Mbojo Dulu, Kini dan Esok

3 Bumi Jara Mbojo Sape menjadi Awaluddin 4 Manuru Bata menjadi Sirajuddin, yang kemudian menjadi Sultan Dompu. Menurut silsilah ia adalah putera Ma Wa’a Tonggo Raja Dompu dengan Isterinya, Puteri Raja Bima Ma Wa’a Ndapa. 75 Dari sumber BO Melayu juga tidak memberikan informasi yang memadai, hanya menjelaskan tentang peranan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam penyiaran Islam di Dana Mbojo pada masa Sultan Abdul Kahir Sultan Bima I. kemudian keterangan tentang peranan Ulama Melayu anak cucu Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro dalam meneruskan perjuangan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro yang sudah kembali ke Makassar. Untuk mengatasi kebuntuan yang ada, maka perlu penulis jelaskan catatan-cacatan lokal dari daerah yang pernah menjadi pusat penyiaran Islam pada abad 16 M, yaitu cacatan dari Demak dan Ternate. 76 Berdasarkan keterangan dari cacatan lokal yang dimiliki, ternyata pada tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para Muballigh dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti datang menyiarkan Islam di Dana Mbojo juga para pedagang Bima pun memliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis penulis akan memaparkan proses kedatangan Islam di Dana Mbojo, yaitu sebagai berikut: 1 Tahap Pertama Dari Demak Sejak jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, Demak mengambil alih peranan Malaka sebagai pusat penyiaran Islam di Asia Tenggara, dan sejak itu pula Demak berhasil mengislamkan daerah-daerah di Jawa Barat dan di daerah-daerah Nusantara bagian timur seperti Ternate dan Tidore. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M. pada masa itu pelabuhan Bima telah ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara, begitupun para pedagang Bima menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah disetiap pelabuhan di wilayah Nusantara. Kemungkinan para 75 M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, Mataram: Lengge, 2004, cet. I, h. 52 76 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 56 pedagang Demak datang ke Dana Mbojo selain berdagang juga untuk menyiarkan Islam. 77 2 Tahap Kedua Dari Ternate Ternate merupakan satu-satunya Negara Islam di Nusantara bagian timur, yang pada abad 16 M. muncul sebagai pusat penyiaran Islam. Menurut catatan Raja-Raja Ternate, pada masa pemerintahan Sultan Kahirun, Sultan Ternate ketiga 1536-1570 telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate, dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokalul Molukiyah yang diperluas istilahnya khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerjasama antara tiga Negara Islam itu dalam menyebarluaskan Islam di Nusantara, selain untuk kepentingan perniagaan. 78 Pada Masa Sultan Babullah 1570-1583, Sultan Ternate keempat, usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa beliaulah, para muballigh dan pedagang Ternate meningkatkan dakwah di Dana Mbojo. Pada masa pemerintahan Sultan Babullah ini, Ternate meraih kejayaan dengan memperluas wilayah kekuasaan, sehingga kira-kira pada tahun 1850 M. menguasai kepulauan yang tidak kurang dari 72 banyaknya. Diantara 72 pulau negeri yang dikuasai Babullah disebutkan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dan Sangaji Mena Di Bali. 79 Kemungkinan yang dimaksud dengan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dalam kutipan ini adalah nama lain dari Sanggar dan kalau kemungkinan itu benar, maka pada masa itu Kore Sanggar dan Dana Mbojo sudah didatangi oleh para muballigh Ternate untuk menyiarkan Agama Islam. Dari dua referensi dan catatan Raja-raja dan informasi BO ’ di atas, penulis memberikan sebuah kesimpulan bahwa Islam masuk dan menyebarkan sayap ke tanah Bima sekitar abad XVI lewat para muballigh dari Demak dan Ternate, namun permasalahannya adalah Islam yang datang dari dua daerah ini tidak menyentuh keluarga kerajaan akan tetapi sebatas dakwah kepada rakyat. Sehingga 77 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 57-60 78 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 61 79 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam ..., h. 62-65 sampai masuknya abad XVII Islam tidak begitu berpangaruh di tanah Bima dan resminya Islam masuk di tanah Bima sekitar tahun 1621 yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1030 H. 7 Februari 1621, yang ditandai dengan syahadatnya Putra Jena Teke La Ka’I bersama pengikutnya dihadapan para Muballigh itu yang di utus oleh Sultan Alauddin Gowa, namun pada saat itu Bima dalam keadaan goncang politiknya karena La Ka’I sedang dikejar oleh pamannya sendiri yaitu Salisi yang berambisi untuk menjadi Raja, dia La Ka’i hendak dibunuh karena dianggap penghalang baginya untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah dia Salisi berhasil membunuh kakaknya La Ka’I yang merupakan Putera Mahkota juga dari Raja Samara. Demi membantu penyiaran Islam di Bima, maka Jena Teke Abdul kahir meminta bantuan kepada Sultan Alauddin untuk membantu melawan Salisi dan tidak lama kemudian Sultan Alauddin mengirim ekspedisi untuk menyerang Salisi dan pengikutnya setelah misi perdamaian yang dikirim oleh Sultan Alauddin Sultan I di baw ah pimpinan Lo’mo Mandalle tidak berhasil, ekspedisi bersenjata dikirim dari Makassar sebanyak tiga kali. 80 Dua ekspedisi tersebut gagal dan karena merasa keamanan Abdul Kahir terancam, maka Sultan Abdul Kahir beserta pengikutnya hijrah ke Makassar. Di Makassar beliau mendalami Islam dari tiga orang ulama Minangkabau yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Patimang. Kemudian tokoh muda Islam ini dinikahkan dengan puteri bangsawan Makassar, adik dari permaisuri Sultan Gowa yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kussuarang. Dari pernikahan itu lahir seorang putera yang diberi nama oleh orang Makassar “I Ambella” dengan nama Islam Abdul Khair Sirajuddin. Dialah yang kelak akan melanjutkan perjuangan ayahnya Abdul Kahir. 81 Setelah lama meninggalkan tanah Bima dan pada akhirnya tokoh-tokoh masyarakat Bima datang untuk kembali meminta bantuan kepada sultan Makssar, maka sekitar tahun 1640 Muharram 1050 H dikirimlah ekpedisi yang ketiga di 80 M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h. 60 81 M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 79