sampai masuknya abad XVII Islam tidak begitu berpangaruh di tanah Bima dan resminya Islam masuk di tanah Bima sekitar tahun 1621 yaitu pada tanggal 15
Rabi’ul Awal 1030 H. 7 Februari 1621, yang ditandai dengan syahadatnya Putra Jena Teke
La Ka’I bersama pengikutnya dihadapan para Muballigh itu yang di utus oleh Sultan Alauddin Gowa, namun pada saat itu Bima dalam keadaan
goncang politiknya karena La Ka’I sedang dikejar oleh pamannya sendiri yaitu Salisi yang berambisi untuk menjadi Raja, dia La Ka’i hendak dibunuh karena
dianggap penghalang baginya untuk mewujudkan impiannya menjadi penguasa, hal itu terjadi setelah dia Salisi berhasil membunuh kakaknya
La Ka’I yang merupakan Putera Mahkota juga dari Raja Samara.
Demi membantu penyiaran Islam di Bima, maka Jena Teke Abdul kahir meminta bantuan kepada Sultan Alauddin untuk membantu melawan Salisi dan
tidak lama kemudian Sultan Alauddin mengirim ekspedisi untuk menyerang Salisi dan pengikutnya setelah misi perdamaian yang dikirim oleh Sultan Alauddin
Sultan I di baw ah pimpinan Lo’mo Mandalle tidak berhasil, ekspedisi bersenjata
dikirim dari Makassar sebanyak tiga kali.
80
Dua ekspedisi tersebut gagal dan karena merasa keamanan Abdul Kahir terancam, maka Sultan Abdul Kahir beserta pengikutnya hijrah ke Makassar. Di
Makassar beliau mendalami Islam dari tiga orang ulama Minangkabau yaitu Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Patimang. Kemudian tokoh muda
Islam ini dinikahkan dengan puteri bangsawan Makassar, adik dari permaisuri Sultan Gowa yang bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kussuarang. Dari
pernikahan itu lahir seorang putera yang diberi nama oleh orang Makassar “I Ambella” dengan nama Islam Abdul Khair Sirajuddin. Dialah yang kelak akan
melanjutkan perjuangan ayahnya Abdul Kahir.
81
Setelah lama meninggalkan tanah Bima dan pada akhirnya tokoh-tokoh masyarakat Bima datang untuk kembali meminta bantuan kepada sultan Makssar,
maka sekitar tahun 1640 Muharram 1050 H dikirimlah ekpedisi yang ketiga di
80
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h. 60
81
M. Hilir Ismail, Kebangkitan Islam..., h. 79
bawah pimpinan Arrasulli Karisulli dan Jalaluddin La Mbila. Ekspedisi ini berhasil mengalahkan kejahatan Salisi, Salisi bersama pengikutnya berhasil
melarikan diri sampai ke Dompu. Ia terus dikejar oleh pengikut Abdul Kahir hingga Salisi terpaksa melarikan diri ke Desa Mata wilayah Sumbawa dan
tinggal di Mata sampai dia meninggal.
82
Setelah berita kemanangan Jamaluddin La Mbila terdengar di Makassar, maka Sultan Makassar II Muhammad Said anak Sultan Alauddin pengganti
ayahnya yang telah meninggal mengirimkan Abdul Kahir dan Bumi Jara Awaluddin kembali ke tanah tumpah darah Bima tercinta dan setelah tiga
bulan kemen angan ekspedisi ketiga, yaitu pada tanggal 15 Rabi’ul Awal 1050 5
Juli 1640 M Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I oleh Majelis Hadat Dana Mbojo dan mulai saat itu berdirilah Negara Islam yang bernama
Kesultanan berdasarkan ajaran Islam dan adat sistim budaya yang Islami.
83
Jadi walaupun Islam di tanah Bima telah tersiar sejak abad XVI, namun baru
diproklamirkan secara resmi pada abad XVII yaitu 5 Juli 1640 M. yang sampai sekarang dijadikan sebagai hari jadi Bima.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Untuk mendukung penelaahan yang lebih mendetail, penulis berusaha melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun hasil pemelitian yang
relevan dengan topik penulisan karya ilmiah ini. Buku-buku dan karya ilmiah yang sebelumnya pernah ditulis dan ditelusuri sebagai bahan perbandingan
maupun rujukan dalam penulisan karya ilmiah ini, yakni: Dalam skripsi yang berjudul Pergeseran Budaya Rimpu Cadar ala Mbojo dan Pengarugnya
terhadap Pendidikan Akhlak Remaja. Ditulis oleh Hanafi di Institut PTIQ Jakarta pada tahun 2008. Inti pembahasan dalam skripsi ini adalah Membahas tentang
bagaimana budaya Bima Mbojo yang dikenal dengan budayanya yang kental dengan warna Islam sehingga apapun bentuk budaya dan kebiasaan asing sulit
82
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.60
83
M. Hilir Ismail, Peran Kesultanan Bima..., h.81
untuk masuk ke dalam kebiasaan masyarakat Mbojo setempat masa dulu. Dalam hal pakaian atau style, dou Mbojo dikenal dengan pakaiannya yang longgar dan
menutup aurat yang disebut dengan Budaya “Rimpu
84
”. Budaya ini adalah budaya yang secara turun temurun yang diwasiatkan oleh nenek moyang Dou Mbojo
terdahulu yang diproklamirkan sebagai budaya Mbojo yang Islami sejak tahun 1640 M. yang dipertahankan dan dilestarikan hingga sekarang karena budaya
Rimpu ini terbukti mampu merubah dan menjaga kaum wanita dewasa hawa suku Mbojo dari hal-hal yang tidak diperkenankan oleh Islam seperti
memamerkan aurat kepada yang bukan mahram dan hal-hal yang berbau maksiat dan mampu menjadikan gadis-gadis suku Mbojo sebagai perempuan yang
berakhlak mulia. Budaya Rimpu ini sejalan dengan budaya dan kewajiban dalam Islam yaitu kewajiban menutup aurat atau berhijab berjilbab yang dalam Al-
Quran dan Hadis Nabi banyak kita jumpai perintah berjilbab atau menutup aurat, larangan memperlihatkan aurat kepada bukan mahram, berpakaian yang berbentuk
ketat dan sejenisnya. Dalam buku yang berjudul Pantun Melayu; Titik Temu Islam dan Budaya
Lokal Nusantara yang ditulis oleh Abd. Rachman Abror yang berisi 400 halaman dan dicetak pada tahun 2009. Buku ini membahas tentang bagaimana pantun
merupakan salah satu generasi puisi Melayu tradisional yang paling akrab dengan kehidupan orang Melayu. Demikian dekatnya hubungan pantun dan manusia
Melayu sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa pantin adalah Melayu dari segi manusia dan dunianya. Karena itu, pantun menjadi sarana yang paling
efektif dalam mendokumentasikan dan mensosialisasikan nilai-nilai luhur agama dan adat kepada masyarakat Melayu. Ajaran-ajaran kehidupan dan agama
disampaikan dengan sesuatu kebiasaan masyarakat dan yang masyarakat senangi yaitu dengan berpantun. Menyampaikan beberapa ajaran agama dengan
berpantun, masyarakat yang mendengarkan ajaran-ajaran yang disampaikan mudah dipahami sehingga dapat dilaksanakannya.
84
Rimpu adalah sejenis kerudung yang berbentuk cadar dari sarung tradisional kain tenun yang dipakai oleh kaum hawa untuk menutup aurat ketika meninggalkan kediaman.
Perbedaan dari tulisan pertama di atas dengan apa yang penulis teliti adalah terletak pada subyek yang diteliti yang pertama membahas tentang budaya rimpu
cadarjilbab ala Bima sedangkan penulis membahas tentang budaya Bima lainnya yaitu ziki guru bura syair tasawuf yang terdapat di Bima. Yang
membedakan dengan karya yang kedua di atas adalah obyek atau sasaran dari yang diteliti dan fokus pembahasannya.
C. Kerangka Berfikir
Otonomi daerah memberikan paradigma baru bagi setiap daerah untuk menata kembali kehidupannya dalam segala aspek, seperti : keadilan,
pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan, sosial budaya maupun agama serta peningkatan mutu pendidikan, dan yang paling pokok adalah otonomi
pendidikan yang sesui dengan nilai-nilai luhur dan etika yang dianut oleh masyarakat setempat, sehingga mereka tidak tercerabut dari akar budayanya, dan
pada sisi lain mereka mampu bersaing secara sehat dengan daerah lain di nusantara ini, disamping itu nilai-nilai yang baik ini bisa ditularkan kepada
masyarakat lain di seluruh wilayah Indonesia. Maka, penulis menyimpulkan untuk sementara, bahwa ziki guru bura
merupakan solusi untuk menjawab berbagai krisis kepercayaan sebagian besar peserta didik secara khusus dan masyarakat umunya terhadap perilaku pendidik
yang terkadang tidak sejalan dengan ranah pendidikan yang mengusung nilai-nilai etika dan moral akhlak yang luhur.
Karena guru adalah orang yang harus digugu dan ditiru, maka seyogyanya mereka bersikap dan berbuat sesuai dengan apa yang mereka ucapkan, sehingga
peserta didik tidak hanya dijejalin dengan petuah-petuah kosong tentang akhlak, akan tetapi mereka peserta didik sangat membutuhkan akhlak yang hidup, yaitu
contoh teladan qudwatun hasanahuswatun hasanah yang lansung dari pendidik itu sendiri.
Ziki guru bura juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan agama Islam dan nilai-nilai pendidikan nasional kita yang menjunjung tinggi warisan budaya yang
baik dan benar. Karena budaya adalah cermin jati diri suatu bangsa, maka warisan budaya yang terkandung dalam kearifan lokal local wisdom harus dijaga dan
dilestarikan. Orang yang tidak menghargai budaya sendiri adalah ciri orang yang tidak percaya diri, dan orang yang tidak percaya diri adalah termasuk orang yang
lemah. Disamping itu masyarakat Mbojo menganggap falsafah ziki guru bura adalah
sebagai cermin dari tata nilai yang menjadi kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Walaupun pada akhir-akhir ini nilai-nilai tersebut mulai terkikis
ditengah kancah kehidupan masyarakat Mbojo itu sendiri, karenan disebabkan oleh desakan westernisasi, globalisasi budaya dan informasi yang tidak terkendali.