39
3. Monolitas Negara dalam Tatakelola Sumberdaya Timah menuju Multilitas yang Tersebar
Berdasarkan regulasi pertambangan timah di Bangka, sejak kelahirannya yang dimulai masa kolonial
adalah regulasi dan tatakelola yang pertama terkait
tambang. Beberapa regulasi pertambangan di Indonesia merujuk pada regulasi yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Undang-undang pemerintah kolonial yang
sudah dimulai tahun 1850 adalah undang-undang yang mengatur tatakelola pertambangan di Indonesia atau masa itu dikenal dengan Hindia belanda
Maimunah, 2007. Undang-undang yang dengan sengaja dilahirkan memang semata-semata atau diutamakan untuk kepentingan ekonomi politik kolonial.
Tidak terbersit sedikit pun perlunya mensejahterakan rakyat jajahan. Undang-undang tersebut adalah undang-undang pertama yang mengatur
mineral tambang di luar minyak dan gas bumi. Jika merujuk undang-undang pemerintah RI yaitu UU No 11 tahun 1967 yang dalam konsiderannya merujuk
UU Prp tahun 1960 memang menekankan aspek tambang untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dan untuk itu dikelola negara. Perbedaan dengan
hadirnya UU No 11 tahun 1967 itu adalah, negara memberikan ruang kepada pihak di luar negara untuk ikut terlibat di dunia pertambangan. Argumentasi
negara dalam pasal-pasalnya di batang tubuh menyebutkan bahwa, negara dalam kesulitan keuangan hingga memungkinkan pihak lain untuk ikut
mengelola. Penyebab kesulitan keuangan adalah, sebagai akibat dari salah tatakelola oleh rezim sebelumnya dan korup.
Sebenarnya undang-undang tentang pertambangan dan dengan menyertakan pihak di luar negara untuk ikut terlibat dipertambangan seiring dengan dengan
ditetapkannya UU PMA dilakukan pada tahun yang sama namun dengan usianya yang sedikit lebih tua. Undang-undang penanaman modal asing di mulai di awal
tahun 1967 tertanggal 30 Januari. Undang-undang ini nampaknya sebagai pembuka bagi undang-undang yang belakangan terkait investasi asing di luar
negara. Berdasarkan undang-undang pembuka inilah investasi asing masuk ke Indonesia termasuk tambang. Meski dalam hal tambang pemerintah RI masih
bersikap mendua, di satu sisi melarang dengan alasan dapat mengganggu kedaulatan dan kesetiaan kepada negara tetapi di sisi lain berharap akan
40 perlunya investasi agar mampu memutar roda perekonomian yang sedang
kurang bagus itu. Sejauh yang dicermati bahwa undang-undang itu adalah cara atau strategi
untuk mengentaskan manusia Indonesia untuk keluar dari kemiskinan tetapi upaya tersebut masih belum menunjuk hasil yang memuaskan. Lahirnya undang-
undang ini secara konsisten merujuk pada UUD 1945 yang mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negara. Prinsip-prinsip yang seperti ini
bukan hal baru. Tafsiran rezim dengan istlah dikuasai oleh negara justru memberikan ruang pada setiap rezim untuk menguasai secara keseluruhan.
Istilah vital dan strategis adalah istilah yang dengan sengaja dilekatkan dan menunjuk pada pembagian dan sekaligus penyingkiran keterlibatan masyarakat
untuk bergerak ditambang. Sementara pihak-pihak yang berminat untuk berinvestasi maka harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah.
Sebenarnya baik pemerintah rezim Orde Lama Orla maupun Orde Baru Orba memiliki cara-cara yang sama dalam mengelola bahwa keduanya represif.
Bedanya di masa Orla tekanan rezim sangat tergantung pada dominasi parpol dan bagaimana mereka mendapatkan jatah atas tambang. Penguasaan inilah
yang kemudian melahirkan tindakan yang tidak sesuai ketentuan, melanggar aturan dan yang paling mendasar adalah korup. Pemerintah lemah terhadap
parpol dan parpol yang kuat dengan sendirinya melakukan berbagai upaya untuk menduduki jabatan puncak di setiap instansi yang strategis. Artinya, rezim Orla
yang bertikai ditataran elite sehingga karenanya menjadi terbengkalai. Hadirnya Orba justru sebagai babak baru dengan ditandai tindakan
kekerasan berlebih. Aparatus negara tentara selalu hadir secara fisik dalam penjagaan yang dianggap barang vital dan strategis. Mereka yang melakukan
pengamanan secara sedemikian rupa hingga menyebabkan kontrol ketat menyebabkan rakyat tidak dapat bersinggungan dengan tambang itu. Dalam
telaahan ini yang ingin disampaikan adalah bahwa pengelolaan timah di Bangka selalu dalam koridor struktural di mana kuatnya dominasi rezim atau dikenal
dengan monolitik negara menyebabkan rakyat terbelenggu. Hak atas tambang sepenuhnya dikelola negara.
Perubahan rezim atau dikenal dengan masa reformasi, menyebabkan semua berubah cepat. Jika masa sebelumnya terkait tambang dikelola sepenuhnya oleh
negara maka sekitar tahun 1996-7 ketika suasana perpolitik nasional memanas
41 di Jakarta memungkinkan masyarakat lokal mulai berani menambang.
Klimaksnya ketika reformasi. Diawali oleh peraturan yang dikeluarkan bupati Bangka, setelah menyimak perkembangan di masyarakat, hingga mendorong
bupati mengeluarkan peraturan yang membolehkan masyarakat menambang. Kondisi tersebut diikuti dengan melepaskan istilah strategis dan vital dan
sekaligus membolehkan masyarakat ikut menjual-belikan pasir timah yang semula dalam pengawasan tambang korporasi PT Timah.
Peraturan demi peraturan dikeluarkan bupati hingga gubernur babel sehingga pada intinya melepaskan satu persatu kekuatan negara melalui PT Timah.
Negara telah kehilangan kewibawaan hingga akhirnya tidak mampu berbuat apa- apa. Reformasi tidak saja memberikan peluang kepada masyarakat tetapi juga
pemerintah daerah sebagai pesaing baru. Sebagai penguasa wilayah di mana semula mereka hanya mendapatkan royalty PT Timah maka dengan adanya UU
otonomi daerah, setiap kepala wilayah mendapatkan tidak saja dari royalty yang memang wajib dikeluarkan tambang korporasi tetapi dari pemodal dan
masyarakat itu sendiri. Di sinilah dikenal kemudian apa yang disebut sebagai perubahan dari monolitas ke multilitas.
4. Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kontestasi