98
BAB VI KONTESTASI AKTOR DAN ARAH BARU TRANSISI
KONSOLIDASI DEMOKRASI DI BANGKA
1. Pengantar
Bagian ini mencoba mengulas kontestasi aktor dalam praktik perebutan sumberdaya timah di Bangka. Empat elemen dasar yang dijelaskan dalam
bagian ini, yaitu: bentuk konstelasi dalam ruang dan waktu yang terbelah menjadi posisi AT dan AP berkontestasi dengan negara pemodalswasta dan komunitas
ketika masih di timah maupun AT yang masih bertahan di timah sementara AP sudah meninggalkan timah; jejaring sosial yang dibangun AT dan AP dalam
ruang sosial pertambangan timah; simpul-simpul kepentingan AT dan AP dalam kontestasi mereka dengan negara, swasta dan komunitas; serta akhirnya arah
baru transisi konsolidasi demokrasi di Bangka. Khusus mengenai posisi AT dan AP dalam kontestasi mereka dengan negara,
swasta dan komunitas dalam realitas historisnya menunjuk pada kategori AT masih bertahan di timah dan AP yang sudah tidak lagi berada di timah dibatasi
dalam kurun waktu tahun 2005. Sesudah tahun 2005 AP sudah tidak lagi berada di timah. Dalam rentang waktu sebelum dan sesudah tahun 2005 hingga kini, AT
dan AP membentuk jejaring sosial dan bentukan mana mengindikasikan keaktorannya Willer, 1999. Jejaring sosial pada dasarnya menunjukkan akan
kekuatan dan kelebihan aktor sehingga dijelaskan pula simpul-simpul jaringan yang menjembatani kepentingan kedua aktor.
2. Bentuk Kontestasi dalam Ruang dan Waktu
Bentuk kontestasi AT dan AP dengan aktor negara, swastapemodal dan komunitas terbagi menjadi dua periode yaitu tahun sebelum 2005 dan sesudah
tahun 2005 dengan titik awal penjelasan di mulai tahun 1996 atau menjelang reformasi.
2.1. Posisi AT 62 thn dan AP 54 thn dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika masih di Timah
Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar di atas bahwa baik AT maupun AP bahwa keduanya tidak saling berkontestasi. Dalam praktiknya mereka justru
99 berkontestasi dengan negara, swasta dan komunitas. Pilihan atau bentuk-
bentuk kontestasi AT dan AP dengan pihak-pihak di luar mereka memang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut sesuai dengan ideologi
mereka masing-masing dan belakangan perubahan ideologi yang dianut AP setelah tahun 2005 itu merupakan bagian dari penjelasan ini.
Relasi AT, Aktor Negara dan taat pada Aturan. Tokoh AT yang bertempat
tinggal di kampung Mayang sesungguhnya adalah aktor yang patuh dan tunduk kepada aturan yang dikeluarkan negara melalui Tambang Korporasi. Sikap yang
terbentuk ini sebenarnya bukan sikap yang muncul mendadak. AT jauh sebelum eforia timah, tepatnya menjelang reformasi, adalah aktor yang sudah pernah
bekerja di Tambang Karya TK milik orang lain. Perkerjaan itu ditempuh AT setelah yang bersangkutan diberhentikan dari Tambang Korporasi sebagai akibat
rasionalisasi karyawan. Berhentinya AT dari korporasi dan masuk ke TK justru memberikan gambaran bahwa pilihan pekerjaan yang dilakukan AT bukanlah
sama sekali baru baginya. Saat bekerja di kapal keruk “Rambat” pun AT
diposisikan sebagai ahli tafsir kualitas timah di dalam tanah. Meski sudah ada alat yang secara khusus mampu mendeteksi timah dengan kedalaman tertentu di
dalam tanah tetapi tetap juga diperlukan mata-telanjang untuk memastikan saja kualitas dan letak timah. Selain, kepastian tambahan yang digunakan melalui alat
sederhana yang disebut chiam. Keahlian semacam inilah yang tidak dimiliki oleh pekerja tambang lainnya.
Berdasarkan itu pulalah maka, ketika AT diberhentikan dari Tambang Korporasi, tidak terlalu sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan baru lain terlebih jika
pekerjaan dimaksud berkaitan dengan timah. Walaupun dalam realitasnya AT sempat pula nganggur
1
-- dalam masa-masa itu AT memanfaatkan keahliannya berkebun dan berladang
– hingga rezim Orba membuka peluang bagi mitra tambang. Mereka yang bermitra umumnya etnis Tionghoa, yaitu dengan
membuka Tambang Karya TK dan AT bekerja di TK milik baba ACN 75 thn
2
. AT tidak lama bekerja di sana. Selebihnya AT membuka TK sendiri. AT bekerja
1
Pada masa sekitar awal tahun 1990-an kondisi timah dunia jatuh dan biaya operasional PT Timah terlalu besar sehingga terjadi proses pemberhentian karyawan. Gejolak timah mendorong
perusahaan melakukan rasionalisasi menyebabkan perekonomian Bangka ikut melemah. Jadi tidak dipungkiri jika ekonomi Bangka sangat tergantung harga timah. Zulkarnain et.al. Konflik di Kawasan
Pertambangan Timah BangkaBelitung: Persoalan dan Alternatif Solusi. LIPI, 2005. hlm. 64
2
Baba Acun adalah teman lama AT di PT Timah. Baba Acun yang sama-sama diberhentikan kemudian membuka TK Tambang Karya. Baba Acun tinggal di lap 3 jalan Raya Muntok-
Pangkalpinang.
100 di TK milik baba ACN han
ya untuk „belajar‟ mengikuti alur barang timah dan uang. Setelah tahu jalur, yang ternyata berhubungan dengan Tambang
Korporasi, maka AT mulai menjalin hubungan dengan aktor yang ada di Tambang Korporasi. Hubungan-hubungan ini oleh AT terus dibina dengan baik
hingga kemudian berkembang lebih lanjut setelah reformasi dalam bentuk Tambang Inkonvensional TI itu.
Adapun prinsip kerja yang dapat dipetik AT dari hubungan-hubungan dengan aktor yang ada di Tambang Korporasi, yaitu soal legalitas-formal. Tanpa legalitas
bekerja menjadi tidak produktif dan tidak nyaman. Tidak boleh bekerja di tambang tanpa ada surat izin dari
tambang korporasi. Tanpa izin, kerja tidak tenang karena sewaktu- waktu ada razia. Kalau sampai tertangkap maka untuk
mendapatkan kembali alat produksi dan hasil produksi harus mengeluarkan uang tambahan suap. Selain itu, timah tidak ada
yang berani beli jika tanpa surat izin. Jika sudah begini urusan jadi panjang dan berbelit-belit [wawancara dengan AT, 31 Juli 2012].
Berdasarkan pengalaman itulah AT bekerja dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Tambang Korporasi sehingga TK milik AT adalah tambang satu-
satunya di kampung Mayang yang memiliki izin usaha penambangan. Belakangan, izin usaha tambang milik AT sudah habis masa berlaku tahun 2008
lalu. Masa berlaku izin usaha adalah 5 tahun dan selebihnya harus diperpanjang kembali. AT telah berusaha memperpanjang tetapi karena situasi belum
memungkinkan maka izin usahanya belum terbit. Aktivitas penambangan yang dilakukan AT saat ini hanya berdasarkan izin lisan dari Pemda Bangka Barat.
Izin usaha penambangan sangat penting bagi mereka yang memang menghendaki usahanya aman dari berbagai gangguan terutama oknum
ketertiban maupun satpol PP serta tentara. Tanpa izin maka oknum ketertiban dapat meminta sekitar Rp 2500 per kg timah dari timah-basah. Jika rerata timah
yang dihasilkan TI sekitar 20-30 kg per hari maka seorang oknum ketertiban tersebut dapat membawa pulang sekitar Rp 50-75.000 per TI. Padahal dalam
satu area atau sekitar 100 hektar wilayah penambangan dapat diisi oleh lebih dari 100 TI. Jadi kalau oknum tersebut “rajin” turun dan memasuki semak
belukar maka dapat memperoleh uang sekitar hampir satu juta rupiah. Bagi AT
tentu tidak seperti aktor tambang lain. Jejaring AT yang karena keaktorannya
101 memungkinkan AT berkenalan dengan pihak keamanan yang lebih tinggi bahkan
hingga ke tingkat provinsi.
Tabel 6.1. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas sebelum Tahun 2005
Kampung Aktor Transisi AT
Negara Swasta
Komunitas
Mayang Tunduk kepada
aturan main yang ditetapkan
korporasi tambang
Menjual pasir timah ke kolektor
Swasta non-timah
AT bersama warga melakukan
penolakan terhadap
kehadiran PT GSBL sawit
Swasta timah
Resiprositas dalam menarik
keuntungan Posisi AT sebagai
patron komunitas Patron dalam
pengetahuan dan inovasi pertanian
Sumber : Diolah dari lapangan, 2012 Tabel 6.1 menjelaskan bagaimana AT dengan tambang yang dimiliki tentu
dapat dengan mudah menjual timahnya kemana pun AT inginkan. Dengan izin yang AT miliki dapat mempermudah untuk bertransaksi. AT tidak mungkin
menjualnya kepada pihak lain di luar kolektor yang ditunjuk. Setiap kolektor adalah orang yang dianggap sebagai mitra Tambang Korporasi dan mereka
dalam mengumpulkan timah dari masyarakat dibekali surat izin usaha yang dikeluarkan oleh Tambang Korporasi. Persoalannya adalah bagaimana cara
mendapatkannya? Untuk mendapatkan itu yaitu, selain mempunyai hubungan baik dengan aktor korporasi adalah juga memiliki modal yang cukup. Modal tidak
saja menyangkut kesiapan uang untuk membeli timah dari TI melainkan juga ketika timah disimpan maksimal satu minggu sebelum dikirim ke Tambang
Korporasi. Faktor
terberat bagi
seorang kolektor
adalah syarat
penetapankepastian pasokan timah bagi Tambang Korporasi. Jadi semacam sistem target
3
. Andaikan kolektor gagal dalam memenuhi target yang telah
3
Dalam pemberian izin usaha sebagi kolektor, Tambang Korporasi menetapkan per kolektor per minggu katakanlah 500 ton. Angka ini dituangkan dalam MOU dan dibuat dalam bentuk tertulis.
Kegagalan kolektor dalam memenuhi persyaratan itu dapat menyebabkan dirinya terkena pinalty. Biasanya kolektor menyiasati dengan cara menumpukkan di gudang bila kelebihan stock dan distor
ke Tambang Korporasi dalam jumlah yang tetap sesuai perjanjian per minggu. Siasat ini dibaca aparat untuk merazia mereka sehingga transaksi di bawah tangan pun terjadi.
102 disepakati maka kolektor tersebut akan terkena peringatan hingga maksimal tiga
kali dan setelah itu kolektor tersebut di-pinalty.
Relasi AT dengan Aktor Swasta non-timah sebetulnya berkontestasi
terutama dengan Korporasi Sawit. Ada dua masalah pokok yang menyebabkan hubungan AT bersama warga berkontestasi dengan pihak perkebunan. Pertama,
soal perebutan lahan sebagaimana dipaparkan dalam Boks 5.2 sementara faktor
kedua menyangkut ketersinggungan warga akibat dari janji pihak perkebunan untuk melakukan sistem penaman inti-plasma diawal ketika perkebunan itu
membuka usahanya. Perusahaan mengajak warga sekitar termasuk Mayang dengan menempatkan warga sebagai plasma dan perusahaan perkebunan
sebagai inti. Namun setelah berjalan hampir setahun dan tanaman sawit mulai kelihatan tumbuh, janji tersebut tidak juga direalisasikan. Perusahaan justru
memperbanyak tenaga keamanan preman yang didatangkan dari kampung lain Air Belo untuk menjaga perkebunannya.
Langkah yang dilakukan pihak perkebunan itulah yang dianggap warga Mayang sebagai tidak tepat dan terkesan menantang. Perusahaan bukannya
merealisasikan janji melainkan menambah tenaga keamanan. Sikap memecah belah inilah yang memicu ketegangan antara warga dan perusahaan
4
. Warga menyebutnya sebagai pelanggaran janji dianggap sebagai pelanggaran HAM
Hak Azasi Manusia. Berdasarkan inilah warga atau tepatnya pemuda Mayang mendatangi AT dan meminta AT untuk memobilisasi tokoh lainnya di Mayang
buat mempertanyakan kebijakan perusahaan. Hadirnya warga dan AT di perusahaan sawit itu dianggap sebagai demonstrasipenyerbuan. Memang ada
sikap heroik di dalamnya terutama ketika warga Mayang berhadap-hadapan dengan preman perusahaan, sementara manajemen perusahaan tidak keluar
buat menemui mereka. Beberapa kali dilakukan negosiasi tetapi pada intinya memang perusahaan sama sekali tidak membuka perkebunan dengan sistem
inti-plasma lihat lampiran 3. Sejak usaha penyerbuan itu gagal tidak dilakukan maka sejak itu terputus
hubungan antara perusahaan dengan warga Mayang. Bagi peneliti langkah
4
Dengan menambah tenaga keamanan dari kampung tetangga Airbelo juga tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya hubungan dengan Airbelo tidak dalam posisi yang baik. Hubungan kedua
kampung selalu dalam situasi „siap siaga‟. Tidak tahu apa penyebabnya tetapi menurut para tetua kampung penafsiran orang Mayang bahwa Airbelo itu adalah orang kota kekota-kotaan
sementara Mayang adalah „kampung‟ alias pelosok. Menempatkan tenaga keamanan dari Airbelo dapat ditafsirkan bahwa perusahaan sedang bermain api atau politik adu-domba. Padahal PT
GSBL itu membentang dari kampung Airbelo, Mayang hingga Pelangas.
103 perusahaan itu kurang strategis. Meski belakangan pihak Korporasi Sawit
memberikan CSR kepada warga Mayang seperti pelayanan kesehatan dan asupan gizi bagi ibu-ibu hamil memang dapat meredakan ketegangan tetapi isu
pokoknya belum tuntas. Dengan kata lain, perusahaan justru „memelihara‟
masalah dan penyelesaian yang dilakukan ibarat ”api dalam sekam”. Kembali ke
pokok permasalahan bahwa sistem inti-plasma dipahami warga sebagai pekerjaan yang rutin dilakukan, mirip kerja kantoran dengan waktu kerja tetap.
Warga merasa dapat disebut „telah‟ bekerja apabila mendapatkan gaji bulanan
dan berbagai fasilitas lain sebagai pekerja tetap di perusahaan dibandingkan dengan bekerja sebagai pekebun atau peladang.
Relasi AT dengan Aktor Swasta timah. Dalam praktik sosial bahwa AT
menjalin hubungan yang baik dengan swasta timah. Timah sebagai objek usaha diperlakukan sama antara AT dengan swasta timah dalam hal ini adalah kolektor
kecil hingga besar. Hubungan mereka sangat kentara dengan menempatkan timah sebagai usaha untuk sama-sama mencari keuntungan lihat selanjutnya
dalam jejaring sosial AT. Dalam konteks ini terkesan bahwa AT maupun swasta timah terdorong untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga setiap dari mereka
memposisikan diri untuk mendapatkan „harga‟ pasar yang cocok dan timah dijual kepada mereka yang memberikan harga lebih tinggi? Tidak demikian. Dasar
keuntungan dalam relasi AT dengan swasta timah tetap ada tetapi dibalut kebersamaan dan kesetiaan yang sudah terbina lama di antara mereka
. “Asal untung” itu sudah cukup. Dasar ini sudah dapat menjelaskan bahwa relasi
mereka tidak bakal tergoyahkan dengan hanya iming-iming „harga bebas‟ yang
ditawarkan pihak lain. Relasi AT dan swasta timah bukanlah petualang hanya untuk mendapatkan harga sedikit lebih tingga tetapi mengorbankan hubungan di
antara mereka.
Relasi AP, dengan Aktor Negara dan Aturan Main. Berbeda dengan AT di
Mayang, tokoh AP tidak terlalu memperhatikan dengan sistem dan aturan main yang ditetapkan oleh Tambang Korporasi. Dengan sistem kontrak-kerja yang
dilakukan AP dengan pihak luar maka segala persoalan yang berkaitan dengan timah sama sekali tidak masuk dalam „urusan‟ AP. Sikap ini dipilih AP sebagai
pilihan karena AP tidak ingin dipusingkan dengan urusan aturan main yang ada
di timah Tambang Korporasi. Tetapi tidak berarti pula bahwa AP sebagai orang tidak mengerti sama sekali tentang aturan main. Tidak tertutup kemungkinan AP
104 justru mengetahui lebih banyak sehingga karena dengan pengetahuan itu pula
yang mendorongnya untuk dapat memilah mana yang dikerjakannya dan mana pula yang harus dilakukan oleh pihak diluar diri AP. Kelihatannya pilihan ini
sebagai tindakan berbentuk pembagian kerja belaka, sehingga masing-masing pihak yang terlibat dapat berkonsentrasi dengan pekerjaan mereka dan tidak
saling mengganggu.
Tabel 6.2. Relasi AP dengan Negara, Swasta dan Komunitas Sebelum Tahun 2005
Kampung Aktor Pembaru AP
Negara Swasta
Komunitas
Airputih Bersikap
ambivalen dalam penjualan pasir
timah
Ada kecurigaan terhadap kolektor
Swasta non- timah
AP bersama warga menerima
kehadiran PT Mayora Sawit
Swasta timah
AP sebagai patron komunitas
AP sebagai patron dalam hal
reklamasi dan pembangunan
kampung
Sumber : Diolah dari lapangan, 2012 AP dalam praktiknya sebagai penambang hanya berkonsentrasiberfokus
pada teknik menambang dan bagaimana caranya untuk mendapatkan hasil yang baik dan memuaskan. Bekerja dengan sistem kejar target. Oleh karena itu bisa
saja dalam sistem tersebut AP gagal memenuhi target yang telah ditetapkan oleh kolektor. Tetapi karena kedekatannya dengan kolektor sekaligus peminjam uang
maka pinalty tidak dijatuhkan. Biasanya hitungan dilakukan dalam bentuk mingguan. Katakanlah, AP meminjam uang sekitar Rp 50-70 juta kepada pihak
kolektor maka AP harus mampu mendapatkan timah jauh melampaui total harga yang dipinjam itu, jika AP berharap untuk mendapatkan untung dari hasil
tambangnya. Dalam praktik di lapangan dapat saja tidak memenuhi target tetapi karena sudah saling percaya trust maka kolektor tetap meminjamkan uang ke
AP. Bahkan dalam sistem semacam itu sama sekali tidak memakai jaminan. Itulah sebabnya kenapa AP selalu menjalin hubungan baiknya dengan
kolektor yang ada. Relasi AP dengan kolektor adalah hubungan pertemanan masa kecil sehingga mereka sudah saling tahu. Lantas bagaimana dengan pihak
lain yang berminat di tambang tetapi tidak memiliki dana dan kedekatan
105 hubungan dengan pihak kolektor? Biasanya mereka menggunakan „tangan‟
seseorang. Katakanlah AP sebagai penjamin. Tetapi AP sendiri tidak serta merta
mau dijadikan jaminan jika AP tidak yakin terhadap orang yang hendak melakukan usaha itu. AP mau menjamin jika yang berminat diusaha tambang itu
adalah saudara dekat atau orang yang sangat dikenal AP. Itu pun dalam jumlah pinjaman modal yang tidak terlalu besar. Artinya, ada pertimbangan kemampuan
mengembalikan, andaikan usaha itu gagal. Namun dalam praktiknya, AP sendiri memiliki beberapa teman kolektor-lain,
sehingga tidak sepenuhnya percaya terhadap kolektornya sendiri terutama tentang „harga pasar‟ timah yang berlaku saat itu. Berfluktuasi harga timah
memungkinkan adanya „lobang‟ untuk menarik untung dari ketidak-tahuan seseorang. Dalam pikiran AP meski mereka memiliki kedekatan hubungan,
seorang kolektor tetap ingin ambil-untung sebesar-besarnya. Di sinilah AP mengambil sikap menduaambivalen. Perihal sikap ini tidaklah dianggap tercela
dan merupakan tindakan yang biasa di dunia timah. Dalam rangka menjalankan kebijakan itu AP m
emiliki “tangan lain” yang dapat menjualkan timahnya setelah batas perjanjian mingguan dengan kolektor-tetapnya, terpenuhi. Ada
kesempatan AP menjualkan timahnya ke pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kolektor-tetapnya. Tidak diingkari bahwa kecepatan informasi menjadi
penting sehingga hasil penjualan dapat diperoleh dengan cepat dan dengan untung yang berlipat.
Relasi AP dengan Swasta non-timah. Berdasarkan tabel 6.2 bahwa relasi
AP dengan swasta non-timah sebelum tahun 2005 cukup baik. Korporasi Sawit adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit di kampung Airputih dan hingga
berganti nama dan ganti pemilik beberapa kali tetapi tidak pernah bermasalah dengan warga Airputih. Pergantian nama dan pemilik berganti hingga beberapa
kali menunjuk pada bentuk perhatian warga Airputih tetapi tidak masuk ke urusan yang menjadi otoritas perusahaan sendiri. Tidak saling menyoalkan dan
penetapan hubungan yang baik itu terlihat dari adanya jalan masuk satu-satunya ke kampung Airputih dengan beberapa dusun sekitar seperti Jungku misalnya,
harus melewati atau membelah perkebunan ini. Jalan tersebut memang telah terlebih dahulu ada jalan menuju ke Bendul dan tanaman sawit baru ada
belakangan sehingga perkebunan memberikan atau jalan tidak ditanami sawit tetap difungsikan sebagai jalan. Tidak ada jalan lain untuk memutar karena
106 luasan hamparan perkebunan ini hingga memasuki kampung yang bertetangga
dengan Airputih yaitu kampung Tanjung Ular.
Relasi AT dan AP dengan Komunitas. Dalam hubungannya dengan
komunitas, AP dan AT memiliki hubungan yang hampir mirip di mana keduanya menjadi patron atas komunitasnya. Bedanya, AP dengan keunggulan dapat
mengajak untuk melakukan reklamasi dan beberapa aktivitas kampung seperti pembangunan masjid; sementara AT juga sebagai patron atas komunitasnya.
Perbedaannya dengan AP adalah kemampuan pengetahuan sosial AT yang luas dan sering berinovasi dengan tanaman perkebunanpertanian miliknya. Tindakan
kedua aktor ini sering dicontoh warganya. AP di Airputih misalnya sudah mulai dicontoh warga soal bagaimana melakukan reklamasi. Meski contoh itu baru
kecil-kecilan sebatas lingkungan rumah atau diperkebunan dengan tanaman sengon. Sedang AT di Mayang ada yang mulai mencontoh AT yaitu bagaimana
bertanam jeruk, meski kemudian gagal. AT menyebut kegagalan itu sebagai orangwarga yang kurang banyak bertanya saja. Seperti dikatakan AT bahwa
teknik menanam jeruk itu yaitu di mana pokok-pohon yang ditanam dimiringkan dan menghadap ke matahari timur. Jika hanya sekadar tumbuh dan menanam
begitu saja dan tidak mengikuti petunjuk dari AT maka tidak saja pohon tersebut mati tetapi andaikan tumbuh pun dipastikan rasanya asam.
2.2. Posisi AT dan AP dengan Aktor Negara, Swasta dan Komunitas ketika
AT Masih Bertahan di Timah dan AP tidak lagi berada di Timah
Tabel 6.3. menunjuk bahwa relasi AT dengan aktor negara, swasta dan komunitas setelah tahun 2005 tidak terlalu banyak berubah. Relasi AT dengan
negara misalnya masih mengikuti aturan-aturan main yang ada dan menjual pasir timahnya pun tetap kepada kolektor yang sama Ipan. Berdasarkan
aktivitas itu sekaligus menunjukkan bahwa dalam periode ini sebenarnya tidak terlalu banyak berpengaruh bagi AT dalam hubungan dirinya sebagai
penambang. Kontestasi AT setelah tahun 2005 terjadi ketika pihak swasta besar hadir bersama smelter yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah
daerahkota Pangkalpinang.
Relasi AT dengan Swasta timah smelter. Relasi AT dengan swasta
timah terutama bagaimana AT bersama warga menolak pemda yang hanya mengizinkan smelter besar dan menutup smelter kecil. Jika melihat lokasi yang
cukup jauh yaitu di kota Pangkalpinang sekaligus ibukota provinsi sebenarnya
107 AT dan warga tidak terlalu berminat untuk menyoalkannya hingga ke sana. Hal
paling mendasar adalah ketersediaan logistik terutama akomodasi makan dan minum serta transportasi. Satu hari saja dapat menghabiskan ongkos hingga Rp
200.000 per orang. Biasanya aksi semacam itu butuh waktu lebih dari sehari. Perhitungan-perhitungan demikian sebenarnya ada dalam diri warga dan AT.
Tetapi terkait smelter kecil yang biasanya hanya melayani atau menampung timah dari TI dan warga penambang dalam jumlah kecil; sehingga kalau tidak
diberikan izin maka mereka akan kesulitan dalam menjual timahnya. Itulah sebabnya mendorong keikut sertaan mereka ikut mendemo di Pangkalpinang.
Tindakan tersebut dilakukan sebagai aksi solidaritas. Tabel 6.3. Relasi AT dengan Negara, Swasta dan Komunitas Sesudah
Tahun 2005
Kampung Aktor Transisi AT
Negara Swasta
Komunitas
Mayang Tunduk kepada
aturan main yang ditetapkan
korporasi tambang
Menjual pasir timah ke kolektor
Swasta timah
Tindakan penolakan
bersama warga terhadap
kehadiran smelter besar
Posisi AT sebagai patron
komunitas Patron dalam
pengetahuan dan inovasi
pertanian
Sumber : Diolah dari lapangan, 2012
Relasi AT dengan Komunitas THA 72 thn. Sementara relasi AT dengan
yang lainnya masih tetap sama sesudah tahun 2005 itu. Relasi AT dengan negara, swasta dan komunitas tidak terlalu berubah. Relasi AT dengan
komunitas justru makin menguat setelah AT pergi haji. AT sepulang haji selain banyak berada di masjid saat waktu sholat wajib tiba juga yang tak kalah
pentingnya adalah kemampuannya berdialog dengan tokoh agama bernama THA. Tokoh THA di Mayang dikenal sebagai tokoh agama sekaligus tokoh
masyarakat. Dalam soal agama, THA yang sempat mengenyam ilmu agama di pondok pesantren di Gontor menyebabkan THA sebagai tempat bertanya bagi
masyarakat Mayang. Untuk kepentingan itulah AT bertandang ke rumah THA. Padahal selama ini AT adalah orang yang sangat jarang ke luar rumah jika
hanya untuk sesuatu kegiatan yang tidak jelas. Kebiasaan AT jika punya waktu
108 luang maka AT lebih baik pergi ke kebun atau melihat TI miliknya yang sedang
dikerjakan anak-mantunya. Dengan THA nampaknya AT ada cocok. Belakangan AT yang lebih sering
berkunjung ke rumah THA daripada sebaliknya. THA yang usianya lebih tua sepuluh tahun dari AT sudah tidak dapat lagi berjalan jauh. THA hanya berbaring
saja di tempat tidur. Sebagaimana dikatakan selain sebagai tokoh agama THA juga sebagai tokoh masyarakat dan karenanya menguasai banyak hal terutama
masalah sosial yang ada di Mayang. Dialog mereka seputar itu. Tetapi bagi AT sendiri bahwa kehadirannya mengunjungi THA
sebagai tali „silaturahim‟ yang diyakni AT sebagai memperpanjang umur. Meski mungkin dalam pandangan
warga sebagai upaya AT sendiri untuk memupuk ketokohannya.
Tabel 6.4. Relasi AP dengan Negara, Swasta dan Komunitas sesudah Tahun 2005
Kampung Aktor Pembaru AP
Negara Swasta
Komunitas
Airputih AP menolak
kehadiran negara dikarenakan AP
dalam sejarahnya
pernah ditolak sebagai kolektor
tambang
Tidak pernah diajak terkait
pembangunan kampung
Swasta non- timah
AP bersama warga menerima
kehadiran PT Mayora Sawit
Swasta timah
AP sebagai patron komunitas
AP sebagai patron dalam hal
reklamasi dan pembangunan
kampung
Sumber : Diolah dari lapangan, 2012
Relasi AP dengan Komunitas. Tindakan serupa tidak terlalu berbeda
dengan AP sebagaimana tabel 6.4 di mana relasinya pun tidak berubah sesudah tahun 2005. Dalam hubungannya dengan memupuk ketokohannya AP pun
sering bertandang ke teman-temannya yang berada di kota Muntok maupun di kampungnya sendiri. Berdasar relasi yang dibentuk itu AP kemudian memiliki
banyak informasi dari luar melalui teman-temannya yang berada di Muntok. Sebagaimana diketahui bahwa kolektor tambang adalah orang yang mobilitasnya
tinggi terutama informasi terbaru khsusnya gejolak harga timah. AP kemudian berdiskusi dan menyerapnya, sambil juga belanja kebutuhan sehari-hari.
109 Informasi yang diperoleh itu sering AP salurkan kepada warga kampungnya
sehingga tidak terbantahkan bahwa AP adalah orang yang berpengatahuan luas dibanding warganya.
Relasi AP dengan Aktor Negara. Selanjutnya berdasar tabel 6.4 sesudah
tahun 2005 menggambarkan posisi AP dalam kontestasinya dengan negara secara nyata menolak kehadiran negara, meski AP sendiri adalah aktor yang
pernah bekerja sebagai aparatus negara. AP dalam tindakannya bersikap sangat rasional dalam hubungannya dengan negara. Bagi AP keterhubungan dan
kesetiaannya pada negara sesuai dengan kompensasi gaji honor yang AP terima sebesar Rp 27.000 per bulan dan dibayar per-tri-wulan dari BRI yang
harus diambil AP di kota Muntok. Setelah AP tidak lagi sebagai aparatus sebagai Kepala Kampung maka usai pula keterhubungan sebagai pejabat
administrasi dan pemerintahan. Perihal yang membuat AP berseberangan dengan negara yaitu ketika AP
mencoba membuka usaha tambahan dari yang pernah dilakukannya yaitu sebagai kolektor timah. AP memperkirakan bahwa jika dirinya sebagai kolektor
maka dengan mudah AP mendapatkan untung besar tanpa perlu bekerja keras sebagaimana dilakukan teman masa kecilnya yang sudah lebih dahulu sebagai
kolektor. Untuk tujuan itu maka AP menuju ke kota Jebus masih satu kabupaten. Pilihan ke kota Jebus menunjuk bahwa AP tidak ingin berkontestasi
dengan teman kolektornya di Muntok sehingga andaikan izin diterima maka operasionalnya dilakukan kota itu. Tetapi sayangnya izin tidak diberikan oleh
tambang korporasi. Alasan rasionalnya, karena AP tinggal di kecamatan Muntok sementara Jebus memiliki kecamatan sendiri dan jarak keduanya sangat jauh
sekitar 60 Km meski masih satu kabupaten. Alasan tidak rasionalnya adalah karena di balik itu ada unsur „suap‟, AP bukanlah tokoh yang bersedia melakukan
jalan pintas.
Selain gagal sebagai kolektor timah, AP pun pernah ditolak negara melalui aparatus kampung dalam rangka pembangunan kampung. Aparat pengganti AP
tidak terlalu menginginkan kehadiran AP dalam hubungannya dengan sosialisasi kampung melalui anggaran yang dialokasikan melalui dana APBD. Padahal
untuk seluk beluk kampung AP sangat mengetahui karena memang AP sendiri pernah menduduki jabatan itu. Bagi AP sendiri tidak masalah jika tidak diajak
untuk ikut urun-rembug pembangunan kampung. Bahkan menurut AP, dengan
110 tidak ada dirinya di sana membuat AP lebih leluasa memanfaatkan waktu untuk
kepentingan ekonomis lainnya. Padahal bagi warga ketidak-inginan aparatus kampung untuk mengundang AP dalam rangka sosialisasi pembangunan
kampung karena dikhawatirkan AP dapat membongkar „permainan‟ yang
dilakukan aparatus kampung yang dianggarkan melalui dana APBD itu. Peluang mark up sangat mungkin terjadi.
3. Jejaring Sosial AT dan AP