Contestation of actors in a seizure of tin resource in Bangka

(1)

i

KONTESTASI AKTOR

DALAM PEREBUTAN SUMBERDAYA TIMAH DI BANGKA

DJAJA HENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kontestasi Aktor

dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

Djaja Hendra


(3)

iii

ABSTRACT

DJAJA HENDRA. Contestation of Actors in a Seizure of Tin Resource in Bangka. Under the supervision of ENDRIATMO SOETARTO, ARYA HADI DHARMAWAN and BAMBANG PURWANTO

This study aims to map the position and role of mining actors (community) in their contestation in a seizure of tin resource in Bangka. In the contestation it is expected that a new direction regarding the transition of consolidation of democracy, that takes place in Bangka, is illustrated or reflected. In an effort to achieve the aim, the contestation of mining actors is confronted with changes in the political ecology of tin resource as well as the determination of the transition of consolidation of democracy towards a better direction or vice versa.

This study uses a qualitative approach of Giddens‟ structuralism with

analysis of the paradigm of Critical Theory. In the historical realism of mining in

Bangka, it is illustrated that the state‟s dominance through mining corporate (PT

Timah Tbk) was very powerful and diminished in the post New Order era. Effort to unravel the things behind that change refers to the work of the Critical Theory paradigm.

The research was conducted in the hamlets of Airputih and Mayang in West Bangka Regency with a focus on the contestation of two mining actors with the state, regional government and investor/private actors. The results showed that: (1) the political map of the governance of tin resource in Bangka shifts in

character from a state‟s monolithic to a distributed multilithic; (2) The non-capitalistic Reformer Actors (RA) carry non-capitalist eco-populist ideology while

starting “stop mining” with revitalizing the potential of community modes of

production, and Transitional Actors (TA) carry Capitalist ideology while starting

“tin for the people” stay afloat with tin mining despite the destruction of the environment; (3) in the practice of mining in Bangka the RA is more accurately described as Rational Actors, while TA is more accurately described as Pragmatic Actors.


(4)

iv

RINGKASAN

Djaja Hendra. Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka. Di bawah bimbingan Endriatmo Soetarto, Arya Hadi Dharmawan, Bambang Purwanto.

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan posisi dan peran aktor (masyarakat) petambang dalam kontestasi mereka memperebutkan sumberdaya timah di Bangka. Dalam kontestasi tersebut diharap tergambarkan atau terefleksikan arah baru mengenai transisi konsolidasi demokrasi yang berlangsung di Bangka berkenaan dengan perebutan sumberdaya timah itu. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan dimaksud maka kontestasi aktor tambang diperhadapkan dengan perubahan ekologi politik sumberdaya timah, berikut penentuan arah transisi konsolidasi demokrasi yang diharapkan maupun tidak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dari aliran strukturalis Giddens dengan analisis paradigma Teori Kritis. Pendekatan kualitatif yang tidak lain adalah upaya atau strategi guna memahami apa yang sesungguhnya terjadi di balik perebutan sumberdaya timah di Bangka. Dalam praktik pertambangan di Bangka maka tidak terhindarkan kuatnya dominasi atau struktur atau disebut monolitas negara yang direpresentasikan melalui tambang korporasi (PT Timah Tbk) bahkan sangat menentukan kepada siapa mereka bermitra. PascaOrba atau reformasi monolitas negara ini berubah. Lahirnya UU otonomi daerah dan desentralisasi menyebabkan terjadinya pengenduran negara seiring dengan menguatnya aktor-aktor lain di luar negara. Desentralisasi dan Otonomi Daerah memberikan ruang kepada aktor Pemerintah Daerah (Pemda) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, pemodal/swasta maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam memperebutkan sumberdaya timah itu. Perubahan dari monolitas menjadi multilitas menunjuk pada adanya berbagai dimensi perubahan, sehingga dalam strukturasi Giddens hubungan struktur-agensi mengalami perubahan bentuk pula. Dialektika struktur-agensi memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan hingga karenanya perlu diulas, ditelaah dan

dibongkar untuk menemukan “sesuatu yang tersimpan” sebagai jati-diri

permasalahan. Sikap inilah yang dikenal sebagai paradigma Teori Kritis.

Berdasarkan paradigma Teori Kritis di mana aktor yang hendak dikontestasikan selalu diposisikan dalam bentuknya yang saling berlawanan dalam hubungannya dalam memperebutkan sumberdaya timah di Bangka itu. Di satu sisi aktor yang merepresentasikan dirinya sebagai struktur dan di sisi lain aktor yang merepresentasikan sebagai agensi; dan melalui kuasa representasi menunjuk pada gejala tekanan struktur terhadap agensi dan bagaimana sikap agensi dalam bertindak hubungan dengan ruang tarung timah itulah kemudian

menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, dalam memahami regulasi

pertambangan kedua aktor masuk dalam ruang kuasa-gagasan berbeda hingga dualisme aktor yaitu Aktor Transisi (AT) dan Aktor Pembaru (AP). Di satu pihak sebagai representasi struktur (AT) dalam mempertahankan regulasi atas peta


(5)

v politik pertambangan yang berpihak kepada negara; di pihak lain sebagai agensi (AP) yang semula juga bagian dari tambang tetapi karena mengalami kebangkrutan kemudian berubah menjadi anti-tambang.

Kedua, dalam realitas historisnya (AT) sebelum tahun 2005 tunduk dan patuh terhadap regulasi negara melalui tambang korporasi PT Timah, namun bersama warga berkontestasi dengan swasta non-timah (perkebunan kelapa sawit, PT GSBL), sedang untuk swasta-timah sikap AT bersifat resiproksitas saling menguntungkan, dan AT dalam masyarakatnya sebagai patron komunitas dan patron dalam hal inovasi pertanian; sedangkan AP bersikap ambivalensi dalam penjualan timah dan menaruh sikap curiga terhadap kolektor, untuk swasta non-timah sikap AP bersama warga menerima kehadiran swasta (sebagaimana ditunjukkan dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit, PT Mayora), AP sebagai patron dalam komunitasnya, dan patron puladalam hal reklamasi dan pembangunan kampung.

Ketiga, dalam realitas historisnya (AT) sesudah tahun 2005 tetap tunduk dan patuh terhadap regulasi negara yang direpresentasikan melalui tambang

korporasi PT Timah, tetapi AT bersama warga menolak kehadiran smelter besar,

dan AT dalam masyarakatnya tetap sebagai patron komunitas dan patron dalam hal inovasi pertanian; sedangkan AP bersikap menolak kehadiran negara dikarenakan AP pernah ditolak sebagai mitra timah (sebagai kolektor), untuk swasta non-timah sikap AP bersama warga tetap bisa menerima kehadiran swasta (sebagaimana ditunjukkan dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit, PT Mayora dan sekurang-kurangnya telah lebih dari satu kali berganti pemilik tanpa tahu siapa pemilik sesungguhnya), AP masih tetap sebagai patron dalam komunitasnya dan patron pula dalam hal reklamasi, penyelesaian konflik sosial di

masyarakatnya dan pembangunan kampung. Keempat, berdasarkan realitas

historis atau praktik sosialnya di masyarakat maka AT lebih cocok dilabelkan

sebagai “Aktor Pragmatis” sedangkan AP lebih tepat disebut sebagai “Aktor Rasional”.


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pe-nyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagi-an atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

vii

KONTESTASI AKTOR

DALAM PEREBUTAN SUMBERDAYA TIMAH DI BANGKA

DJAJA HENDRA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

viii

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS

(Dep.Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat)

: 2. Dr. Nurmala K Pandjaitan, MS.DEA

(Dep.Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat)

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS

(Dep.Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat)

2. Dr. Ir. Rilus A Kinseng MA

(Dep.Sains Komunikasi dan Pengembangan


(9)

ix Judul Disertasi : Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka

N a m a : Djaja Hendra

N R P : I363070041

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto., M.A K e t u a

Prof. Dr. Bambang Purwanto Dr. Ir. Arya H Dharmawan M.Sc,Agr Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H Dharmawan M.Sc,.Agr Dr. Ir. Dharul Syah

NIP. NIP. 19650814 199002 1 001


(10)

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Tuhan yang Maha Agung atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian dan pelaksanaannya dimulai sejak November 1999 s.d Maret 2011 semula berjudul: Perubahan Sosial Agraria (Analisis Kritis Moda Produksi dan Perubahan Formasi Sosial Agraria di Bangka) kemudian pada 30 April 2012 berganti menjadi, judul: Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka.

Disertasi ini memuat pengembangan naskah yang diajukan ke Jurnal

Spatial, Volume 10 Nomor 2 Maret 2012, dengan judul: “Kampung Mayang

Hinterland Kota Muntok Ibukota Kabupaten Bangka Barat: Perspektif

Struktural Kewilayahan” dan juga ke Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi,

Volume 11, Nomor 2, April 2012, dengan judul: ”Kaum Intelektual dalam

Politik Pertambangan: Kasus Kampung Mayang Bangka Barat Bangka

Belitung”.

Disertasi ini tentu tidak dapat terselesaikan dengan baik jika tanpa didukung dan dibantu oleh Prof. Dr. Endriatmo Soetarto M.A., selaku Ketua Komisi Pembimbing, di tengah-tengah waktu beliau yang luar biasa sibuknya sehingga harus mencari celah-celah kapan bimbingan di Bogor atau Yogyakarta; kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan MSc.Agr., selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang tidak kenal lelah pula memantau dan mengingatkan telah sejauh mana perkembangan penulisan hingga ancaman masa studi; dan kepada Prof. Dr. Bambang Purwanto selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan caranya sendiri meluaskan pandangan atas fokus kajian penelitian dan lainnya, sehingga sudah sepatutnya kepada ketiga beliau penulis ucapkan banyak terima kasih. Penulis juga memohon kepada Allah SWT agar ketiga beliau diberikan balasan yang setimpal atas curahan ilmu yang diberikan kepada penulis selama menimba ilmu di Sosiologi Pedesaan-IPB ini.

Tidak adil juga jika tidak disampaikan ucapan terima kasih yang sama kepada dosen-dosen penulis di SPD-IPB Dr. Lala M Kolopaking MS, Dr Soeryo Adiwibowo, Dr MT Felix Sitorus, Dr. Arief Satria, Dr. Titik Sumarti, Dr. Djuara Lubis, Dr. Eka Sri Wahyuni, Dr. Nurmala Panjaitan, Dr. Rilus A Kinseng, Dr. Saharudin, Dr. Satyawan Sunito yang telah memberikan pencerahan ilmu kepada penulis. Tidak lupa pula kepada DR(HC) Gunawan Wiradi, Dr Noer Fauzi dan Drs Zakaria Yandu serta kakak angkatan Dr Taufik Hidayat, Dr Hartoyo MSi yang telah memberikan masukkan bagi perbaikan dan penyempurnaan disertasi penulis serta adik kelas S2-SPD-IPB yang sangat potensial yaitu sdr Tarmiji yang banyak membantu diucapkan banyak terima kasih.


(11)

xi Kepada rekan satu angkatan sdr. Dr. M. Zid MSi., sdr. Dr. Sofyan Sjaf SP.,MSi dan Dr. Imam Mujahidid Fahmid MSi., yang telah berdikusi hangat selama masa perkuliahan berlangsung. Khusus kepada sdr Zid yang selama masa penantian dalam proses penyelesaian studi yang nyaris setiap pagi berolahraga mengelilingi kampus IPB. Semoga kepada ketiga rekan yang mulai terpisah secara fisik tetapi tetap dapat dibalut oleh tali silaturahim yang tidak terputus. Khusus kepada Dr Sofyan Sjaf diakhir studi dan dalam situasi genting telah banyak membantu penulis memberikan masukkan dan pencerahannya, semoga Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan itu. Juga kepada aktor Bahrudin (AP) dan Paksu Jumadil (AT), Pak Jumidi terima kasih atas bantuan dan informasinya dan bersedia setiap saat menerima telepon dari penulis.

Kepada kedua orangtua penulis alm. H Djuhir DT dan alm. Habsah Abu Shaleh yang telah berhasil mendidik dan membesarkan penulis di masa-masa yang sangat sulit tetapi dengan segala keprihatinan dan kesahajaan mampu memberangkat penulis ke tanah Jawa untuk menimba ilmu hingga seperti sekarang ini. Di tengah perjalanan studi di tanah Jawa itu pula tahun 1985 ibunda dijemput keharibaan Illahi Robbi tanpa penulis mampu melihat secara langsung wafatnya kecuali sambutan berupa pusaranya belaka; semoga amal ibadah kedua orangtua penulis diterima oleh Allah SWT dibalas dan diberikan ampunan serta dilapangkan kuburannya. Amin.

Kepada alm. Dra. Retna Mintarsih Apt., istri penulis yang telah memberikan titipan dan tanggung jawab seorang anak, penulis mohonkan kepada Sang Khalik agar diampuni dosa-dosanya dan surgalah tempat yang

layak baginya karena meninggal dalam “syuhada”. Juga kepada adik penulis alm. Deti Herawani dan khusus alm. Drs. Darwan Haryanto Akt., yang meninggal saat penulis melakukan penelitian di Bangka; kedua adik penulis adalah guru maka atas dedikasi keduanya semoga mendapatkan imbalan dan ampunan-Nya.

Akhirnya kepada adik-adik dan kakak penulis yang telah memberikan bantuan material dan non-material selama penelitian hingga selesainya disertasi ini, kepada: kakanda Dian Hartati dan keluarga, Hardiansyah Amd.Kom dan keluarga, serta adik-adik di Bogor dan Tanggerang Drs. Didi Handoko Akt dan keluarga, Djeni Hartika S.Teks dan keluarga, Dicky Haryadi ST dan keluarga; serta adikku Age Indah Pratiwi, sudah selayaknya pula kepada mereka penulis ucapkan banyak terima kasih, semoga bantuan yang diberikan itu mendapatkan ridlo dan balasan setimpal dari-Nya. Amin.


(12)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangkalpinang dan dibesarkan di Muntok Bangka Barat Bangka Belitung tanggal 7 Mei 1959 Penulis adalah anak ke-2 dari tujuh bersaudara melalui pernikahan dari pasangan ayah H Djuhir DT (alm) dan ibu Habsah Abu Shaleh (alm).

Pendidikan sarjana (Strata-1) penulis tempuh di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM dengan Program Studi Ilmu Sosiatri ditamatkan Agustus 1987. Semasa pendidikan di jurusan penulis sebagai penggagas berdirinya himpunan mahasiswa jurusan dan diberi nama Korps Mahasiswa Sosiatri (Komatri) dan menjadi ketua untuk pertama kalinya tahun 1983. Pendidikan pascasarjana (Strata-2) dilanjutkan di perguruan tinggi yang sama (UGM) dengan Program Studi Ilmu Sosiologi selesai tahun 1998 Program doktoral dengan pilihan Program Studi Sosiologi Pedesaan dilanjutkan di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2007. Semasa pendidikan penulis dibantu beasiswa dari BPPS, beasiswa percepatan penyelesaian studi dari Dikti, Yayasan Supersemar, Pemerintah kabupaten Bangka Barat Bangka Belitung dan PT Timah Tbk.

Penulis diterima sebagai PNS dengan profesi tenaga pengajar melalui Kopertis Wilayah V Yogyakarta dan ditempatkan di Universitas Widya Mataram Yogyakarta pada Maret 1988 hingga sekarang. Sambil menanti pengangkatan sebagai PNS penulis diterima melalui program magang terlebih dahulu diperguruan tinggi yang sama sejak September 1987 Sejak masuk di perguruan tinggi tersebut penulis langsung menduduki jabatan struktural hingga ke jabatan terakhir Dekan (pengganti sementara) dan diberhentikan di tengah jalan pada Mei 2007 untuk sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Sejak tahun 2009-sekarang sebagai anggota paguyuban Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) D.I.Yogyakarta.

Pada tahun 1990 penulis menikah dengan Dra Retna Mintarsih Apt. Dua tahun kemudian dikarunia anak: Reinzsana Hanna Laksmita (19 Tahun). Ibunya tahun 1998 menghadap keharibaan Illahi sehingga tidak sempat menyaksikan anak yang sedang lucu-lucunya dengan pakaian putih-merah ketika awal masuk SD dan seterusnya di setiap Senin mengikuti upacara bendera di sekolahnya.

Sebagai bapak dan ibu sekaligus (single parent)mengharuskan penulis bertahan

hingga anak tersebut naik ke kelas 6 Sekolah Dasar (SD) Masjid Syuhada Yogyakarta. Menikah lagi tahun 2003 dengan Retno Sri Subranti dan dikarunia seorang anak: Phaliazda Anis Garnenda (8 tahun), saat ini bersekolah di SD yang sama dengan kakaknya. Kepada istriku tercinta terima kasih telah membantu menjaga, mengasuh dan membesarkan anak-anakku. Kepada kedua anakku, inspiratorku, aktorku dan membuatku lebih bersemangat dalam mengarungi kehidupan ini; dan hanya karya sederhana ini yang dapat papa dedikasikan kepada kalian berdua.


(13)

(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

ABSTRACT... iii

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR BAGAN... xvi

DAFTAR BOKS... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR TABEL... xix

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang... 1

2. Rumusan Masalah... 5

3. Pertanyaan Penelitian... 7

4. Tujuan Penelitian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 1. Tinjauan Pustaka... 10

1.1. Peta Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Timah... 12

1.1.1. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Alam... 12

1.1.2. Tatakelola dalam kebijakan Sumberdaya Timah... 13

1.2. Strukturasi dalam Kontestasi Aktor Tambang di Ruang Tambang.. 15

1.2.1. Pembentukan Struktur-Aktor Tambang dalam Rentang Ruang dan Waktu... 15

1.2.2. Dualitas struktur-Aktor Tambang dalam Praktik Ruang Tarung Tambang... 18

1.2.3. Strukturasi Aktor Tambang Bertindak... 20

2. Kerangka Pemikiran Disertasi... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metode Penelitian... 26

2. Paradigma Utama Penelitian... 26

3. Lokus dan Pendekatan Aktor dalam Penelitian... 27

4. Pengumpulan, Analisis dan Validitas Data Penelitian dan Keterkaitan dengan Teori Kritis... 29


(15)

xiv IV. PETA POLITIK TATAKELOLA SUMBERDAYA TIMAH DI BANGKA

1. Pengantar... 32

2. Gambaran Pertambangan di Indonesia dan Dunia... 32

2.1. Karakter Pertambangan di Indonesia... 35

2.2. Sejarah Pertambangan Timah di Bangka... 37

3. Monolitas Negara dalam Tatakelola Sumberdaya Timah menuju Multilitas yang Tersebar... 39

4. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kontestasi... 41

4.1. Aktor Negara (Tambang Korporasi dan Pemda) ... 41

4.2. Aktor Pemodal/Swasta... 44

4.3. Aktor Masyarakat... 47

5. Ruang Kuasa Pengetahuan dalam Pengelolaan SumberdayaTimah... 50

6.1. Ruang Kuasa Pengetahuan Negara... 50

6.2. Ruang Pengetahuan Masyarakat Sipil... 52

V. DUALISME AKTOR MASYARAKAT DI DUA KAMPUNG DI KABUPATEN BANGKA BARAT 1. Pengantar... 57

2. Kampung Mayang, Kampung Airputih dan Kemandirian Kampung di Kabupaten Bangka Barat... 57

3. Latar Belakang Terbentuknya Aktor Tambang... 62

4. Aktor dan Sumberdaya-sumberdaya Kekuasaan... 65

5. Perbedaan Sosial dalam Kehidupan Aktor... 72

5.1. Posisi Ideologis Aktor Transisi (AT) dan Aktor Pembaru (AP)... 75

5.2. Aktor dan Kemampuan Menciptakan Pertentangan... 84

5.3. Jargon Politik Ekologi AT dan AP... 91

6. Aktor dan Reklamasi... 92

6.1. AP dan Reklamasi di Kampung Airputih... 93

6.2. AT dan Reklamasi di Kampung Mayang... 95

VI. KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI KONSOLIDASI DEMOKRASI DI BANGKA 1. Pengantar... 98

2. Bentuk Kontestasi dalam Ruang dan Waktu... 98

2.1. Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Pemodal dan Komunitas Ketika Masih di Timah... 98

2.2. Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Pemodal dan Komunitas Ketika AT Bertahan di Timah dan AP Tidak Lagi di Timah... 106

3. Jejaring Sosial AT dan AP dalam Pertambangan... 110

3.1. Jejaring Sosial AT... 110

3.2. Jejaring Sosial AP... 116

4. Simpul-simpul Jaringan Kepentingan Aktor Petambang... 122

4.1. Simpul-simpul Jaringan Kepentingan AT... 122


(16)

xv

5. Refleksi Arah Baru Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka... 126

5.1. Analisis Ekonomi Politik Timah dalam Perspektif Aktor... 126

5.2. Dinamika Ekologi Politik Sumberdaya Timah... 131

5.3. Artikulasi Aktor dan Penguasaan Sumberdaya Timah... 133

5.4. Menuju Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka... 136

VII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Simpulan... 139

2. Rekomendasi Kebijakan... 142

KEPUSTAKAAN... 144


(17)

xvi

DAFTAR BAGAN


(18)

xvii

DAFTAR BOKS

Boks 5.1. Kejatuhan AP sebagai Aktor Tambang... 78

Boks 5.2. „Mafia‟ dalam Jual-beli Timah... 79

Boks 5.3. Cara Kerja Cam ... 83

Boks 5.4. Penyelesaian Konflik Tambang di Kampung Airputih... 88


(19)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Dualitas Struktur-Agensi dari Giddens... 19

Gambar 5.1. Area Konflik Kampung Mayang dengan Korporasi Sawit... 97

Gambar 6.1. Jejaring Sosial AT... 112


(20)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Perbedaan Pertambangan di Indonesia dan Dunia... 33

Tabel 4.2. Karakter Pertambangan di Indonesia... 35

Tabel 4.3. Tipologi Tambang Rakyat (TR) dan Tambang Korporasi (TK)... 44

Tabel 4.4. Luas Perkebunan Sawit Rakyat tanpa Kemitraan Kabupaten Babar.. 46

Tabel 5.1. Perhitungan Luas Wilayah Kab. Bangka Barat di Pulau Utama dan Pulau-pulau Kecil... 58

Tabel 5.2. Tipologi Kampung Airputih dan Kampung Mayang... 61

Tabel 5.3. Kriteria Kedua Aktor dan Sumberdaya Kekuasaan... 66

Tabel 5.4. Perbedaan Sosial antar-Aktor dalam Ruang dan Waktu... 73

Tabel 5.5. Dimensi Pembeda Aktor dan Posisi Ideologis... 77

Tabel 5.6. Kapasitas Aktor sebagai Agen Sosial... 77

Tabel 6.1. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas sebelum Tahun 2005... 101

Tabel 6.2. Relasi AP dengan Negara, Sawsta dan Komunitas sebelum Tahun 2005... 104

Tabel 6.3. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas sesudah Tahun 2005... 107

Tabel 6.4. Relasi AP dengan Negara, Sawsta dan Komunitas sesudah Tahun 2005... 108

Tabel 6.5. Perbandingan melalui Harga Dasar Tahun 2006-2007... 127

Tabel 6.6. Analisis Ekonomi Politik terkait Aktor Timah... 127

Tabel 6.7. Ragam Kepentingan Aktor (AT dan AP) dan Warga... 131


(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Timah dan Bangka dua kata yang seolah tidak bisa dipisahkan. Keterlekatan itu diambil dari bahasa Sansekerta kuno yang memang mengartikan kata Bangka [Vanka] sama dengan timah (Heidhues, 2008; Sujitno, 2007: 8), sehingga secara singkat orang menyebut sebagai timah Bangka. Berdasarkan tuturan bahasa sehari-hari terungkap bahwa, ucapan kata tentang timah Bangka secara spontan muncul begitu saja. Spontanitas ini menyebabkan daerah-daerah atau bahkan negara yang sama-sama sebagai penghasil timah pun menjadi kurang dikenal dan bahkan hilang dari perbendaharaan kata-kata penutur. Ucapan-ucapan tentang timah Belitung misalnya, timah Singkep atau timah Malaysia, timah Cina

dan timah Brazil malah terasa asing di telinga1. Kategorisasi ini semua

menunjukkan bahwa betapa timah Bangka jauh melampaui lainnya.

Timah Bangka yang mendiaspora tidak terbendung itu ternyata menggelitik sebagian pakar untuk mengkaji lebih dalam sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmu yang dimiliki. Mereka yang berangkat dari ahli sejarah dan geologi misalnya, tidak menemukan kata sepakat sejak kapan dan di mana pertama kali ditemukan, bahkan posisi dan kualitas timah pun masih ada yang membagi dengan timah primer dan sekunder (Sujitno, 2007: 59). Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan tidak adanya titik-temu kapan pula timah itu bakal habis di Bangka. Ada yang menyebut, tinggal 10 tahun lagi, 20 tahun hingga satu abad ke depan. Prakiraan yang menyebut masih satu abad ke depan didasarkan atas, bahwa apa yang dieksploitasi sekarang ini baru sebatas timah primer; sedangkan timah sekunder dengan kedalaman lebih dari 50 meter dan berada di bawah bebatuan, belum tereksploitasi sama sekali karena keterbatasan alat.

Para ahli ilmu-ilmu sosial lain tidak terlalu tertarik menyoalkan kapan dan di mana ditemukan serta kapan pula timah di Bangka itu bakal habis. Para ahli yang disebutkan terakhir lebih cenderung mengedepankan ekonomi politik timah sebagai komoditas yang diperdagangkan. Timah dalam ekonomi politik perdagangan sejak awal ditemukan hingga dewasa ini selalu memunculkan friksi dan perebutan berkepanjangan (Erman, 2009a: 2-13; Budimanta, 2007: 34-7).

1


(22)

2

Aktor-aktor yang terlibat pun beragam, mulai dari pertarungan antar-rezim hingga kepada aktor-aktor dalam rezim yang sama. Ruang kontestasi pun tidak saja dalam bentuk fisik tetapi juga berlangsung di wilayah kuasa pengetahuan dan gagasan, dengan cakupan yang tidak saja sekadar antar-komunitas kampung melainkan memasuki wilayah-wilayah yang bersifat anonim.

Timah di Bangka sudah lama menjadi komoditas yang diperdagangkan. Material timah yang diperdagangkan memang tidak lagi dalam bentuk pasir timah melainkan sudah dalam bentuk timah batangan dan bahkan balok-balok timah. Artinya, sebelum diperdagangkan timah telah diproses terlebih dahulu sebagai barang setengah-jadi. Beberapa tinggalan sejarah menunjukkan bahwa proses tersebut diketahui melalui penemuan beberapa tungku api (tanur-api), fosil

pembakaran, kayu-kayu yang tumbuh baru di sekitar tungku2. Masih dalam

artefak atau tinggalan sejarah yang sama bahwa, ada bukti-bukti tambahan yang menguatkan telah terjadinya proses tanurisasi dari pasir menjadi timah balok dengan pelaku utama sepenuhnya dilakukan oleh penduduk lokal/setempat (Sujitno, 2007: 11; Heidhues, 2008: 9).

Kenyataan ini berbeda dengan fakta-fakta yang muncul belakangan bahwa, pengerjaan itu dilakukan oleh etnis Tionghoa sehingga menyiratkan pengelolaan timah sudah lebih terorganisir. Dengan merujuk catatan sejarah pun tergambar dengan jelas, bagaimana etnis Tionghoa masa Kesultanan Palembang didatangkan langsung dari Tiongkok dan diperkirakan dari Kanton menggunakan Jung, berikut seluruh alat produksi dan pola hubungan produksi, seperti teknologi pertambangan maupun sistem kongsi (Sujitno, 2007: 75; Heidhues, 2008: 15). Peralihan penguasaan atas sumber-sumber timah dari Kesultanan ke rezim VOC, pemerintah Inggris, sampai ke Hindia Belanda tidak menimbulkan perubahan teknologi yang berarti sampai akhir abad ke-18. Penguasaan sumberdaya timah dan produksi timah dengan seluruh perangkat teknologi tambang dan pola-pola hubungan produksi sebagaimana berlangsung sebelumnya, keterlibatan aktor dan kontestasi antar-rezim menguatkan dugaan serta mempertegas bukti bahwa persoalan timah di Bangka sudah bermasalah

2 Tidak terlalu jelas pula areal temuan. Catatan Sujitno mengutip seorang penulis yang tidak dikenal dan dimuat dalam Tijdschrift voor Ned.Indie VIII, bagian 4 Tahun 1846 hlm 144 menyebut wilayah Merawang tepatnya kampung Calin daerah Depak. Dalam catatan Kumpulan Catatan Mengenai Geologi Bangka Tahun 1958 ditemukan di Ulim atau Olim di Toboali selatan


(23)

3 sejak timah hadir sebagai barang yang diperdagangkan itu (Heidhues, 2008: 74; Erman, 1995: 34).

Kartodirdjo (1988: 9-19; 67)) menyebut bahwa timah Bangka yang diperdagangkan memang sudah dimulai sejak abad-12 masa Abbasiah. Timah sebagai komoditas yang diperdagangkan, masuk hingga ke daratan Eropa

awalnya melewati jalur-darat yang dikenal sebagai “Jalur Sutera”. Jalur yang

membentang dan memanjang dari daratan Asia Tenggara menelusuri Asia Selatan memungkinkan komoditas ini rawan perampokan dan pembegalan. Artinya, perjalanan timah yang panjang, berat dan lama sampai ke tempat tujuan menyebabkan harga timah pun meningkat beberapa kali lipat. Kondisi tersebut terus bertahan hingga beberapa abad ke depan.

Perkembangan transportasi laut meminimalkan resiko serta memperpendek jarak-tempuh. Objek timah dapat langsung ditransaksikan dari tangan pertama, sehingga dengan sendirinya menjadi sangat efisien karena mampu menekan ongkos perjalanan dan konsumen-produsen dapat menarik keuntungan optimal di tempatnya masing-masing. Adanya jalur yang lebih pendek menyebabkan banyak pedagang dari berbagai daerah maupun negeri-negeri lain berlomba-lomba dan berdatangan ke sumber penghasil timah, yaitu Bangka. Akibatnya bisa diduga, ramainya perdagangan dalam satu tempat yang sama dipastikan menaikkan eskalasi kontestasi antar-aktor dalam satu rezim maupun antar berbagai rezim; bahkan sejak Indonesia merdeka secara politik tahun 1945 sekalipun, pergulatan tersebut terus mengikuti walau dengan aktor-aktor yang sama sekali berbeda. Jika sebelumnya banyak yang terlibat dalam proses produksi maka terjadilah kontestasi antar-rezim dan antar-aktor bertarung di dalam dimensi ruang yang luas melewati beberapa negeri hingga ke Eropa, tetapi dalam transisi politik di mana ruang tarung tidak saja dalam artian luas kewilayahan melainkan masuk dalam wilayah gagasan.

Proses transisi menyangkut perubahan pengelolaan dari kolonial ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dipungkiri menimbulkan alienasi atau keterasingan dalam pengelolaan sumberdaya timah di Bangka. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konferensi Meja Bundar di Denhag tidak saja menyangkut hubungan Indonesia-Belanda dalam penataan di pucuk pimpinan melainkan kontestasi antar-partai politik yang berusaha untuk mengintervensi pengelolaan tambang di Bangka. Kondisi tersebut semakin diperburuk oleh ketidak-mampuan


(24)

4

manajemen Indonesia baik tingkat nasional maupun lokal Bangka dengan kualifikasi memadai dalam menerima estafet itu; dan peralihan tersebut baru benar-benar tuntas sekitar tahun 1960-an seiring dengan perubahan dari

perusahaan korporasi negara menjadi persero (Zulkarnaen, et.al 2005: 46-66).

Artinya, sejarah panjang tentang timah di Bangka sebagaimana gambaran di atas adalah tetap, tetapi dengan aktor-aktor yang silih berganti dan dengan kepentingan yang berbeda mewarnai Bangka hingga hari ini.

Perebutan sumberdaya timah atau pada skala lebih makro dapat disebut sebagai sumberdaya alam itu sebenarnya sudah berlangsung lama. Perebutan yang bermakna perubahan bermula dari hadirnya manusia di atas muka bumi ini. Kehadiran yang tentu saja dapat diartikan sebagai perubahan karena menyangkut interaksi manusia dengan alam; dan kehadiran dimaksud membawa serta pemenuhan kebutuhan manusia sehingga pada gilirannya mengarah pada penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam. Perubahan yang secara rinci disebabkan oleh meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia. Singkatnya, perubahan yang disebut juga sebagai perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dengan alam yang

berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran

melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (Dharmawan, 2007: 6) untuk berbagai sektor kehidupan.

Namun perebutan sumberdaya timah di Bangka sedikit berbeda. Apa yang dipaparkan Dharmawan (2007: 8) dengan mengatakan bahwa perubahan ekologis selalu disebabkan oleh modernitas peradaban yang disongsong melalui

strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growth-mania-syndrome; dan melalui

sindrom ini telah memaksa pemerintah di setiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Modernitas peradaban lanjut Dharmawan secara sengaja dibawa oleh negara dengan tujuan agar mampu secara cepat membawa masyarakat keluar dari kemiskinan. Persoalan adalah, apakah modernitas peradaban dengan strategi pertumbuhan tersebut sebagai tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan dampak yang sama sekali di luar rancangan awalnya? Apakah hal serupa dapat terjadi di Bangka?


(25)

5 2. Rumusan Masalah

Kontestasi sumberdaya timah di Bangka dapat diidentifikasi dalam dua hal, yaitu: pertama isu-isu kritis apa saja yang terbangun dalam kontestasi itu. Kedua, sebagai obyek tarung timah diposisikan sebagai ajang kontestasi antar-aktor. sebagai isu dan obyek tarung maka pengelolaan sumberdaya timah di Bangka mendapatkan momentumnya seiring bergulir reformasi di pusat pemerintahan Jakarta. Reformasi yang berlangsung di Indonesia pada dasar dapat bermakna ganda dan merupakan titik-balik terhadap rezim Orde Baru yaitu pertama reformasi politik menyangkut penataan sistem ketatanegaraan yang tidak melulu terpusat; dan kedua bermakna reformasi ekonomi yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang lebih adil, tranparan dan akuntabel.

Reformasi politik diartikan sebagai upaya distribusi kekuasaan politik kepada daerah-daerah hingga berwujud pada pemekaran wilayah dan pembentukan kabupaten/kota maupun provinsi tersendiri, termasuk Bangka Belitung (provinsi ke-31). Reformasi politik dalam sistem ketatanegaraan hingga membuahkan pemekaran merupakan konsekuensi dari adanya keinginan atau tuntutan daerah untuk mengelola daerahnya dengan lebih mandiri dan otonom(i) sebagaimana desentralisasi sistem pemerintahan yang dianut dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 18. Padahal realisasi dari tuntutan sebenarnya merupakan dinamika aktor lokal akibat porsi di dalam birokrasi pemerintahan terhimpit oleh aktor-aktor lama yang kebanyakan bukan berasal dari daerah yang bersangkutan. Jargon putra daerah sebagaimana penelitian Nordholt HS dan Klinken G (2009), di kabupaten Mentawai-Sumatera Barat, menunjukkan hal itu.

Tidak jauh berbeda dibandingkan dengan reformasi politik. Reformasi ekonomi yang semula bertujuan untuk memenuhi tuntutan daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam sendiri tetapi yang terjadi adalah penjualan aset dan penawaran investasi besar-besaran tanpa mempertimbangkan kajian kelayakan yang memadai (Bangka Barat 2009). Orientasi pada pendekatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan pengejaran target semata berimbas pada, tidak saja memunculkan konflik horizontal dengan masyarakat tetapi juga kerusakan lingkungan yang masif.

Artinya reformasi hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya timah di Bangka bermuara pada penghancuran lingkungan alamnya. Jika sebelum reformasi (rezim Orba) maupun kolonial krisis lingkungan yang ada sudah


(26)

6

diantisipasi dengan reklamasi dan vegetasi (PT Timah dan IPB, 1990: 50) di lahan Kuasa Penambangan (KP) PT Timah. Meski, terlepas dari sebagian

reklamasi tersebut belum menunjukkan hasil optimal3 tetapi justru hasil-hasil itu

dibongkar kembali masa reformasi oleh Tambang Inkonvensional (TI) hingga menyebabkan kerusakan lahan menjadi tidak terkendali. Menurut catatan

kerusakan lahan telah mencapai 2.349 hektar (PT Timah, 2009: II-78)4.

Selanjutnya, tidak ada bukti yang mengisyaratkan bahwa kehadiran timah dengan sendirinya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dari berbagai rezim yang berkuasa mulai dari kolonial hingga Orba yang terjadi

adalah pemiskinan terhadap warga masyarakatnya5.

Pengelolaan sumberdaya timah pascaOrba/reformasi menjadi ruang terbuka. Setiap aktor bertindak merasa paling berhak mengelolanya. Aktor pemerintah daerah dengan kuasa negara dalam ruang kuasa dan gagasan merasa paling berhak. Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan disempurnakan dengan UU No. 32 tahun 2004 memperkuat dan menegaskan kedudukan aktor pemerintah itu. Aktor timah yang merupakan korporasi tambang dengan kuasa semi-negara dalam ruang kuasa dan gagasan pun merasa paling berhak. Lahirnya UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara jo UU No.11 tahun 1967 tentang Pertambangan memperkuat dan menegaskan kedudukan aktor timah, selain ditambah dengan alasan-alasan

3

Uji-coba masa itu belum optimal baik jenis tanaman yang layak dengan kontur lahan semacam itu maupun teknik yang digunakan dengan sistem pot atau lainnya. Gambaran ini memperjelas posisi posisi reklamasi dan vegetasi. Lihat rekomendasi yang dibuat itu PT Tambang Timah dan IPB dalam Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) Unit Penambangan dan Unit Peleburan Timah Pulau Bangka, Kerjasama PT Tambang Timah (Persero) dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian PB, 1990 hlm. 109

4

Gambaran angka ini memperlihatkan lahan yang telah direklamasi yang dirusak TI antara tahun 1992-2007. Tetapi kerusakan lahan lain yang sudah dan belum direklamasi maupun wilayah-wilayah mana saja yang terjadi di Provinsi Bangka Belitung dapat dilihat dari data keseluruhan ditampilkan dalam Lampiran 1

5

Negara sebagai „pemain tunggal‟ dimana negara adalah mulai dari masa kolonial hingga

pascaOrba. Masa kolonial, negara bisa jadi sebagai pengelola tambang (timah) pertama dan utama di Bangka. Pertama, dimaksud tidak ada yang mengawali bidang pertambangan. Sebagai mana pendirian Bangka Tin Winning/BTW tahun 1819 jauh melampaui tanam paksa (cultuure stelsel) tahun 1830 bahkan melampaui undang-undang yang mengatur tentang tambang Indonesische Mijnwet tahun 1907. Pertama adalah „pemain tunggal‟ dan diadaptasi UUPA 1960 yang dituangkan dalam pasal 4 begitu saja, yang oleh Maria SW Sumadjono diinterpretasi seraya menegaskan akan

„ketunggalan‟ negara dimaksud yaitu bahwa ada pembatasan hak atas tanah berupa „permukaan bumi‟ alias bagian atas bumi (substratum)sehingga memberi hak kepada negara (garis miring oleh peneliti) untuk menguasai bahan-bahan tambang yang berada di tubuh bumi. Maria S.W Sumardjono, Tanah; Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2008 hlm 129 Sementara utama menyangkut sumber devisa negara dimana timah sebagai pengisi kas negara (kolonial). Melalui kedua peran itu dipakai oleh semua rezim yang berkuasa yang kemudian berkembang mewarnai seluruh regulasi pertambangan pemerintah Indonesia hingga pascaOrba/reformasi.


(27)

7 historis bahwa penambangan dengan teknologi modern telah dilakukan. Bahkan

dengan regulasi yang ada aktor semi-negara dapat bekerja sama dengan G to G

sebagaimana dipraktikkan dengan hadirnya PT Koba Tin maupun pemodal

dengan sistem Tambang Karya misalnya6. Aktor masyarakat dengan kuasa

komunitas dalam ruang kuasa dan gagasan juga merasa paling berhak, meski

tidak dibekali UU7.

3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas maka isu-isu kritis dalam pengelolaan sumberdaya timah dan timah sebagai obyek petarung semakin sulit diatasi dan tidak jelas arahnya. Monolitas negara dalam tatakelola sumberdaya timah di Bangka sejak reformasi berubah menuju multilitas yang tersebar hingga menyebabkan aktor yang terlibat dalam perebutan sumberdaya timah itu pun terbelah. Dalam kajian ini hanya memposisikan diri pada skala mikro yaitu aktor tambang yang berpusat pada aktor masyarakat. Konsekuensi pada keterbelahan tatakelola tambang berdampak pada dualisme aktor (masyarakat) berikut ideologi penyertanya.

Selanjutnya penempatan inisial Aktor Pembaru (AP) dan Aktor Transisi (AT) untuk sementara diperlakukan sebagai pembeda belaka. Perubahan sebagai aktor yang sesuai dengan maknanya tergantung pada kiprah mereka setelah

ditelaah dalam penelitian ini. Sifat sementara AP sebagai „pembaru‟ merujuk

diawal bahwa dirinya beralih profesi dan sudah tidak bergerak ditambang,

sementara AT masih bergerak ditambang. Penempatan inisial „transisi‟ pada AT

karena dimungkinkan AT dapat berubah. Dalam praktik sosialnya kedua aktor sebagai aktor bertindak mengisyaratkan adanya ketidak-sepakatan dan mengarah pada simpul-simpul kepentingan aktor sehingga memposisikan timah

6 Payung hukum kerjasama ini mengesankan bahwa UU No 11 tahun 1967 sebagai pembingkainya. Padahal penegasan paling kuat dan sekaligus menyiratkan ketidak mampuan negara (karena tidak memiliki modal yang cukup) sebagaimana tertuang alam UU No.1 tahun 1967 tentang Penamanan Modal Asing (PMA), adalah undang-undang pertama yang membolehkan pihak asing berinvestasi di Indonesia. Sekaligus undang-undang pertama pula yang mengakui keberadaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan, dan UU No. 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan dan Gas Bumi. Di dalam pasal-pasalnya terutama Pasal 14 dalam hak pemakaian tanah pihak pemodal diberikan Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai; dan untuk masa pemakaian 30 tahun (Pasal 18); serta janji untuk tidak dilakukan nasionalisasi (Pasal 21)

7

Sebenarnya tidak sepenuhnya masyarakat tidak boleh menambang. Dengan hadirnya UU No.32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah bahwa izin dikeluarkan oleh daerah di mana lokasi tambang itu berada. Prosedur perizinan dapat dilihat dalam lampiran 3


(28)

8

seolah-olah dianggap status quo. Dalam kondisi tersebut proses eksploitasi tambang terus berlangsung hingga menyebabkan kondisi lingkungan semakin berat akibat eksploitasi itu, sementara terlalu kecil aktor lain yang mencoba

menahan melalui nilai-nilai lokal (local wisdom).

Dalam posisi ini patut dipertanyakan kontribusi dan peran kedua aktor hubungannya dengan kontestasi mereka dalam memperebutkan sumberdaya timah itu. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah mempertanyakan bagaimana kontestasi mereka dengan aktor negara, swasta/pemodal maupun komuntas di mana tambang timah itu berada. Oleh karena itu rumusan pertanyaan yang diangkat dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dinamika kontestasi yang terjadi dan pada simpul-simpul kepentingan para aktor tambang yang saling berhadapan?

2. Bagaimana arah transisi konsolidasi demokrasi aktor terkait sumberdaya timah di Bangka?

Pertanyaan tentang dinamika kontestasi yang terjadi dan pada simpul-simpul kepentingan apa para aktor tambang saling berhadapan dijelaskan Bab IV. Bab ini menggambarkan peta politik tatakelola sumberdaya timah di Bangka. Dalam dinamika tersebut menggambarkan keterbelahan kebijakan dari monolitas negara menuju multilitas kebijakan yang tersebar. Konsekuensi dari dinamika tatakelola yang terbelah menyebabkan keterbelahan aktor masyarakat, yaitu Aktor Pembaru (AP) sebagai representasi tambang rakyat dan Aktor Transisi (AT) representasi tambang korporasi.

Pertanyaan tentang arah baru transisi konsolidasi demokrasi aktor terkait sumberdaya timah di Bangka dijelaskan sub-Bab VI. Bab ini menguraikan kontestasi aktor dengan aktor negara, swasta/pemodal dan komunitas dalam kurun waktu 1996-2005 bagi AP. Sesudah tahun 2005 AP tidak lagi ditambang

dan selanjutnya mengusung jargon, “stop tambang”, sementara AT dari tahun

1996 hingga kini masih terus bergerak di tambang dengan mengusung jargon,

“timah untuk rakyat”. Kedua aktor yang mengusung ideologi berbeda inilah

kemudian memposisikan arah baru transisi konsolidasi demokrasi di Bangka menjadi terbelah. Di satu sisi memunculkan perbaikan lingkungan dan survival kehidupan tetapi butuh waktu lama, dan di sisi lain memunculkan perusakan lingkungan yang masif.


(29)

9 4. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bertujuan:

1. Memetakan posisi dan peran aktor petarung dalam konstelasi mereka dalam memperebutkan sumberdaya timah di Bangka dan merumuskan simpul-simpul kepentingan aktor petambang.

2. Mendapatkan gambaran atau refleksi arah baru transisi konsolidasi demokrasi yang berlangsung di Bangka berkenaan dengan perebutan sumberdaya timah.


(30)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

1. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini menggunakan analisis dualitas dalam hubungannya dengan

struktur-agensi. Penelitian ini merujuk pada dua penelitian yaitu dari Nirzalin1 dan

Munandar2. Nirzalin (2011) yang dilakukan di Aceh misalnya. Nirzalin secara

utuh menggunakan analisis Giddens ketika mengungkapkan „Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh‟. Teungku Dayah dalam konseptualisasi Nirzalin

diposisikan sama dengan pondok pesantren (di Jawa) dengan kiprah [agensi] kyainya. Perbedaannya terletak, bahwa kemunculan Teungku Dayah erat kaitannya dengan kualitas personal dan bukan genealogis (keturunan). Sebelum Orde Baru posisi Teungku Dayah ditempatkan dalam kedudukan yang sangat tinggi [elite] dalam struktur masyarakat Aceh. Kedudukan tinggi yang bernuasa kewibawaan ini merujuk pada kemampuan, keluasan dan kematangan mereka tentang pengetahuan agama Islam. Kemampuan demikian sekaligus sebagai sumber utama kekuasaan Teungku Dayah. Meski tidak dijelaskan secara gamblang posisi paradigma dalam kajian ini tetapi ketika membaca seluruh analisis dan interpretatif yang dibangun nampaknya Nirzalin mengggunakan konstruktivisme.

Berikutnya dari Munandar (2011). Dalam menjelaskan „Antara Jemaah dan

Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera [PKS] dalam

Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004‟, Munandar berupaya

mengungkapkan keterhubungan antara habitus-arena [dari Bourdieu] atau antara habitus-kader PKS dan arena-politik di Indonesia. Dalam menjelaskan itu Munandar berupaya menunjukkan kontestasi aktor yang terjalin di arena Jemaah Tarbiyah dan PKS dalam rentang-arena di tiga aras dan dibentuk di dalam arena politik Indonesia. Proses tersebut menimbulkan dinamika internal berupa konflik dan koalisi khususnya konflik politik tertutup dan oligarki. Analisis paradigmatis yang digunakan Munandar juga tidak terlalu jelas tetapi jika menilik

1

Nirzalin, Krisis Agensi Politik Teungku Dayah di Aceh.Disertasi [tidak diterbitkan]. UGM. 2011. Yogyakarta

2

Aris Munandar, Antara Jemaah dan Parta Politik: Dinamika abitus Kader Partai Keadilan Sejahtera [PKS} dalam Arena Politik Indonesia PascaPemilu 2004. Disertasi [tidak diterbitkan], IU, Jakarta


(31)

11

dari apa yang dipaparkannya itu, tidak jauh berbeda dengan Nirzalin di atas yaitu konstruktivisme.

Berdasarkan dua penelitian ini kiranya cukup untuk memberikan gambaran

bahwa kajian „Kontestasi Aktor dalam Perebutan sumberdaya Timah di Bangka‟

menjadi sangat berbeda. Merujuk Nirzalin, dia begitu tertib menggunakan analisis strukturasi Giddens tatkala menjelaskan atau menganalisis Teungku Dayah. Kekhasan, kalau boleh disebutkan demikian, sebagai kelebihan Nirzalin adalah kemampuannya dalam membuktikan adanya peluruhan peran Teungku Dayah. Peluruhan tersebut berlangsung dalam proses perbenturan Teungku Dayah atau boleh disebutkan juga terkontaminasinya Teungku Dayah dalam praktik politik rezim berkuasa (masa Orde Baru dan Reformasi). Dalam kedua rezim tersebut

Teungku Dayah yang dalam bahasa lokal “Teungku awai pijuet-pijuet lalee seumeubeut bak balee tuka, teungku jinoe tumboen-tumboen lalee ka ek treun bak rienyeun raja (Teungku dulu kurus-kurus karena asyik mengajar di balai tua tetapi teungku sekarang gemuk-gemuk karena asyik naik-turun tangga istana); sehingga kewibawaan dan kualitas keagamaannya yang selama ini sebagai

brand bagi dirinya mulai terkikis. Penjelasan inilah yang tidak diuraikan Giddens ketika dia menjelaskan teori strukturasinya.

Dalam kasus yang sama [tentang aktor] sebenarnya, kekurangan jika boleh disebut demikian, nampaknya diisi oleh Munandar. Kajian Munandar tentang tindakan aktor [aktor bertindak] dalam Jamaah bertindak diwarnai oleh konfigurasi perpolitikan di tanah air. Konfigurasi yang diuraikan tersebut dengan sangat detail diungkap melalui tindakan aktor yang dapat direproduksi dalam internal PKS. Meski prosesi di dalamnya begitu dinamis (baca: konflik yang

menajam) namun partai ini memiliki cara tersendiri buat „menjinakkan‟ pikiran -pikiran liar yang muncul dari anggota Jemaah (melalui Dewan Suro); sehingga

ketika keluar, mereka „satu bahasa‟. Bagi awam „satu bahasa‟ ini dipahami

sebagai kompak, solid bahkan satu suara3. Meski serangkaian analisis yang

digunakan tidak menggunakan Giddens [tepatnya Bourdieu) namun sebagai sebuah proses (dualisme melalui objektivikasi-subjektivikasi) nampaknya tidak terlalu berbeda.

3

Dalam percaturan politik nasional sering dipahami perilaku politik PKS terkesan „mengada-ada‟

bagi partai penguasa dan „aneh‟ bagi partai yang tergabung dalam Setgab. Namun, suka atau tidak


(32)

12 Penelitian ini dibangun melalui dua elemen yaitu kerangka teori dan telaahan kepustakaan. Penelitian ini dibingkai pemikiran aliran strukturalis (Fakih, 2001: 39) dengan analisis Giddenian khusus struktur terhadap agensi. Namun sebelum diuraikan mekanisme kerangka teori itu terlebih dahulu dijelaskan peta regulasi sumberdaya alam dan timah yang berlaku di Indonesia dan dasar-dasar pembentuknya; yang bertujuan untuk melengkapi analisis fokus dalam penelitian ini. Telaahan kepustakaan yang dirujuk dalam penelitian ini merupakan langkah atau upaya untuk mencari dan menemukan sisi-sisi yang: mendasari penelitian dilihat dari aspek ontologis teori, berkenaan dengan metodologis maupun sisi aksiologisnya sehingga melalui celah-celah itulah penelitian ini mengambil posisinya.

1.1. Peta Regulasi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Timah 1.1.1. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Alam4

Dalam pengelolaan sumberdaya alam (timah) suatu negara maka isu utama yang terlebih dahulu harus dicari adalah: ideologi apa yang mendasari, siapa yang menguasai ideologi itu (rezim), siapa pelaksananya (birokrasi/pemerintah) dan kebijakan-kebijakan publik yang seperti apa yang ditelorkannya (Budiman, 1996: 82-7). Berdasarkan tataurutan demikian maka dapat ditemukan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan sumberdaya alam suatu negara. Rujukan tatakelola sumberdaya alam dan agraria di Indonesia tertuang pada Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, UUD 1945. Tekanan terbesar terkait sumberdaya alam diletakkan dalam pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya dalam konsideran „menimbang‟ dalam UU Nomor 5 Tahun 1960

tanggal 24 September 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, secara jelas

4 Dalam perspektif sosiologi merujuk pada peta kebijakan sumberdaya alam yang ada, dapat ditentukan arah yang diinginkan. Di dunia ini terdapat tiga aliran yang sangat kuat dalam menelaah posisi dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: konservasionisme, eko-populis, dan developmentalisme. Aliran pertama menginginkan bahwa alam-lingkungan diposisikan dalam bentuk aslinya mengalahkan faktor lainnya. Aliran kedua, menginginkan perlunya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aliran ketiga, berangkat dari asumsi untuk melakukan perubahan di bawah kondisi masyarakat yang serba kekurangan dan keterbelakangan sebagai akibat pembangunan. Witter dan Bitmer, Between conservation, eco-populism and developmentalism: Discourse in Biodeversity Polity in Thailand and Indonesia, CAPRI Working Paper No. 37, Washington DC; International Food Policy Research Institute, 2005 Berdasarkan tipologi ini jika merujuk UUD 1945 dan UUPA 1960 pada developmentalism meski semua itu dapat berubah tergantung rezim yang berkuasa, lihat Arief Budiman, Teori Negara, PT Gramedia, Jakarta, 1996


(33)

13

mengungkap akan turunan langsung dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu. Meski tekanan utama UUPA 1960 terletak pada agraria (tanah) tetapi ideologinya sama yaitu semata-mata demi kemakmuran rakyat. Kondisi tersebut diperkuat dalam pasal 1 ayat 2 undang-undang yang sama. Berikut, bahwa dalam pasal 2 ayat 2.a bahwa posisi negara adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Artinya, dalam pengelolaan sumberdaya alam (dan agraria) di mana ideologi yang terbangun sudah cukup jelas. Meskipun dalam praktik politik setiap rezim berkuasa acapkali tidak sejalan dengan tatanan normatif tertinggi yang disepakati itu. Rezim berkuasa yang keterpilihannya ditentukan oleh jargon-jargon politik terhadap massa pasca Orde Baru maka kecondongan ideologi yang lebih praktis-pragmatis dan politis paling umum dipakai. Persoalan popularitas dalam menangguk suara pemilih nampak menjadi penentu kebijakan. Oleh karena itu menjadi sangat situasional sifatnya. Dalam praktik

politik banyak terjadi „penyesuaian‟ menyangkut strategi dan kebijakan praktisnya dilapangan.

1.1.2. Tatakelola dalam Kebijakan Sumberdaya Timah

Berbeda dengan penjelasan di atas bahwa dasar-dasar yang digunakan dalam pengelolaan sumberdaya timah nampaknya tidak merujuk kepada UUPA,

meskipun undang-undang ini dalam „konsideran‟ begitu nyata melekatkan UUD

1945 sebagai acuan pokoknya. Pengelolaan sumberdaya timah nampak bersandar pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Dalam undang-undang ini sebenarnya tidak secara tegas mengungkapkan mineral timah, selebihnya juga pertanggung jawaban kepada Kementerian ESDM; di samping undang-undang teknis pertambangan lain sebagai pendukung. Selanjutnya dalam undang-undang yang sama menyebutkan pula bahwa setiap proses eksplorasi

penambangan diwajibkan meminta izin kepada „pemilik‟ wilayah. Jika berada di wilayah kabupaten/kota maka izinnya kepada bupati/walikota dan jika wilayah administrasi berada provinsi maka yang berhak mengeluarkan izin adalah gubernur.

Sinkronisasi demikian terkait dengan rujukan yang dibuat dan tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini hakikatnya adalah menyangkut desentralisasi pusat kepada daerah atau presiden kepada gubernur dan diteruskan ke bupati/kota di wilayah


(34)

masing-14 masing. Artinya secara berjenjang tatacara perizinan diberikan kepada sesuatu yang paling berkuasa di setiap jenjang wilayah. Tetapi jauh sebelum beberapa regulasi tersebut di atas diterbitkan, adanya SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 yang menyatakan bahwa timah bukan lagi komoditas strategis yang perdagangannya diawasi dan menjadi monopoli PT Timah Tbk dan mitranya (PT Tambang Timah dan PT Koba Tin); yang padahal kebijakan menteri tersebut merupakan bentuk responsif negara terhadap

keterpurukan ekonomi negara akibat krisis moneter dan keuangan

berkepanjangan tahun 1997. Dua tahun berikutnya SK dari kementerian yang sama keluar dengan No. 294/MP/Kep/10/2001 di mana secara tegas tidak memuat lagi tataniaga komoditas timah sebagai komoditas strategis. Dengan demikian timah kemudian menjadi barang bebas yang perdagangannya tidak lagi diawasi dan diatur. Perkembangan regulasi tersebut diinterpretasi dan dipahami secara berbeda di Bangka.

Untuk merespons itu Bupati Bangka menerbitkan SK Bupati Bangka No.6 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum. Intinya pengusaha lokal dan masyarakat mempunyai ruang gerak untuk berusaha dalam bidang pertambangan timah. Berlanjut, bahwa kekhawatiran timah bakal dibawa keluar Bangka secara selundupan, Kemenperindag lagi-lagi mengeluarkan kebijakan dengan No.443/MPP/Kep/5/2002 tentang larangan ekspor timah berbentuk biji pasir; yang setahun sebelumnya Bupati Bangka kembali mengeluarkan SK

dengan No.540.K/271/Tamben/2001 tentang Pemberian Izin Usaha

Penambangan untuk Pengelolaan dan Penjualan (ekspor). Entah karena agar tidak kehilangan pendapatan atau untuk ikut mendapat bagian, provinsi ikut-ikutan mengeluarkan Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan No. 3 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum. Kebijakan tersebut secara jelas membolehkan rakyat menambang asalkan mendapat izin dari Pemda setempat. Regulasi yang terbit belakangan justru memperkuat SK Bupati Bangka sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut beberapa regulasi baik yang dikeluarkan bupati/kota maupun gubernur terus berlanjut sesuai kewenangan yang emban masing-masing hingga berujung perjalanan regulasi yang secara kreatif menginspirasi pejabat politik lokal dan pemodal berbasis


(35)

15

1.2. Strukturasi dalam Kontestasi Aktor Tambang di Ruang Tambang

Dalam tinjauan pustaka ini ada tiga hal ingin diungkap yaitu pembentukan struktur-agensi dalam rentang ruang dan waktu; dualitas dalam praktik ruang tarung struktur agensi; dan strukturasi aktor bertindak. Dua elemen dasar tinjauan dan satu yang membingkai berkenaan dengan strukturasi adalah argumentasi yang digunakan dalam menjelaskan kontestasi aktor dalam perebutan sumberdaya timah di Bangka.

1.2.1. Pembentukan Struktur-Aktor Tambang dalam Rentang Ruang dan Waktu

Istilah agen5 adalah khas Giddens. Namun menyangkut agensi maka banyak

tokoh lain yang menggunakannya6. Agen dalam penjelasan ini tidak dapat

diungkap dengan istilah agen semata. Penjelasan tentang agen hendaknya dikaitkan dengan aspek sosial kehidupan agen hingga kemudian dikenal dengan

apa yang disebut sebagai agensi. Sederhananya, ‘action’ or agency, as I use it,

thus does not refer to series of discrete acts combined together, but to a continuous flow of conduct (Giddens, dalam, Calhoun, et.al, 2003: 233). Dalam penelitian ini agen adalah aktor tambang. Aktor tambang bertindak. Aktor

bertindak dilatar belakangi oleh maksud (intentions) dan alasan (reasons) yang

kemampuan [maksud dan alasan] mengemukakan itu muncul melalui kesadaran

praktis (practical consciousness)7. Aktor tambang sebagai agensi manakala aktor

tambang itu telah dihubungan aktor-aktor lain seputar tambang. Oleh karena itu kontestasi aktor dipertambangan hendaknya dilihat sebagai aktor tambang dalam agensinya (Giddens, 2010a: 14).

Sebagaimana diungkap bahwa aktor tambang yang muncul dalam hubungannya dengan aktor lain seputar tambang adalah kesadaran praktis aktor

5

Penjelasan istilah agen oleh Giddens disamakan dengan aktor. Cf. Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010a, hlm. xxii. Namun ketika memahami uraian Giddens lebih lanjut maka istilah tersebut di Indonesia dapat disamakan tokoh, figur atau subjek/individu bertindak. Juga disamakan dengan elit (elite) sebagaimana dipakai oleh Mosca, Pareto, Michels, Dahrendorf, Kartodirdjo dll ketika menjelaskan the ruling class atau „ratu adil‟nya Sartono Kartodirdjo, Sinar Harapan, 1992. Oleh karena itu sebatas penyebutan maupun penulisan dapat digunakan saling bergantian.

6

Lihat Emir dan Mische, What is Agency?, New School for Social Research, AJS, Vol. 103, No. 4, Januari 1998

7

Dimaksudkan kesadaran praktis adalah tindakan yang dianggap aktor benar tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Konsep kesadaran praktis perlu diungkap karena Giddens juga menjelaskan kesadaran lain yang disebutnya sebagai kesadaran diskursif. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata-kata. Kesadaran praktis maupun struktur muncul melalui proses praktik sosial.


(36)

16 dalam dimensi ruang-waktu. Dalam kesadaran praktis setiap aktor tambang selalu merupakan proses pengulangan [reproduksi]. Pengulangan hakekatnya menyangkut dimensi ruang, sehingga di sini tentu sulit untuk menjelaskan waktu tanpa mengacu pada metapora spasial. Sifat pengulangan [reproduksi] sosial selalu berulang di ruang tambang, yang dipandu oleh tradisi dan secara tidak langsung ditujukan pada pengalaman maupun pemetaan akan waktu. Jadi aktor tambang sebagai agensi sosial adalah pilihan tindakan menyangkut dimensi ruang-waktu; dan terkait sosial adalah kemampuan dalam aktor menciptakan pertentangan-pertentangan. Aktor sosial [tambang] yang diikuti oleh massanya selalu ada hubungan dengan pertentangan-pertentangan itu; sehingga manakala seorang aktor kehilangan ke-aktor sosial-nya adalah karena kegagalannya dalam menciptakan pertentangan-pertentangan.

Dengan demikian dalam praktik sosialnya bahwa ketika aktor-bertindak dalam hubungannya dengan kontestasi aktor di ruang tambang maka beragam elemen ikutan terlibat. Secara sederhana dapat diringkas bahwa keterlibatan aktor-bertindak di ruang tambang dapat dirumuskan dalam dua faktor penyebab yaitu dari dalam dan dari luar. Berkenaan dengan dari dalam yaitu hadirnya aktor itu sendiri yang dibentuk oleh struktur/ruang tambang dan bentukan-bentukan yang bekerja secara dualitas. Pergulatan struktur-aaktor tambang tersebut, meminjam dualisme atau dalam batasan tertentu Bourdieu yaitu, melakukan objektivikasi maupun subjektivikasi adalah faktor penyebab struktur-aktor tambang yang ditentukan dari luar. Formasi inilah yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa struktur-aktor tambang dalam kontestasi aktor di ruang tambang perebutan tidak pernah berdiri sendiri.

Selanjutnya struktur-aktor tambang di mana aktor-tambang-bertindak selalu berlangsung dalam ruang dan waktu. Berkenaan dengan ruang dan waktu dalam praktik sosial masyarakat modern maupun pra-modern menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam masyarakat modern bahwa waktu lebih utama dibandingkan dengan ruang. Berbeda dengan masyarakat pra-modern bahwa ruang-waktu adalah bagian dalam sosiokultural mereka. Dalam masyarakat modern waktu menunjuk pada ketepatan dan capaian tujuan-tujuan, sementara ruang dianggap sebagai bagian yang tidak terlalu penting. Dalam konfigurasi tahap lanjut, penjelasan-penjelasan ini masuk ke dalam struktur yang mengikat melalui sistem sosial. Agen bertindak, kata Giddens, adalah sosok


(37)

17

yang karena dialektikanya dengan struktur merubahnya menjadi agensi. Sosok aktor yang agensi adalah mereka yang memiliki sumberdaya-sumberdaya. Pada dasarnya sumberdaya-sumberdaya demikian sama dengan yang dimiliki oleh agen lain; perbedaannya adalah karena sumberdaya-sumberdaya atau tepatnya sumberdaya yang telah terlekatkan kekuasaan.

Aktor dalam kontestasi di ruang tambang adalah aktor yang memiliki sumberdaya-sumberdaya kekuasaan. Sumberdaya-sumberdaya kekuasaan dalam ruang sosial pertambangan merupakan modalitas/sarana yang dimainkan aktor untuk mencapai tujuan. Dengan demikian bahwa sumberdaya kekuasaan memiliki arti khusus terutama kemampuannya dalam menggerakkan terhadap sesuatu objek yang menjadi sasaran untuk digerakkan. Objek yang ingin digerakkan adalah untuk kepentingan aktor bertindak tadi. Dalam relasi dualitas adalah kemampuan aktor melalui sarana/modalitas sumberdaya kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa. Pergerakkan dalam pengertian ini tidak sekadar pergerakan melain pergerakan yang mengandung muatan-muatan. Aktor dalam konteks pertambangan adalah kemampuan aktor

dalam memposisikan diri menggunakan sarana/modaitas sumberdaya

kekuasaan yang penggunaannya sangat tergantung pada sejauh mana kebutuhan atau yang diinginkan objek/massa. Kebutuhan akan ekonomi oleh massa tambang misalnya maka sumberdaya yang digunakan aktor adalah sumberdaya kekuasaan alokatif; sebaliknya kebutuhan massa tambang dalam ruang tambang memerlukan kekuasaan (yang bagi massa untuk kepentingan mereka sendiri) maka distribusi yang diberikan aktor terhadap massa tambangnya adalah sumberdaya kekuasaan otoritatif.

Selanjutnya melalui operasionalisasi sumberdaya kekuasaan baik

sumberdaya kekuasaan alokatif maupun sumberdaya kekuasaan otoritatif itulah kemudian aktor tambang sebagai aktor agensi lantas menggunakannya sebagai basis dalam melakukan pertentangan-pertentangan. Motif atau tujuan aktor-tambang-bertindak dengan pertentangan-pertentangan menunjuk kemampuan mengikrar diri hingga diikuti massa tambang guna mendapatkan legitimasi sekaligus menempatkan sosok dirinya sebagai agen sosial. Dalam praktik sosial semua itu berjalan dalam realitas historisnya dan proses tersebut bergerak dalam sosial sosial tambang yang terus menerus direproduksi hingga mengukuhkan dialektika struktur-aktor tambang itu sendiri.


(38)

18 1.2.2. Dualitas Struktur-Aktor Tambang dalam Praktik Ruang Tarung

Tambang

Hubungan antara struktur-agensi selalu dalam relasi dualitas. Dimaksud, adalah hubungan aktor tambang dengan struktur yang membentuk aktor tambang itu dalam praktik sosial yang berulang (Ritzer dan Goodman, 2010: 507). Di sini aktor tambang dalam dualitasnya (timbal-balik) berlangsung secara

internal internal dan mengekang (constraining) namun juga memungkinkan

lahirnya aktor tambang-bertindak (enabling). Dualitas struktur ini terjadi dan

berlangsung dalam praktik pertambangan dan direproduksi dalam interaksi yang terpola dalam lintasan ruang-waktu. Pergulatan aktor tambang dengan aktor

lainnya terjadi dalam perulangan8.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dualitas. Pengenaan terhadap keduanya menunjukkan bahwa relasi dualitas berulang di mana agen menunjuk pada sosok pelaku (aktor/orang) dalam arus kontinum tindakan, sementara

struktur merupakan aturan-aturan (rules) dan sumberdaya-sumberdaya

(resourses) atau seperangkat relasi-relasi transformatif yang ditata dalam ruang sistem-sistem sosial. Dalam struktur terjadi perulangan [reproduksi] antar aktor yang disusun sebagai praktik sosial yang teratur dan terlembagakan serta stabilisasikan dalam ruang-waktu. Aneka kondisi yang mempengaruhi kontinuitas atau transformasi struktur adalah juga reproduksi sistem (Giddens, 2009: 115) atau strukturasi. Di sini strukturasi menyangkut sifat struktural yang sama dan

ikut aktif dalam membentuk subyek/aktor seperti halnya dalam

obyek/masyarakat. Dalam struktur, dengan demikian adalah kemampuan

membentuk „kepribadian‟ dan masyarakat secara serentak, tetapi tidak utuh,

karena menyangkut signifikasi konsekuensi tindakan yang tidak dikehendaki. Dari sini tidaklah cukup karena strukturasi tersebut sebagaimana dipaparkan di atas bersifat internal. Dalam konteks perubahan maka pergerakan strukturasi

atau struktur-agensi hanya berada di dalam (enabling). Hubungannya dengan

kontestasi aktor dalam memperebutkan sumberdaya timah tidak dapat

8

Artinya, aktivitas bukanlah dihasilkan sekali jadi oleh aktor sosial, tetapi secara terus menerus mereka ciptakan-ulang melalui suatu cara, dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor. Di dalam dan melalui aktivitas mereka, agen menciptakan kondisi yang memungkinkan aktivitas itu berlangsung. Struktur dengan demikian diciptakan ulang di dalam dan melalui rangkaian praktik sosial berulang-ulang yang diorganisir oleh praktik sosial itu sendiri. Dengan kata lain, apapun yang terjadi, takkan menjadi struktur seandainya individu tidak mencampurinya. George Ritzer dan Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, Prenada, Jakarta, 2011, hlm. 508


(39)

19

terjelaskan oleh aktor yang melulu berdialektika dengan strukturnya di luar

tambang. Diakui bahwa pergerakan struktur dengan sendirinya menyiratkan

adanya pengaruh kuat akan peran kekuasaan. Pada dasarnya kekuasaan sebagai kemampuan seorang aktor untuk mewujudkan keinginan-keinginan; sekaligus mengorbankan kepentingan dan keinginan pihak lain yang boleh jadi menentangnya (di sini Giddens meminjam kekuasaan versi Weber). Dalam institusi-institusi kekuasaan boleh jadi diperlakukan sebagai sumberdaya-sumberdaya di mana sumberdaya-sumberdaya-sumberdaya-sumberdaya itu diperlakukan sebagai kendaraan kekuasaan yang terdiri struktur dominasi, signifikansi dan legitimasi yang dimunculkan dalam aturan-aturan dan praktik sosial.

Penjelasan berikut bahwa struktur dominasi (domination) yang mencakup

skema kekuasaan atas orang (politik) dan barang (ekonomi), struktur signifikasi (signification) yang menyangkut skema simbolik, penyebutan dan wacana; dan

struktur legitimasi (legitimation) menyangkut skema peraturan normatif yang

terungkap dalam tatanan hukum (Gambar 2.1).

Struktur

Modalitas

Interaksi

Gambar 2.1

Dualitas Struktur-Agensi dari Giddens9

Membaca teori strukturasi Giddens di atas adalah juga dualitas sebenarnya sudah cukup untuk menjelaskan pertarungan aktor tambang di Bangka. Tidak akan ada aktor-aktor yang bertarung adalah keinginan mereka sendiri tanpa ada faktor eksternal yang mempengaruhinya. Sekurang-kurangnya penentuan dan penetapan harga timah dalam kasus Bangka misalnya cukup realistis untuk

9

Antony Giddens, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010a, hlm. 46 Signifikansi Dominasi Legitimasi

Bingkai Interpretatif

Fasilitas Norma


(40)

20 mengungkapkan tentang adanya keterlibatan pihak luar dari aktor-aktor yang bertikai itu. Boleh saja jika ingin mengungkap semata dualitas tetapi hendaknya dipahami pula bahwa timah bukan barang yang dapat langsung dimanfaatkan, sehingga untuk sampai kepada pemanfaatan diperlukan proses tambahan dan tambahan mana tidak mungkin dilakukan oleh aktor yang bertikai tadi. Meminjam Marx sebagai Komoditas-Modal-Komoditas. Artinya ada pihak lain di luar aktor-aktor bertikai yang ikut menentukan permainan itu. Berdasarkan argumentasi inilah dalam tinjauan pustaka ini cukup dibangun dengan dualitas belaka (Giddens, 2010a: xxix). Hubungan antar konsep tindakan dengan kekuasaan di tingkat perilaku strategis, menurut Giddens (2009: 273) berwujud: adanya ketidak-sesuaian sumberdaya (dominasi); relasi otonomi/ketergantungan (kekuasaan); relasi antagonisme atau perjuangan (konflik); dan oposisi prinsip-prinsip struktural (kontradiksi). Hubungan-hubungan antar konsep tindakan dengan kekuasaan dalam suatu sistem yang integratif berlangsung dalam rentang ruang-waktu.

1.2.3. Strukturasi Aktor Tambang Bertindak

Praktik pertambangan di Bangka antara aktor tambang dan struktur dalam situasi yang beralektika (strukturasi). Jadi praktik pertambangan merupakan kontestasi antar-aktor tambang dengan strukturnya, yang sesungguhnya juga menjelaskan keberlangsungan pemaknaan dialektika secara historis, prosesual dan dinamis. Kontestasi aktor tambang-struktur baik secara struktural diperlihatkan melalui tekanan regulasi yang ditawarkan struktur, prosesual menyangkut bagaimana aktor tambang menyikapi regulasi dan kemudian memanfaatkan atau tidak regulasi itu, dan dinamis bahwa kontestasi aktor tambang berkontes dalam ruang tambang.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa pokok perhatian dari penjelasan ini terletak pada proses dialektika di mana praktik sosial, struktur, dan kesadaran diciptakan. Sebagaimana dipaparkan bahwa ruang dan waktu menjadi sangat penting dalam analisis Giddens. Sebagai seorang strukturalis bersama-sama Bourdieu maka waktu dan ruang menunjuk pada adanya dinamika/perubahan. Dalam masyarakat modern ruang-waktu ditempatkan dalam proporsi seimbang dan perubahan yang dimaksudkan pun tidak bergerak linier. Penjelasan dan penekanan ini sebenarnya untuk mempertegas posisi sosiologis aktor tambang-struktur itu sendiri yang berwatak dialektis.


(41)

21

Di sini, sekali lagi, untuk mempertegas bahwa dialektis menunjuk pada tekanan-lebih kepada dimensi waktu daripada ruang. Dalam masyarakat tambang tentu lebih berkepentingan dengan dimensi waktu daripada ruang

sehingga tidak ada yang terabaikan10. Dimensi ini merupakan phantasmagoric

atau “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus ditentukan oleh pengaruh

sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya peristiwa itu”; sehingga dalam

hubungan tersebut menjadi sangat perlu penetapan kepercayaan (trust) dalam

relasi antar-aktor tambang tanpa perlu mereka bertemu secara fisik.

Dalam praktik pertambangan, dasar-dasar kepercayaan yang disepakati mampu menjembatani keterpisahan antara ruang-waktu. Jadi dengan ditetapkan

trust sebagai rujukan keterpisahan memang perlu tetapi hendaknya didukung oleh adanya persyaratan-persyaratan. Persyataran dimaksud, bahwa setiap aktor petambang hendaknya memiliki modal sosial dan pribadi yang cukup, tenaga kerja pembantu untuk menunjuk keaktorannya maupun sistem kelas yang menggambarkan kedudukan aktor tambang yang lebih tinggi dari warga sekitar

serta kemampuannya dalam menciptakan perbedaan.

2. Kerangka Penelitian Disertasi

Berdasarkan dua kajian dari Nirzalin (2011) dan Munandar (2011) di atas dan tinjauan pustaka yang digunakan maka sampailah pada fokus penelitian

yang mengusung “Kontestasi Aktor dalam Perebutan Sumberdaya Timah di Bangka” untuk dijelaskan dan dipraktikkan di lapangan serta dilihat kemungkinan hasil-hasilnya. Paling tidak, penelitian ini berupaya untuk mempertanyakan apa yang mau ditawarkan dan bagaimana proses menuju pada tawaran akademik itu? Pastinya, bahwa berdasarkan jenis paradigma saja sudah sangat berbeda. Kedua peneliti tidak secara tegas mengungkapkan paradigma-metodologi apa yang digunakan. Nampaknya apa yang mereka paparkan sebatas paradigma-ilmu (Nirzalin, menggunakan Giddens dengan teori strukturasinya; dan Munandar, menggunakan Bourdieu dengan strukturalis-konstruktivis). Konklusi itupun sebenarnya didapat peneliti setelah menelaah lebih dalam mengenai analisis yang mereka gunakan. Nirzalin misalnya, mengungkapkan penelitiannya

10

Dalam keseharian akan sangat mudah ditemukan, yaitu ketika kita bertanya sesuatu (tentang jarak) di suatu kampung. Katakanlah menuju rumah si A. Orang yang ditanya dengan enteng

mengatakan, cukup dengan „sepuluh sedotan/isapan rokok‟ maka akan sampai ke rumah di A tadi. Angka sepuluh isapan rokok menunjuk ketidak jelasan, terlebih bila kita tidak merokok. Namun terpenting dari itu adalah bahwa orang tadi menjelaskan rentang waktu.


(42)

22 dengan memaparkan bekerjanya rezim Orde Baru maupun Reformasi terhadap Teungku Dayah melalui analisis struktur-agensi, sedang Munandar melalui struktur-PKS dalam bingkai politik Indonesia melalui analisis strukturalis-konstruktivis. Berdasarkan analisis yang digunakan oleh kedua peneliti bahwa argumentasi metodologis yang gayut dengan fokus tidak ditemukan sehingga melaluinya tidak ditemukan pula di mana posisi penelitian mereka itu sebenarnya.

Meski keduanya sama-sama menekankan aspek aktor sebagai obyek kajian, sama pula dengan penelitian ini yang menekankan aspek aktor yang berkontestasi, namun posisi peneliti dalam penelitian ini sangat jelas menempatkan Teori Kritis sebagai paradigma-metodologisnya. Pilihan pada paradigma ini yaitu selain merupakan rangkaian yang ada hubungannya dengan

aspek „peran‟ struktur juga terkait aktor selanjutnya menuntut peneliti untuk bertindak dan melakukan keberpihakan-keberpihakan (Denzin dan Lincoln, 2009: 124). Dalam penelitian ini dengan sangat jelas menunjukkan keberpihakan peneliti yaitu pada aspek aktor (masyarakat) yang mengarah pada perbaikan dan keberlangsungan lingkungan alam (timah) atau eko-populis.

Penjelasan ini penting karena, sebagaimana dialami Aliran Frankfrut ketika mereka tidak mampu membebaskan kaum buruh dari ketertindasan maka

dianggap sebagai sebuah kegagalan. Padahal „manusia adalah makhluk

obyektif‟ yang berarti manusia adalah makhluk yang merealisasikan dirinya dengan mengobyektifkan diri ke dalam Alam (Magnis-Suseno, 1993: 212) sehingga pada titik ini diperlukan pembebasan di mana pembebasan tersebut bersifat emansipatoris. Dengan demikian jika mungkin ada sedikit persamaan dengan Nirzalin yaitu seputar penjelasan tentang struktural belaka sementara teori strukturasi Giddens dengan struktur-agensi sepenuhnya digunakan Nirzalin untuk menjelaskan Teungku Dayah di Aceh. Demikian juga dengan Munandar meski analisisnya menggunakan Bourdieu kesamaannya menyangkut peran negara hubungannya dengan peran aktor sebagai jamaah PKS serta keterlibatan partai dalam perpolitikan nasional.

Perbedaan lain yang ingin diisi dalam penelitian ini adalah, bahwa jika struktur-agensi merupakan tindakan dualitas dalam sistem sosial karya Giddens, yaitu memunculkan agen selalu ada hubungannya dengan struktur, demikian pula dengan struktur selalu ada hubungannya dengan agen. Di kelompokkannya


(43)

23

Giddens dalam strukturalis menyangkut tekanannya yang sedikit berlebihan kepada struktur daripada agen (Giddens, 2003: 92) dan karena kegigihan untuk mempertahankan hubungan dialektika yang menjadi kekhasan dari teori strukturasinya. Di sini posisi penelitian Nirzalin (2011) nampak tepat diterapkan. Penelitian Munandar (2011), jika aspek struktur-agensi yaitu antara Jemaah PKS dengan struktur (PKS sebagai partai dan dikonteskan lagi dengan parpol lain) menggunakan teori dari Tilly yang menekankan aspek keterhubungan atau dialektika mirip Giddens tetapi dengan medium tarungnya yang bertingkat. Dalam tingkatan pertama medium tarung antar-aktor dalam ruang tarung partai atau internal; dan berlanjut ke ruang tarung tingkat nasional yaitu di mana PKS saling dikonteskan dengan partai-partai lain.

Penelitian tentang kontestasi aktor dalam memperebutkan sumberdaya timah di Bangka ini menekankan aspek struktur hubungannya dengan agen dan saling membentuk di antara keduanya. Bermula dari sumberdaya timah di

Bangka sebagai given. Akibat regulasi setelah reformasi, yang semula tatakelola

sumberdaya timah diatur secara monolitas negara dan regulasi demikian merupakan lanjutan dari regulasi atau tatakelola yang dilakukan kolonial. Dikatakan demikian, karena memang Pemerintah Indonesia sama sekali tidak membuat regulasi yang sama sekali baru terutama semangat yang tertuang di dalamnya. Semangat yang muncul adalah semangat pinjaman kolonial yaitu, untuk menambah atau meningkatkan produksi sebesar-besarnya bagi

kepentingan negara (state). Dalam upaya mempertahankan semangat tersebut

maka ditempatkanlah apatarus negara sebagai penjaga keamanan, yang diarahkan baik terhadap gangguan yang datang dari dalam maupun datang dari luar terhadap bekerjanya produksi dan distribusi tambang. Gambaran ini tidak berubah hingga menjelang reformasi.

Dalam kebijakan tatakelola tersebut baik masa kolonial maupun rezim Orde Baru adalah sama, yaitu memposisikan masyarakat sekitar tambang hanya sebagai masyarakat sekitar tambang itu belaka. Kehidupan mereka sama sekali tidak diperhatikan. Bahkan kapling lahan yang sedianya sebagai survival kehidupan masyarakat (lokal) pun harus tersingkir manakala kapling lahan tersebut masuk dalam Kuasa Penambangan (KP) timah. Kuatnya otoritas negara melalui korporasi tambang hampir tidak memberikan ruang kehidupan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat (lokal) hanya sebagai penonton atas timah.


(1)

148 Sztompka P. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta.

Takwin B. 2009. Akar-akar Ideologi. Jalasutra. Yogyakarta

Uphoff N. 1986. Local Institutional Development; An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Pre

Wardaya TB. 2003. Marx Muda; Marxisme Berwajah Manusiawi. Buku Baik. Yogyakarta

Willer, D. 1999. Network Exchange Theory. Praeger. London

Witter, B. 2005. Between conservation, eco-populism and developmentalism: Discourse in Biodeversity Polity in Thailand and Indonesia, CAPRI Working Paper No. 37, Washington DC; International Food Policy Research Institute

Zuhro RS, Dwipayana A, Legowo TA, Harun R, Pahlemy W, Rochayati N, Jayadi A. 2009. Peran Aktor dalam Demokratisasi. Ombak. Yogyakarta Zulkarnain I, Erman E, Pudjiastuti TN, Mulyaningsih Y. 2005. Konflik Kawasan

Pertambangan Timah Bangka Belitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. LIPI. Jakarta. 2005

Internet

http: bukjam.wordpress.com/2010/06/03/asal-usul-nama-pulau-bangka/ [22 Pe-bruari 2012]

http:bukjam.wordpress.com/2011/03/11/ [1 Maret 2012]

http://www.timah.com/pt-tambang-timah/scope.htm [1 Mei 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Mafia_Berkeley [3 Juni 2012] http://www.bangkabaratkab.go.id/bappeda/ [7 Juni 2012]


(2)

LAMPIRAN 1

Lahan Eks Penambangan di Bangka Belitung yang Sudah di Reklamasi Tahun 1992-2007

No Wilayah

Tahun

Total

Pra-92 (Ha)

1992 (Ha)

1993 (Ha)

1994 (Ha)

1995 (Ha)

1996 (Ha)

1997 (Ha)

1998 (Ha)

1999 (Ha)

2000 (Ha)

2005 (Ha)

2006 (Ha)

2007 (Ha)

1 Pangkalpinang - 5 20 7,5 7 - - - 39

2 Bangka 63 66,5 80 120 153 320 267 240 200 80 - 40 320 1.952 3 Bangka Barat - 28,5 52 - 80 120 80 120 160 80 - 40 400 1.160,5 4 Bangka Tengah - - 28 72,5 10 - 61 18 43 27 - 20 400 679,5 5 Bangka Selatan - - 30 - 70 120 110 62 77 53 - 20 400 942

6 Belitung - 49 25 - - 32,5 40 40 40 63,5 43 - - 333

7 Belitung Timur - 100 75 120 160 207,5 240 160 80 76,5 50 - - 1.269

Jumlah 63 249 310 320 480 800 800 640 600 380 93 120 1500 6.375


(3)

LAMPIRAN 2

Lahan Eks Penambangan di Bangka Belitung yang Belum di Reklamasi Tahun 1999-2007

No Wilayah Tahun Total

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Pangkalpinang - - - -

2 Bangka 175,50 117,70 90,30 32,45 20,20 12,74 18,70 - 642,76 1.092,35 3 Bangka Barat 180,40 107,15 80,88 45,22 15,29 12,25 9,04 - 91,92 542,09 4 Bangka Tengah 120,25 75,45 22,10 10,14 6,12 3,00 10,10 - 471,54 718,70 5 Bangka Selatan 163,71 90,49 30,52 12,39 6,25 5,20 12,09 - 314,22 634,69 6 Belitung 30,40 12,66 14,00 9,00 35,72 3,50 2,07 71,50 122,08 300,85 7 Belitung Timur 62,20 37,00 30,24 11,24 12,27 5,20 4,04 90,00 244,50 496,69 Jumlah 732,46 440,45 268,04 120,44 143,78 41,71 56,04 161,51 1.868,94 3.785,37


(4)

LAMPIRAN 3

Rekapitulasi Perizinan Smelter dan KP di Prov. Babel 2006

No Kabupaten/kota KP Smelter

1 2 3 4 5 6 7 Kota Pangkalpinang Kab. Bangka Tengah Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Selatan Kab. Bangka Induk Kab. Belitung Kab. Belitung Timur

- 16 29 30 - - - 13 - 6 - 12 2 2 Total (Prov Kep Babel) 75 37

Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Prov.Kep Babel, 2006

Perusahaan Kelapa Sawit di Babar berdasarkan Izin Lokasi dan Luas HGU

No Perusahaan Izin Lokasi (Ha) Luas HGU (Ha)

1 2 3 4 5 6 7

PT Bumi Permai Lestari PT Leidong West Indonesia PT Sawindo Keecan

PT Tata Hamparan Eka Persada

PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT GSBL)

PT Sumarco Makmun Indah

- Inti

- Plasma

PT Swarna Nusa Sentosa

14.000 10.000 10.000 4.000 12.000 15.000 1.754.54 1.221,63 12.992,55 1.389,25 7.331,20 1.965,11 9.098,90 - - 1.221,63 Sumber : Statistik Perkebunan dan Kehutanan Prov Babel, 2007


(5)

LAMPIRAN 4

Prosedur Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IUPR) dan IUP

2

3 1 4

Keterangan:

1. Pemohon mengajukan IUPR/IUP kepada Bupati/Kota cq Kepala Dinas Pertambangan dan Energi ditempel materai Rp 6.000,00 dengan dilampiri: a. Rekomendasi dari Kepala Desa

b. Rekomendasi dari Camat

c. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP)

d. Pernyataan sanggup memenuhi kewajiban yang ditentukan.

2. Kadin Pertambangan dan Energi meminta saran teknis kepada Instansi Terkait

3. Instansi Terkait memberikan/tidak ke Kadin

4. Tembusan keputusan IUPR/IUP disampaikan ke Bupati/Kota Bupati/Kota

Pemohon

Instansi Terkait Dinas

Pertambangan dan Energi


(6)

Lokasi Penelitian

lllokailo nnll