126 komunikasi. Berbeda dengan AT yang berjejaring dengan simpul-simpul
kepentingan keamanan dan ketertiban sebatas simpul kepentingan pertemanan belaka.
Akhirnya, kelima, simpul-simpul jaringan kepentingan AP dengan SWT, NAD, ANG, DHN dan HER menunjuk pada simpul-simpul jaringan kepentingan sosial
kebersamaan dan kesetiakawanan. Simpul-simpul jaringan kepentingan tersebut menggambarkan hubungan yang kuat strong di antara mereka meski tanpa
dibalut oleh kepentingan ekonomi. Nampak kekuatan tersebut sengaja dipelihara dan dibina hingga dapat dimafaatkan sebagai saluran komunikasi antar-mereka
dan pada gilirannya dapat meningkatkan simpul-simpul jaringan kepentingan lainnya, tidak tertutup kemungkinan simpul-simpul jejaringan kepentingan
ekonomi.
5. Refleksi Arah Baru Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka
Bagian sub-bab ini mencoba menjelaskan analisis ekonomi politik aktor sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Penjelasan ini didukung oleh ekologi
politik tambang untuk menunjukkan dukungan kebertahanan ekonomi rumahtangga aktor, dan bagaimana aktor mengartikulasi penguasaan
sumberdaya yang mereka miliki. Paparan ini sebagai potret skala mikroaktor yang secara intensif berlangsung di dua kampung. Konsekuensi hasil penelitian
ini dicoba untuk memproyeksikan pada skala makro-Bangka khususnya kalkulasi politik tambang berjejaring dengan setiap pilihan pejabat politk lokal.
5.1. Analisis Ekonomi Politik Timah dalam Perspektif Aktor Aktor dalam ruang pengetahuan dan kepentingan yang mereka miliki tatkala
menganalisis ekonomi politik timah dalam ruang kuasa tambang tidak dipungkiri mempertimbangkan banyak faktor. Analisis yang melandasi pemikiran aktor,
yaitu menyangkut relasi antar-aktor dan jalinan hubungan dengan terealisasikan atau justru kegagalan serta efek yang ditimbulkan akibat keputusan tersebut
diambil, memberikan gambaran bahwa keputusan itu bukan keputusan personal. Kalaupun keputusan yang keluar itu adalah keputusan personal melalui ucapan
tetapi substansi keputusan merupakan pertimbangan dari banyak aspek termasuk struktur di mana aktor itu berada. Kondisi ini semakin diperhitungkan
manakala aktor-bertindak itu adalah juga sebagai agen sosial dalam di dalam komunitasnya.
127
Tabel 6.5. Perbandingan melalui Harga Dasar Tahun 2006-2007 dengan dan Tanpa Aktivitas Timah serta Kontribusinya
Tahun Dengan Timah Tanpa Timah Kontribusi Timah
Nilai Pertumbuhan Nilai Pertumbuhan Rp Juta Rp juta
2006 7.214.607 4,47 5.008.317 5,80 30,58 2007 7.528.398 4,35 5.252.760 4,88 30,23
Sumber : Analisis Dampak Lingkungan, Buku III, 2009 Namun sebelum memasuki alasan aktor bertindak dalam hubungannya
dengan perebutan sumberdaya timah, maka tabel 6.5 menggambarkan skala makro perkembangan timah di Bangka yang diperebutkan oleh dan antar-aktor
pada skala makro. Keterkaitan skala makro-mikro hubungannya dengan kebutuhan dan kepentingan tersebut, diperlihat masih besarnya sumbangan
timah bagi dinamika ekonomi politik di Bangka. Data yang ditampilkan adalah data yang sengaja mengambil data tahun 2006. Secara rerata sejak tahun 2002
menempatkan kontribusi timah bagi kepentingan Bangka sekitar 30. Selanjutnya meskipun ada kenaikan tingkat pertumbuhan tanpa timah,
sebagaimana dicuplik tahun 2006 dan 2007 itu, ketergantungan masyarakat Bangka atas timah memang berkurang, yang diperlihat selisih angka dari 5,80
dibandingkan dengan 4,47 tetapi kontribusi tambang ini bagi kehidupan masyarakat Bangka masih sangat tinggi, yaitu 30,58 Jika membandingkan
dengan tahun 2007 hampir tidak mengalami penurunan yang berarti. Artinya, secara sosiologis kebutuhan akan pangan dan lainnya di Bangka masih ditopang
oleh timah. tetapi tentu saja bukan dalam pengertian langsung. Maksudnya timah memiliki peran ganda. Timah sebagai pendorong dan pemicu bagi naik-turunnya
kebutuhan ekonomi di Bangka.
Tabel 6.6. Analisis Ekonomi Politik Aktor terkait Timah
Aktor Landasan Agen dalam Bertindak AP - rasionalitas dan moral serta keberlanjutan ekonomi
AT - rasionalitas dan keberlanjutan ekonomi Sumber : Data Lapangan 2012
Jika tabel 6.5 memperlihatkan gambaran masih besarnya kontribusi timah sebagai pemicu perkembangan ekonomi di Bangka maka dengan besarnya
128 sumbangan timah bagi perkembangan ekonomi itu menyiratkan bahwa pada
skala mikro kerja ekstra keras bagi AP dalam mengembangkan usaha di luar timah. Betapapun rasionalnya AP setelah melalui kesadaran praktis yang tumbuh
dalam kehidupan sehari-hari hingga memunculkan sikap bersama antar-sesama warga tetapi tidak cukup kuat untuk mendukung maupun mengajak mereka
beralih ke usaha lain di luar timah. AP dalam kapasitasnya sebagai aktor sosial di masyarakatnya bersikap
sangat rasional dan mempertimbangkan keberlanjutan ekonomi keluarga. Rasionalitas dimaksud adalah terutama mempertimbangkan aspek untung-rugi
melalui kesadaran praktis yang dialami bersama warga masyarakatnya. Dalam kasus AP di timah, melalui beragam sisi disorot, dikalkulasikan dan dimatangkan
tetapi akhirnya meleset dan bangkrut juga. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar modal AP dipasok melalui teman-teman kolektornya di
Muntok. Untuk menggantikan modal yang diivestasikan teman-temannya itu maka AP berupaya menggerakkan seluruh aktivitas TI-nya agar secepatnya
diperoleh timah untuk kemudian distorkan ke kolektorteman-temannya, sebagai pengganti. Tetapi beberapa kali dilakukan penggalian dan telah berganti lokasi
tambang beberapa kali tetap saja tidak ditemukan dalam jumlah memadai, sehingga memaksa AP untuk menggantikan seluruh biaya produksi. Situasi
berbalik inilah menyebabkan AP terpental keluar dari dunia tambang. Kondisi tersebut menyadarkan AP bahwa keberlanjutan ekonomi rumah
tangga merupakan aspek lain yang juga harus dipertimbangkan tanpa melulu berkonsentrasi kepada timah belaka. Dalam posisi inilah bahwa AP merasa tidak
lagi dapat berkonsentrasi penuh dengan logika tambang yang cepat dan rasional. Modal memang dapat dengan cepat kembali jika area penambangan
bekas KP timah itu digali. Tetapi tidak selamanya pula area bekas KP timah itu dapat menghasilkan sejumlah besar timah. Di sinilah sikap rasional memainkan
perannya. Pertimbangan paling krusial dari seluruh yang ada , yaitu yang dialami ketika
masih di tambang dan keinginan kuat untuk membatalkan setelah diketahui bahwa tindakan apapun yang dilakukan AP di tambang, ditentukan oleh pihak di
luar dirinya. AP merasa dirinya tidak dapat berbuat apapun secara mandiri dan merdeka. AP terkooptasi oleh lingkungan eksternalnya di tambang. Kooptasi
adalah juga konflik. Otoritas harga ditentukan oleh kolektor meski kemudian AP
129 menjadi kolektor tanpa izin juga di kampungnya tetapi kebebasan menetapkan
harga jual terhadap hasil tambangnya ditentukan kolektor di atasnya secara berjenjang, begitu seterusnya. Otoritas menentukan lokasi tambang, demikian
pula. Meski AP mantan kepala kampung tidak berarti bahwa AP secara bebas dapat menentukan lahan yang diinginkan. Warga dengan kuasa komunitas
mempunyai kapling-kapling tertentu di lahan yang tersebar itu, tetapi sebagai bekas kepala kampung dapat saja AP membuktikan lain datanya yang dimiliki
AP jauh lebih lengkap, sehingga sikap warga ini menyebabkan AP mengurungkan niat untuk meneruskan membuka tambang; dan andaikan AP
memaksa juga tentu saja tentu tidak ada yang berani menolaknya. Kooptasi yang adalah juga konflik lain yang justru di luar perhitungan
banyak orang adalah, pengakuan masyarakat dengan menempatkan dirinya sebagai aktor agen sosial di kampungnya justru membuat AP terpasung di
wilayah gagasan. Beragam konflik maupun kooptasi yang dialami AP menyebabkan dirinya terpenjara dan memaksa dirinya untuk lebih berhati-hati
dalam bersikap dan menentukan pilihan pekerjaan seusai di timah maupun purna tugas sebagai kepala kampung. Itu pulalah sebabnya pilihan untuk tidak
meneruskan ke dunia tambang dan berganti kepada kepentingan alternatif lain seperti nelayan dan tambak seraya meneruskan perkebunan, merupakan pilihan
yang menurutnya cukup bijak, adil dan berwibawa; serta sekaligus terbebas dari konflik-kooptasi itu.
Rasionalitas yang dibangun melalui kesadaran praktis mendorong AP untuk mencari alternatif lain. Tidak ada pilihan bagi AP kecuali untuk terus
mengembangkan usaha dan tidak tergantung dengan pihak lain. Tetapi usaha tersebut tidak lagi bersentuhan dengan timah namun ekonomi rumah tangga
tetap terjaga. Sikap untuk tidak bersentuhan dengan timah sambil mempertahankan ekonomi rumah tangga berjalan seiring dengan tekanan moral
yang berkembang akhir-akhir ini Suatu ketika akan sampai laknat Tuhan jika terus menerus
merusak bumi. Kelihatan kaya tetapi kekayaan itu hanya sesaat. Bukti-bukti itu sudah mulai tampak, adakah orang yang mampu
mempertahankan kekayaannya melalui timah?
Istilah “laknat Tuhan” nampak sebagai ucapan yang sering muncul dalam komunitas pertambangan ketika mereka yang telah berusaha dan mengeluarkan
130 dana yang besar tetapi hasil timah yang diperoleh tidak memadai. Bahkan jika
dipaksakan akan menguras modal sebelumnya dari tambang yang tersisa hingga habis. Dalam pantauan AP meski tidak dapat menunjuk angka pasti, AP
meyakini bahwa jumlah itu berkisar 80 dari total penggali timah. Sementara AT dalam kapasitasnya sebagai aktor sosial di masyarakatnya
juga tidak melulu bersikap rasional. Pilihan-pilihan terkesan rasional-pragmatis terlihat ketika harga timah jatuh
13
. AT untuk mempertahankan keberlanjutan ekonomi maka mulai berpikir untuk menutup satu dari tiga usaha TI-nya. Merasa
tidak kuasa melawan gejolak harga timah dengan tanpa memperhitungkan faktor penyebab mendorong AT menutup TI-nya itu. Jelas sikap pragmatis yang
muncul. Juga mengajak mantu laki-laki dengan perhitungan upah yang sama persis dengan buruh tambangnya adalah sangat jelas bersifat pragmatis karena
dilatar belakangi buat menggantikan AT kelak di timah. Juga mengajak mantu di timah sebagai proses pembelajaran bagi dirinya mantu, agar tahu bagaimana
caranya mengelola aspek teknis pertambangan maupun aspek administratif keuangan dan akhirnya hasil-hasil yang diperoleh adalah untuk kepentingan dan
menghidupi keluarga sang mantu, jelas berpikir pragmatis. Tuntutan untuk belajar cepat dan efisien dengan menerjunkan lagsnung atau praktik lapangan.
AT dalam analisis ekonomi politik tambang dengan mengedepankan keberlanjutan ekonomi keluarga merupakan pertimbangan pula. AT selain
sebagai tokoh di kampung adalah juga sebagai patron dalam keluarga besarnya. Prinsip meniru secara tidak langsung memberikan kuasa kepadanya untuk
berbuat lebih dalam-memberi sehingga dri situ AT berharap ditiru atau sekurang- kurang masuk di wilayah gagasan komunitasnya. Itulah sebabnya AT ini adalah
tokoh paling dinamis dan lincah, sebagaimana dikatakannya bahwa “tua itu tidak berarti lemah”. AT ingin mengatakan bahwa di usianya yang sekarang ini maka
berbuat baik dan bersedekah.
AT dalam analisis ekonomi politik tambang juga merasakan bahwa tindakannya terkait timah, berada dalam posisi terkooptasi atau konflik. Tetapi
konflik dimaksud tidak seberat yang dialami AP. Ada kesepemahaman dengan warga bahwa ngelimbang timah di kampung hanya untuk orang kampung sendiri.
13
Per Juli 2012 harga timah berkisar Rp 60.000 harga ini tidak cukup untuk menutupi ongkos produksi. Ongkos produksi palng besar diserap oleh minyak solar menyusul upah buruh. Kedua
komponen ini terus naik. Jika solar di mana saling berkompesisi antar-penambang sementara buruh dikaitkan tenaga terampil yang dimiliki [wawancara dengan AT, 19 Juli 2012].
131 Kebersamaan tersebut baik adanya terutama agar menghindari penyerobotan
pihak lain terhadap lahan eksploitasi. Tetapi AT menjadi tidak berdaya ketika, kepada siapa harus menjual dan berapa harganya. Konflik pun terjadi. Kolektor
tambang tingkat menengah-atas yang diisi oleh etnis Tionghoa menyebabkan AT tidak kuasa menolak terhadap harga jual yang ditetapkan. Meski AT memiliki
informasi yang cukup soal harga jual dari aspek formal karena kedekatannya dengan korporasi tetapi praktik di lapangan membuatnya tidak mampu menolak.
Permainan harga selalu terjadi di wilayah kuasa pengetahuan dan gagasan yang melintasi ruang-waktu.
5.2. Dinamika Ekologi Politik Sumberdaya Timah di Bangka Kepentingan selalu hadir dalam setiap diri aktor. Kepentingan menyangkut
dorongan aktor untuk bertindak. Sumberdaya timah adalah faktor pendorong utama yang memotivasi aktor setelah melalui beragam pertimbangan, terutama
terkait kepentingan utama dan alternatif. Tabel 6.7 menggambarkan perbedaan mendasar kepentingan-kepentingan antara AP dan AT sehingga dalam
perkembangannya AP sama sekali meninggalkan sumberdaya timah sebagai pemicu kepentingan utama dan beralih serta meneruskan kepentingan alternatif
tersebut. Sementara AT masih bersikukuh dengan sumberdaya timah, di samping masih meneruskan kepentingan alternatifnya.
Tabel 6.7. Ragam Kepentingan Aktor AT dan AP dan Warga
Kepentingan Utama
Kepentingan Alternatif 1
Kepentingan Alternatif 2
Kepentingan Alternatif 3
AP
Kemandirian ekonomi
keluarga, akumulasi kapital
dan survival Sebagai KK
Kepala Kampung
Berkebun, toko kelontong
Tambak ikan, operatorpemilik
generator listrik, pemilik 2 bagan
dan sebagai ojek laut
AT
Kemandirian ekonomi
keluarga, ekonomi berbagi,
survival Berkebun,
berladang, toko kelontong
Warga
Kemandirian ekonomi
keluarga Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Sumber : Data Primer 2012
132
Dinamika Kepentingan Ekologi Politik Aktor Pembaru. AP sudah lebih
dari tujuh tahun ini meninggalkan timah. AP ketika masih bermain-main dengan timah, menempatkan sumberdaya timah sebagai kepentingan utama. Pada saat
itu kepentingan alternatif AP adalah sebagai KK kepala kampung. Dalam sistem ketatanegaraan dan pemerintahan di Indonesia, kampungdesa secara
administratif di bawah camat tetapi dalam praktik pengelolaannya ada dua fungsi yang melekat di dalamnya, yaitu: pertama, sebagai fungsi administratif-
pemerintahan; dan kedua, sebagai fungsi sosial kemasyarakatan Dharmawan, 2010. Dalam lingkup kampung kedua fungsi tersebut berimpit dan tumpang-
tindih, sehingga tidak bisa dikenali lagi mana fungsi administratif-pemerintahan dan mana fungsi sosial kemasyarakatan. Kedua fungsi pada dasarnya
mencerminkan fungsi-fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Di sinilah fungsi tersebut menjadi tidak dapat dikenali ketika masyarakat membutuhkan surat-
menyurat mereka dapat langsung mendatangi rumah kepala kampung; sementara persoalan yang berkaitan dengan sengketa antar-warga misalnya
dilaporkan di kantor kelurahan. AP ketika menempatkan timah sebagai kepentingan utama dan KK sebagai
kepentingan alternatif, bukan tanpa kendala. Kedua kepentingan membutuhkan curahan waktu dan tenaga fisik yang sama banyaknya. Itulah sebabnya ketika
AT habis masa tugasnya sebagai KK tidak berniat lagi meneruskan jabatan itu. Bagi sementara orang memperkirakan bahwa AT akan meneruskan kegiatan
usaha tambang yang memang sangat menjanjikan. Tetapi ternyata AT justru mengalihkan ke perkerjaan yang cukup lama terlantar yaitu aktivitas berkebun
dan berladang. Setelah beberapa lama menekuni aktivitas itu AT menambah dengan aktivitas lain yaitu membuka tambak ikan dan membuka bagan
penangkap ikan di tengah laut.
Dinamika Kepentingan Ekologi Politik Aktor Transisi. AT sampai detik ini
masih terlibat dalam timah. Namun keterlibatan AT di timah tidak seintensif warga pada umumnya. AT meskipun menempatkan timah sebagai kepentingan
utama tetapi proporsi waktu yang dicurahkan tidak penuh. AT masih menyisakan waktunya untuk melihat dan menyiangi serta memupuk lahan perkebunannya.
Tindakan ini dilakukan AT selain memiliki kepuasan batin dalam berkebun juga untuk kepentingan timah dibantu oleh mantu laki-lakinya. AT hanya kadang-
133 kadang saja melihat tambangnya. Biasanya AT datang ke tambang menjelang
petang di saat timah mulai diangkat dan dibersihkan dari kotorannya. Kerja AT tergolong pekerja keras sehingga hampir seluruh waktunya ada di
lapangan baik memantau perkembangan tambang maupun perkebunan sehingga seolah AT tidak memiliki waktu luang yang cukup lesure time karena
hampir setiap waktu tersita untuk pekerjaannya. Tidak jarang jika tamu atau siapa saja mencarinya cukup sulit, kecuali jika tahu pasti jadwalnya. Ekonomi
timah yang sangat menjanjikan maka AT selalu memantau perkembangan timah baik proses maupun harganya, demikian pula dengan tanaman. Dalam kapasitas
menempatkan timah sebagai kepentingan utama maka porsi pekerjaan yang lain sedikit tertunda. Sebagaimana dituturkan AT
Timah bagiku adalah sebagai penopang dasar kehidupan ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu perkembangan timah
selalu dipantau dengan baik. Tetapi tidak berarti yang lain ditinggalkan. Tetap diperhatikan.
Timah adalah untuk menopang berjalannya ekonomi rumah tangga. Kondisi tersebut makin kuat memaksa AT bekerja lebih keras karena hasil yang diperoleh
akan digunakan menunjang aktivitas sosialnya di masyarakat dan keluarganya. Di sinilah di kenal dengan „ekonomi berbagi‟ dari AT karena sebagai orang yang
ditokohkan maka setiap pertemuan AT harus menyediakan rokok dan makanan
kecil lainnya. Bahkan dalam pertemuan keluarga besarnya AT sebagai sosok penyumbang dana terbesar.
4.3. Artikulasi Aktor dalam Penguasaan Sumberdaya Timah
Giddens menempatkan struktur-agensi dalam hubungan yang dualitas dan bukan dualisme. Dualitas kata Giddens 2010a merupakan hubungan timbal-
balik atau dialektik, yang dalam posisi ini mirip seperti Parsons tetapi hubungan tersebut bersifat internal. Parsons seorang tokoh aliran struktural-fungsional
dengan sangat tegas menyatakan bahwa penyebab perubahan dalam sistem sosial dipengaruhi oleh elemen-elemen di luar sistem itu, sementara Giddens
sebaliknya. Aktor, dalam hal ini AP dan AT, setelah melihat melemahnya struktur
terutama tindakan represifnya maka mulai melakukan analisis ekonomi politik terkait timah itu. Perhitungan-perhitungan dilakukan secara matang sesuai
134 dengan kondisi dan kuasa pengetahuan yang berkembang sehingga dalam
pilihan-pilihan itu memutuskan untuk ikut terlibat dalam praktik penambangan.
Stop Tambang dan Revitalisasi Potensi
AP setelah mengalami kebangkrutan di timah sekitar 7 tahun lalu sudah tidak tertarik lagi dengan aktivitas penambangan. Meski sebelumnya sempat menjadi
kepentingan utama mengingat keuntungan secara cepat diperoleh, sementara saat yang sama kepentingan alternatif-1 sebagai KK sedikit terganggu sempat
terabaikan. Artinya ketika timah lagi boming AP mengerjakan dua aktivitas sekaligus. Sebelum berangkat ke kantor AP masih menyediakan waktu untuk
melihat lokasi dan memberikan petunjuk kepada pekerja tentang apa yang harus dilakukan hari itu, sekitar habis dhuhur AP sudah berada di tambangnya.
AP melakukan aktivitas itu untuk beberapa tahun lamanya sehingga curahan waktu untuk kepentingan alternatif-2 yaitu berkebun sama sekali tidak tersentuh.
Toko kelontong karena gandeng dengan rumah tinggal maka dapat dilakukan oleh istri maupun anaknya. AP baru memiliki waktu yang cukup setelah sama
sekali tidak lagi menjabat sebagai KK. Waktu luang yang tersisa ternyata juga cukup bahkan lebih sehingga AP menambah lagi kepentingan alternatif-3 yaitu
dengan membuka tambak ikan dan paling akhir membuka bagan. AP dengan kepentingan alternatif-3 ternyata membuka lahan baru baginya,
yaitu transportasi laut. AP pemilik perahu dengan mesin tempel semula untuk mendukung profesi barunya sebagai nelayan. Perahu bermesin itu semula
digunakannya melihat bagan miliknya yang berada di tengah laut. AP belakangan menambah satu bagan lagi sehingga aktivitasnya makin tinggi ke
laut. justru sering dimintai tolong untuk mengantar oleh buruh timah ke kapal isap di pinggiran pantai dengan sistem upah. Aktivitas transportasi laut tersebut
berlanjut sehingga kepentingan alternatif-3 memiliki tambahan pendapatan baru sebagai ojek-laut.
Pergeseran dari kepentingan utama kepada kepentingan alternatif 1-3 khusus dengan hadirnya kepentingan alternatif-3 justru menjauhkan AP dari
godaan untuk kembali kepada kepentingan utamanya sebagai penambang. AP dalam sistem-sistem sosial terorganisasi sebagai praktik-praktik sosial rutin, yang
dipertahankan dalam perjumpaan-perjumpaan yang tersebar di sepanjang ruang- waktu Giddens, 2010: 129. Pe
rilaku AP dalam praktik sosial itu „diposisikan‟ melalui perulangan ruang-waktu dan memudar dalam waktu. Terbukti kemudian,
135 setelah sekitar 7 tahun di mana AP sudah tidak lagi berkiprah di tambang
sehingga AP dapat dengan tegas mengatakan, “stop sebagai penambang”. Keberanian dan ketegasan AP untuk menyatakan berhenti sebagai
penambang tanpa didukung kepentingan alternatif sama artinya dengan mendorong masyarakat „terjun bebas‟ dan jatuh ke kubangan kemiskinan.
Tingginya harga jual timah setelah dikurang ongkos produksi menyebabkan masyarakat yang sudah terlanjur meninggalkan kepentingan utama sebagai
pekebun dan nelayan, mengalami kesulitan untuk kembali. Tindakan represif aparatus negara dan menolak membeli timah dari komunitas tidak menjamin
berhentinya masyarakat sebagai penambang; sementara kolektor, pedagang di pasar gelap dan penyelundupan masih terus mendatangi kampung-kampung.
Jika mencontoh AP maka dengan memperbanyak kepentingan alternatif dan merevitalisasi yang semula utama menjadi alternatif untuk kemudian kembali
kepada kepentingan utama U A U maka sekurang-kurangnya mampu untuk menjawab persoalan. Pasalnya dalam rentang ruang-waktu tertentu maka
kemampuan fisik seseorang berbanding terbalik dengan beban kerjanya adalah sama dengan bertambahnya curahan waktu kerja, agar dapat dijadikan
pertimbangan Fisik : Beban Kerja = Curah Waktu bertambah.
Keberlangsungan dan Eksistensi
AT masih eksis dengan tambang timahnya, bahkan belum ada tanda-tanda bakal berhenti. Rumusan Giddens 2010a; 2010b tentang ruang-waktu tidak
menyurutkan semangat AT untuk terus bekerja. Artinya, kemampuan fisik seseorang berbanding terbalik dengan beban kerjanya adalah sama dengan
bertambahnya curahan waktu kerja dalam satuan ruang-waktu, ternyata tidak relevan bagi AT. Dalam praktik sosial AT dengan pengetahuan sederhananya
local knowledge bekerja dengan sistem distribusi atau pembagian kerja ala Durkheimian. AT dalam bekerja tidak pernah melakukan pekerjaan dengan
penuh waktu. Saat AT masih belum menunaikan ibadah haji pun tetap kembali ke rumah sebelum pukul 11 siang. Aktivitas utamanya secara kronologis adalah
istirahat bersih-bersih rumah dll, sholat dhuhur, makan siang dan tidur siang. T kembali ke kebun atau aktivitas lain di luar rumah setelah Asar dan kembali ke
rumah lagi menjelang Magrib. AT bekerja dengan siklus yang tetap dan teratur. Tidak ada waktu istirahat
bagi AT, termasuk Jumat yang merupakan tradisi di semua perkampungan di
136 Bangka. Bedanya di hari Jumat itu AT melakukannya selepas Asar hingga
menjelang Magrib. Sebenarnya siklus kerja semacam ini merupakan tindakan rutin belaka. Rutinitas itu dapat terganggu manakala AT memang tidak hendak
bekerja maka kepentingan utama dan alternatif dapat ditinggalkan hingga seminggu lamanya. Namun menjadi terbalik bahkan berlebihan jika tanaman
butuh pupuk pupuk pernah menghilang hingga 3 bulan maka AT akan mengerjakan pemupukan sepanjang hari. AT begitu merasakan dan prihatin
melihat tanamannya yang merangas tanpa pupuk, sehingga ketika pupuk datang dia akan mengerah seluruh tenaga kerja yang dimiliki seperti pekerja tambang
miliknya, istri, anak dan beberapa sanak keluarga diminta untuk terjun ke kebun.
AT bagi sementara warga dianggap sebagai pekerja keras. Namun bagi AT
sendiri tidak demikian. Sepanjang pekerjaan diberikan porsi waktu yang sama banyaknya dan dilakukan secara rutin seraya mendistribusikan beberapa
pekerjaan kepada keluarga inti maka pekerjaan berbasis kepentingan utama dan alternatif tidak akan terbengkalai. Prinsip kerja berbagi dilakukan pula dengan
hasil yang berbagi. Sebagai orang yang „dituakan‟ dalam struktur keluarga besarnya maka prinsip berbagi menjadi pemicu dan sebagai landasan moral. AT
dengan prinsipnya ini tentu saja berupaya mempertahankan baik kepentingan utama maupun alternatif sebagai pemasok sumberdaya ekonomi keluarga yang
ajeg. Meskipun dalam keluarga AT sendiri hanya dihuni 4 anggota keluarga yang terdiri dari AT dan istri, anak dan mantu, dan sekarang tambah satu cucu
pertama maka terhadap apa yang dimiliki sudah lebih dari cukup. Pada sisi inilah sebenarnya basis moralitasnya mengemuka seraya tetap
mempertahankan keberangsungan pemasok ekonomi rumah tangganya. Keberlangsungan dengan demikian bukan semata-mata bagi kepentingan AT
dan keluarga tetapi keluarga besar AT dan warga lain pada umumnya. Berdasarkan prinsip-prinsip inilah maka AT dengan sumberdaya-sumberdaya
yang dimiliki harus eksis. Goncangan terhadap pasokan sumberdaya ekonomi keluarga tidak dikhawatirkan AT sebagai ancaman terhadap sosial ekonomi
kelu arga, melain ketakutan bakal „runtuh‟ dirinya sebagai patron atau gantungan
bagi keluarga maupun warga secara keseluruhan.
4.4. Menuju Transisi Konsolidasi Demokrasi di Bangka
Berdasarkan gambaran di atas maka sampailah penelitian pada akhir keputusan yaitu dengan mengajukan pertanyaan, mau dibawa kemana ekonomi
137 timah di Bangka? Berbagai data lapangan menunjukkan bahwa kontribusi timah
baik skala makro atau provinsi memberikan kontribusi timah bagi ekonomi Bangka masih cukup besar. Berdasarkan tabel 6.5 nampak masih tergantung
pada timah. meski kelihatan hanya sekitar sepertiganya tetapi efek ganda yang ditimbulkannya membawa dampak ikutan yang sangat besar. Tanpa timah maka
Bangka akan sulit dapat berkembang dinamis. Sebagaimana dipaparkan di depan bahwa bicara timah sama dengan bicafa Bangka atau sebaliknya sungguh
keterlekatan itu bukan soal nama belaka tetapi telah membentuk satu ikatan yang menyatu.
Sementara pada skala mikro sebagaimana ditunjukkan tabel 6.8 justru memperlihatkan kontribusi
timah sebagai
penyebab kemiskinan
bagi perkembangan ekonomi rumah tangga di perkampungan Bangka. Mungkin
menark sekaligus unik bagaimana mungkin dengan hadirnya timah justru dapat menyebabkan keterpurukan ekonomi rumah tangga di perkampungan Bangka.
berdasarkan tabel 6.8. bahwa gambaran kedua kampung Mayang dan Airputih dengan menunjuk angka persentase itu setelah membandingkan dengan
sesama kampung dalam satu kecamatan. Selanjutnya angka persentase dibandingkan dengan dua kampung yang ada hingga ditemukan perbedaan-
perbedaan.
Tabel 6.8. Kontribusi Timah dan Penduduk Miskin di Dua Kampung
Kampung Jumlah
Laki-laki Perempuan
KK Miskin Persen
Mayang 4060
4212 19
0,7
Airputih
1184 1173
5 0,1
Sumber : Data Podes, 2011 diolah Berdasarkan tabel 6.8 angka KK miskin di Mayang ada 0,7 atau 19 KK
miskin, sedangkan kampung Airputih ada 0,1 atau KK miskinnya ada 5 KK. Data tabel menunjukan bahwa sesungguhnya timah tidak terlalu berpengaruh bagi
kehidupan keluarga penambang. Maksudnya, apalah arti dengan angka perbedaan yang sekecil itu? Jika demikian dapatkah disimpulkan bahwa transisi
konsolidasi demokrasi di Bangka mengarah pada kerusakan lingkungan yang makin parah sementara timah sama sekali tidak memberikan kontibusi memadai
bagi warga masyarakatnya. Dengan kata lain, transisi konsolidasi demokrasi
138 timah di Bangka menunjuk pada posisinya yang terbelah dan seolah berjalan
sendiri-sendiri.
139
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI