Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Timah dan Bangka dua kata yang seolah tidak bisa dipisahkan. Keterlekatan itu diambil dari bahasa Sansekerta kuno yang memang mengartikan kata Bangka [Vanka] sama dengan timah Heidhues, 2008; Sujitno, 2007: 8, sehingga secara singkat orang menyebut sebagai timah Bangka. Berdasarkan tuturan bahasa sehari-hari terungkap bahwa, ucapan kata tentang timah Bangka secara spontan muncul begitu saja. Spontanitas ini menyebabkan daerah-daerah atau bahkan negara yang sama-sama sebagai penghasil timah pun menjadi kurang dikenal dan bahkan hilang dari perbendaharaan kata-kata penutur. Ucapan-ucapan tentang timah Belitung misalnya, timah Singkep atau timah Malaysia, timah Cina dan timah Brazil malah terasa asing di telinga 1 . Kategorisasi ini semua menunjukkan bahwa betapa timah Bangka jauh melampaui lainnya. Timah Bangka yang mendiaspora tidak terbendung itu ternyata menggelitik sebagian pakar untuk mengkaji lebih dalam sesuai dengan keahlian dan disiplin ilmu yang dimiliki. Mereka yang berangkat dari ahli sejarah dan geologi misalnya, tidak menemukan kata sepakat sejak kapan dan di mana pertama kali ditemukan, bahkan posisi dan kualitas timah pun masih ada yang membagi dengan timah primer dan sekunder Sujitno, 2007: 59. Perbedaan-perbedaan ini menyebabkan tidak adanya titik-temu kapan pula timah itu bakal habis di Bangka. Ada yang menyebut, tinggal 10 tahun lagi, 20 tahun hingga satu abad ke depan. Prakiraan yang menyebut masih satu abad ke depan didasarkan atas, bahwa apa yang dieksploitasi sekarang ini baru sebatas timah primer; sedangkan timah sekunder dengan kedalaman lebih dari 50 meter dan berada di bawah bebatuan, belum tereksploitasi sama sekali karena keterbatasan alat. Para ahli ilmu-ilmu sosial lain tidak terlalu tertarik menyoalkan kapan dan di mana ditemukan serta kapan pula timah di Bangka itu bakal habis. Para ahli yang disebutkan terakhir lebih cenderung mengedepankan ekonomi politik timah sebagai komoditas yang diperdagangkan. Timah dalam ekonomi politik perdagangan sejak awal ditemukan hingga dewasa ini selalu memunculkan friksi dan perebutan berkepanjangan Erman, 2009a: 2-13; Budimanta, 2007: 34-7. 1 Padahal kedua negara khususnya Cina adalah pemasok terbesar timah dunia. 2 Aktor-aktor yang terlibat pun beragam, mulai dari pertarungan antar-rezim hingga kepada aktor-aktor dalam rezim yang sama. Ruang kontestasi pun tidak saja dalam bentuk fisik tetapi juga berlangsung di wilayah kuasa pengetahuan dan gagasan, dengan cakupan yang tidak saja sekadar antar-komunitas kampung melainkan memasuki wilayah-wilayah yang bersifat anonim. Timah di Bangka sudah lama menjadi komoditas yang diperdagangkan. Material timah yang diperdagangkan memang tidak lagi dalam bentuk pasir timah melainkan sudah dalam bentuk timah batangan dan bahkan balok-balok timah. Artinya, sebelum diperdagangkan timah telah diproses terlebih dahulu sebagai barang setengah-jadi. Beberapa tinggalan sejarah menunjukkan bahwa proses tersebut diketahui melalui penemuan beberapa tungku api tanur-api, fosil pembakaran, kayu-kayu yang tumbuh baru di sekitar tungku 2 . Masih dalam artefak atau tinggalan sejarah yang sama bahwa, ada bukti-bukti tambahan yang menguatkan telah terjadinya proses tanurisasi dari pasir menjadi timah balok dengan pelaku utama sepenuhnya dilakukan oleh penduduk lokalsetempat Sujitno, 2007: 11; Heidhues, 2008: 9. Kenyataan ini berbeda dengan fakta-fakta yang muncul belakangan bahwa, pengerjaan itu dilakukan oleh etnis Tionghoa sehingga menyiratkan pengelolaan timah sudah lebih terorganisir. Dengan merujuk catatan sejarah pun tergambar dengan jelas, bagaimana etnis Tionghoa masa Kesultanan Palembang didatangkan langsung dari Tiongkok dan diperkirakan dari Kanton menggunakan Jung, berikut seluruh alat produksi dan pola hubungan produksi, seperti teknologi pertambangan maupun sistem kongsi Sujitno, 2007: 75; Heidhues, 2008: 15. Peralihan penguasaan atas sumber-sumber timah dari Kesultanan ke rezim VOC, pemerintah Inggris, sampai ke Hindia Belanda tidak menimbulkan perubahan teknologi yang berarti sampai akhir abad ke-18. Penguasaan sumberdaya timah dan produksi timah dengan seluruh perangkat teknologi tambang dan pola-pola hubungan produksi sebagaimana berlangsung sebelumnya, keterlibatan aktor dan kontestasi antar-rezim menguatkan dugaan serta mempertegas bukti bahwa persoalan timah di Bangka sudah bermasalah 2 Tidak terlalu jelas pula areal temuan. Catatan Sujitno mengutip seorang penulis yang tidak dikenal dan dimuat dalam Tijdschrift voor Ned.Indie VIII, bagian 4 Tahun 1846 hlm 144 menyebut wilayah Merawang tepatnya kampung Calin daerah Depak. Dalam catatan Kumpulan Catatan Mengenai Geologi Bangka Tahun 1958 ditemukan di Ulim atau Olim di Toboali selatan 3 sejak timah hadir sebagai barang yang diperdagangkan itu Heidhues, 2008: 74; Erman, 1995: 34. Kartodirdjo 1988: 9-19; 67 menyebut bahwa timah Bangka yang diperdagangkan memang sudah dimulai sejak abad-12 masa Abbasiah. Timah sebagai komoditas yang diperdagangkan, masuk hingga ke daratan Eropa awalnya melewati jalur-darat yang dikenal sebagai “Jalur Sutera”. Jalur yang membentang dan memanjang dari daratan Asia Tenggara menelusuri Asia Selatan memungkinkan komoditas ini rawan perampokan dan pembegalan. Artinya, perjalanan timah yang panjang, berat dan lama sampai ke tempat tujuan menyebabkan harga timah pun meningkat beberapa kali lipat. Kondisi tersebut terus bertahan hingga beberapa abad ke depan. Perkembangan transportasi laut meminimalkan resiko serta memperpendek jarak-tempuh. Objek timah dapat langsung ditransaksikan dari tangan pertama, sehingga dengan sendirinya menjadi sangat efisien karena mampu menekan ongkos perjalanan dan konsumen-produsen dapat menarik keuntungan optimal di tempatnya masing-masing. Adanya jalur yang lebih pendek menyebabkan banyak pedagang dari berbagai daerah maupun negeri-negeri lain berlomba- lomba dan berdatangan ke sumber penghasil timah, yaitu Bangka. Akibatnya bisa diduga, ramainya perdagangan dalam satu tempat yang sama dipastikan menaikkan eskalasi kontestasi antar-aktor dalam satu rezim maupun antar berbagai rezim; bahkan sejak Indonesia merdeka secara politik tahun 1945 sekalipun, pergulatan tersebut terus mengikuti walau dengan aktor-aktor yang sama sekali berbeda. Jika sebelumnya banyak yang terlibat dalam proses produksi maka terjadilah kontestasi antar-rezim dan antar-aktor bertarung di dalam dimensi ruang yang luas melewati beberapa negeri hingga ke Eropa, tetapi dalam transisi politik di mana ruang tarung tidak saja dalam artian luas kewilayahan melainkan masuk dalam wilayah gagasan. Proses transisi menyangkut perubahan pengelolaan dari kolonial ke Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI tidak dipungkiri menimbulkan alienasi atau keterasingan dalam pengelolaan sumberdaya timah di Bangka. Prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konferensi Meja Bundar di Denhag tidak saja menyangkut hubungan Indonesia-Belanda dalam penataan di pucuk pimpinan melainkan kontestasi antar-partai politik yang berusaha untuk mengintervensi pengelolaan tambang di Bangka. Kondisi tersebut semakin diperburuk oleh ketidak-mampuan 4 manajemen Indonesia baik tingkat nasional maupun lokal Bangka dengan kualifikasi memadai dalam menerima estafet itu; dan peralihan tersebut baru benar-benar tuntas sekitar tahun 1960-an seiring dengan perubahan dari perusahaan korporasi negara menjadi persero Zulkarnaen, et.al 2005: 46-66. Artinya, sejarah panjang tentang timah di Bangka sebagaimana gambaran di atas adalah tetap, tetapi dengan aktor-aktor yang silih berganti dan dengan kepentingan yang berbeda mewarnai Bangka hingga hari ini. Perebutan sumberdaya timah atau pada skala lebih makro dapat disebut sebagai sumberdaya alam itu sebenarnya sudah berlangsung lama. Perebutan yang bermakna perubahan bermula dari hadirnya manusia di atas muka bumi ini. Kehadiran yang tentu saja dapat diartikan sebagai perubahan karena menyangkut interaksi manusia dengan alam; dan kehadiran dimaksud membawa serta pemenuhan kebutuhan manusia sehingga pada gilirannya mengarah pada penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam. Perubahan yang secara rinci disebabkan oleh meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia. Singkatnya, perubahan yang disebut juga sebagai perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dengan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran exchange. Proses pertukaran melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak Dharmawan, 2007: 6 untuk berbagai sektor kehidupan. Namun perebutan sumberdaya timah di Bangka sedikit berbeda. Apa yang dipaparkan Dharmawan 2007: 8 dengan mengatakan bahwa perubahan ekologis selalu disebabkan oleh modernitas peradaban yang disongsong melalui strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growth-mania-syndrome; dan melalui sindrom ini telah memaksa pemerintah di setiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Modernitas peradaban lanjut Dharmawan secara sengaja dibawa oleh negara dengan tujuan agar mampu secara cepat membawa masyarakat keluar dari kemiskinan. Persoalan adalah, apakah modernitas peradaban dengan strategi pertumbuhan tersebut sebagai tidak tepat sasaran sehingga menimbulkan dampak yang sama sekali di luar rancangan awalnya? Apakah hal serupa dapat terjadi di Bangka? 5

2. Rumusan Masalah