Lokus dan Pendekatan Aktor dalam Penelitan

27 faktor di luar dirinya yang tidak terhindarkan munculnya sikap dan pandangan- pandangan yang muncul di ruang sosial-tambang sebagai bukan sikap dan pandangan yang sebenarnya false consciousness. Di sinilah posisi paradigma Teori kritis 2 ditampilkan Guba EG Lincoln YS dalam Denzin NK Lincoln YS, 2009: 130-45. Dengan kata lain dihadirkannya paradigma Teori kritis secara sengaja adalah untuk membongkar pandangan-pandangan dan sikap aktor terkait timah. Pasalnya dalam telusuran realitas historis gambaran yang muncul adalah gambaran yang bukan sebenarnya hingga karenanya pembuktian 3 menjadi sikap utama dalam penelitian ini Guba EG Lincoln YS, 2000; 2009: 134 hingga akhirnya ditemukan gambaran yang senyata dan bersifat stabil 4 adanya Hardiman, 1993: 44.

3. Lokus dan Pendekatan Aktor dalam Penelitan

Aktor adalah kata kunci dalam telahaan kontestasi aktor. Aktor dalam penelitian ini sebagai unit analisis. Aktor bertindak 5 dengan demikian menjadi obyek pergulatan antara peneliti-titeliti. Dalam bahasa penelitian dikenal dengan strategi antar-subyek Marx menyebut sebagai intersubyektif. Aktor bertindak 2 Dalam posisi ini tidak terlalu tepat jika Teori Kritis masuk dalam paradigma tersendiri. Istilah “Teori Kritis dkk” lebih berat kepada metode analisis “suatu” paradigm daripada paradigma itu sendiri. Konsep bermula dari pemikiran Althusser ketika ia melihat kesenjangan epistemologis antara pemikiran Marx Muda yang humanis dengan Marx Tua yang „ilmiah‟ yang dicerminkan secara jelas dalam Das Kapital di mana sangat menekankan aspek determinisme ekonomi dan keharusan sejarah. Berbagai kritikan dilontarkan pada pemikiran Marx Tua oleh Marxian dengan tujuan memperbaiki Marxisme. Kritik-kritik inilah berkembang dan kemudian dikenal sebagai Teori Kritis. Lihat Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, hlm 82 3 Dalam pemahaman ini harus diingat bahwa membebaskan tidak saja pada titeliti melainkan pada peneliti karena memiliki kepentingan-kepentingan subjektif. Disinilah Kritik Ideologinya Habermas ditempatkan di mana menunjukkan keberpihakan peneliti terhadap titeliti dan merupakan bagian daripadanya; atau dikenal dengan kritik yang bersifat emansipatoris. Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm 46, 191 Dalam bahasa Habermas, emansipatoris. Thomas McCarthy, Teori Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006 4 Dalam konsep perubahan sosial, suatu gejala sosial tidak ada yang bersifat stabil. Penetapan stabil dilakukan sebatas diperbandingkan dengan perubahan sosial yang sangat cepat atau lambat. Jadi disini menyangkut dimensi waktu. Terkait dimensi waktu maka dalam kajian ini „waktu‟ diletakkan dan masuk dalam kultur masyarakat. Argumentasinya, bahwa dalam kultur semua kehidupan sosial secara objektif mampu menembus segala peristiwa dan proses sosial; dan melaluinya dicerminkan di dalam tingkat kesadaran subjektif masyarakat yang bersangkutan. Cf. Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada, Jakarta, 2010, hlm 52 5 Dalam perspektif sosiologi, aktor hendaknya dipandang dalam berbagai tingkatan berbeda. Sekurang-kurangnya ada 4 tingkatan, yaitu: tingkat individual, tingkat antarpribadi interpersonal, tingkat struktur sosial; dan tingkat budaya. Dalam kajian ini aktor dipahami dalam dua tingkatan terakhir yaitu pada tingkat struktur sosial dan budaya dengan menekankan aspek pola-pola dan jaringan-jaringan, baik dalam tingkatan kenyataan sosial maupun dalam tingkatan-tingkatan itu sendiri. Lihat, Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi; Klasik dan Modern, Jilid 1, PT Gramedia, Jakarta, 1994, hlm 61-3 Cf. Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. 28 sekali lagi menunjuk pada kapasitasnya dengan jaringan-jaringan yang teranyam dalam konfigurasi di pertambangan timah di Bangka. Pada dasarnya konfigurasi merupakan pembingkai aktor dalam merajut jaringan di dunia pertambangan. Di sini, menurut aliran pemikiran strukturalis, menempatkan aktor dan aktor-aktor bertindak selalu dalam tekanan atau dominasi struktur sehingga tindakan- tindakan aktor tidak dalam kapasitas pribadinya. Tindakan aktor adalah tindakan terkait dominasi struktur. Setelah pendekatan aktor dijelaskan maka aktor dalam telaahan ini dengan merujuk hasil wawancara mendalam dan observasi ditemukan dua aktor. Aliran pemikiran strukturalis menjelaskan jaringan-hubungan struktur-agensi dalam teori strukturasinya Giddens, melainkan secara sepihak peran dan dominasi struktur secara begitu rupa terhadap agensi sehingga diposisikan untuk mengungkapkan „semua‟ yang berhubungan dengan dunia pertambangan. Dengan demikian aktor dan dunia pertambangan menunjuk struktur terhadap agensi masuk pada suatu pergulatan yang tiada akhir hingga berujung pada kesimpulan-kesimpulan pembongkaran; karena memang diyakini selama ini bersifat manipulatif. Pada proses inilah Teori Kritis menemukan jati-diri dan menemukan titik-uji benar- tidaknya sesuatu yang telah menjadi keyakinannya itu. Secara metodologis kampung Mayang dan kampung Airputih sebagai lokus dan kemunculan aktor serta arena tarung sebagai wadah aktor berkontestasi sehingga struktur terhadap agensi sekaligus sebagai kasus 6 , dan menyangkut lokalitas. Jadi aktor dalam“kelokalan”nya 7 . Di luar pilihan metodologis itu ada pula pilihan-pilihan akademis dan mungkin juga politis jika dihubungkan dengan keterlibatan aktor. Dipilih kampung Mayang dan kampung Airputih ada beberapa alasan sosiologis. Pertama, kampung Mayang dan Airputih berada dalam dua lokasi yang berbeda, meski keduanya dalam kabupaten yang sama; Kedua, perbedaan lokasi sekaligus menunjuk dua ekologi berbeda. Mayang sepenuhnya daratan yang dibelah oleh jalan provinsi, sementara ekologi Airputih berupa 6 Menurut Stake ciri khas kasus bahwa, melalui kasus fenomena dapat dikenali; informan yang mengenali kasus juga sebagai sesuatu yang unik, spesifik dan khusus. Studi kasus juga mampu mengungkapkan pola pengaruh yang tidak dapat ditangkap lewat statistik. Norman K Denzin YS Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm 299 dan 302. Cf. J Nisbet, J Watt, Studi Kasus; Sebuah Panduan Praktis, PT Gramedia, Jakarta, 1994, hlm 7 7 Dalam terminologi Uphoff, posisi geografis hendaknya dibaca dalam tataran „lokal‟ komunitas dan geografis yang menyangkut tindakan dalam pengambilan keputusan. Ada 3 disebut sebagai lokal: 1 tataran lokalitas; 2 tataran komunitas; dan 3 tataran kelompok. Melalui ketiga tataran setiap aktor bertindak sesuai dengan bingkai yang telah ditetapkan. Dan secara struktur kelembagaan pemerintahan di Indonesia, ketiga tataran kedudukannya di bawah camat. Norman Uphoff , Local Institutional Development; An Analytical Sourcebook With Cases, Kumarian Press, 1986, hlm 10-2 29 daratan dan pesisir pantai. Ketiga, kedua kampung di mana warga masyarakatnya mengandalkan timah sebagai sumber ekonomi rumah tangga. Keempat, aktor AT bermukim di kampung Mayang dan aktor AP bermukim di kampung Airputih.

4. Pengumpulan, Analisis, Validitas Data Penelitian dan Keterkaitan dengan Teori Kritis