Perbedaan Sosial dalam Kehidupan Aktor

72 pengakuan masyarakat sebagai orang „penuh informasi‟. Dalam perspektif komunikasi orang yang „penuh informasi‟ menunjuk pada kuasa pengetahuan. Pasalnya perolehan pengetahuan itu melalui proses sejarah panjang dan sekaligus sejarah klaim-klaim kebenaran Foucault, 2011: 386. Penjelasan demikian dengan sendirinya memposisikan kedua aktor unggul atas yang lain.

5. Perbedaan Sosial dalam Kehidupan Aktor

Berdasarkan Tabel 5.3 di atas bahwa kriteria dan terbentuknya aktor dengan segala sumberdaya-sumberdaya kekuasaan yang dimiliki menunjuk pada adanya kelebihan-kelebihan yang tidak semua orang memiliki tetapi tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilikinya. Kriteria dan kelebihan-kelebihan adalah perwujudan perbedaan sosial. Tabel 5.4. memberikan gambaran akan perbedaan sosial dilihat dari aspek waktu dan ruang ketika keaktoran AT dan AP membandingkan dengan masyarakatmassa dengan menunjuk pada orientasi keaktoran. Berdasarkan gambaran tabel perbedaan tersebut dipicu oleh kemampuan kedua aktor-bertindak melalui ruang dan waktu berikut segala konsekuensi yang mengikutinya. Konsekuensi-konsekuensi yang muncul dipengaruhi oleh lingkungan daya pengetahuan yang dimiliki aktor dan sumberdaya kekuasaan mereka dalam memobilisasi Giddens, 2010a: 17. Namun konsekuensi tidak berjalan-utuh jika tidak memiliki motif-motif akan maksud dan tujuan aktor bertindak. Dalam konsep Giddens ini memang agak rumit menemukan dalam askalasi empirik berkenaan dengan motif sebagai pemicu maksud dan tujuan, sementara maksud dan tujuan sendiri ternyata masih dikonseptualisasi dalam bentuk yang rumit. Dalam memecahkan kebuntuan akan kerumitan tadi dalam penelitian ini mencoba melihat menarik dalam satu konsep aktor bertindak dengan menelusurinya melalui orientasi keaktoran aktor. Berdasarkan Tabel 5.3 di atas bahwa kriteria dan terbentuknya aktor dengan segala sumberdaya-sumberdaya kekuasaan yang dimiliki menunjuk pada adanya kelebihan-kelebihan yang tidak semua orang memiliki tetapi tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilikinya. Kriteria dan kelebihan-kelebihan adalah perwujudan perbedaan sosial. Tabel 5.4. memberikan gambaran sejumlah perbedaan yang dimiliki AT dan AP dan mungkin saja warga masyarakat. Gambaran tersebut bertujuan untuk menambah, meski secara teoritik masih belum menunjuk keaktoran seseorang, penambahan ini memberikan nuasa tersendiri sehingga akhirnya 73 sampai kepada kedudukan dan posisi seorang aktor yang sesungguhnya. AT di Mayang dan AP di Airputih menunjuk pada „terpenuhi‟ kebutuhan material dimaksud. Tabel 5.4. Perbedaan Sosial antar-Aktor dalam Ruang dan Waktu Aktor Perbedaan Sosial Orientasi Keaktoran Ruang Waktu AP Ruang publik mendominasi Ruang privat Ruang publik Ruang sosial Masa menjabat sebagai Kepala Kampung sebelum dan bersamaan reformasi Ketrampilan keteknikan seperti listrik arus kuat- lemah dan mesin tahun 1970-an Pro-kontra membuka tambang di laut dangkal sesudah reformasi Pembuatan gorong- gorong dan masjid Berorientasi kekuasaan birokrasi Berorientasi kuasa pengetahuan Berorientasi kuasa gagasan Berorientasi kuasa pengetahuan, gagasan dan politik AT Ruang sosial mendominasi Ruang publik Ruang sosial Ruang privat Turunan anak dukun kampung awal rezim Orde Baru Turun ke jalan demo terkait smelter Oktober 2006 Bersama warga mendemo perkebunan sawit PT GSBL Keahlian nge-cham masa Orde Baru Berorientasi kekuasaan dan pengkultusan Berorientasi kuasa politik Berorientasi kuasa politik Berorientasi kuasa pengetahuan dan gagasan Sumber : Data Primer, 2012 diolah Berdasarkan tabel 5.3 dan tabel 5.4. masih menunjuk gambaran yang sama bahwa kriteria, sumberdaya dan materi yang dimiliki masih mungkin pula dimiliki oleh aktor lain. Banyak aktor yang memiliki „kemampuan‟ materi yang sama bahkan melampaui mereka. Tetapi kelebihan mereka adalah kemampuan dalam menggunakan sumberdaya-sumberdaya kekuasaan yang dimiliki untuk 74 menciptakan pertentangan-pertentangan. Penciptaan pertentangan-pertentangan ini tidak dapat disebut sebagai berani didasarkan atas kekuatan fisik karena kedua aktor jauh sama sekali dari proporsi itu. Apa yang ditampilkan keduanya kelihatannya berangkat dari keluasan pengetahuan yang dimiliki. Terpenting dari itu adalah aplikasinya yaitu mendapatkan pengakuan dari masyarakatnya. Tanda-tanda keduanya diakui sebagai agen sosial oleh massanya mulai terlihat melalui isyarat-isyarat yang tanpa sengaja dilakukan warga masyarakat atas diri mereka. Isyarat pertama, sekurang-kurangnya masyarakat mulai sering menempatkan kedua aktor dalam setiap pelibatan „dalam‟ kampung maupun dengan pihak luar kampung. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan terutama terkait „intervensi‟ pihak luar kampung. Biasanya menyoalkan kondisi sosial kemasyarakat, sosial-politik pemerintahan maupun dalam batasan tertentu sosial-budaya. Isyarat kedua, terlihat dari konsistensi sikap dan ucapan aktor dalam aktivitas keseharian mereka. Dalam isyarat kedua ini sesungguhnya mengandung makna akan keberanian untuk bertanggung jawab sebagai konsekuensi dari konsistensi sikap dan ucapan tadi. Wujud bertanggung jawab tersebut dibungkus oleh kemampuan mereka mengaitkan ke persoalan norma dan nilai adat yang dalam batasan tertentu yang masih dipegang. Berdasarkan isyarat-isyarat yang ditampilkan tadi maka sulit untuk dibayangkan jika kedua aktor hanya mengandalkan kemampuan yang diperoleh secara turun temurun semata. Dalam kehidupan sosial di masyarakat bahwa masyarakat tidak dapat melupakan begitu saja „bekas‟bekas‟ yang pernah ada dan melekat itu [berdasarkan keturunanmantan kepala kampung]; apalagi jika tindakan tersebut berkenaan dengan kebaikan. Ada kesan bahwa tindakan tersebut seolah berlanjut dan masuk dalam kuasa pengetahuan masyarakat. Kondisi tersebut seperti suatu kebetulan, ketika kedua tokoh guna mendukung eksistensi dan survivalitas dalam rumahtangga mengembangkan usaha membuka toko kelontong. AP menambahkan lagi dengan penjualan air mineral 22 dan genset listrik yang mampu mengalirkan listrik dengan sistem sewa ke 10 rumah penduduk dengan jatah 150 watt per rumah 23 . Masih berdasarkan tabel 5.4 mengambarkan peran AP dan AT dalam ruang dan waktu. Perbedaan ruang sosial dalam ruang dan waktu mengisyaratkan 22 Penjualan air mineral ini nampaknya sebagai pilihan yang relevan jika menilik kondisi air PAM untuk perkotaan dan sungai-sungai sebagai MCK yang sudah tidak bisa digunakan lagi. 23 Rincian pembayaran oleh pemakai adalah dua kali lipat harga dari PLN per KWHrupiah. Jumlah rupiah tersebut setelah dipotong biaya solar dapat memperoleh keuntungan lebih dari 25 harga PLN. Keuntungan lain terletak pada, lampu pijar hanya dialiri listrik dari pukul 18.00-22.00 75 akan orientasi kedua aktor.atau setidak-tidaknya orientasi menunjuk mengevaluasi mereka. Dalam perspektif ruang kedua aktor AP dan AT memasuki ruang yang tidak jauh berbeda. Silih berganti dari ruang publik, ruang privat hingga ruang sosial menunjuk pada waktu atau aktivitas yang kedua aktor lakukan. Orientasi sebagai alat evaluasi baru terlihat perbedaan-perbedaannya. Orientasi AP mengarah pada kekuasaan, birokrasi, pengetahuan dan gagasan serta politik-administrasi. AT ternyata berbeda sama sekali. AT orientasi politiknya bukan diletakkan pada politik praktis atau politik administrasi sebagaimana AP tetapi politik sebagai “adu-kekuatan” didasarkan atas power yang dimiliki yang berujung pada pengkultusan dirinya.

5.1. Posisi Ideologis Aktor Pembaru AP dan Aktor Transisi AT

Teori Kritis menempatkan ideologi sebagai dasar pembeda seseorang aktor dalam bertindak. Perbedaan itu berawal dari adanya kesenjangan epistemologis antara pemikiran Marx Muda yang humanistik dan Marx Tua yang dogmatis- materialistik dicerminkan dalam determinisme ekonomi dan keharusan sejarah Wardaya, 2003: 15 . Pemikiran dasar ini kemudian menimbulkan interpretasi berbeda dalam setiap tokoh namun mereka memiliki sikap yang sama bahwa perbedaan tersebut dilatar-belakangi oleh ideologi yang melekat dan ke arah mana rujukan ideologi itu ditempatkan Hardiman, 1994: 47-53. Ideologi dalam pemahaman ini menunjuk pada ada kegunaan praktis yang seharusnya bergandengan dengan ideologi dalam pengertian netral dan ideologi dengan keyakinan yang tidak ilmiah sebagaimana dibangun dalam ilmu-ilmu sosial berhaluan positivistik Magnis-Suseno, 1993: 230. Ideologi yang menunjuk pada kegunaan praktis inilah yang paling banyak disalah tafsirkan dengan merujuk pada sesuatu yang tersimpan begitu saja dalam benak seorang aktor dalam bertindak. Marx sudah mengingatkan bahwa ideologi yang tersimpan dengan tanpa mempertimbangkan faktor kesadaran yang berdialektika dengan faktor di luarnya dirinya, dapat menyesatkan. Marx menyebut sebagai kesadaran palsu dalam lingkup ideologi yang dibangun aktor bertindak. Penjelasan Marx tentang ideologi yang dilatar belakangi kesadaran [palsu] menyiratkan dua hal yang bermakna equal atau setara, yaitu ideologi dapat bersifat netral atau positif dan dapat pula bersifat negatif. Namun kondisi tersebut menjadi berbeda ketika ideologi telah disusupi atau memiliki pamrih sehingga dia-ideologi sudah tidak netral dan berubah menjadi ideologis. Jika ideologi 76 berubah menjadi ideologis maka selamanya konsep tesebut bersifat negatif Magnis-Suseno, 2003: 231. Dengan kata lain ideologi yang ideologis adalah ideologi yang disusupi pamrih sehingga bersifat negatif, yang karena di balik itu adanya kepentingan-kepentingan. Dalam praktik pertambangan timah di Bangka bahwa ada dua ideologi besar terbangun dan mewarnai khasanah pertambangan, yaitu ideologi eko-populis dan kapitalis. Ideologi eko-populis adalah ideologi yang menganggap bahwa kelestarian lingkungan sangat diutamakan bagi kehidupan tanpa perlu mengeksploitasi timah yang ada sehingga karenanya lingkungan dapat terjaga. Ideologi eko-populis yang direpresentasikan pada Aktor Pembaru AP. Sebaliknya dengan ideologi kapitalis. Ideologi kapitalis adalah ideologi yang tetap menganggap bahwa mempertahankan kelestarian lingkungan itu penting seraya tetap mengeksploitasi tambang di mana nantinya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat banyak. Ideologi kapitalis direpresentasikan kepada Aktor Transisi AT. Teori stigmatisasi hubungannya dengan telaahan struktur-agensi yang menjelaskan bahwa nama sesuatu atau seseorang aktor adalah, ditentukan oleh „perbedaan‟ dari apa yang ada dalam dirinya yang diperbandingkan dengan dirinya pula serta didialektikakan dengan struktur sosial masyarakatnya. Dengan cara demikian struktur sosial masyarakat sebagai penentu keluasan cakupannya dan penentuan mana selalu terkait dengan agensinya. Dalam struktur-agensi tidak akan pernah berjalan sendiri-sendiri. Satu sebagai yang lain. Oleh karena itu andaikan stigmatisasi tersebut mampu menembus struktur masyarakat maka luasan cakupan-dialektikanya menyesuaikan dengan besaran cakupan itu. Tetapi sekali lagi, bahwa keluasan cakupan sangat ditentukan oleh peran aktor agensinya. “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat” misalnya, jika hasil hubungan dialektis antara struktur-agensi seputar masyarakat Indonesia belaka maka cakupannya sebesar ranah Indonesia belaka. Tetapi jika Soekarno bersama lima tokoh lainnya yang berhasil menelorkan gagasan Dasa-Sila Bandung tentu struktur-agensinya seluas cakupan Asia-Afrika. Artinya, analisis struktur-agensi tidak pernah saling meniadakan. Dialektika tersebut karena memang demikianlah dalam praktik sosialnya. Aktor yang diinisialkan sebagai Aktor Pembaru AP dan Aktor Transisi AT adalah sangat tergantung pada keberpihakan peneliti setelah dikonfrontir dengan struktur-agensinya agen. Mempertegas perbedaan maka dilakukan dengan 77 menunjuk lokasi tempat tinggal sebagai pembeda pertama. AP bermukim di kampung Airputih dan AT di kampung Mayang. Kedua kampung berada pada kecamatan berbeda. Airputih masuk kecamatan Muntok dan kampung Mayang masuk kecamatan Simpangtritip. Kedua kecamatan masuk kabupaten Bangka Barat setelah pemekaran. Pembeda kedua bahwa dasar yang paling menonjol atau modal sosial AP adalah mantan Kepala Kampung KK, sementara AT adalah anak dukun kampung dan pensiunan perusahaan korporasi tambang timah dan dalam perusahaan tersebut AT memiliki keahlian sebagai tukang cam. Pembeda ketiga, bahwa inisial AP dilekatkan kepada sosok Bahrudin, lebih dikarenakan hadirnya „pembedaan‟ dalam dirinya yang paling menonjol setelah dikonfrontasikan dengan struktur masyarakatnya. Istilah “Baru” diberikan kepada dirinya setelah AP merampungkan jabatannya sebagai kepala kampung Airputih. Sementara inisial ATdilekatkan kepada sosok Jumadil lebih dikarenakan bahwa AT yang ditokohkan dalam masyarakatnya masih mungkin atau berpeluang untuk meninggalkan pekerjaan sebagai penambang mengingat masih banyak pekerjaan lain yang dapat dilakukan di luar tambang. Pembeda keempat di mana AT dalam posisi ideologisnya yang menekankan eko-populis, sedangkan AT dalam posisi ideologisnya menekankan aspek kapitalis Tabel 5.5. Perbedaan ini nanti akan dikontestasikan dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa aktivitas AP dengan isu-isu populisnya setelah tidak lagi bekerja di tambang sedang AT masih berprofesi sebagai penambang. Pergerakan keduanya dan aspek serta harapan mereka ke depan ditunjukkan penelitian ini berikutnya. Tabel 5.5. Dimensi Pembeda Aktor dan Posisi Ideologis Dimensi Pembeda Aktor Pembaru AP Aktor Transisi AT Tempat tinggal Asal Sebutan dan singkatan Posisi Ideologis Airputih Mantan Kepala Kampung birokrasi pemerintah Aktor Pembaru AP Eco-populism Mayang Anak dukun kampung dan pensiunan timah sebagai tukang cam Aktor Transisi AT Capitalism Sumber : Data Lapangan 2012 Tabel 5.5. menggambarkan perbedaan antara AP dan AT terutama posisi ideologisnya dalam hubungannya dengan aktor bertindak. Terlepas dari itu bahwa akumulasi kapital melalui tambang yang dilakukan AP berhasil mendudukannya sejajar dengan elite-kolektor tingkat menengah di 78 kecamatan Muntok. Dalam kedudukan ini AP memiliki ruang kuasa gagasan yang makin jauh dan makin luas seputar timah dibandingkan dengan warga di kampungnya. Perbedaan ini secara tidak sengaja justru mengukuhkan dan menguatkan AP sebagai aktor pilihan yang berbeda dengan aktor-aktor tambang lain sehingga sampai suatu ketika, melalui timah pula menjatuhkannya lihat Boks 5.1. AP akhirnya berrhenti sama sekali sebagai penambang seiring dengan habis masa jabatan sebagai KK dan beralih menekuni pekerjaan sebagai pekebun dan toko kelontong serta tambahan penghidupan yang baru di luar timah yaitu sebagai nelayan. Boks 5.1. Kejatuhan AP sebagai Aktor Tambang AP bukan sosok yang baru sama sekali di timah. AP sudah memulai lama dan dilakukan tidak secara mencolok mengingat dia masa booming timah masih menduduki jabatan KK. Tetapi pengalaman yang ada itu ternyata masih belum cukup. AP menyebut bahwa kejatuhannya hanya karena „emosi‟. Maksudnya, jika hendak bermain di timah harus dengan „kepala dingin‟. Pada dasarnya timah itu „panas‟ karena mudah diperoleh dan segera berganti dengan uang. Cara paling sederhana, yaitu ketika timah belum sampai ke rumah pun kolektor kecil sudah menunggu di lokasi beserta timbangannya. Artinya transaksi dapat terjadi di lokasi. Timah berganti uang. Tinggal pilih ke rumah bawa timah atau dalam bentuk uang. Emosi dimaksud, yaitu ada dorongan kuat dari dalam-diri di mana ketika dalam proses penggalian, langsung ditemukan pasir timah. Digali lagi dan terus bermunculan maka untuk hasil yang lebih besar alat berat pun diturunkan. Godaan inilah yang memicu untuk mencari lokasi baru, dan seterusnya. Padahal tidak selamanya di dalam areal yang sama memiliki kandungan yang sama banyaknya. Ini awalnya. Saat AP mencari lokasi baru dan diduga bakal ditemukan banyak timah di tepi pantai dusun Selindung. AP memperkirakan bahwa di lokasi itu memiliki kandungan timah tinggi dengan areal eksplorasi cukup luas. Kerja besar pun dimulai. AP mendatangakn 3 eskavator untuk mengelupas kulit bumi dan mendatangkan beberapa tenaga buruh. Hari pertama baru terbuka kulitnya. Hari berikutnya, mulai masuk ke lapisan berikut hingga membentuk camui. Ternyata proses berlanjut hingga seminggu lamanya dan perkiraan akan menemukan pasir timah, ternyata meleset. Di sini masalahnya. Selama proses, AP telah mengeluarkan biaya operasional sangat besar. AP memperkirakan sekitar hampir Rp 3 miliar yang selama proses eksplorasi AP menjual dan menggadai 4 kendaraan roda empatnya lihat Tabel 5.3 dan barang tidak bergerak lain. Dalam kondisi panik semua menjadi tidak rasional. Akhirnya seluruh harta yang dipandang bernilai dipasok hanya untuk menemukan pasir timah di lokasi itu. Pasir timah yang ditemukan di lokasi tidak cukup ekonomis untuk ditambang sehingga AP akhirnya bangkrut. Mobil minibus satu-satunya warna metalik abu-abu yang dimiliki AP hingga berita ini diturunkan akhir Pebruari 2012 lalu terjebur ke kolong bekas tambang saat menuju ke rumah. 79 Kontribusi timah sebagai pemasok ekonomi rumah tangga begitu besar artinya. Dalam praktik perdagangan, meminjam aliran pemikiran Weberian, sebagai sebuah fakta yang hidup di dunia pertambangan dan masuk sebagai ekonomi dasar dilawankan dengan ekonomi formal berbasis logika maka Boks 5.2 . ‘Mafia’ dalam jual-beli Timah Tanda bahwa setiap pemain timah baik sebagai pemilik tambang, penggali atau kolektor skala kecil AP masuk dalam ketiga jenis ini harus jeli dan waspada. Istilah ini penting untuk menunjuk dan menelisi k „permainan‟ yang oleh AP disebut sebagai “mafia” timah. Mafia pertama „main‟ di proses awal dan pelaku penjualan. Sejak awal, muasal timah sudah dimasalahkan. Seolah-olah ada kesepakatan bahwa beda lokasi maka beda pula harga oleh kolektor. Timah yang dihasilkan dusun Pait beda kualitas Sn-nya dengan dusun Selindung. Padahal kedua dusun secara administratif masuk dalam satu kecamatan [Muntok] dan keduanya berada di pesisir pantai. Kedua dusun memang berbeda letak di mana dusun Pait di barat-daya kota Muntok dan Selindung di barat- lautnya. Warna timah dilihat secara kasat-mata, apakah lebih hitam atau hitam- kecoklatan; atau siapa-pelaku penjual anak-anak, penggali, atau kolektor yang secara berurutan dengan harga beli jauh di bawah harga pasar hingga ke harga yang mendekati harga standar yang berlaku saat itu. Rendahnya harga beli oleh kolektor tambang terhadap anak-anak karena biasanya mereka hanya mengambil dari sisa-sisa bekas tambang di sakan. sedikit lebih tinggi jika yang menjual adalah penggali semata. Dua hal yang dipahami oleh kolektor jika penggali yang menjual timah. Pertama, penjual itu butuh uang sehingga harga pasar yang berlaku saat itu dapat dikesampingkan dan yang muncul adalah harga „damai‟. Kedua, penggali adalah juga buruh tambang yang bekerja di tambang milik orang lain sehingga ketika penggali teridentifikasi menjual timah maka timah yang dijual dipastikan diambil dicuri dari tambang tempat dia bekerja sehingga harga jual pun masuk ke harga „damai‟. Harga damai kedua ini jauh lebih rendah dari harga damai pertama karena beragam resiko yang menyertainya. Selain itu masih ada mafia lain dalam konteks jual-beli timah. mereka yang menjual orang kampung setempat ataukah buruh luar Bangka, dan akhirnya kolektor sebagai penduduk lokal atau etnis Tionghoa. Mafia berikutnya, „main‟ ditimbangan. Mempersoalkan timah-basah timah- kering melalui proses penggorengan, timbangan kotor- bersih lewat „permainan‟ anak timbangan, dan kualitas Sn-timah hingga akhirnya „kesepakatan‟ harga yang saat itu berlaku. Beda jam, apalagi beda hari maka akan berbeda pula harga. Untuk aktor setingkat AP, mafia yang dipaparkan mampu dia lewati. Tetapi bagi aktor lain? Apalagi mereka yang amatiran. Ketidak-jelian dan waspada sebagai penghasil timah dipastikan akan tertipu. Bahkan menurut AP masih ada mafia jenis cara-cara lain, yaitu dimaksud, menipu dengan teknik- teknik tertentu tetapi ujungnya merugikan penjual timah. Baginya yang kecil-kecil itu tidak dianggap. Namun jika diperlakukan terhadap semua pemasok tentu besar juga hasil „tipuan‟nya. 80 Perilaku mafia dalam tambang selalu hidup Polanyi, et.al, 1988: 107. Meski mafia pada dasarnya merugikan tetapi perilaku tersebut sangat dibutuhkan ketika keterdesakan akan uang tunai lihat Boks 5.2. Mafia timah yang mengandung unsur merugikan bagi diri pelaku timah tetapi selisih harga yang ditimbulkan setelah dikurangi biaya produksi dan tenaga ternyata masih sangat menjanjikan. Harga yang merupakan hasil akhir ini tetap jauh melampaui pemasok keuangan konvensional dalam ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, ketika setiap orang sudah tersentuh timah maka akan terus mengupayakannya. Hambatan hingga seseorang berhenti sama sekali, jika modal dasar sudah betul-betul habis 24 . Biasanya untuk pemodal yang pernah berhasil dan terlanjur besar, mereka tidak akan mungkin mengulangi lagi dari awal [sebagai penggali mirip buruh]. Terlebih jika melihat AP sebagai mantan KK tentu bukan sebuah pilihan. AP meski sudah tidak lagi bergerak di tambang dalam kapasitas sebagai aktor mencoba mereproduksi diri atau meminjam Gramsci memposisikan diri sebagai „deputi‟ atas masyarakatnya. Deputi pada dasarnya adalah strategi aktor dalam menyiasati dan mempertahankan hidup dari kehancuran akibat runtuhnya ekonomi material sebagai penopang kehidupan Femia, 1987: 50. AP yang gagal dalam tambang maka faktor ikutan berupa ideologi, norma, mitos-mitos maupun politik serta budaya yang terhimpun dalam tambang ikut hilang sehingga kesadaran dalam diri mendorongnya untuk melakukan tindakan penyelamatan. Isu krusial yang dibangun AP adalah mengembalikan keaktorannya yang menurutnya meski tidak hancur tetapi telah mengalami erosi. AP sangat merasakan betul ada „rasa‟ kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, meski jika dibandingkan dengan aktor-aktor lain dalam masyarakatnya di mana posisinya masih tetap lebih tinggi dalam penilaian dari masyarakatnya. AP menuturkan. “Orang tidak akan mungkin mau mengatakan langsung tetapi melihat dari gerak-gerik tubuh maupun ucapan dan pilihan kata menjadi berbeda. Perjumpaan dan bergaul setiap hari dengan warga menggambarkan bahwa keseluruhan itu sedikit banyak membuktikan terjadinya penurunan. Biasanya orang dengan sangat cepat datang jika dimintai tolong dlsbngnya. Belakangan memang masih tetapi dengan sedikit melambat” 24 Modal tidak saja biaya eksplorasi tetapi juga untuk kucing-kucingan jika aparat merazia di lokasi tambang. Berita koran lokal jika ada razia,selalu tidak tertangkap orangnya, tetapi mesin-mesin dan pelaratan eksplorasi ditinggalkan langsung disita. Ini termasuk modal yang sudah dihitung. 81 AP nampak berupaya mengembalikan kepercayaan itu. AP menangkap ada keterkungkungan dari kuasa pengetahuan rezim komunal atas dirinya maka AP membentuk strategi perlawanan yang dalam bahasa Gramsci dikenal sebagai perang posisi war of position. Istilah yang diturunkan dari sebuah strategi perang buat melawan negara. Pada intinya berupaya untuk mengembalikan mitos-mitos dan ideologi ataupun kuasa pengetahuan masyarakat dalam bentuk yang sama sekali lain. Istilah yang meskipun terkesan penuh kekerasan sebagaimana terjadi dalam peperangan tetapi dimaksudkan adalah strategi mengembalikan ke bentuk-bentuk awal berupa mitos dll itu. AP mempergunakan strategi itu dan berharap dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas keaktorannya. Aktor Transisi AT disematkan kepada Bapak H.Jumadil. Pada saat penelitian ini dilakukan AT masih menjalankan usahanya di bidang tambang. Istilah „Transisi‟ disandangkan kepadanya adalah karena masih ada harapan bahwa AT dapat segera meninggalkan pekerjaan sebagai penambang 25 . Dalam arti bahwa aktivitas AT banyak di luar tambang. Bahkan sepulang dari haji kesibukan yang menempatkan dirinya selalu hadir setiap waktu sholat maupun masuk kepanitiaan dalam pembangunan masjid atau lainnya yang berjarak 25 meter sebelah barat rumah. Di samping yang tak kalah penting dari itu adalah bahwa, setiap AT melakukan eksploitasi penambangan di areal KP Timah maka yang bersangkutan selalu melakukan penghijauan kembali [reklamasi] gaya dia yaitu, dengan menabur-nabur di areal bekas tambang; melempar di sisi kanan-kiri jalan saat meninggalkan lokasi tambang dengan biji tanaman Sengon Albasia falcataria, L, Akasia Magium Acacia Magium Willd, dan Saga Abrus precatorius L. “Yang itu sudah 3 bulan. Yang itu 6 bulan dan diujung sana, sambil telunjuk tangan AT mengarah pada sekumpulan pohon akasia dan sengon yang kelihatan masih remaja itu. Dan yang di sana usia sudah sekitar 6 tahunan” 25 Usia AT sudah di atas 70 tahun. Pensiunan karyawan timah memiliki keahlian nge- cam sewaktu kerja di KK ‘a at . Ketika eforia TI keahlia i i la gka da harga jual ti ggi. Ora g a a ya g uta de ga timah tetapi berminat besar terjun ke timah maka menyewa AT sebagai pilihan yang tidak keliru. Cam atau tsyam atau chiam dari kata Jian dari bahasa Tiongboi bahasa orang Hakka Khek adalah alat bor Cina untuk teknik mengambil lapisan tanah dan melihat kandungan timah di dalamnya. Dikenalkan tahun 1724, dengan nama Chinese Stick atau Steek Boor atau Chinezen Stokje Bela da . Bor Tusuk I do esia sesuai kerjanya. Arti harfiahnya, Ujung Runcing terbuat dari tembaga. Sutedjo Sujitno, Sejarah Penambangan Timah di Indonesia, Cempaka Pub. Jakarta, 2007, hlm. 12; dan, Ora g Tio ghoa dala “ejarah Perta a ga I do esia . Http: ukja . ordpress. o Maret 82 Pilihan jenis dan usia tanaman menunjukan bahwa AT bukanlah tokoh yang baru pertama kali serta awam tentang tanaman yang biasa digunakan untuk reklamasi. Kondisi tanah dan dapat kembali seperti sedia kala dalam kurun waktu sekitar 6 tahunan dengan jenis tanaman tersebut, merupakan hasil atau proses pembelajaran yang dilakukan semasa dirinya bekerja di PT Timah maupun pengalaman sebagai orang yang dekat dengan alam lingkungannya. Oleh karena itu pilihan dengan ditetapkan AT sebagai aktor „Transisi‟ ‟ menunjuk pada kemungkinan-kemungkinan pada dirinya untuk beralih ke penghidupan [transisi] lain di luar timah. Menilik dari pendapatan yang diperoleh maka timah hanya sebagai bagian saja dari sumber pemasukan rumah tangga. Selanjutnya, aktivitas di perkebunan pun AT nampak sebagai sosok handal terutama dari kemampuan dan kreativitasnya dalam membuat banyak terobosan melalui eksperimen-eksperimen. Dalam praktik perkebunan AT telah mencoba menanam melon dan semangka. Hanya dua kali panen dan hasilnya belum memuaskan sehingga tidak diteruskan 26 . Mencoba menanam jeruk. Untuk tanaman terakhir ini cukup bagus hasilnya sehingga jeruk terus dikembangkan dan telah bertahan hingga 7 tahun berikutnya 27 . Regenerasi tanaman jeruk di lokasi lama tidak diteruskan karena ternyata di bawah tanaman tumbuh tersebut ditemukan pasir timah; sehingga AT lebih memilih mendulang timah dan mengorbankan tanaman jeruk bersama lahannya 28 . Meski pilihan-pilihan dan sebagian tanaman mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan tetapi belumlah ditiru oleh warga. Terlepas dari itu AT telah mencoba dan mencoba dengan 26 Eksperimen-eksperimen ini mirip seperti dilakukan petani pasir besi Kulonprogo yang kemudian berhasil menanam cabe keriting sebagai andalan, melon dan semangka sebagai usaha sampingan di atas lahan yang semula tidak produktif. Apa yang dilakukan AT dengan trial and error terhadap semua jenis tanaman yang dianggap cocok dan terkesan tanpa perduli berapapun dana yang dikeluarkan. Bedanya petani Kulonprogo ini harus berjuang melawan kapitalisme-feodal [oleh penelitinya sebagai unik karena dua cara produksi melalui penguasaan swapraja di Yogyakarta digabung, yaitu kapitalisme yang berbasis industri komoditas dengan feodalisme yang bebasis penguasaan tanah yang luas, dalam Cahyono, et.al, “Konflik Lahan Pasir Besi dan Dinamika Sosial- Eko o i Peta i Pesisir Kulo progo , dala , “a itri et.al Ed, Memahami dan Menemukan Jalan keluar dari Problem Agraria dan Krisis Sosial Ekologi, STPN, Yogyakarta, 2010 hlm 175- 220], sementara AT tidak pernah bersoal tentang lahan yang mau diuji-cobakan. Tinggal ambil dan seberapa mampu dalam mengerjakan. 27 Ada banyak alasan kenapa tindakan AT tidak dapat ditiru warga. Pertama adalah modal. AT dapat melakukan itu karena hanya memiliki satu anak perempuan dan sudah menikah sehingga sebagaimana yang berlaku di kampung bahwa anak putri menjadi tanggungan suami. Meski, untuk keluarga AT dan mantu justru menjadi tanggung jawabnya. Kedua, AT memang seorang yang hidupnya sebagai petanipekebun. Ketiga, karena lahannya luas dan terserak maka dengan mudah melakukan eksperimen. 28 Kali pertama, peneliti masih dapat menikmati panen jeruk. Kali kedua, tanaman jeruknya sempat merangas kekurangan pupuk dan mulai berencana memindahkan ke lokasi lain juga terbukti belakangan dibawah tanaman ada kandungan pasir timah. Akhirnya kali ketiga, tanaman jeruk menghilang berganti dengan gurun pasir bekas ditambang. Berdasarkan tanaman liar yang tumbuh dibekas jeruk dapat dipresdiksi bahwa lokasi tersebut dieksploitasi sekitar 3-4 bulan lalu. 83 berbagai jenis tanaman di luar tanaman tradisional seperti karet dan lada. Disadari atau tidak, tindakan AT telah memberikan gambaran kepada warga bahwa lahan di Mayang dapat ditumbuhi dengan jenis tanaman apapun, asalkan mau dicoba 29 . Boks 5.3. Cara Kerja Ciam Ciam dari kata Jian yang berarti di Ujung Runcing. Ciam terdiri dari sebuah batang besi bulat berlubangkosong hollow rod sepanjang 3 sampai 6 meter dengan Ǿ 2 cm. Pada bagian ujungnya terdapat takukan berupa kerucut berongga dengan bagian alasnya menghadap ke atas. Takukan itu dapat menampung contoh tanah sample sebanyak 24 cm 3. Cara kerja ciam ialah dengan menancapkan tegak lurus bagian yang runcing menembus lapisan tanah dengan cara ditusuk-tusukkan sambil diputar. Pemboran ini baru akan dihentikan bila telah menembus batuan dasar, yaitu suatu lapisan keras yang tidak mengandung timah lagi bed rock atau “kong” bahasa Cina. Sebelum mencapai kong, takuk kerucut tersumbat dengan kain yang diikat dengan tali, yang ujungnya tetap dipegangi selama pemboran berlangsung sebelum mencapai lapisan yang bertimah. Pekerjaan dilakukan dengan hati-hati sehingga sumbat takuk jangan terlepas sebelum dibuka. Apabila ciam sudah menembus kong batuan dasar, kain penyumbat ditarik dan ciam diputar beberapa kali agar contoh tanah dapat masuk ke dalam takuk kerucut. Ketika diperkirakan sudah penuh, ciam diangkatditarik ke atas perlahan-lahan agar tanah tidak lepas. Contoh laipisan tanah yang didapat kemudian dicuci untuk mengetahui kadar timahnya. Pekerjaan pengambilan contoh dilakukan pada setiap lapisan pasir yang diduga mengadung timah Sujitno, 2007: 25. AT dengan tindakannya yang bereksperimen dengan menanam beragam jenis tanaman itu sebenarnya bukanlah orang pertama. Eksperimen dengan coba dan salah trial and error sudah menjadi bagian kehidupan dan pernah dilakukan beberapa pioner lebih dari 3 abad silam dengan sudah berapa banyak 29 Bandingkan temuan tanaman cabe liar oleh Sukarman tahun 1985 ketika tanpa sengaja tanaman itu tumbuh dan berbuah di tengah gumuk pasir yang menggurun. Ternyata cabe liar itu tumbuh di atas kotoran sapi yang sudah mengering bercampur tanah. Ini menginspirasi Sukarman bereksperimen dan berhasil. Warga kemudian meniru. Wilayah yang semula tandus ternyata dapat berkembang dan bisa dikenal sebagai lumbung cabe kriting untuk DI Yogyakarta dan sekitar. Belakangan pihak kraton dan puro berupaya menganeksasi lahan tersebut dengan alasan milik Pakualaman Ground dan untuk kepentingan eksplorasi pasir besi. Diakui warga lahan dimaksud memang ada, tetapi tidak seluas sebagaimana yang diklaimkan itu. Melainkan sebatas lapangan sepakbola. Baca juga catatan kaki 5 Bab ini. 84 tanaman diuji-cobakan. Tanaman lada putih Mentok White Pepper yang mendiaspora nama Bangka sejajar Banka Tin itu merupakan salah satu hasil eksperimen yang cukup berhasil. Lada untuk sampai kepada tahap berhasil membutuhkan waktu cukup lama dan perawatan dan pemupukan yang juga intensif. Tanpa sentuhan tangan manusia untuk semua aktivitas penamanan dalam sehari saja maka sudah cukup membuat tanaman lada menjadi liar 30 . Bukti lain bahwa seorang Demang Muhammad Ali di Muntok akhir tahun 1860-an pernah mencoba beberapa jenis tanaman seperti: cengkeh, teh, kopi, sirih, gambir. Keseluruhan tanaman berhasil dan dicontoh oleh masyarakat Bangka hingga kini. Tetapi dengan catatan, sebagaimana dilakukan ahli botani Belanda JH Teysmann yang tahu akan tanah di Bangka yang miskin hara sehingga perlu perlakuan khusus, seperti lada putih tadi sistem junjung, yang belakangan pola ini menjadi standar dalam penanaman lada, tidak saja dilakukan di Bangka melainkan juga di Belitung dan Singkep Sujitno, 2007: 214-5. 5.2. Aktor dan Kemampuan Menciptakan Pertentangan Sebagaimana disinggung di awal bahwa hubungan aktor-massa sangat tergantung dari seberapa jauh kepiawaian aktor dalam menciptakan pertentangan-pertentangan. Dalam praktik sosial, praktik-praktik penciptaan pertentangan-pertentangan di dunia pertambangan adalah kemampuan aktor -- melalui responsi yang dia bangun – diperhadapkan kepada struktur. Counter hegemonik adalah bentuk kepiawaian aktor dalam memainkan „kartu‟ dominasi politiknya, tepatnya „kesepakatan‟ dengan struktur yang menghegemoni; sehingga dengan demikian kesepakatan-kesepakatan yang terbangun dalam struktur terhadap agensi itulah yang menyebabkan seorang aktor diikuti oleh pengikutnya. Gambaran tentang pertentangan-pertentangan tersebut dikisahkan terhadap AP dan AT. Prinsip untuk menemukan dan mempertahankan sosok keaktoran aktor terletak pada kemampuannya dalam menciptakan pertentangan. Data tabel 5.3 di bawah sesungguhnya terbagi dalam periodedisasi Orde baru dan Reformasi tetapi dalam kepentingan penelitian ini beberapa komponen penjelasan dalam penciptaan pertentangan tersebut disatukan. Penyatuan dimaksud semata-mata 30 Jika musim hujan tiba, sebagai tanaman merambat, tunas lada menjadi bercabang ke berbagai arah. Cabang-cabang tersebut harus segera dipotong dan dibentuk menyesuaikan junjungcagak kayu sebagai tempat rambatannya. Di samping, jika musim hujan junjung tersebut sering roboh bersama dengan tanaman. Tindakan ini harus dilakukan setiap hari. Perlakuan-perlakuan khusus demikian tidak mungkin dilakukan dengan tenaga upahan. 85 melihat secara proporsional posisi keaktoran AT dan AP di masyarakatnya dan keaktoran aktor hanya untuk AT sedangkan AT seluruh aktivitas yang terdokumentasi berlangsung masa reformasi. AP dan Masjid Al-Hijraiyah. AP ditunjuk oleh warga kampung Airputih untuk menjadi ketua panitia pembangunan masjid di kampungnya. Awalnya AP sendiri sebagai pemrakarsa tetapi tidak berkeinginan untuk menjadi ketua panitia karena alasan kesibukan dan keluarga. AP mengusulkan perlunya dibentuk panitia kecil sementara AP sendiri diposisikan sebagai penasehat. Namun dalam perjalanan panitia kecil tersebut tersendat-sendat sementara warga sudah sangat mendesak agar masjid baru segera terwujud. Kuatnya desakan warga menyebabkan panitia kecil tidak dapat berfungsi dengan baik bahkan terhenti sama sekali. Mereka akhirnya menyerahkan persoalan itu kepada AP sebagai pemrakarsa untuk mencari jalan keluarnya. Tidak diketahui apa yang menyebabkan tersendat-sendatnya pembangunan itu tetapi jika menyimak dari apa yang dituturkan AP ternyata mereka tidak cukup akses mencari dana di luar kampung. Dengan kata lain mereka tidak cukup dikenal. AP menjelaskan bahwa pembangunan masjid tersebut menghabiskan dana sekitar Rp 1 miliar. Jumlah yang sangat besar untuk kampung Airputih bahkan bagi kabupaten Bangka Barat sendiri. Strategi yang digunakan AP yaitu tidak selalu meminta dalam bentuk uang melainkan material. Sebagai mantan KK, AP menggunakan jaringan itu sehingga masjid tersebut dapat dibangun. Tabel 5.6. Kapasitas Aktor sebagai Agen Sosial Dimensi Wujud Aktor sebagai Agen Sosial Agen Pembaru AP Pembuatan gorong-gorong dan pengerasan jalan Penengah dalam konflik tambang Penghijauan di atas lahan tambang Pemrakarsa dan pelaku pendirian masjid Agen Transisi AT Sikap apatis dalam pemilu dibaca warga dengan „mbalelo‟ Demo „Oktober Kelabu 2006‟ Demo ke PT GSBL Gunung Sawit Bina Lestari Penengah dalam setiap konflik antarwarga, kampung Sumber : Data Lapangan, 2012 86 AP dan Gorong-gorong. Prinsip aktor sebagai agen sosial terletak pada aktivitas aktor yang diikuti oleh massa secara sukarela. Meski awalnya setiap aktivitas hanya dilakukan AP sendirian. Membuat gorong-gorong misalnya. Mulanya hanya kerisauan AP saja di mana setiap musim hujan tiba, jalan menuju ke kampungnya begitu buruk dan membawa korban berjatuhan terutama malam hari. Jalan yang selalu tergenang air dan belum beraspal itu membuat warga sulit untuk menjual dan membeli komoditas dan kebutuhan sehari-hari. Komunikasi dari kampung ke ibukota kabupaten dan sebaliknya seolah terputus. Di sinilah AP dengan uang sendiri membeli material buat pembangunan gorong- gorong tanpa perlu mengajak masyarakat. Namun masyarakat merasa bahwa pembangunan itu sebenarnya untuk kepentingan mereka juga maka tanpa perintah dari siapapun mereka seolah berlomba membantu AP. Berkaitan dengan itu, apakah keikut sertaan masyarakat ada hubungannya dengan AP yang mantan KK, ternyata tidak juga. Pasalnya pembuatan gorong-gorong itu dilakukan sebelum AP menjabat sebagai KK . Dengan demikian dapat dilihat bahwa keaktoran AP sudah terlihat jauh sebelum dirinya menjadi KK. Nampaknya seperti dikatakan Sanderson bahwa perbedaan sosial lebih tepat untuk menjelaskan perilaku ini tanpa perlu mengaitkannya dengan strata sosial sebagaimana lazimnya dalam aliran pemikiran Weberian dalam menjelaskan ketokohan seseorang. AT dan Peredam dalam setiap Konflik. Pagi pukul 10.00 tanggal 4 Maret 2011, AT bergegas dan setengah memaksa supir truk untuk segera pergi meninggalkan kampung Mayang bersama truknya. Pasalnya di depan truk berhenti itu, terjadi kecelakaan yang mengakibatkan remaja [laki-laki] kampung Mayang terserempet. Remaja itu sedianya mau keluar dan berbelok masuk ke jalan raya. Tetapi karena pandangannya terhalang truk, remaja tadi nyelonong begitu saja hingga tersambar motor dari arah timur [Pangkalpinang]. Pengendara itu kelihatan tergesa-gesa terbukti dari motor yang dipacu tadi begitu cepat. Si pengendara, belakangan diketahui remaja dari kampung sebelah [kampung Simpangtritip], terpelanting dan luka ringan saja. Di sini tiba-tiba supir truk menjadi tertuduh. Dia dianggap sebagai penyebab kecelakaan. Penduduk mulai mengerubuti supir dan kata- kata „menyerang‟ makin gencar terdengar. Betapa keras pembelaan supir atas kecelakaan itu tetap saja kuasa pengetahuan masyarakat yang terbangun tidak dapat dipatahkannya. Bahkan dia sendiri dalam posisi terjepit. Kurang dari 15 menit dari kejadian itu 87 nampaknya hukum masyarakat bakal dijatuhkan. AT tampil cepat. Dengan sigap AT menggandeng supir dan segera memintanya untuk naik ke atas truk, dan pergi. Tanpa pikir panjang supir yang sudah kepepet langsung tancap gas. Tinggallah kerumunan penduduk yang mulai terpecah dan perlahan-lahan meninggalkan lokasi. Dengan santai AT kembali ke rumah, seolah-olah tidak ada kejadian apapun 31 . AP setelah berakhir jabatannya sebagai kepala kampung tahun 2004 maka sejak itu pula AP secara total memasuki dunia tambang [TI]. Totalitas demikian memungkinkan karena „keterputusan‟ hubungan AT sebagai agensi dengan struktur yang mengikatkan dirinya. Struktur negara dengan pemangku kuasa aparat birokrasi dan AP saat menjadi KK adalah bagian dari kuasa aparat birokrasi itu menyebabkan AP dalam bertindak harus sejalan dengan aparat birokrasi itu sendiri. Berakhirnya jabatan KK itu maka berakhir pula relasi formal dirinya dengan negara. Namun tidak demikian dalam hubungan dengan masyarakatnya. Dimensi-dimensi hubungan secara dialektis masih terangkai melalui jaringan modal sosial, finansial, intelektual dan mungkin kultural. Sebagai pembeda, masyarakat masih menilai bahwa melalui jaringan yang memuat modal sosial, finansial dan intelektual serta kultural itu, yang selama ini ternyata melekat dalam dirinya, ternyata AP masih dipercayai warga sejauh keempat dimensi tersebut memiliki kemampuan dalam menciptakan pertentangan- pertentangan. Pro-kontra warga terkait ngelimbang di tepi pantai [Selindung] menempatkan AP pada posisi yang dilematis. Dua kesulitan yang muncul: pertama, mereka yang kontra-tambang datang dari penduduk yang bermata pencaharian utama sebagai nelayan; sementara pro-tambang adalah mereka dengan bermata pencaharian utama pekebunladang. Meski selama ini tidak pernah terjadi konflik fisik tetapi suasana saat itu mulai memanas dan mencekam. Dalam teori deviansi klasik seperti Brown, Lemert dan lain lain mengatakan bahwa, mereka yang bertikai hubungannya dengan kesamaan dalam visibilita sosialnya tentu memiliki „perhatian‟ yang tinggi terhadap lawan konfliknya. Setiap dari mereka yang saling berhadap-hadapan itu selalu berupaya untuk mencari berbagai kelemahan lawan. Sebab melalui titik kelemahan itulah dimulai atau awalnya sebuah serangan. 31 Jika dibiarkan berlarut-larut AT justru mengkhawatirkan keselamatan supir. Bisa runyam. Tidak ada pembelaan. Itulah sebabnya kenapa supir segera diminta meninggalkan Mayang. 88 Boks 5.4. Penyelesaian Konflik Tambang di Kampung Airputih Warga kampung Airputih tiba-tiba datang menjelang waktu Margib ke rumah AP dengan membawa berbagai perlengkapan „perang‟ dan dalam suasana marah. Kondisi yang sudah tentu tidak mudah ditenangkan. Mereka yang datang terbelah dan saling berhadap-hadapan dan setengah marah. Masalahnya pro-kontra terkait bibir pantai Selindung itu boleh ditambang atau tidak. Bagi yang pro, mendesak AP agar segera dibolehkan menambang di wilayah itu. Tetapi desakan itu tidak berani dilakukan secara terbuka. Andaikan mereka memaksa maka mereka akan berhadapan dengan masyarakat lain yang kontra tambang. Perang terbuka pun mungkin terjadi [meski dalam catatan sejarah di kampung Airputih ini bahwa perang antar sesama warga belum pernah terjadi]. Sebaliknya bagi yang kontra. Jika mereka dengan keras menyatakan penolakan maka mereka akan berhadapan dengan struktur yang sangat kuat dan pada gilirannya akan mendapatkan „tekanan‟ pula. Pasalnya, dari mereka yang pro penambangan hampir semuanya setuju dengan penambangan [dua tekanan yang mereka dapatkankontra tambang: pertama, hampir semua aparat dari RW dan beberapa RT yang mewilayahi daerah itu akan mempersulit administrasi persuratan dll jika berhubungan dengan mereka; kedua, aparat tersebut nantinya akan mendapatkan fee sehingga tanpa perlu kerja sekalipun mereka akan mendapatkan hasil dari „upeti‟ itu]. Bagi yang kontra umumnya adalah bekerja sebagai nelayan. Jika lokasi perairan dangkal ditambang maka akan meerusak terumbu karang dan memungkinkan mereka akan kesulitan untuk mendapatkan hasil atau mereka akan melaut lebih ke tengah lagi. Pertimbangan lainnya adalah, faktor kerusakan lingkungan yang diakibatkan penambang. Namun karena sudah beberapa kali dilakukan pertemuan tetapi tidak juga menemukan „kata putus‟ maka kondisi pun memanas sebagaimana diungkapkan di atas tadi. Tokoh AP karena pengalaman dan penguasaan dalam memimpin kampung Airputih, oleh warga diminta menyelesaikan perseteruan itu. Kepercayaan warga terhadap Kepala Kampung pengganti, meluntur dan dipastikan tidak menemukan jalan keluar setelah terbukti bahwa aparat kampung itu sendiri merupakan „mafia‟ dari jaringan yang ada. AP dianggap orang yang netral dan karena pernah sebagai bagian dari timah maka diharapkan keputusan-keputusannya lebih adil. Sebagaimana dipaparkan AP kepada peneliti bahwa penyelesaian tersebut memang tidak mudah. Keterlibatan aparat kampung hingga kepolisian terutama Polairud menekan dirinya sehingga dia sendiri tidak mampu berbuat banyak. Dengan alasan demokrasi maka teknik pengambilan suara terbanyak voting dipandang paling relevan dan adil. Dalam pilihan itu mudah ditebak bahwa mereka yang pro-penambang alias dibolehkan menambang di tepilaut dangkal [Selindung] dengan beberapa persyaratan. Umumnya menyangkut teknis dan administratif tambang belaka, seperti membeli solar kepada penduduk maupun besaran fee yang didapat dusun dan warga [nelayan] sekitar yang terkena dampak langsung dari eksploitasi itu. Teori ini semula hanya berlaku terhadap masyarakat majemuk, tetapi kepada mereka yang saling berhadap-hadapan maka dipastikan tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor di mana persoalan pokok itu berlaku. Kondisi tersebut semakin tajam dan buruk manakala mereka yang saling bertikai memiliki kedudukan yang secara sosial-kultural sama tinggi dengan diikuti keterlibatan 89 elite lokal. Dalam catatan, hampir semua aparat kepala kampung dan RTRW] 32 dan sebagian besar penduduk – adalah pro-tambang. Sisanya, sekitar tiga RTRW yang mewilayahi pesisir pantai adalah mereka yang kontra-tambang penyelesaian konflik lihat Boks 5.4. Bagi AP sendiri tidak mudah dalam memutuskan perkara tersebut. Kedua belah pihak yang bertikai adalah kelompok yang „pernah‟ menjadi warganya. Pilihan kepada pro-tambang di satu sisi dan kontra-tambang di sisi lain, berujung pada upaya menjaga survivalitas dan keamanan kehidupan mereka. Keterlibatan aparat kampung hingga jajarannya ke bawah hingga dusun yang pro-tambang dan tuntutan masyarakat yang menolak tambang dan membawa persoalan itu kepada dirinya tentu peliknya jadinya. Tetapi juga sebagai suatu kehormatan besar. Dalam bahasa agen sosial, bahwa penyerahan itu sebagai sebuah bentuk kepercayaan warga yang mungkin masih dianggap netral setelah keterlibatan aparat kampung di TI. Bentuk kepercayaan ini bertambah setelah AP juga sebagai seorang penambang, sehingga seluk beluk pertambangan dapat dijadikan back ground penyelesaian masalah. Dengan demikian kemampuan AP terasa begitu komplit. Di samping, sebagai mantan KK tentu dia juga sangat menguasai prosedur dan tatacara administrasi pemerintahan. Pengalamannya sebagai KK dengan sendirinya, mau tidak mau, juga memahami hukum tatanegara dan struktur keagrariaan. Persoalan kedua muncul. Meski tidak ada hubungan langsung dengan masalah pertama tetapi tetap bersambungan dengan timah. Kali ini persoalan yang dihadapi AP sangat berat. AP harus berhadapan dengan Polisi Air Polairud. AP mendapat pengaduan masyarakat penambang terkait tingginya upeti yang mereka berikan kepada aparat. Penambang merasa sangat keberatan. Mereka sadar bahwa tindakan menambang dianggap illegal tetapi tidak pada tempatnya mereka harus membayar tinggi kepada aparat yang hanya menunggu di tepi pantai. Permainan oknum muncul di mana Polisi Air Polairud bersama “Satgas” air memantau setiap perkembangan penambahan TATambang Apung. Bagi satgas bahwa dengan adanya tambahan TA di perairan laut dangkal maka setara dengan tambahan „upeti‟ yang mereka terima. Kondisi tersebut semakin berat jika para penambang tidak memiliki „bendera‟ 32 Kepala kampung dan aparat mendorong untuk menambang. Mereka mendapatkan institusi fee yang besarannya bervariasi. Umumnya Rp 1500kg timah basah. Sementara RT dan sebagian aparat kampung selain mendapatkan fee [tanpa kerja] juga mereka terlibat dalam penambanganbaik sebagai buruh maupun pemilik TI. 90 maka upetinya semakin besar. Upeti bisa sama sekali tidak ada jika TA masuk ke dalam salah satu bendera yang ada 33 . AT dengan aktivitas yang beragam membuat penampilan tokoh ini begitu sibuk. AT sejak pagi hingga menjelang dhuhur dipastikan selalu berada di kebunladangnya. AT kembali ke rumah untuk beristirahat siang, sholat, makan dan aktivitas lain di rumah hingga masuk waktu Asar. Usai sholat Asar AT kembali ke ladangnya hingga masuk waktu Magrib. Aktivitas rutin tersebut bisa tidak dilakukan AT jika ada pekerjaan lain yang dianggapnya penting. Belanja mengisi warung kelontongnya ke kota Muntok, mengunjungi saudarafamili di lain kampung, merapatkan masalah warga, atau lainnya. Ketika PT GSBL sebagai koporasi kelapa sawit milik Malaysia itu memasuki wilayah kampung Mayang dan warga merasa dirugikan atas tindakan itu maka didiskusikan di balai kampung. AT biasanya diminta tampil dan dimintakan sarannya. Kebetulan orangtua, kakek dan buyut AT adalah dukun kampung sudah meninggal maka wilayah „kepemilikan‟ kampung masuk dalam penguasaannya. Wilayah yang disengketakan dekat aliran sungai berada di selatan kampung sekaligus lokasi beroperasi korporasi sawit.

5.3. Jargon Politik Ekologi Aktor Pembaru AP dan Aktor Transisi AT

AT maupun AP dalam praktik sosialnya di masyarakat mengusung jargon- jargon politik berbeda. Kedua aktor meski sama dalam praktik pertambangan tetapi dengan ideologi yang tidak sama. AT sebagai representasi korporasi tidak dapat melepaskan diri dari ideologi developmentalism yang mengarah pada akumulasi kapital. AT dengan logika pembangunanisme developmentalism tentu saja mengusung jargon politik yang dapat diterima masyarakat terkait kuasa kepentingan aktor. Dalam praktiknya apakah kemudian jargon yang diusung nantinya tidak dapat dijalankan maupun ketika dijalankan nantinya dapat merusak lingkungan, adalah persoalan lain. Logika berpikir pragmatisme mewarnai pemikiran AT dan tentu saja baik korporasi maupun negara sejauh 33 Pemodal ini adalah pemilik bendera. Mereka tidak ada dilokasi. Besar kecil pemodal tergantung domisili. Secara berurutan Muntok-Pangkalpinang-Jakarta Polres, Polda dan Mabes Polri. Sementara memasuki kawasan di sisi kiri jalan menuju Selindung ada semacam posko aparat AD di tengah hutan bekas jalan menuju ke kompleks Bendul. Bangunan beratap seng berdinding papan dengan luas sekitar 30 meter persegi diisi oleh lebih dari 5 personel. Agak sulit mendekatinya tetapi lebih sulit dinalar jika di wilayah itu ada gangguan keamanan yang sampai mengancam keutuhan NKRI. Rezim Orde Baru aparat AD mendominasi tidak saja wilayahteritori tetapi juga mereka yang bermukim di sana. Markas Kompi Senapan B 406 diujung keluar kota Muntok menuju Air Putih. Begitu rakusnya mereka, si-kung-liuk 406 bahasa Tionghoa-Hakka tetapi bermakna cibiran. 91 kepentingan politiknya terpenuhi maka dianggap selesai hubungannya dengan massanya. AT target jangka pendeknya adalah berharap agar izin tambang segera diperoleh karena izin tersebut sudah lebih dari 5 tahun habis masa berlakunya. AT dengan basis pengetahuan korporasi menganggap bahwa legalitas tambang belum diberikan hanya persoalan waktu saja, sehingga AT tetap terus berkonsentrasi dengan aktivitas tambang. Dalam hubungannya dengan tambang maka AT dalam mengusung jargon politik ekologi yang seirama dengan patron politiknya alias stru ktur, yaitu “Timah untuk rakyat“. Jargon yang digunakan AT bermakna populis. Pilihan jargon tersebut bukan tanpa alasan. Ruang tarung timah berbasis kuasa pengetahuan dan kepentingan sehingga dipenuhi aktor oportunis dan AT juga memiliki kepentingan yang sama. Dalam diri AT sendiri ketika mengusung jargon itu ada dua kepentingan yang ingin dicapai yaitu agar aktivitas penambangannya tidak diganggu-gugatselamat dan sekaligus bermakna survivalitas. AT dengan dua kepentingan itu pada gilirannya adalah juga menunjukkan eksistensinya. Pernyataan terakhir ini menjadi penting adanya; dan sudah tentu ada hubungan dengan kapasitas diri sebagai aktor bersama-sama aktor lain ada di Mayang, sehingga mudah ditebak ujung terakhir yaitu mengukuhkan dan menguatkan dirinya unggul dari yang lain. AP mengusung jargon politik ekologi dengan “Bisa hidup tanpa timah”. Jargon ini berbeda dibanding AT. Pilihan AP terhadap jargon demikian adalah karena dirinya sudah tidak lagi berkecimpung di timah. Kesadaran diskursif kata Giddens 2010a adalah kesadaran yang muncul setelah kesadaran praktis. AP awal melakukan penambangan dituntun oleh kesadaran praktis di mana timah dapat distrukturkan sebagai pemenuhan kepentingan utama dalam kebutuhan ekonomi rumah tangga. Di dalam rentang ruang-waktu terbukti memang kebutuhan ekonomi rumah tangga dengan sangat cepat terpenuhi bahkan terlampaui. AP dalam kuasa kepentingannya memang menunjukkan keberhasilan dalam mengakumulasi kapital melalui tambang, seraya terjadi pergeseran dari kesadaran diskursif kepada kesadaran praktis atau kesadaran manipulatif false consciousness. Pengaruh kesadaran palsu di wilayah praktis menyebabkan AP tidak lagi mempertimbangkan rasionalitas yang semata-mata menekankan aspek cara untuk mencapai tujuan rasionalitas instrumental sebagaimana diingatkan Weber tatkala seseorang bertransaksi melainkan perlunya mempertimbangkan aspek nilai-nilai dan mungkin kulturalnya rasionalitas bertujuan. 92 AP dalam perjalanan praktik pertambangan menyadari bahwa modalkapital yang diakumulasikan mulai menyusut. Namun kesadaran nyata tersebut terasa terlambat. AP dipaksa menikmati tahapan-tahapan yang sangat tidak nyaman dan sungguh melelahkan, sehingga membuat AT dalam kuasa pengetahuannya berpikir-ulang untuk kembali ke timah betapapun besarnya godaan itu. Kesadaran diskursif inilah yang menyadarkan AT untuk secara kreatif mengambil langkah-langkah berbeda, yang semula menempatkan kepentingan utama pada timah sementara sisanya sebagai kepentingan alternatif, untuk kemudian di balik dengan menempatkan kepentingan alternatif menjadi kepentingan utama. Kepentingan utama pada timah tidak dialihkan kepada kepentingan alternatif melainkan membuangnya sama sekali. Berdasarkan inilah kemudian AP mengusung jargon politik ekologi dengan “Bisa hidup tanpa timah”.

6. Aktor dan Reklamasi