjang pesisir Utara Bima, sebagian besar mendiami daerah pegunungan di sebelah Barat Kota Bima, mereka disebut dou Donggo Orang Pegunungan. Jumlah mereka tidak sebanyak suku Mbojo, mereka sekitar 15. 55 Orang Donggo terbagi menjadi dua kelompok, dou Donggo Ipa Barat di sekitar Gunung Ro’o Salunga dan Gunung Soromandi. Sementara di sekitar Gunung Lambitu disebut dou Donggo Ele masyarakat Donggo Timur. Pendatang yang berabad-abad telah bermukim di Bima adalah suku Makassar, Bugis, Melayu, dan Arab. Jumlah mereka sekitar 10 dari keseluruhan masyarakat Bima. Kehadiran suku Melayu bersamaan dengan berdirinya Kesultanan di Bima, pada tanggal 5 Juli 1640. 56 Secara bersamaan, etnis Cina pun ikut datang ke Bima, Jumlah mereka jauh lebih sedikit dari etnis pendatang lain, sekitar 5. Mereka terkenal sebagai pedagang dan pengusaha. Dan sejak abad ke-16 oleh Raja Ma Nggampo Jawa 57 membuka lahan pertanian baru secara luas dan diperuntukkan bagi rakyat umum. Oleh karena itu, mata pencahariaan pokok masyarakat Bima sejak dahulu adalah bertani. Masyarakat menanam padi, kacang, jagung, kemiri, dan bawang dalam jumlah besar. Tanaman lain adalah kapas, indigo, langa, dan kasumba untuk bahan pewarna merah dan oranye. Hasil lain adalah garam, yang merupakan bahan ekspor yang penting. 58 53 Hukuman di dera merupakan hukum syariat dalam Islam; dipukul atau dicambuk. 54 Senda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku pembunuhan, penganiyaan, mencuri dalam istana, melanggar susila dalam istana, perzinaan, dan perbuatan makar. Juga diartikan sebagai hukum pembuangan atau diasingkan dari masyarakat umum, atau dijatuhi hukuman mati. A. Tajib, 1995:203. 55 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 14. 56 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 15. 57 Ma Nggampo Jawa berarti “yang menghimpun Jawa”. Raja Bima yang juga merangkap menjadi Raja di Jawa. 58 Siti Maryam R. Salahuddin, Hukum Adat. Undang-Undang Bandar Bima, Mataram: Lengge, 2004, h. 128-129.

b. Motto dan Pegangan Hidup Masyarakat

Etika dalam kehidupan dou Mbojo dapat dikenal melalui penelusuran makna sesanti 59 dan beberapa motto yang sudah ada sejak zaman kesultanan Bima. Ajaran tersebut merupakan tuntunan tata kehidupan yang beradab dan dilandasi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat serta mengandung norma-norma sebagai prisai rohani dan sara pengendalian diri bagi setiap dou Mbojo. Sesanti kehidupan dou Mbojo terungkap dalam bahasa Bima Nggahi Mbojo yang berbunyi : “Maja Labo Dahu”. Dalam sesanti tersebut ada dua kata kunci, yaitu : Maja dan Dahu. Secara harfiah, Maja berarti “malu” dan Dahu berarti “takut = takwa”. 60 Maja Labo Dahu berisi perintah kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah mengikrarkan kalimat tauhid untuk mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam urusan ibadah maupun muamalah. Karena sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mereka harus merasa malu dan takut kepada Allah, pada manusia yang lain masyarakat, alam, lingkungan dan pada dirinya sendiri untuk melakukan hal-hal yang melanggar ajaran Islam. 61 Sesanti “Maja Labo Dahu” yang merupakan sumber ajaran etika dalam kehidupan masyarakat Bima, aktualisasinya dijabarkan dalam berbagai motto yang merupakan wahana pendorong semangat dan kegigihan tekad untuk berbuat baik, berwatak kesatria, memupuk rasa solidaritas sosisal, mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi, menjaga kelestarian alam, dan banyak yang lainnya. Motto yang berasal dari sesanti “Maja Labo Dahu” tersebut telah menjadi etika pemerintahan adat Dana Mbojo. 62 59 Sesanti adalah suatu ajaran etika yang mengandung nilai-nilai utama yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. 60 Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima, Mataram: 2008, cet. II, h. 52-53. 61 M. Hilir Ismail, Menggali Pustaka Terpendam Butir-Butir Mutiara Budaya Mbojo, Bima: 2001, h. 46-47. 62 Djamaluddin Sahidu, Kampung Orang Bima...,h. 55.