Aktor dan Reklamasi DUALISME AKTOR DI DUA KAMPUNG DI KABUPATEN

92 AP dalam perjalanan praktik pertambangan menyadari bahwa modalkapital yang diakumulasikan mulai menyusut. Namun kesadaran nyata tersebut terasa terlambat. AP dipaksa menikmati tahapan-tahapan yang sangat tidak nyaman dan sungguh melelahkan, sehingga membuat AT dalam kuasa pengetahuannya berpikir-ulang untuk kembali ke timah betapapun besarnya godaan itu. Kesadaran diskursif inilah yang menyadarkan AT untuk secara kreatif mengambil langkah-langkah berbeda, yang semula menempatkan kepentingan utama pada timah sementara sisanya sebagai kepentingan alternatif, untuk kemudian di balik dengan menempatkan kepentingan alternatif menjadi kepentingan utama. Kepentingan utama pada timah tidak dialihkan kepada kepentingan alternatif melainkan membuangnya sama sekali. Berdasarkan inilah kemudian AP mengusung jargon politik ekologi dengan “Bisa hidup tanpa timah”.

6. Aktor dan Reklamasi

Berkenaan dengan reklamasi di Bangka Barat dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu lahan bekas penambangan yang belum dan yang sudah direklamasi. Lahan yang sudah direklamasi dimulai tahun 1992-2007 dan lahan yang belum direklamasi dimulai tahun 1999-2007 lampiran 1. Berdasarkan lampiran 1 L.1 terlihat bahwa di Bangka Barat sebelum tahun 1992 tidak ada dalam catatan yang menunjukkan bahwa lahannya sudah direklamasi. Melalui data yang sama, baru pada tahun 1992 di Bangka Barat ada 28,5 Ha yang direklamasi hingga total sampai tahun 2007 sejumlah 1.160,5 yang sudah direklamasi. Tabel L2 yang belum direklamasi di Bangka Barat tahun 1999 ada 180,40 Ha hingga total sampai tahun 2007 sejumlah 542,09 Ha. justru menguatkanBahkan melalui data masa sebelum reformasi dan sesudahnya. Kedua periode tersebut hakekatnya [reklamasi] tetap menjadi tanggungjawab negara melalui korporasi tambang yang praktiknya di lapangan diserahkan kepada pihak ketiga. Pemilihan berdasarkan dua kelompok waktu karena cara dan strategi yang dilakukan PT Timah memang berbeda dan perkembangan kuasa pengetahuan masyarakat pun berbeda.

6.1. AP dan Reklamasi di Kampung Airputih

Dusun Jungku, salah satu dusun di kampung Airputih yang areanya akan direklamasi oleh PT Timah. Lokasi yang akan direklamasi luasnya sekitar 100-an hektar. Kelihatannya area yang mau di reklamasi mulai dari tepi pantai Jungku hingga masuk ke dusun Selindung. Kedua dusun memang paling parah 93 dibandingkan dengan dusun-dusun yang lain yang ada di kampung Airputih. Lebih rumit lagi kedua dusun dengan ekologi yang menggabungkan daratan, pesisir dan laut dangkal. Berdasarkan itu maka tidak mengherankan jika kedua dusun selain penduduk bertanam tanaman perkebunan juga nelayan; sehingga reklamasi menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi kedua area itu. Penduduk masa itu sudah dikumpulkan dan didengar akan pendapat dan respons mereka serta jenis tanaman apa yang paling cocok untuk wilayah itu. Nampaknya pola dengan menyertakan penduduk untuk ikut terlibat dalam reklamasi digunakan PT Timah sesudah reformas i dibandingkan dengan masa sebelum reformasi yang sama sekali tidak pernah menyentuh masyarakat sekitar. Tujuannya jelas bahwa ada tanggungjawab moral yang dibebankan kepada penduduk agar tidak lagi menggali dilokasi yang sudah reklamasi. Masa Orba masyarakat tidak berani merusak pohon-pohon yang merupakan hasil reklamasi PT Timah. Masa Orba aparatus negara bertindak sangat represif dan setiap aparat kampung dapat menjadi penjaga atau pengawas tanaman hasil reklamasi. Kondisi serupa berbalik setelah reformasi. Masyarakat menjadi berani dan karenanya setiap reklamasi yang dilakukan PT Timah dengan mengajak serta masyakakat setempat. AP menuturkan. Tapi entah kenapa PT Timah tidak menindaklanjuti [reklamasi]. Padahal sudah sekitar lima tahun ini ditunggu tetapi belum ada juga aktivitas itu. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya. Cuma dengar-dengar PT Timah ini kecewa karena kejadian di wilayah Jebus salah satu kecamatan di Babar di mana lahan yang sudah direklamasi di rusak lagi oleh penduduk. Menurut AP apa yang dilakukan pihak PT Timah itu sudah benar yaitu dengan menyertakan penduduk setempat. Tetapi khusus untuk kasus reklamasi di dua dusun itu tertunda untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Namun sikap PT Timah terkait reklamasi jelas yaitu penduduk diajak serta menanam. Sebagaimana yang dilakukan PT Timah baru-baru ini dengan melakukan penanaman bibit bakau di teluk Rubiah Muntok sekitar 5000 bibit dengan melibatkan masyarakat setempat 34 . AP melanjutkan bahwa reklamasi ini pernah pula dilakukan PT Timah sebelum reformasi. Bedanya dengan sekarang, bahwa masa itu penduduk tidak disertakan dan penduduk pun masa itu tidak ingin terlibat dengan urusan yang ada hubungannya dengan timah. Penduduk nampak 34 http:www.reportasebangka.comreport-babelpangkalpinang1113-soal-reklamasi [17 Juli 2012] 94 takut dan trauma dengan beberapa kejadian, meski hanya isu, bahwa keterlibatan masyarakat dengan timah meski baru berupa informasi tanpa bukti apalagi dengan nyata membawa pasir timah sudah cukup mereka diintrogasi dan langsung dimasukkan ke penjara. Berdasarkan fakta ini menyiratkan bahwa rezim Orba sedang memainkan struktur dominasinya atau meminjam Gramsci sedang memainkan dominasi politik melalui tindakan-tindakan represif aparatusnya guna mengamankan aset negara. Negara dengan alasan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak bukan hanya orang perorang dan golongan sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 sudah cukup dijadikan alasan atau struktur legitimasi negara guna memainkan fungsi-fungsi represif aparatusnya. Kuatnya struktur dominasi dan legitimasi negara dituturkan AP saat menyaksikan serah terima lahan yang sudah direklamasi dari PT Timah ke Pemda Babar. PT Timah bermain sendiri dan serta tahu sendiri. Semua mereka yang atur. Saat serah terima pun kelihatan PT Timah mengambil posisi di atas dan Pemda yang diwakili Dinas Lingkungan Hidup terkesan seperti di bawah. Tidak ada perwakilan dari masyarakat di mana lokasi reklamasi itu dilakukan. Aparat kampung hanya hadir sebagai saksi belaka. Paparan AP di atas menjelaskan bahwa prosesi serah-terima dari PT Timah ke Pemda Babar sebelum reformasi atas reklamasi yang dilakukan PT Timah seluas 100-an hektar di bekas pengerukan kapal keruk di kompleks Bendul. Reklamasi bekas tambang itu ditanam dengan pohon Mahoni, Akasia dan satu jenis pohon lain yang AP sendiri tidak dapat menjelaskannya dari jenis pohon apa. Tetapi AP dapat membedakan bahwa tanaman yang didatangkan untuk mereklamasi bukanlah dari tanaman atau pohon setempatlokal. Dengan demikian kuasa pengetahuan negara justru sebagai alat dominasi yang cenderung memanipulasi sehingga masyarakat sendiri merasa sangat tidak memiliki dan tidak tahu. Dalam realitasnya memang membuktikan bahwa tanaman reklamasi itu selain tumbuh cepat juga mampu memberikan pengayoman kepada tanaman lain dan dapat tumbuh bersama di sekitar tanaman reklamasi. Di luar reklamasi yang dilakukan PT Timah, masyarakat Airputih juga pernah melakukan reklamasi serupa. Masyarakat melakukan itu setelah melihat bahwa beberapa lokasi dekat perkampungan sudah kelihatan tandus dan jika dibiarkan 95 berlarut-larut Pohon yang digunakan adalah tanaman karet. Area reklamasi dilakukan.

6.2. AT dan Reklamasi di Kampung Mayang

Bekas eksploitasi tambang di Mayang memanjang dan masuk dari arah kampung Rambat di utara. Bekas eksploitasi itu membentuk sungai kecil dengan lebar sekitar 50 meter terlihat dari tanah yang hampir rata dengan di sisi kiri- kanannya membentuk tebinglereng yang landai terus memasuki dan seolah membelah kampung Mayang. Namun memasuki Mayang belahan itu bergerak menjadi tiga bagian, di timur, di tengah kampung Mayang dan di barat. Posisi Mayang seperti delta yang terbelah ditengahnya. Bekas itu terlihat dari adanya aliran sungai kecil memasuki Mayang baik dari arah Pangkalpinang maupun dari Muntok serta di tengah-tengah, dan sekarang dibangun masjid, saat memasuki Mayang. Jika Heidhues menyebut Belo pernah ditambang yang dibuktikan menyebut data sekitar 6 mil dari Muntok tetapi berdasarkan puing-puing bangunan yang ada ternyata sisa rumah sakit dengan nama „Rumah Sakit Muntok di Mayang‟ dapat diklik, Muntok 24. Bouw van een brug, vallei Rambat. Tahun 1970-an bekas tambang peninggalan Belanda hingga membentuk rumah sakit tersendiri di Mayang itu dieksploitasi lagi. Melihat bekas yang ada PT Timah menggali kembali tetapi area galian tidak sampai ke Mayang. Bukti tersebut dilihat dari adanya beberapa tanggung penahan air yang memanjang dari timur-barat dengan lebar tanggul sekitar 15 meter. Jarak tanggul satu dengan yang lain tidak tentu, dalam arti, ada yang berjarak 100 meteran dan banyak yang lebh dari jarak itu. Nampaknya tanggul yang dibangun mengikuti kelokkan sungai atau sebaliknya tanggul dibangun agar air dapat berkelok- kelok dari kampung Mayang ke kampung Rambat terus menuju laut Natuna. Di antara tanggul satu dengan lain itulah banyak ditanam beberapa pohon, dalam bahasa lokal pohon gelem dan pohon lain membentuk semak. Reklamasi dulu tahun 1970-an itu memang ada. Kelihatannya beberapa tanaman yang berbeda dengan tanaman „asli‟ Mayang itulah jenis yang ditanam PT Timah. Saya tidak tahu sejak kapan diserahkan kepada negara Pemda namun diperkirakan sejak tanaman reklamasi tumbuh dan tidak mungkin mati. Dan setelah area tambang itu dikembalikan ke negara, tidak ada lagi reklamasi. 96 Apa yang diungkap AT dengan menunjuk fakta bahwa memang ada reklamasi tetapi tidak dapat menjelaskan seberapa luas area yang direklamasi. Namun berdasarkan bukti-bukti dengan adanya sisa tanggul, nampaknya PT Timah tidak sekadar menanam tetapi juga menjaga agar tanah yang dieksploitasi tidak terkikis dan terbawa air sungai hingga ke laut. Bukti lain yang diungkap AT bahwa PT Timah membayar pajak royalty, pen ke negara tetapi untuk pasir timahnya sendiri tidak tidak ada pembayaran. Dalam pemahaman AT dikembalikannya area tambang ke Pemda dikarenakan, PT Timah tidak sanggup membayar pajak itu Wawancara, 17 Juli 2012. Akhir tahun 1980-an PT Timah kembali melakukan reklamasi. Jika tahun 1970-an dilakukan di utara Mayang pada tahun ini dilakukan di selatan Mayang. AT kembali menuturkan. Tidak jelas berapa hektar yang direklamasi PT Timah. Yang saya tahu bahwa perusahaan itu menanam pohon Akasia untuk kepentingan penghijauan bahasa AT. Anak buah disuruh menanam maksudnya mungkin, buruh yang dikontrak melalui pihak ke tiga dengan pembayaran Rp 5 jutahektar. Semula ditanam dengan pohon karet dan rambutan tetapi tidak hidup mati. Bibit yang diperoleh dari PT Timah sendiri. Menjelang reformasi yang dieksploitasi penduduk Mayang adalah lokasi yang direklamasi baik yang dilakukan sejak tahun 1970-an hingga sekarang. Berdasarkan apa yang dilakukan warga dan nampaknya telah berlaku secara menyeluruh di seluruh Bangka Barat sehingga tidak ada lagi yang tersisa tanpa dieksploitasi 35 sehingga bisa jadi PT Timah sempat menunda menunda dahulu reklamasinya lampiran 1 dan 2. 35 TI melakukan dilahan KP Timah sebenarnya lebih kepada menekankan aspek efisiensi. Jika TI itu membuka tambang dilahan primer maka secara teknis mereka harus menyediakan alat berat dan mesin pemotong kayu, sementara di KP Timah tidak perlu lagi menggunakan alat berat itu. 97 Boks 5.2. Konflik Kampung Mayang dengan Korporasi Sawit Tidak ada yang tahu persis garis demarkasi antara milik kampung Mayang dan Korporasi sawit. Patok pembatas yang memisahkan kedua wilayah dibatasi dengan aliran sungai kecil [selebar 1 meter]. Sungai tersebut kelihatan besar dan luas hanya karena kemiringan lerengnya, sekitar 20 derajat. Jika melihat Gambar 5.1 di samping maka Utara Wilayah adat kampung Mayang 5 meter Sungai [kecil] Wilayah korp sawit 5 meter garis batas maksimal yang di- bolehkan untuk dioperasikan adalah 5 meter di atas sungai. Batas ini ditarik ke atas [kemi- ringan lereng sungai] sehing- ga tidak mungkin pula untuk dioperasikan dalam berbagai kegiatan apapun. Dengan kata lain 5 meter dengan ke- miringan adalah zona merah. Apa yang dilakukan perusa- Gambar 5.1 haan ini telah melampaui ke- Warga Mayang Vs Korporasi Sawit sepakatan sehingga penduduk merasa sangat terganggu dalam beraktivitas. Korporasi sawit menyewa preman kampung Airbelo dalam mengamankan wilayah operasinya. Dalam praktik sosialnya ketika warga dan buruh sawit mendekati sungai sudah dianggap melanggar tapal-batas. Jika sebelumnya hanya berbentuk kode-kodeisyarat dan peringatan makin lama sudah dalam bentuk siap-tarung. Sebagaimana dituturkan AT bahwa pelanggaran yang dilakukan perusahaan sudah keterlaluan. Mereka menanam pohon sawit sebagai tanaman baru justru mendekati sungai [melampaui garis batas 5 meter]. Padahal dalam pengertian „awam‟ bahwa pohon sawit mampu menyedot air hingga lebih dari 100 literharipohon, sehingga dengan ditanami lebih dari 100 pohon maka dapat diperkirakan berapa volume air yang tersedot sawit. Sementara perilaku preman dari kampung Airbelo sekaligus humas perusahaan bersikap sangat membela perusahaan tanpa mempertimbangkan hubungan „baik‟ antara kedua kampung yang suhu konfliknya naik-turun. AT merasa bertanggung jawab terhadap persoalan itu. Sebagai orang yang di tuakan dan konon memiliki ilmu „kedigjayaan‟ bersama warga Mayang menyatroni rumah tinggal preman Airbelo tersebut setelah dicari di perusahaan tidak ditemukan. Dengan cepat AT menghubungi aparat dan pejabat Pemda untuk ikut mendiskusikan mengenai tapal-batas wilayah itu hingga ditemukan kata sepakat bahwa perusahaan harus mencabut seluruh tanaman sawitnya dan kembali ke garis batas yang telah disepakati sebelumnya. Sambil berseloroh AT mengatakan bahwa dengan jaringan ke Pemda dan aparat kepolisian yang „dimanfaatkan‟ itu dia mampu mengusir perusahaan tersebut kembali ke wilayahnya. Preman Airbelo yang membela perusahaan sempat dia ajak bertarung. Tetapi preman Airbelo tidak berani. Padahal „isi‟ sebenarnya bahwa persis di bawah tanah yang disengketakan itu ternyata memiliki kandungan pasir timah yang cukup besar. Bagaimana mungkin bisa mengoperasikan pasir timah jika air di sungai itu terkuras habis akibat sawit? 98 98

BAB VI KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI