Kerangka Penelitian Disertasi TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

21 Di sini, sekali lagi, untuk mempertegas bahwa dialektis menunjuk pada tekanan-lebih kepada dimensi waktu daripada ruang. Dalam masyarakat tambang tentu lebih berkepentingan dengan dimensi waktu daripada ruang sehingga tidak ada yang terabaikan 10 . Dimensi ini merupakan phantasmagoric atau “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu”; sehingga dalam hubungan tersebut menjadi sangat perlu penetapan kepercayaan trust dalam relasi antar-aktor tambang tanpa perlu mereka bertemu secara fisik. Dalam praktik pertambangan, dasar-dasar kepercayaan yang disepakati mampu menjembatani keterpisahan antara ruang-waktu. Jadi dengan ditetapkan trust sebagai rujukan keterpisahan memang perlu tetapi hendaknya didukung oleh adanya persyaratan-persyaratan. Persyataran dimaksud, bahwa setiap aktor petambang hendaknya memiliki modal sosial dan pribadi yang cukup, tenaga kerja pembantu untuk menunjuk keaktorannya maupun sistem kelas yang menggambarkan kedudukan aktor tambang yang lebih tinggi dari warga sekitar serta kemampuannya dalam menciptakan perbedaan.

2. Kerangka Penelitian Disertasi

Berdasarkan dua kajian dari Nirzalin 2011 dan Munandar 2011 di atas dan tinjauan pustaka yang digunakan maka sampailah pada fokus penelitian yang mengusung “Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka” untuk dijelaskan dan dipraktikkan di lapangan serta dilihat kemungkinan hasil-hasilnya. Paling tidak, penelitian ini berupaya untuk mempertanyakan apa yang mau ditawarkan dan bagaimana proses menuju pada tawaran akademik itu? Pastinya, bahwa berdasarkan jenis paradigma saja sudah sangat berbeda. Kedua peneliti tidak secara tegas mengungkapkan paradigma-metodologi apa yang digunakan. Nampaknya apa yang mereka paparkan sebatas paradigma- ilmu Nirzalin, menggunakan Giddens dengan teori strukturasinya; dan Munandar, menggunakan Bourdieu dengan strukturalis-konstruktivis. Konklusi itupun sebenarnya didapat peneliti setelah menelaah lebih dalam mengenai analisis yang mereka gunakan. Nirzalin misalnya, mengungkapkan penelitiannya 10 Dalam keseharian akan sangat mudah ditemukan, yaitu ketika kita bertanya sesuatu tentang jarak di suatu kampung. Katakanlah menuju rumah si A. Orang yang ditanya dengan enteng mengatakan, cukup dengan „sepuluh sedotanisapan rokok‟ maka akan sampai ke rumah di A tadi. Angka sepuluh isapan rokok menunjuk ketidak jelasan, terlebih bila kita tidak merokok. Namun terpenting dari itu adalah bahwa orang tadi menjelaskan rentang waktu. 22 dengan memaparkan bekerjanya rezim Orde Baru maupun Reformasi terhadap Teungku Dayah melalui analisis struktur-agensi, sedang Munandar melalui struktur-PKS dalam bingkai politik Indonesia melalui analisis strukturalis- konstruktivis. Berdasarkan analisis yang digunakan oleh kedua peneliti bahwa argumentasi metodologis yang gayut dengan fokus tidak ditemukan sehingga melaluinya tidak ditemukan pula di mana posisi penelitian mereka itu sebenarnya. Meski keduanya sama-sama menekankan aspek aktor sebagai obyek kajian, sama pula dengan penelitian ini yang menekankan aspek aktor yang berkontestasi, namun posisi peneliti dalam penelitian ini sangat jelas menempatkan Teori Kritis sebagai paradigma-metodologisnya. Pilihan pada paradigma ini yaitu selain merupakan rangkaian yang ada hubungannya dengan aspek „peran‟ struktur juga terkait aktor selanjutnya menuntut peneliti untuk bertindak dan melakukan keberpihakan-keberpihakan Denzin dan Lincoln, 2009: 124. Dalam penelitian ini dengan sangat jelas menunjukkan keberpihakan peneliti yaitu pada aspek aktor masyarakat yang mengarah pada perbaikan dan keberlangsungan lingkungan alam timah atau eko-populis. Penjelasan ini penting karena, sebagaimana dialami Aliran Frankfrut ketika mereka tidak mampu membebaskan kaum buruh dari ketertindasan maka dianggap sebagai sebuah kegagalan. Pad ahal „manusia adalah makhluk oby ektif‟ yang berarti manusia adalah makhluk yang merealisasikan dirinya dengan mengobyektifkan diri ke dalam Alam Magnis-Suseno, 1993: 212 sehingga pada titik ini diperlukan pembebasan di mana pembebasan tersebut bersifat emansipatoris. Dengan demikian jika mungkin ada sedikit persamaan dengan Nirzalin yaitu seputar penjelasan tentang struktural belaka sementara teori strukturasi Giddens dengan struktur-agensi sepenuhnya digunakan Nirzalin untuk menjelaskan Teungku Dayah di Aceh. Demikian juga dengan Munandar meski analisisnya menggunakan Bourdieu kesamaannya menyangkut peran negara hubungannya dengan peran aktor sebagai jamaah PKS serta keterlibatan partai dalam perpolitikan nasional. Perbedaan lain yang ingin diisi dalam penelitian ini adalah, bahwa jika struktur-agensi merupakan tindakan dualitas dalam sistem sosial karya Giddens, yaitu memunculkan agen selalu ada hubungannya dengan struktur, demikian pula dengan struktur selalu ada hubungannya dengan agen. Di kelompokkannya 23 Giddens dalam strukturalis menyangkut tekanannya yang sedikit berlebihan kepada struktur daripada agen Giddens, 2003: 92 dan karena kegigihan untuk mempertahankan hubungan dialektika yang menjadi kekhasan dari teori strukturasinya. Di sini posisi penelitian Nirzalin 2011 nampak tepat diterapkan. Penelitian Munandar 2011, jika aspek struktur-agensi yaitu antara Jemaah PKS dengan struktur PKS sebagai partai dan dikonteskan lagi dengan parpol lain menggunakan teori dari Tilly yang menekankan aspek keterhubungan atau dialektika mirip Giddens tetapi dengan medium tarungnya yang bertingkat. Dalam tingkatan pertama medium tarung antar-aktor dalam ruang tarung partai atau internal; dan berlanjut ke ruang tarung tingkat nasional yaitu di mana PKS saling dikonteskan dengan partai-partai lain. Penelitian tentang kontestasi aktor dalam memperebutkan sumberdaya timah di Bangka ini menekankan aspek struktur hubungannya dengan agen dan saling membentuk di antara keduanya. Bermula dari sumberdaya timah di Bangka sebagai given. Akibat regulasi setelah reformasi, yang semula tatakelola sumberdaya timah diatur secara monolitas negara dan regulasi demikian merupakan lanjutan dari regulasi atau tatakelola yang dilakukan kolonial. Dikatakan demikian, karena memang Pemerintah Indonesia sama sekali tidak membuat regulasi yang sama sekali baru terutama semangat yang tertuang di dalamnya. Semangat yang muncul adalah semangat pinjaman kolonial yaitu, untuk menambah atau meningkatkan produksi sebesar-besarnya bagi kepentingan negara state. Dalam upaya mempertahankan semangat tersebut maka ditempatkanlah apatarus negara sebagai penjaga keamanan, yang diarahkan baik terhadap gangguan yang datang dari dalam maupun datang dari luar terhadap bekerjanya produksi dan distribusi tambang. Gambaran ini tidak berubah hingga menjelang reformasi. Dalam kebijakan tatakelola tersebut baik masa kolonial maupun rezim Orde Baru adalah sama, yaitu memposisikan masyarakat sekitar tambang hanya sebagai masyarakat sekitar tambang itu belaka. Kehidupan mereka sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan kapling lahan yang sedianya sebagai survival kehidupan masyarakat lokal pun harus tersingkir manakala kapling lahan tersebut masuk dalam Kuasa Penambangan KP timah. Kuatnya otoritas negara melalui korporasi tambang hampir tidak memberikan ruang kehidupan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat lokal hanya sebagai penonton atas timah. 24 Paparan atau penjelasan sudah berjalan lebih dari tiga abad lamanya. Semangat yang tumbuh adalah semangat yang menempatkan masyarakat seperti asing di sosiokultural mereka sendiri. Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Disertasi Keterangan: N : Negara S : Swasta K : Komunitas AT : Aktor Transisi AP : Aktor Pembaru Kondisi tersebut berubah setelah rezim Orba jatuh dan diganti dengan rezim pascaOrba atau dikenal dengan reformasi itu. Monolitas negara yang begitu kuat mengatur tatakelola tambang berubah menjadi multilitas dengan hadirnya UU Otonomi Daerah dan desentralisasi yang memberikan ruang yang lebih lebar Arah Baru TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI di Bangka SUMBERDAYA TIMAH Tambang Rakyat Tambang Korporasi AT A P N S K 25 kepada daerah untuk daerah dan mengelola sumberdaya alamnya sendiri. Sumberdaya timah di Bangka memasuki babak baru dalam tatakelola hingga melahirkan dualisme. Dalam skala mikro, dalam penelitian memunculkan aktor yang direpresentasikan sebagai Aktor Transisi AT dari tambang korporasi dan Aktor Pembaru AP dari tambang rakyat. Kedua aktor sesungguhnya tidak berkontestasi secara frontal. Kedua aktor berkontestasi terhadap negara, swasta dan komunitas dalam memperebutkan sumberdaya timah itu. Kontestasi kedua aktor dibatasi sejak awal masyarakat boleh menambang hingga tahun 2005 bagi AP. Setelah itu AP memposisikan diri sebagai aktor yang anti tambang eko-populis, sementara AT masih bergerak ditambang hingga kini kapitalis di mana keduanya memulai sebagai penambang sejak tahun 1996 bersamaan dengan gejolak politik di pusat pemerintahan Jakarta. Jadi kontestasi yang dilihat adalah kontestasi sebelum tahun 2005 dan sesudahnya. Dengan catatan sekali lagi bahwa kedua aktor tidak saling berkontestasi. Keduanya sebagaimana disinggung di atas berkontestasi dengan aktor negara, swastapemodal dengan komunitas. Dalam realitas historisnya AP berkontestasi dengan negara tetapi tidak berkontestasi dengan swasta non-timah, sebaliknya AT tidak berkontestasi dengan negara bahkan mengikuti aturan main yang dibuat negara terkait tambang tetapi AT berkontestasi dengan swasta non-timah. Kedua aktor sama- sama sebagai patron dari masyarakatnya tetapi dengan tekanan berbeda yang disesuaikan dengan ideologi yang mereka anut. Berdasarkan dua aktor petarung di ruang kontes dengan dua ideologi berbeda itu pulalah menentukan arah baru yaitu transisi konsolidasi demokrasi di Bangka ke depan. 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. Metode penelitian

Telaahan kontestasi aktor dalam perebutan sumberdaya timah di Bangka menggunakan metode observasi, wawancara dan life history. Observasi memberikan perhatian dan gambaran sosok aktor yang diinginkan terkait sumberdaya tambang itu. sudah tentu dalam memberikan perhatian dan gambaran akan sosok yang diinginkan maka sudah dengan sendirinya belangsung proses evaluasi yang bertujuan mendekatkan aktor dengan kondisi obyektif yang relevan dengan fokus sehingga tampil kemudian aktor yang diinisialkan sebagai Aktor Pembaharu AP dan Aktor Transisi AT. Tentu sebagai sebuah proses maka sosok aktor yang difokuskan tidak dengan sendirinya muncul dalam bentuk yang sekali jadi. Hasil akhir yang didapatkan AT dan AP itu merupakan akumulasi dari proses wawancara panjang dan mendalam baik terhadap aktor itu sendiri maupun aktor-aktor lain. Penetapan pilihan aktor dan kemudian dilakukan dengan life history sudah memasuki fokus telahaan yang secara kasat mata tidak mudah dilakukan. Artinya, wilayah gagasan aktor, keinginan, jaringan dan harapan-harapan dirinya dan dalam hubungan bertindak terkait tambang terlacak melalui life history itu, sehingga karenanya tidak mungkin terjadi duplikasi satu akan dengan aktor lain Giddens, 2010a: xxxxiii. Akumulasi aktor terkait tambang merupakan kesepemahaman menemukan pengetahuan bersama mutual knowledge sebagai basis penjelas dalam penelitian.

2. Paradigma Utama Penelitian

Sekilas bahwa telaahan tentang kontestasi aktor dapat diinterpretasikan sebagai menyangkut aspek kesejarahan awal hingga akhir seorang aktor dalam berkontestasi. Dalam terminologi Marxian aspek kesejarahan dimaksud dikenal dengan realitas historis 1 . Dengan demikian kontestasi aktor di pertambangan timah di Bangka merujuk pada realitas historis aktor hubungannya dengan faktor- 1 Realisme historis adalah gejala atau fenomena sosial yang merupakan ontologi dari paradigma Teori Kritis. Penjelasan ini untuk membedakan dengan paradigma Post-positivisme dimana realitas sosialnya disebut sebagai realisme kritis, Positivisme menyebut realism, dan paradigma Konstruktif dengan relativisme. Lihat, Egon G. Guba Yvonna S. Lincoln dalam Norman K. Denzin Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm 135