Ruang Kuasa Pengetahuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Timah

50 Jika tambang Apung adalah tahapan keempat maka kapal isap adalah tahapan paling akhir atau sebagai kelima. Pasalnya kapal isap ini sudah menyamai kerja kapal isap milik PT Timah Tbk. Di lihat dari sisi organisasi, besaran volume maupun kebutuhan operasional tenaga kerja yang tidak berbeda dengan korporasi. Perbedaannya saja yang masih menunjuk pada kepemilikan pribadi, meski mereka berwarganegara Thailand, Singapura atau Malaysia, sehingga masih dikelompokkan sebagai TR. Sebagaimana beberapa kapal isap yang beroperasi di dusun Selindung kampung Air putih milik orang Thailand dan sebagian lainnya Malaysia. Kapal isap tersebut beroperasi diperairan laut dangkal mengarah ke selat Bangka. Sebagaimana pengamatan peneliti, sekitar kurang dari 5 km dari bibir pantai. Menurut ketentuan mereka harusnya sedikit lebih menjorok ke luar menjauhi pantai sejauh 5 km. Tujuannya agar tidak merusak terumbu karang sebagai pemasuk utama nelayan Selindung dan Tanjung Ular. Jadi bukan terletak pada besaran modal yang dipasok, jumlah tenaga kerja maupun areal penambangan dapat dikelompokkan sebagai TR melainkan pada kepemilikan. Di samping yang tidak kalah penting, dan menjadi isu utama pembedanya yaitu, mereka adalah orang yang terkena imbas kebijakan yang dibuat oleh negara terkait regulasi pertambangan. Kecuali secara tegas dicantumkan bahwa unit tambangnya nyata mitra PT Timah Tbk seperti PT Koba Tin dan anak perusahaannya.

5. Ruang Kuasa Pengetahuan dalam Pengelolaan Sumberdaya Timah

Dalam peta politik regulasi kebijakan pertambangan di Bangka adalah juga ruang kuasa pengetahuan dalam pengelolaan rezim berkuasa. Ruang kuasa pengetahuan rezim atau negara terdiri dari: pertama, ruang kuasa pengetahuan negara dan kedua kuasa pengetahuan masyarakat. Kedua ruang berpraktik dengan kuasa pengetahuan sendiri-sendiri dan berpraktik dalam ruang regulasi kebijakan pertambangan. Dalam penjelasan di bawah penelitian ini ingin mengungkapkan hubungan negara-masyarakat sipil melalui pertarungan kuasa pengetahuan mereka masing-masing.

5.1. Ruang Kuasa Pengetahuan Negara

Tambang Korporasi merupakan wujud dari representasi negara. Tambang Korporasi bergerak seirama dengan kepentingan negara. Jadi regulasi kebijakan 51 tatakelola timah di Bangka yang dilakukan oleh PT Timah Tbk adalah juga negara itu sendiri. Dalam praktik kenegaraan bahwa negara dipahami sebagai lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan dan mengabdi kepada kepentingan umum Budiman, 1996: 1. Ideologi tersebut ampuh untuk menyatakan keabsahan suatu negara. Jika negara hadir dalam kapasitasnya sebagai institusi dengan tujuan-tujuan sebagaimana disebut Budiman tadi, maka PT Timah Tbk juga memiliki tujuan dan kepentingan yang sama pula. Jika pun ingin dicarikan perbedaannya maka perbedaan itu hanya ditemukan sebatas keluasan cakupan saja. Persoalan yang berkenaan dengan kebijakan dan struktur biorkrasi lainnya persis sama dengan negara. PT Timah Tbk kemudian dalam menjalan kebijakan-kebijakan tentu saja tidak bisa dilakukan sendiri. PT Timah Tbk haruslah memiliki operator lapangan atau aktor-aktor yang menjalannya. IP sebagaimana digambarkan di atas merupakan orang kepercayaan PT Timah Tbk khususnya Peltim. Tentu tidak IP saja yang dimiliki PT Timah Tbk. Dalam satuan administrasi kerja di PT Timah Tbk sendiri disesuaikan dengan wilayah kerja terutama jauh-dekatnya dengan Peltim dan setiap wilayah biasanya Peltim memilikinya. Tujuan PT Timah Tbk sendiri agar mudah menjangkau wilayah- wilayah itu melalui „orang lapangan‟ mereka selain juga menentukan pemberian izin serta informasi yang berkaitan dengan harga timah yang memang sedang berfluktuatif. Dengan demikian mirip hubungan antara PT Timah Tbk dengan negara tadi maka posisi dan peran aktor pun seperti IP sebagai penampungkolektor tidak berbeda dengan perilaku PT Timah Tbk itu sendiri. Di sinilah posisi representasi itu ditempatkan. Aktor dalam hubungannya dengan regulasi kebijakan tatakelola tambang maka posisinya sebagai, menyesuaikan dan menjalankan seluruh operasional tambang seirama dengan kepentingan korporasi. Pada ruang kuasa pengetahuan aktor dalam hubungannya dengan tambang mengambil posisi bahwa tambang sebagai sumber penghidupan utama. Dalam kedudukan itu maka sumber penghidupan lain di luar timah dianggap sebagai sampingan yang tidak terlalu menentukan, apalagi menggoyahkan penghidupannya. Aktor jika begitu maka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mematuhi segala apa yang bersinggungan langsung dengan kepentingan korporasi. Meski tidak selalu tahu persis akan regulasi tambang yang sebenarnya tetapi aturan-aturan yang bertentangan dunia tambang tidak menjadi bagian dari 52 kebijakannya. Atau, jika korporasi sehabis eksplorasi melakukan reklamasi dan vegetasi maka aktor tambang melakukan tindakan yang sama juga.

5.2. Ruang Kuasa Pengetahuan Masyarakat Sipil

Prinsip pengelolaan sumberdaya timah dalam ruang kuasa pengetahuan masyarakat tetap merupakan bagian dari negara. Artinya, negara dipahami dan dipercayai sebagai pemilik otoritas yang sah dan sebagai pelaku tunggal pengelolaan. Ruang kuasa pengetahuan masyarakat ini sudah dibangun lama paralel dengan pengetahuan lokal yang mereka miliki. Dalam wawancara dengan beberapa informan secara acak pun termasuk kedua aktor tambang AT dan AP Pun memiliki pernyataan yang sama. “Tidak boleh ada orang lain ngelimbang timah kecuali perusahaan PT Tambang Timah. Sejak dulu tidak ada sejarahnya orang Bangka menambang. Orang swasta kalaupun mungkin menambang maka dia adalah orang Tionghoa. Itupun jika melakukan harus selalu berhubungan maksudnya, izin, kompensasi, harga jual, lokasi eksplorasi dll dengan PT Timah”. Masyarakat seolah menjustifikasi dan mengesankan bahwa timah sulit untuk dijamah oleh siapapun kecuali negara. Gambaran ini membuktikan betapa kuatnya dominasi negara, dan peran-peran negara itu sudah berlangsung lama. Rezim Orba pada dasarnya bukanlah rezim yang pertama melakukan tindakan atau kebijakan yang „menjauhkan‟ timah dari masyarakat. Istilah „barang strategis dan vital‟ yang dimainkan Orba hakikatnya justru diambil dari rezim kolonial. Setiap rezim nampaknya mendapatkan keuntungan optimal dengan mengusung jargon itu, sehingga karenanya dijustifikasi dan masuk dalam tatanan regulasi negara. Meski belakangan setelah reformasi dengan hadirnya TI tambang inkonvensional untuk beberapa wilayah negara tidak mampu menjangkaunya. Masyarakat hubungannya dengan regulasi tambang tidak seluruhnya mengetahui terlepas dari, apakah setiap rezim berupaya mensosialisasikan ketika regulasi yang berkenaan dengan hajad hidup orang banyak itu dimunculkan. Padahal persyaratan demikian sudah merupakan bagian dari prosesi regulasi yaitu untuk selalu disediakan ruang untuk disosialisasikan ke masyarakat terhadap seluruh regulasi yang mengatur hubungan negara- 53 masyarakat. Tidak boleh ada masyarakat yang tidak mengetahuinya, meskipun tiba-tiba melalui kuasa negara di mana regulasi tersebut dikukuhkan sebulan kemudian sejak diundangkan; dan di sinilah kuasa negara itu terlihat nyata adalah, dianggap sah adanya. Sebaliknya, kondisi tersebut menjadi tidak perlu seandainya regulasi yang dibuat itu hanya untuk kepentingan internal anggota dewan. Persoalan demikian sering kali menjadi bahan perdebatan, terutama apakah rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengakses sehingga rendah pula kuasa pengetahuan mereka untuk mengetahui regulasi-regulasi itu. Atau mungkin secara sengaja legislatif berupaya menyimpannya setelah regulasi tersebut siap-disosialisasikan, karena tidak memberikan jaminan dan manfaat kepada dirinya sehingga apa perlunya masyarakat mengetahui itu. Banyak kasus mengambil pola semacam ini. Meski setelah reformasi bahwa penjelasan- penjelasan tersebut tidak lagi sepenuhnya benar. Tambang Korporasi PT Timah selain mesosialisasikan kepada lembaga dewan juga menggunakan „orang kepercayaan‟ seperti yang diperankan IP di atas. Jadi praktik langsung dilakukan PT Timah. Itulah sebabnya aktor tambang sekitar perusahaan seperti AT dan AP di kedua kampung berbeda itu tidak akan mungkin dapat keluar dari „jangkau‟ IP atau aktor lain kolektor yang dipercaya PT Timah jika mereka ingin „selamat‟. Jadi peran IP selain sebagai pembeli dengan harga standar yang dikeluarkan pemerintah juga sebagai mesin pengawas melalui surat izin yang diurus IP terhadap kedua aktor maupun aktor lain. Representasi komunitas melalui anggota mereka duduk di dewan tidak selamanya memberikan jaminan pengetahuan yang memadai tentang apa yang seharusnya mereka lakukan di lembaga legislatif yang terhormat itu. Justru yang terjadi adalah informasi-tersimpan dan terendap lama. Public hearing baru terdengar pasca Orba saja seiring dengan hadirnya beragam alat komunikasi terutama media cetak dan televisi. Itu pun merupakan salah satu tuntutan reformasi di mana kebebasan berserikat dan berkumpul serta untuk mendapatkan informasi, transparansi dan akuntabilitas berbagai aspek menjadi menu utamanya, meski dalam praktik masih belum berjalan sebagaimana diharapkan. Selanjutnya kebijakan itu pun sebetulnya merupakan dorongan beberapa partai yang duduk di lembaga legislatif yang paling tidak memiliki keperdulian terhadap kepentingan rakyat banyak tadi. Tetapi tidak sedikit pula 54 dari mereka yang sama sekali tidak memperdulikan perlu-tidaknya regulasi tersebut di-public hearing-kan. Dalam kasus tambang, penguasaan kuasa pengetahuan lembaga akan tambang tidak terlalu jelas. Dewan dalam beberapa kasus hanya mampu menyuarakan di media massa tetapi untuk melakukan eksekusi mereka tidak memiliki alat. Kantor PT Timah yang ada di pusat kota Muntok itu jika sudah tidak dipergunakan oleh PT Timah sebaiknya untuk kepentingan umum saja, seperti perkantoran maupun kepentingan lainnya [wawancara dengan K, anggota DPRD dari PKS, 2 April 2010] Nampak bahwa mereka, yang juga adalah representasi komunitasnya ternyata bias kepentingan pribadi maupun golongan, sehingga mereka mensortir regulasi-regulasi yang menguntungkan atau sebaliknya menghilangkan atau tidak menjalankannya sama sekali. Pernyataan anggota dewan dari PKS sebagaimana dipaparkan di atas dapat dimaknai bermacam-macam. Kantor tersebut sangat strategis dan sejak PT Timah dipusatkan di kota Pangkalpinang dan memberhentikan lebih dari separoh karyawannya maka gedung tersebut tidak diisi dan dibiarkan rusak. Apa yang dilakukan, termasuk anggota dewan sendiri, dapat bermakna banyak. Masyarakat, anggota dewan, pemerintah pemda dan PT Timah Tbk terhadap satu gedung itu saja. Selanjutnya tidak jarang pula, regulasi yang tidak ada hubungan kepentingan dengan kelompok dan golongan tetapi karena ada kewajiban bahwa regulasi tersebut harus disosialisasikan maka masyarakat secara selektif diundang dengan iming-iming sekadarnya. Posisi masyarakat hanya sebagai penggembira dari kontes yang berlangsung di ruang-ruang sidang itu, sementara orang ditunjuk untuk membahasnya adalah aktor sudah ditentu jauh sebelum regulasi itu dirumuskan. Pakar sistem politik Amerika Gabriel Almond dalam Faukls, 2010: 169 yang merumuskan mekanisme pembuatan regulasi dapat tercengang jika rumusan yang semula: input-proses-output-umpan balik, kembali ke input dan seterusnya tetapi tiba- tiba dipotong di dalam „proses‟ yang seharusnya sudah siap dihidangkan menjadi output itu. Mekanisme ini menjadi bagian dari semua rezim berkuasa dalam ruang pengetahuan dan kepentingan mereka. Rezim selalu mengambil posisi agar „disetujui secara spontan‟ oleh masyarakat tanpa reserve. Perilaku rezim agar 55 mendapatkan pengukuhan sekaligus sebagai dasar rezim untuk bertindak, di sini mendapatkan porsinya. Dalam konteks pertambangan timah di Bangka perilaku rezim dengan sangat ketat mengawal dan mengamankan hajad hidup orang banyak itu menjadi porsinya, sementara masyarakat sendiri merasa bahwa dalam ruang kuasa pengetahuan dan kepentinganya itu harus puas dengan hanya menjadi bagian kehidupannya berupa: perkebunan dan nelayan, tepatnya di luar tambang. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa posisi dan porsi negara dengan kemampuan dominasi yang hakikatnya adalah juga hegemoni itu berhasil. Basis ruang pengetahuan masyarakat yang dibingkai rasionalitas lokal tidak mampu menyerap itu, sehingga timah tetap merupakan bagian dari kuasa pengetahuan dan kepentingan negara.

6. Ikhtisar