Analysis of Sustainability and Wood Marketing at the Mixed Garden of Karacak Village, Leuwiliang District, Bogor

(1)

 

ANALISIS KELESTARIAN DAN TATANIAGA KAYU

KEBUN CAMPURAN DI DESA KARACAK

KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

ROZALINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

2   


(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kelestarian dan Tataniaga Kayu Kebun Campuran di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2012

Rozalina


(4)

(5)

(6)

4   

ABSTRACT

Rozalina. Analysis of Sustainability and Wood Marketing at the Mixed Garden of Karacak Village, Leuwiliang District, Bogor. Under the Supervision of Hardjanto and Nurheni Wijayanto

The objective of this study was to analyze the sustainability of the mixed garden at Karacak in performing its current functions (production, social, ecological) and examine the current marketing of wood at the mixed garden of Karacak. The study was conducted at the Village of Karacak, Bogor, from January to February 2011 by means of a survey and in-depth interviews. The management of Karacak’s mixed garden has not met the minimum requirements for the achievement of its sustainable functions (production, social, ecological) and is declared to have 'passed with some notes'. There are two marketing channels in Karacak Village: (1) the farmer share of only 7.46 % with the marketing margin of 72 % at the industry level and (2) the farmer share of 20% with the marketing margin of 80 % at the industry level. The average efficiency value of marketing the people’s timber coming from Karacak’s mixed garden is 47.09%. It is concluded that the management of the mixed farm does not meet the requirements for the achievement of its sustainable functions and the marketing at the village is not yet efficient.


(7)

(8)

4   

RINGKASAN

ROZALINA. Analisis Kelestarian dan Tataniaga Kayu Kebun Campuran di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HARDJANTO dan NURHENI WIJAYANTO.

Model agroforestry berupa kebun campuran yang terdapat pada Desa

Karacak, Kecamatan Leuwiliang ini menjadi andalan dalam kehidupan sehari-hari bagi petani mulai dari tanaman semusim hingga tanaman kayu. Jenis tanaman kayu yang terdapat pada kebun campuran Karacak adalah jenis sengon (Paraserianthes falcataria). Ketersediaan bahan baku sengon di Desa Karacak telah mendorong munculnya industri-industri pengolahan kayu, sehingga permintaan bahan baku kayu industri berasal dari kebun campuran semakin

meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap eksistensi sistem agroforestry sehingga

jika tidak dikelola secara lestari maka bahan baku pun menjadi sulit diperoleh. Penelitian ini bertujuan menganalisis kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian kelestarian fungsinya (produksi, ekonomi, ekologi) saat ini dan menganalisis tataniaga kayu kebun campuran Karacak. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan, studi literatur dan pengumpulan data serta laporan dari instansi terkait. Analisis kelestarian kebun campuran dari aspek ekologi, produksi dan sosial menggunakan kriteria dan indikator dari Lembaga Ekolabel Indonesia sedangkan analisis marjin dan efisiensi pemasaran digunakan untuk analisis tataniaga kayu sengon.

Analisis kelestarian kebun campuran Karacak dilakukan dari aspek ekologi, produksi dan sosial. Penilaian kelestarian kebun campuran Karacak menunjukkan ‘LULUS dengan Catatan’. Hal ini menunjukkan bahwa kelestarian kebun campuran Karacak belum memenuhi persyaratan minimum dalam pencapaian fungsinya (ekologi, produksi dan sosial). Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan terhadap indikator-indikator yang bernilai jelek dan cukup melalui program dan kegiatan yang melibatkan instansi terkait.

Marjin pemasaran merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna. Pada saluran pemasaran 1, keuntungan paling besar

adalah di tingkat industri. Harga produk industri bernilai Rp. 1.050.000 per m3

dengan marjin 72% sedangkan di tingkat petani hanya bernilai Rp. 78.299 per m3

(7,46%) dan di tingkat tengkulak seharga Rp. 294.000 per m3 (20,54%). Berbeda

halnya tingkat petani pada saluran pemasaran 2, petani langsung menjual pohon berdirinya pada industri tanpa melalui perantara sehingga memperoleh marjin pemasaran 20% dan industri memperoleh marjin 80%. Hal ini lebih baik bila dibandingkan saluran pemasaran 1.


(9)

campuran Karacak sebesar 47,09%, berarti dalam setiap Rp. 100 nilai yang dibayarkan konsumen untuk pembelian kayu Rp. 47,09 merupakan biaya pemasaran. Hal ini mencerminkan bahwa pemasaran kayu rakyat kebun campuran Karacak tidak efisien. Karena lebih dari 30% nilai yang dibayar oleh konsumen merupakan biaya pemasaran. Ditinjau dari sudut pandang lembaga pemasaran, sistem pemasaran dikatakan efisien bila dapat memberikan keuntungan relatif tinggi dan biaya pemasaran relatif rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari rasio antara keuntungan dan biaya pemasaran, bila rasio keuntungan dan biaya pemasaran lebih besar dari satu, atau minimal keuntungan dan biaya pemasaran adalah sama. Hasil analisis menunjukkan bahwa keuntungan relatif rendah dan biaya pemasaran relatif tinggi dengan angka menunjukkan sebesar 0,74 pada saluran pemasaran 1 dan 0,25 pada saluran pemasaran 2 sehingga kedua saluran pemasaran ini dapat dikatakan tidak efisien.

Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dalam pemasaran kayu rakyat di Desa Karacak diantaranya adalah (1) Masih rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani atau berkebun kayu sengon yang baik sehingga produksi kayu umumnya masih sedikit untuk setiap kebunnya, (2) Terbatasnya akses informasi pasar oleh petani, mereka hanya mengetahui dari sesama petani atau tengkulak atau hanya menunggu pembeli datang ke kebun, (3) Sebagian besar petani tidak mengetahui secara pasti spesifikasi ukuran, jenis dan kualitas kayu yang dibutuhkan pasar, sehingga mereka umumnya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri, (4) Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih rendah, karena konsumen seperti tengkulak memanen sebelum usia kayu siap panen hal ini karena kebutuhan keuangan yang mendesak dari petani, dan (5) Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai budidaya, pemasaran,dll. Berdasarkan analisa yang dilakukan di atas, maka ada beberapa upaya pengembangan yang dapat dilakukan untuk masa yang akan datang, yaitu : (a) Membentuk kelembagaan untuk pengelolaan kayu rakyat, seperti koperasi dan kelompok tani, (b) Meningkatkan pengelolaan lahan kebun campuran.

 


(10)

(11)

 

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(12)

(13)

(14)

4   

ANALISIS KELESTARIAN DAN TATANIAGA KAYU

KEBUN CAMPURAN DI DESA KARACAK

KECAMATAN LEUWILIANG KABUPATEN BOGOR

ROZALINA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(15)

(16)

4   


(17)

(18)

(19)

(20)

4   

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini

adalah mengenai agroforestry, dengan judul ‘Analisis Kelestarian dan Tataniaga

Kayu Kebun Campuran di Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor’.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan. Di samping itu, terima kasih kepada teman-teman IPH 2008 yang telah banyak membantu penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, almarhumah ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari banyak kekurangan dari diri penulis dalam menyusun tesis ini. Besar harapan penulis untuk mendapatkan saran dan kritik dari berbagai pihak sehingga nantinya dapat menjadi bahan bagi penulis dalam perbaikan selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pembaca.

Bogor, Januari 2012


(21)

(22)

xii   


(23)

Penulis dilahirkan di Medan, 30 September 1984 dari Bapak H. Armen Lubis dan Ibu Almh. Hj. Hafni Harahap. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Swasta Yayasan Pendidikan Harapan, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Medan dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Medan. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Jurusan Manajemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara pada tahun 2008. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(24)

(25)

(26)

xii   

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv DAFTAR GAMBAR ... xv DAFTAR LAMPIRAN ... xvi 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 6 1.4 Tujuan Penelitian ... 7 1.5 Manfaat Penelitian ... 7 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9 2.1 Agroforestry dan Pengusahaannya ... 10 2.2 Kebun Campuran ... 15 2.3 Tataniaga ... 17 3 METODE PENELITIAN ... 27 3.1 Tempat dan waktu Penelitian ... 27 3.2 Metode Pengumpulan Data ... 27 3.3 Metode Analisis Data ... 28 3.3.1 Analisis Kelestarian Kebun Campuran Karacak ... 28 3.3.2 Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak ... 31 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33 4.1 Kondisi Umum Desa Karacak ... 33 4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Responden ... 35 4.3 Sejarah Kebun Campuran ... 40 4.4 Struktur dan Komposisi Kebun Campuran ... 42 4.5 Keadaan Industri Perkayuan ... 43 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45 5.1 Kelestarian Kebun Campuran Karacak ... 45 5.1.1 Potensi Kayu Kebun Campuran ... 45 5.1.2 Evaluasi Kelestarian Kebun Campuran ... 50


(27)

 

5.2 Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak ... 63 5.2.1 Pelaku dan Saluran Tataniaga Kayu ... 63 5.2.2 Analisis Struktur Pasar dan Prilaku Pasar ... 69 5.2.3 Analisis Marjin dan Efisiensi Tataniaga ... 70 5.2.4 Permasalahan Saluran Tataniaga Kayu Karacak ... 74

5.3 Upaya Pengembangan Kayu Kebun Campuran Karacak ... 75 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 79

6.1 Kesimpulan ... 79 6.2 Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN ... 86

                         


(28)

xiv   

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tata Guna Lahan di Desa Karacak... 33 2 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Karacak... 34 3 Sarana dan Prasarana yang Terdapat di Desa Karacak ... 35 4 Sebaran Umur Petani Responden ... 36 5 Tingkat Pendidikan Responden ... 37 6 Mata Pencaharian Utama Responden ... 38 7 Tingkat Pendapatan Responden ... 39 8 Luasan Kebun Campuran Responden ... 40 9 Tanaman Tahunan yang Terdapat di Kebun Campuran ... 42 10 Jenis Industri yang Terdapat di Desa Karacak ... 44 11 Indeks Keragaman Jenis (H’) ... 46 12 Komposisi Jenis dan Indeks Nilai Penting pada Tingkat Pancang ... 47 13 Komposisi Jenis dan Indeks Nilai Penting pada Tingkat Tiang ... 48 14 Komposisi Jenis dan Indeks Nilai Penting pada Tingkat Pohon ... 49 15 Kebutuhan Pedagang Pengumpul Kayu ... 55 16 Kapasitas Pembelian Kayu Oleh Pedagang Pengumpul ... 66 17 Kapasitas Produksi Industri ... 67 18 Marjin dan Efisiensi Saluran Pemasaran ... 70 19 Nilai Biaya, Nilai Produk dan Efisiensi Pemasaran Kayu ... 73

 

 


(29)

 


(30)

(31)

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Peredaran Hasil Kayu Karacak Tahun 2006 - 2010 ... 6 2 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 7 3 Kurva Penawaran Permintaan Primer dan Turunan serta Marjin Pemasaran 24 4 Profil Tegakan Kebun Campuran Karacak ... 43 5 Lokasi Perindustrian Kayu Rakyat di Desa Karacak ... 44 6 Kondisi Kebun Campuran yang Didominasi Tanaman Sengon ... 45 7 Sebaran Diameter Pohon ... 46 8 Kebun Campuran dengan Tegakan Sengon ... 51 9 Peralihan Tanaman Sengon ke Tanaman Musiman ... 51 10 Kebakaran Lahan Masyarakat ... 54 11 Kondisi Jalan Desa Karacak (a) Daerah Hulu (b) Tengah dan Bawah ... 57 12 Bentuk Penjualan Kayu (a) Kayu Berdiri (b) Kayu Bulat ... 64 13 Industri Penggergajian (sawmill) ... 66 14 Saluran Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak ... 68

           


(32)

xvi   


(33)

(34)

xvi   

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Karakteristik Responden ... 86 2 Karakteristik Industri Perkayuan... 90 3 Indeks Keragaman Jenis ... 92 4 Data Diagram Profil Tegakan Kebun Campuran ... 94 5 Keterangan Indikator Verifier ... 97 6 Penilaian Evaluasi Kelestarian Kebun Campuran Karacak ... 102 7 Harga Kayu di Tingkat Petani ... 103 8 Sebaran Rata-rata Marjin, Harga dan Biaya Operasional pada Saluran 1 ... 104 9 Sebaran Rata-rata Marjin, Harga dan Biaya Operasional pada Saluran 2 ... 105


(35)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan sebagai aset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan manfaat yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia, sosial budaya maupun lingkungan. Hutan juga sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan harus dikelola dengan bijaksana sehingga memberikan manfaat yang lestari untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan bahan pangan, papan dan sandang akan semakin bertambah. Di lain pihak, luas areal pertanian semakin menurun karena banyaknya lahan yang dikonversi menjadi tempat pemukiman, industri dan lainnya. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan sistem yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan secara bersama-sama atau berurutan pada suatu tempat.

Agroforestry adalah ekosistem buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistem hutan dan pertanian/perikanan dan peternakan melalui budidaya yang memasukkan unsur ekosistem di atas ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistem hutan. Berbagai model agroforestry yang sudah dipraktekkan leluhur kita di berbagai pedesaan Indonesia sejak zaman dahulu antara lain, tanaman pekarangan, ladang permanen, sistem tumpang sari, perladangan berpindah, kegiatan berburu dan lain-lain merupakan sumber pangan mandiri bagi mereka. Model-model tersebut dapat dikembangkan pada berbagai skala (rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional) yang pada akhirnya dapat menjadi lumbung pangan terutama dalam situasi kritis seperti saat ini dan di masa mendatang (Butarbutar 2009).

Ujicoba telah dilakukan dalam pengembangan model agroforestry untuk ketahanan pangan, seperti di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung, Nusa Tenggara Barat di mana tanaman umbi-umbian, pisang dan lain-lain di bawah tanaman Duabanga moluccana. Jenis tanaman pangan lain yang dapat dikembangkan adalah sukun, tanaman tumpang sari seperti kacang-kacangan, sagu di hutan alam dan bekas tebangan di tanah berawa dan lain-lain. Model lain yang pernah dikembangkan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam bentuk


(36)

2

agroforestry yang disebut dengan HPH Bina Desa Hutan dengan tujuan yang pertama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH dan yang kedua meningkatkan kualitas sumberdaya hutan dalam rangka pengusahaan hutan yang berkelanjutan (APHI 1991 dalam Butarbutar 2009).

Jauh sebelum ujicoba tersebut, model agroforestry telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu yakni berupa praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun di bawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal dengan berbagai istilah: hutan rakyat, hutan desa, wanatani, kebun hutan; atau yang menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, lembo di Kalimantan Timur, tembawang

di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara telah berpuluh-puluh tahun bertahan (Suharjito et al. 2000).

Salah satu model agroforestry yang ada di Desa Kasepuhan Jawa Barat yang dikenal dengan “leuweung talun”. Kebun ini terjadi secara tidak wajar. Lahan yang awalnya dari lahan bekas tebangan dan terbakar, secara tidak sengaja ditanami tanaman semusim dan pepohonan. Kegiatan penanaman ini pada kenyataannya tidak melingkupi karakteristik sebuah hutan tapi justru membawa kelestarian dari ekosistem hutan. Pertumbuhan semak-semak dan tanaman liar di sekitar leuweung talun menandakan bahwa area tersebut berupa hutan buatan manusia. Tanaman yang ditanami pada lahan tersebut berupa rambutan, nangka, durian, petai, mangga, jengkol, kelapa, sengon, ki sampang dan kayu afrika (Adimihardja 2005).

Bentuk-bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan tersebut tergantung kepada kebiasaan masyarakat setempat baik dalam jenis, teknik penanaman maupun kelembagaannya. Praktek penggunaan lahan dalam bentuk agroforestry ini dianggap mempunyai kemampuan untuk mewujudkan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial (Nair, 1993; Raintree, 1987 dalam Hardjanto 2003).

Pola agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem usahatani yang insentif dalam dimensi ruang dan waktu pada sebidang tanah yang sama dengan


(37)

menanam beberapa jenis tanaman yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan ekonomi. Pola pertanaman tersebut merupakan pilihan terbaik bagi petani saat ini. Dengan menerapkan pola pertanaman tersebut diduga petani akan memperoleh beberapa keuntungan yaitu meminimumkan resiko yang kelak akan ditanggung petani jika terjadi kegagalan terhadap satu jenis yang diusahakan maka jenis lain masih bisa diharapkan dapat menghasilkan, peningkatan frekuensi intensitas panen sehingga pendapatan usahatani meningkat dan lain-lain. Dengan demikian pola agroforestry tidak hanya memberikan manfaat ekonomi saja, tetapi diduga memiliki manfaat lain yaitu manfaat sosial dan lingkungan (Wardani 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Suharjito et al (2000), produktivitas kebun karet di Jambi cukup tinggi dengan hasil yang beragam. Dibandingkan dengan kebun karet monokultur, wanatani/agroforestry memberikan hasil lain yang cukup tinggi berupa kayu-kayuan, buah-buahan serta binatang buruan. Keberadaan semak belukar pada kebun karet dianggap sebagai input yang tidak dibeli, untuk menekan pertumbuhan alang-alang yang merupakan pesaing berat pohon karet. Wanatani karet ini merupakan bentuk pelestarian keanekaragaman hayati yang dianggap sebagai cadangan spesies di kemudian hari.

Bagi pembangunan ekonomi daerah kecamatan Leuwiliang, kebun campuran berperan sebagai pemasok bagi industri kayu. Dalam Data Industri Primer Hasil Hutan Kayu Kecamatan Leuwiliang Tahun 2007, kapasitas produksi industri sebesar 5520 m3/tahun dimana produktivitas diperhitungkan 20 m3/ha sehingga dengan kapasitas industri tersebut membutuhkan lahan seluas 2760 ha/tahun. Sedangkan luas areal hutan rakyat Kecamatan Leuwiliang dengan jenis tanaman campuran seluas 554,12 ha dengan jumlah pemilik lahan 6.095 orang (Dinas Pertanian dan Kehutanan 2009). Rincian keadaaan tanaman pada areal hutan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:

Keadaan tanam baru (Ø ≤ 10 cm) = 518,22 ha Keadaan remaja (10 cm <Ø< 20 cm) = 13,64 ha Keadaan tebang (Ø ≥ 20 cm) = 22,26 ha


(38)

4

Dilihat dari luas areal di atas memperlihatkan bahwa luas hutan rakyat dengan keadaan tebang di Kecamatan Leuwiliang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kapasitas industri yang ada di daerah tersebut sehingga industri mencari bahan bakunya ke lahan kebun campuran dimana terdapat tanaman kayu, salah satunya adalah kebun campuran Karacak.

Kayu rakyat tidak lain adalah kayu yang dihasilkan oleh rakyat dari tanah miliknya baik berupa hutan rakyat, kebun, tegalan, pekarangan dan jenis penggunaan lahan lainnya. Kayu rakyat sudah menjadi alternatif sumber pemenuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan, sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan produksi alam di luar Jawa dan perhutani di Pulau Jawa. Disamping itu, tingkat kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan yang cenderung menurun dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan di luar kegiatan usahatani menunjukkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan.

Demikian juga dengan model agroforestry berupa kebun campuran yang terdapat pada Desa Karacak Jawa Barat. Kebun campuran ini menjadi andalan dalam kehidupan sehari-hari bagi petani mulai dari tanaman semusim hingga tanaman kayu. Namun, pada saat ini terjadi perkembangan permintaan bahan baku industri perkayuan yaitu berupa kayu rakyat yang berpengaruh terhadap eksistensi sistem agroforestry, sehingga jika tidak dikelola secara lestari maka bahan baku pun menjadi sulit diperoleh.

1.2 Perumusan Masalah

Kebun campuran mengalami perubahan jenis komoditi unggulan yaitu dari tanaman cengkeh menjadi tanaman manggis pada tahun 1990-an. Hal ini dikarenakan harga dasar cengkeh di tingkat petani yang sangat murah menjadi disinsentif bagi petani untuk mempertahankan cengkehnya. Meskipun harga manggis lebih rendah dari harga cengkeh bahkan panen manggis yang diperoleh saat ini tidaklah sebesar dulu namun petani masih mempertahankan tanaman manggis sebagai dominansi kebun campuran.

Dominansi manggis pada kebun campuran semakin kuat ketika permintaan akan kayu dari kebun campuran meningkat. Berdasarkan penelitian Budiningsih (2008), kondisi kebun campuran Karacak seperti itu tidak terlepas dari fenomena


(39)

penebangan yang marak terjadi dalam 3 tahun terakhir. Pohon-pohon ditebang bukan hanya pohon penghasil kayu akan tetapi pohon penghasil buahpun juga ditebangi seperti kemang, kuweni, nangka, rambutan, limus, kecapi, kupa, cempedak, dan durian. Hal ini terkait dengan keluarnya Inpres 04 Tahun 2005 mengenai pemberantasan kayu ilegal di kawasan hutan dan peredaranmya di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga para penebang beralih penebangan ke lahan milik rakyat untuk mendapatkan kayu.

Berdasarkan data UPT Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan Jawa Barat (2007), terdapat lima belas industri perkayuan skala rumah tangga di sepanjang jalan desa, yang bernama Jalan Karacak, yang menghubungkan Karacak dan desa-desa lainnya dengan pusat Kecamatan Leuwiliang. Pasokan kayu untuk kebutuhan produksi industri-industri ini berasal dari kebun-kebun campuran yang berada di Karacak dan desa sekitarnya.

Penduduk lokal menyebut industri perkayuan skala rumah tangga ini dengan istilah ”rentalan kayu”. Rentalan kayu ini selain menjual jasa pemotongan kayu namun juga menghasilkan produk-produk gergajian dan kayu olahan. Untuk memenuhi kebutuhan rentalan kayu, 8-10 pohon paling tidak ditebang dari kebun-kebun campuran setiap harinya. Aktivitas penebangan tersebut marak terjadi 3 tahun belakangan ini sehingga tidak mengherankan apabila saat ini sangat sulit bahkan mungkin tidak ada lagi kebun campuran yang masih utuh dengan pepohonan yang besar. Menurut Hardjanto (2003), akibat semakin luasnya pasar produk barang jadi maupun setengah jadi, ternyata merangsang tumbuhnya industri-industri kecil pada wilayah-wilayah produksi kayu rakyat (sengon) di wilayah Bogor.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa pertanyaan pada penelitian yaitu sebagai berikut (1) Bagaimana kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian kelestarian fungsinya (produksi, ekonomi, ekologi) saat ini, (2) Bagaimana tataniaga kayu kebun campuran Karacak.

1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kebun campuran merupakan salah satu model agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Karacak sejak turun temurun. Kebun campuran ini menjadi andalan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari


(40)

6

petani mulai tanaman musiman hingga tanaman kayu. Salah satu jenis tanaman kayu yang banyak terdapat pada kebun campuran Karacak adalah jenis sengon. Ketersediaan tanaman sengon tersebut mengakibatkan munculnya industri-industri pengolahan kayu di Desa Karacak. Sesuai dengan penelitian Budiningsih (2008) yang menyebutkan bahwa tanaman sengon saat ini sulit untuk ditemukan. Hal ini diakibatkan semakin meningkatnya permintaan bahan baku kayu industri terhadap kayu sengon kebun campuran Karacak milik petani. Peningkatan peredaran kayu Desa Karacak dapat dilihat pada Gambar 1.

135.54 35.04 71.59 171.65 226.94 0 50 100 150 200 250

2006 2007 2008 2009 2010

Volume

 

(m3)

Tahun

Peredaran Hasil Kayu Desa Karacak Tahun 2006 - 2010

Sumber : UPT Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan Jawa Barat

Gambar 1 Peredaran Hasil Kayu Karacak Tahun 2006 – 2010.

Penelitian ini akan menganalisis interaksi antara kebun campuran Karacak dengan industri pengolahan kayu melalui tataniaga kayu yang terjadi di Desa Karacak dan menganalisis kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian fungsinya yaitu produksi, sosial dan ekologi. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk meningkatkan pengelolaan kebun campuran dan pengetahuan tentang aspek pemasaran kayu agar dapat meningkatkan pendapatan petani. Kerangka pemikiran penelitian kelestarian dan tataniaga kayu kebun campuran di Desa Karacak Kec. Leuwiliang ini dapat digambarkan sebagai berikut :


(41)

Kebun Campuran Karacak Industri Perkayuan

Tataniaga Kayu Karacak

Analisis Parameter Kebun Campuran

Karacak

Analisis Parameter Industri Perkayuan

Kelestarian Kebun Campuran Karacak Analisis Interaksi dengan

Metode Deskriptif

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian fungsinya (produksi, sosial, ekologi) saat ini.

2. Menganalisis tataniaga kayu kebun campuran Karacak.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pihak-pihak terkait dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan khususnya bagi petani untuk meningkatkan pengelolaan kebun campuran dan pengetahuan tentang aspek pemasaran kayu agar dapat meningkatkan pendapatan petani.


(42)

(43)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat memiliki performansi atau kinerja yang berbeda-beda. Performansi yang dimaksud adalah produktivitas, keberlanjutan, dan keadilan. Pada satu kasus hutannya sangat produktif, sebaliknya pada kasus yang lain kurang produktif. Pada satu kasus, keberadaannya bermanfaat secara adil di antara anggota masyarakat, sebaliknya pada kasus yang lain ketidakadilan dirasakan oleh anggota masyarakat. Menurut Suharjito et al. (2000), performansi tersebut antara lain dipengaruhi oleh :

1. Sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya.

2. Orientasi usaha, apakah subsisten atau komersial. Tingkat subsistensi dan komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar. 3. Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan

respons terhadap kebutuhan dan pasar yang sekaligus mempengaruhi performansi pengelolaannya.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI dan Multistakeholder Forestry Programme (MFP) (2009) menyatakan bahwa salah satu hal yang menjadi kendala dalam pengembangan hutan rakyat yang berkelanjutan yaitu masyarakat desa sebagian besar tingkat hidupnya subsisten, yaitu memproduksi untuk keperluan sendiri terutama pangan. Luas kepemilikan lahan setiap keluarga umumnya sempit, kurang dari 1,0 ha dan bahkan di beberapa desa kurang dari 0,25 ha. Sudah barang tentu dengan luas lahan milik sekecil itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi kalau akan ditanami pohon yang hasilnya harus menunggu sampai umur tertentu. Menurut Soedarwono (1976) dalam Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI dan Multistakeholder Forestry Programme (MFP) (2009), sebuah keluarga tani akan hidup berkecukupan kalau memiliki lahan sawah (tadah hujan) seluas minimal 1 bahu (0,64 ha) dan pekarangan 0,3 ha. Oleh karena itu apabila petani tidak memiliki mata


(44)

10

pencaharian lain selain bertani, maka mereka akan menanaminya dengan tanaman pangan misalnya ketela pohon atau jagung dan bukan tanaman pohon-pohonan.

2.1 Agroforestry dan Pengusahaannya

Pengertian Agroforestry

Istilah agroforestry banyak dikemukakan berbagai pihak, sampai dengan saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi “agroforestry”. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Salah satu definisi agroforestry yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestry internasional (ICRAF = International Centre for Research in Agroforestry) adalah (Huxley, 1999 dalam Hairiah et al. 2003) :

….. sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

Prinsip penting yang harus dipegang adalah: apakah kombinasi suatu bentuk pemanfaatan lahan tersebut memenuhi ciri-ciri dan tujuan agroforestry, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan konservasi alam? Hal tersebut akan berbeda dengan ciri-ciri dan tujuan kegiatan murni kehutanan/pertanian yang lebih menekankan pada konservasi alam saja atau peningkatan produksi tanaman saja (Hairiah et al. 2003).

Jenis dan Manfaat Agroforestry

Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) dalam Hairiah et al. (2003) adalah:

1. Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.

2. Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun.

3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.

4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.


(45)

5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.

6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry

tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.

7. Sistem agroforestry yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestry

utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.

Agroforestry merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka

agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestry memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Agroforestry merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestry memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan


(46)

12

mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestry

dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomassa tanaman (Hairiah dan Utami, 2002 dalam Widianto et al. 2003).

Agroforestry dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem

agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar (Hairiah et al. 2003).

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestry

kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon

(home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal. Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya sangat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.

Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim


(47)

penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (jagung, cabe) untuk satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian atau duku. Tanaman semusim sudah tidak ada lagi. Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga tidak produktif lagi (Hairiah et al. 2003).

Sosial Ekonomi Agroforestry

Pengetahuan Lokal Masyarakat

Petani telah mempraktekkan agroforestry selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestry jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan

agroforestry (Suharjito et al. 2003).

Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumberdaya alam dan


(48)

14

bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam (Suyarno et al. 2003).

Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan pemahaman petani sebagai pelaku utama pengelola sumberdaya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumberdaya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Sunaryo dan Joshi 2003 dalam Hilmanto 2009). Pengetahuan lokal juga dapat sebagai masukan dalam meningkatkan kehidupan petani, baik dari segi ekonomi, ekologi dan sosialnya (Mulyoutami et al. 2004 dalam Hilmanto 2009).

Ekonomi Agroforestry

Menurut Gold dan Garrett (2009) dalam Ranjith et al. (2010), agroforestry

adalah pengelolaan lahan yang intensif di mana praktek pohon yang sengaja terintegrasi dengan tanaman, padang rumput, dan/atau dengan hewan untuk lingkungan dan manfaat ekonomi.

Agroforestry berbasis buah dapat berpotensi dikembangkan dari buah-buahan asli yang sekarang banyak ditemukan di alam liar sebanyak sumber buah eksotis. Kontribusi buah-buahan lokal untuk pengurangan kemiskinan dan peran vital dalam mata pencaharian masyarakat semakin banyak mendapat pengakuan yang baik (Garrity 2004; Ndoye et al 2004;. Schreckenberg et al. 2006 dalam

Fentahun dan Hager 2010).

Berdasarkan penelitian Prasad et al. (2010), tumpangsari pada tanaman

Eucalyptus memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya tanaman Eucalyptus saja. Tumpangsari tahunan di pohon-pohon kayu dibandingkan dengan kumpulan pohon kayu tunggal menawarkan keuntungan mengurangi biaya pembentukan pohon, peningkatan pendapatan selama fase tidak produktif pohon, efisien pemanfaatan sumberdaya alam, dan pengurangan risiko dari bencana kebakaran (Garrity dan Mercado 1994 dalam Prasad et al. 2010). Couto dan Gomes (1995) dalam Prasad et al. (2010) melaporkan bahwa hasil tumpangsari lebih tinggi dan adanya interaksi yang saling melengkapi dalam sistem Eucalyptus-kacang. Salah satu tumpangsari baris berupa jagung tidak mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan kayu putih dan


(49)

mengurangi biaya perkebunan dengan 60%. Sistem berbasis Eucalyptus tidak hanya menyediakan pendapatan reguler untuk kelangsungan petani sebelum kayu putih dipanen (4 tahun), tetapi juga pakan untuk ternak.

Budidaya tanaman yang berbeda dalam kebun dianggap sebagai strategi petani untuk mendiversifikasikan kebutuhan hidup dan kebutuhan uang tunai mereka. Keberlanjutan sosio-ekonomi dalam pemenuhan subsisten dan tanaman harus dipertimbangkan, seiring dengan penyempurnaan pemenuhan jenis tanaman. Dalam rangka memenuhi kebutuhan makanan dan uang tunai rumah tangga, tanaman pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta tanaman tunai harus cukup terwakili dalam sistem (Abebe et al. 2010).

Menurut Suharjito et al (2003), Sistem agroforestry dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi.

2.2 Kebun Campuran

Kebun campuran bisa diartikan dalam berbagai arti tergantung pada orang yang menerjemahkannya. Kata ‘campuran’ yang terbubuhi di belakang kata ‘kebun’ bisa menjadi berbeda-beda tergantung pada jenis dominan yang terpadu di dalamnya. Secara sederhana, kebun campuran berarti kebun yang ditanami berbagai jenis tanaman dengan minimal satu jenis tanaman berkayu. Beberapa tanaman jenis lain, berupa tanaman tahunan dan atau tanaman setahun yang tumbuh sendiri maupun ditanam, dibiarkan hidup di kebun campuran selama tidak mengganggu tanaman pokok (Martini etal. 2010).

Fithriadi et al. (1997) menyebutkan bahwa tanaman tahunan tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Sifat kebun campuran yang terdiversifikasi juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam kebun campuran tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti talas menempati ruang di


(50)

16

bawah satu meter. Ubi kayu merupakan lapisan kedua dari satu sampai dua meter, dan lapisan ketiga ditempati oleh pisang dan pepohonan.

Sistem kebun pekarangan di Pulau Jawa terutama Jawa Barat merupakan contoh pengolahan lahan yang berasal dari daerah tropika, dimana kebun campuran ini dalam bahasa sunda disebut juga dengan talun. Kebun ini memadukan tanaman berkhasiat asal hutan dengan tanaman khas pertanian. Kehadiran dan campur tangan manusia secara terus menerus, membuat kebun itu menjadi sistem yang benar-benar buatan, meskipun tetap bisa ditemukan sifat khas vegetasi hutan (Foresta et al. 2000).

Jika dilihat dan dibandingkan antara kebun campuran dengan kebun monokultur (satu jenis), satu jenis produk pertanian yang dihasilkan kebun campuran umumnya lebih rendah produksinya dari kebun monokultur. Itulah sebabnya kebun campuran biasanya dimiliki oleh petani yang tidak mengandalkan hasil dari satu jenis tanaman saja. Hal ini berbeda dengan kebun monokultur yang lebih banyak dimiliki oleh petani yang sangat mengandalkan hasil yang banyak dari satu jenis tanaman yang memiliki nilai jual tinggi di pasar. Padahal harga komoditas pertanian cukup sering berubah-ubah tergantung pada permintaan dan pasokan di pasar, yang bisa berbeda di waktu dan tempat yang berbeda. Contohnya sewaktu harga karet jatuh pada tahun 2008, petani dengan sistem monokultur mengalami kerugian yang lebih banyak dibandingkan petani dengan sistem kebun campuran yang memiliki produk pertanian lain yang bisa dijual seperti pinang, durian, dan aren (Martini et al. 2010).

Ukuran-ukuran Kelestarian Kebun Campuran

Kelestarian dalam kebun campuran ini identik dengan kelestarian hutan rakyat. Dengan demikian ukuran-ukuran kelestarian yang digunakan adalah ukuran/kriteria pengelolaan hutan lestari yakni mengikuti standar pedoman Lembaga Ekolabel Indonesia dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML).

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) lestari diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas (koperasi dalam arti luas), maupun individual berskala kesil


(51)

sampai sedang, yang dilakukan secara lestari. Penilaian PHBML dilakukan terhadap seluruh masukan (input), aktivitas (kegiatan), dan keluaran (output) dari suatu praktek PHBM. Penilaian tersebut ditujukan untuk menunjukkan pencapaian kelestarian dari suatu unit manajemen (UM) PHBM. Pencapaian kelestarian praktek PHBM ditentukan oleh seluruh upaya, yaitu masukan, kegiatan, dan keluaran yang mempunyai tingkat kontribusi yang berbeda-beda terhadap pencapaian kelestarian tersebut (LEI 2001).

Pencapaian kelestarian PHBM tersebut dinilai dengan indikator yang dapat diukur secara kuantatif maupun kualitatif. Setiap indikator diukur skala intensitasnya (baik, cukup, jelek). Seluruh nilai indikator akan mencerminkan pencapaian performance kelestarian praktek PHBM. Karena perbedaan kontribusi masing-masing kriteria dan indikator terhadap pencapaian kelestarian praktek PHBM telah dicerminkan pada tipologi PHBM, maka seluruh kriteria dan indikator ditetapkan mempunyai bobot yang sama. Dengan demikian nilai total yang merupakan penjumlahan dari nilai seluruh indikator dapat mencerminkan performansi praktek PHBM yang dinilai (LEI 2001).

2.3 Tataniaga

2.3.1 Pengertian Tataniaga

Definisi tataniaga menurut Kohls, R.L. (1967) adalah keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam upaya menyalurkan produk atau jasa mulai dari titik produksi sampai ke tangan konsumen.

Pengertian tataniaga dapat dilihat dengan pendekatan manajerial (aspek pasar) dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, tataniaga merupakan analisis perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian pemasaran untuk menentukan kedudukan pasar. Sedangkan berdasarkan aspek ekonomi, tataniaga merupakan distribusi fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitas-fasilitas untuk bergerak, mengalir dan pertukaran komponen barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Selain itu tataniaga merupakan kegiatan produktif karena meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan. Dengan demikian tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan


(52)

18

produsen ke konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong 1985).

Pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial dengan mana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain (Kotler 2008). Menurut Sudiyono (2002), pemasaran dianggap sebagai proses aliran barang yang terjadi dalam pasar. Dalam pemasaran ini barang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses penyimpanan.

2.3.2 Lembaga dan Saluran Tataniaga

Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Saluran tataniaga merupakan cara yang digunakan untuk menyampaikan produk oleh produsen kepada konsumen. Saluran tataniaga sangat penting terutama untuk melihat tingkat harga pada masing-masing lembaga pertanian dan harga jual produk di pasaran. Panjang pendeknya saluran tataniaga suatu produk pertanian tergantung kepada beberapa faktor yaitu :

1. Jarak dari produsen ke konsumen

Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen akan cenderung menciptakan saluran tataniaga yang panjang dengan aktivitas dan pelaku bisnis yang banyak.

2. Sifat komoditas

Produk yang cepat rusak membutuhkan saluran tataniaga yang relatif pendek agar dapat segera sampai ke konsumen untuk diolah atau dikonsumsi.

3. Skala produksi

Skala produksi yang semakin besar menyebabkan saluran tataniaga akan semakin banyak melibatkan sejumlah lembaga tataniaga. Dengan demikian


(53)

kehadiran pedagang perantara diharapkan dalam penyaluran produk sehingga saluran yang akan dilalui cenderung lebih panjang.

4. Kekuatan modal yang dimiliki

Produsen dengan modal yang besar cenderung memiliki saluran tataniaga yang pendek karena fungsi tataniaga yang dapat dilakukan lebih banyak dibandingkan dengan produsen yang modalnya lemah. Dengan kata lain, pedagang dengan modal yang besar cenderung memperpendek saluran tataniaga.

Lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainnya. Lembaga pemasaran ini timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen. Tugas lembaga pemasaran ini adalah menjalankan fungsi-fungsi pemasaran serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran ini berupa margin pemasaran (Sudiyono 2002).

Menurut penguasaannya terhadap komoditi yang diperjualbelikan lembaga pemasaran dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen perantara, makelar (broker, selling broker dan buying broker). Kedua, lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir dan Ketiga, lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyediaan fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor) (Sudiyono 2002).

Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam proses pemasaran ini lebih lanjut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Tengkulak, yaitu lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani, tengkulak ini melakukan transaksi dengan petani baik secara tunai, ijon maupun kontrak pembelian. Pedagang pengumpul, komoditi yang


(54)

20

dibeli dari tengkulak dan petani biasanya relatif lebih kecil sehingga untuk meningkatkan efisiensi, misalnya dalam pengangkutan, maka harus ada proses konsentrasi (pengumpulan) pembelian komoditi oleh pedagang pengumpul. Jadi pedagang pengumpul ini membeli komoditi pertanian dari tengkulak. 

2. Pedagang besar, untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran, maka jumlah komoditi yang ada pada pedagang pengumpul harus dikonsentrasikan lagi oleh lembaga pemasaran yang disebut dengan pedagang besar. Pedagang besar ini selain melakukan proses konsentrasi (pengumpulan) komoditi dari pedagang-pedagang pengumpul, jika melakukan proses distribusi (penyebaran) ke agen penjualan ataupun penggeser. Oleh jarak petani ke pedagang besar cukup jauh dan membutuhkan waktu lama, maka pada saat komoditi sampai di tangan pedagang besar ini sudah melibatkan lembaga pemasaran lainnya, seperti perusahaan pengangkutan, perusahaan pengolahan dan perusahaan asuransi. 

3. Agen penjualan, produk pertanian yang belum ataupun sudah mengalami proses pengolahan di tingkat pedagang besar harus didistribusikan kepada agen penjualan maupun pengecer. Agen penjualan ini biasanya membeli komoditi yang dimiliki pedagang dalam jumlah banyak dengan harga yang relatif murah dibandingkan pengecer. 

4. Pengecer, merupakan lembaga pemasaran yang berhadapan langsung dengan konsumen. Pengecer ini sebenarnya merupakan ujung tombak dari suatu proses produksi yang bersifat komersil, artinya kelanjutan proses produksi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran sangat tergantung dari aktivitas pengecer dalam menjual produk kepada konsumen. 

2.3.3 Struktur Pasar dan Prilaku Pasar

Struktur pasar (marketing structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau concentration, deskripsi produk dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan sebagainya (Limbong 1985). Struktur pasar dicirikan oleh konsentrasi pasar, differensiasi produk, dan kebebasan keluar masuk pasar. Dalam analisis sistem tataniaga, struktur pasar sangat diperlukan karena secara otomatis


(55)

akan dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance) yang ada dalam sistem tataniaga tersebut.

Hammond dan Dahl (1977), menetapkan empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu; Jumlah atau ukuran perusahaan, Kondisi atau keadaan komoditas, Kondisi keluar masuk perusahaan, dan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga. Berdasarkan strukturnya, pasar digolongkan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan bersaing tidak sempurna. Pasar bersaing sempurna jika terdapat banyak pembeli dan penjual setiap pembeli maupun penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan jasa, sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (price taker), barang atau jasa homogen serta pembeli dan penjual beban keluar masuk pasar (freedom to entry and to exit). Sedangkan pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penjual dan pembeli. Dari sisi pembeli terdiri dari pasar monopsoni, oligopsoni, dan sebagainya. Dari sisi penjual terdiri dari pasar persaingan monopolistik, monopoli, oligopoli, dan sebagainya.

Dalam menganalisis efisiensi pemasaran yang dimaksud dengan tingkah laku pasar adalah bagaimana peserta pasar, yaitu produsen, konsumen dan lembaga pemasaran menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Dalam menganalisis tingkah laku pasar ini, terdapat tiga pihak peserta pasar yang mempunyai kepentingan berbeda. Produsen menghendaki harga yang tinggi, pasar output secara lokal, menghendaki pilihan beberapa pembeli (tidak terjadi struktur monopsonis ataupun oligopsonistik), tersedia waktu dan informasi pasar yang cukup dan adanya kekuatan tawar menawar yang lebih kuat. Lembaga pemasaran menghendaki keuntungan yang maksimal, yaitu selisih marjin pemasaran dengan biaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran relatif besar. Sedangkan konsumen menghendaki tersedianya produk pertanian sesuai kebutuhan konsumen dengan harga wajar (Sudiyono 2002).

Keragaan pasar adalah hasil keputusan akhir yang diambil dalam hubungannya dengan proses tawar menawar dan persaingan pasar. Dengan demikian, keragaan pasar ini dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pengaruh struktur dan tingkah laku pasar dalam proses pemasaran suatu komoditi


(56)

22

pertanian. Keragaan pasar ini secara praktis dapat dikatakan dengan melihat beberapa indikator efisiensi pemasaran. Indikator-indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah marjin pemasaran, harga di tingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran dan intensitas persaingan pasar (Sudiyono 2002).

2.3.5 Efisiensi Tataniaga

Kohls (1967), menjelaskan bahwa untuk memahami efisiensi tataniaga harus terlebih dahulu memahami tataniaga sebagai suatu aktivitas bisnis yang ditujukan untuk menyampaikan suatu produk kepada konsumen. Output dari aktivitas tataniaga adalah kepuasan konsumen terhadap suatu produk dan jasa, sedangkan input-nya adalah semua sumberdaya usaha yang meliputi tenaga kerja, kapital, dan manajemen yang digunakan perusahaan dalam proses produksi. Sehingga efisiensi tataniaga dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya biaya input pada suatu pekerjaan tanpa mengurangi kepuasankonsumen dari keluaran suatu produk atau jasa.

Efisiensi dalam pengertian sederhana merupakan keluaran (output) yang optimum dari penggunaan seperangkat masukan (input). Hanafiah dan Saefudin (1983), menjelaskan bahwa pengertian efisiensi tataniaga akan berbeda tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha tentunya akan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh konsumen. Perbedaaan ini timbul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Pengusaha menganggap suatu sistem tataniaga efisiensi apabila penjualan produknya mendatangkan keuntungan yang tinggi baginya, sebaliknya konsumen menganggap sistem tataniaga tersebut efisien apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah. Suatu perubahan yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen akan output barang atau jasa menunjukkan suatu perbaikan tingkat efisiensi tataniaga. Sebaliknya suatu perubahan yang dapat mengurangi biaya input tetapi juga mengurangi kepuasan konsumen menunjukkan suatu penurunan tingkat efisiensi tataniaga. Banyak cara yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi tataniaga yaitu dengan cara sebagai berikut :


(57)

1. Menghilangkan persaingan yang tidak bermanfaat, 2. Mengurangi jumlah pedagang perantara pada saluran, 3. Membuka metode cooperative,

4. Memberi bantuan kepada konsumen, 5. Standarisasi dan implikasi,

Untuk melihat efisiensi dapat dengan dua konsep yaitu pertama, dengan konsep analisis struktur, perilaku dan keragaan pasar serta konsep kedua yaitu dengan konsep rasio input-output. Penggunaan konsep yang kedua yaitu dengan rasio input-output menghadapi kesulitan dalam pengukuran kepuasan konsumen, sehingga pengukuran tingkat efisiensi tataniaga dilakukan melalui pendekatan lain yaitu melalui efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional menekankan pada keterkaitan harga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen akibat perubahan tempat, bentuk dan waktu yang diukur melalui keterpaduan pasar yang terjadi akibat pergerakan komoditas dari satu pasar ke pasar lainnya. Sedangkan efisiensi harga menekankan kepada kemampuan meminimumkan biaya yang dipergunakan untuk menggerakkan komoditas dari produsen ke konsumen atau kemampuan meminimumkan biaya untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tataniaga. Efisiensi harga dapat didekati dengan perhitungan biaya dan marjin tataniaga. Istilah biaya tataniaga yang dimaksud adalah mencakup jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga untuk pelaksanaan kegiatan pemasaran produk. Biaya tataniaga suatu produk biasanya diukur secara kasar dengan marjin. Pada pengukuran efisiensi ekonomis, marjin tataniaga sering digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui efisiensi dari sistem tataniaga tersebut (Hanafiah dan Saefudin 1983).

2.3.6 Marjin Pemasaran

Marjin adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang terjadi pada suatu tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga. Pada suatu perusahaan istilah marjin merupakan uang yang ditentukan secara internal accounting, yang diperlukan untuk menutupi biaya dan laba, dan ini merupakan perbedaan antara harga pembelian dan penjualan (Hanafiah dan Saefudin 1983).

Marjin pemasaran merupakan selisih harga yang dibayar konsumen akhir dan harga yang diterima petani produsen. Dengan menganggap bahwa selama


(58)

24

proses pemasaran terdapat beberapa lembaga pemasaran yang terlibat dalam aktivitas pemasaran ini, maka dapat dianalisis distribusi marjin pemasaran di antara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat ini (Sudiyono 2002).

Hammond dan Dahl (1977) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga di tingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah produk yang dipasarkan.

Dengan menggunakan definisi pertama yang menyebutkan bahwa marjin pemasaran merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani, maka lebih lanjut dapat dianalisa sebagai berikut: Harga yang dibayarkan konsumen merupakan harga di tingkat pengecer, yaitu merupakan perpotongan kurva permintaan primer (primary demand curve) dengan kurva penawaran turunan (derived supply curve). Sedangkan harga di tingkat petani merupakan potongan antara kurva permintaan turunan (derived demand curve) dengan kurva penawaran primer (primary supply curve). Permintaan konsumen atas suatu produk di tingkat pengecer disebut permintaan primer. Sedangkan permintaan suatu produk di tingkat petani disebut permintaan turunan, sebab permintaan ini diturunkan dari permintaan konsumen di tingkat pengecer.

Pada analisis pemasaran komoditi pertanian tentu dipertimbangkan pada sisi penawaran dan permintaan ini secara simultas, sehingga terbentuk harga di tingkat pengecer dan harga di tingkat produsen. Dengan demikian marjin pemasaran dapat disusun oleh kurva penawaran permintaan sebagai berikut:

Gambar 3 Kurva penawaran permintaan primer dan turunan serta marjin pemasaran.


(59)

Gambar di atas menginformasikan kurva permintaan primer yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan, membentuk harga di tingkat pengecer Pr. Sedang kurva permintaan turunan berpotongan dengan kurva penawaran primer membentuk harga di tingkat petani Pf. Marjin pemasaran sama dengan selisih harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani (M = Pr – Pf). Perlu diperhatikan, penentuan marjin pemasaran cara ini harus dipenuhi asumsi bahwa jumlah produk yang ditransaksi di tingkat petani sama dengan jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat pengecer, yaitu sebesar Q*.


(60)

(61)

3

 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada lahan kebun campuran sebagai unit analisis yang terdapat di Desa Karacak yang secara administrasi berada di Kec. Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara

purposive di lapangan pada lahan kebun campuran yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh petani. Penelitian lapangan pada lokasi penelitian tersebut dilakukan selama dua bulan, mulai bulan Januari 2011 sampai Februari 2011.

3.2  Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh dengan cara menggunakan wawancara mendalam secara bebas dan terstruktur dengan menggunakan alat bantu kuisioner terhadap responden terpilih, pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Responden dipilih secara acak sebanyak 30 orang yang terlibat langsung dalam pengusahaan kebun campuran (petani kebun campuran), responden tengkulak/pedagang pengumpul kayu dipilih secara sensus di Desa Karacak yakni sebanyak 5 orang dan pelaku industri perkayuan dipilih secara purposive dengan pertimbangan industri yang menggunakan kayu kebun campuran Karacak yakni sebanyak empat industri. Dasar penetapan sampel mengacu pada pendapat Roscoe (1982) dalam Sugiyono (2009), ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah minimal 30 satuan. Adapun data primer yang diukur yakni berupa :

a. Potensi kayu kebun campuran Desa Karacak. b. Sistem pengelolaan kebun campuran Desa Karacak. c. Permintaan kayu kebun campuran Desa Karacak d. Pemasaran kayu kebun campuran Desa Karacak.


(62)

28

2. Pengumpulan data sekunder yang berupa laporan dan publikasi ilmiah dari berbagai instansi pemerintah, industri, BPS, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Data yang diperlukan yaitu :

a. Letak dan kondisi umum lokasi penelitian b. Data sosial ekonomi wilayah lokasi penelitian c. Data penunjang lainnya.

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Analisis Kelestarian Kebun Campuran Karacak 3.3.1.1 Potensi kayu kebun campuran

Analisis Vegetasi

Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi kebun campuran. Metode pengambilan data vegetasi dilakukan dengan cara petak tunggal sebanyak 5 plot dengan luasan 0,2 ha: ukuran plot 20 x 20 m2 untuk pohon, 10 x 10 m2 untuk tingkat tiang (poles), 5 x 5 m2 untuk tingkat pancang (sapling) dan 2 x 2 m2 untuk semai (seedling) dengan teknik nested sampling. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut (Soerianegara dan Indrawan, 2008):

Kerapatan (K) =

contoh petak

luas

individu Σ

Kerapatan Relatif (KR) = x100%

jenis seluruh total K jenis suatu K

Frekuensi (F) =

plot seluruh jenis suatu ya ditemukann plot Σ Σ

Frekuensi Relatif (FR) = x100%

jenis seluruh dari F jenis suatu dari F

Dominansi (D) =

contoh petak Luas jenis suatu Lbds

Dominansi Relatif (DR) = x100%

jenis seluruh D

jenis D

Indeks nilai penting

INP = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon) INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang)


(63)

Keragaman Jenis

Untuk mengetahui keanekaragaman jenis vegetasi di kebun campuran dapat dapat menggunakan indeks keragaman dihitung menggunakan rumus Shannon-Weiner Index dalam Molles (2008) sebagai berikut:

dimana i e s i i

p

p

H

'

log

1

=

=

N ni pi =

Keterangan:

H’ = Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S = Jumlah jenis

Pi = Proporsi individu dari total sampel ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu semua jenis

Adapun penafsiran makna nilai indeks diversitas jenis sebagai berikut, jika: H’ = 0 – 1,0 termasuk kategori sangat rendah

H’ = 1,1 – 2,0 termauk kategori rendah H’ = 2,1 – 3,0 termasuk kategori sedang H’ = 3,1 – 4,0 termasuk kategori tinggi

H’ = > 4 termasuk kategori sangat tinggi (Barbour et al. 1987 dalam Prasetyo 2006)

3.3.1.2 Evaluasi Kelestarian Kebun Campuran Karacak

Pengukuran evaluasi kelestarian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan standar kriteria dan indikator pencapaian kelestarian fungsi suatu praktek PHBM dalam dokumen LEI. Setiap prinsip (kelestarian ekologi, produksi, dan sosial budaya), kriteria, dan indikator mempunyai bobot yang sama, maka nilai total pencapaian kelestarian dari suatu praktek PHBM merupakan penjumlahan dari seluruh nilai indikator.

Pencapaian kelestarian PHBM tersebut dinilai dengan indikator yang dapat diukur secara kuantatif maupun kualitatif. Setiap indikator diukur skala intensitasnya (baik, cukup, jelek). Seluruh nilai indikator akan mencerminkan pencapaian performance kelestarian praktek PHBM. Adapun penentuan kelulusan dalam kelestarian fungsinya adalah sebagai berikut :


(64)

30

Jumlah nilai baik : B Jumlah nilai cukup : C Jumlah nilai jelek : J Jumlah indikator : n

Suatu PHBM dinyatakan “LULUS”, praktek PHBM tersebut telah memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian fungsinya, apabila :

B > 50% x n C > 25% x n J > 25% x n

Suatu PHBM dinyatakan “LULUS dengan Catatan”, praktek PHBM tersebut belum memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian fungsinya, apabila:

B > 25% x n C > 50% x n J < 25% x n

Suatu PHBM dinyatakan “TIDAK LULUS”, praktek PHBM tersebut tidak memenuhi persyaratan minimum pencapaian kelestarian fungsinya, apabila :

B < 25% x n C < 50% x n J > 25% x n

Rincian Kriteria Dan Indikator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (LEI 2001) yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5.

3.3.2 Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak

Tataniaga ini dilihat dari saluran pemasaran kayu yang berasal dari kebun campuran Karacak. Pemasaran adalah suatu jalur atau hubungan yang dilewati oleh arus barang-barang, aktivitas dan informasi dari produsen sampai kepada konsumen.

Analisis data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat gambaran umum dan khusus dari lokasi,


(65)

saluran pemasaran dan struktur pasar. Analisis kuantitatif untuk melihat keragaan pasar dengan analisis marjin pemasaran serta penyebarannya. Sedangkan efisiensi pemasaran akan dilihat melalui analisis organisasi pasar, dan analisis marjin pemasaran.

3.3.2.1 Analisis Lembaga Tataniaga dan Saluran Tataniaga

Analisis ini ditujukan untuk mengidentifikasi lembaga-lembaga dan saluran tataniaga yang digunakan dalam pemasaran kayu sengon. Identifikasi tersebut meliputi identitas, fungsi, dan tata cara lembaga-lembaga tersebut dalam rangka memasarkan kayu sengon sampai pada konsumen akhir.

Data lapangan yang diperoleh ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif untuk melihat hasil pemantauan saluran tataniaga/peredaran kayu rakyat yang berasal dari kebun campuran Karacak.

3.3.2.2 Analisis Struktur Pasar dan Prilaku Pasar

Analisis struktur pasar ditujukan untuk mengetahui kondisi persaingan di antara produsen dan konsumen kayu yang terdapat di Karacak. Parameter yang digunakan untuk analisis pasar, yaitu: (1) jumlah lembaga pemasaran dalam suatu pasar, (2) distribusi lembaga pemasaran dalam berbagai ukuran dan konsentrasi, (3) jenis-jenis produk yang dipasarkan.

Prilaku pasar kayu dapat dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan dan pembayaran harga, kerjasama antara lembaga pemasaran serta praktek-praktek lainnya.

3.3.2.3 Analisis Marjin dan Efisiensi Tataniaga

Indikator marjin pemasaran dalam sistem tataniaga tujuannya adalah untuk mengetahui alokasi distribusi keuntungan dan biaya yang diterima oleh lembaga pemasaran pada sistem tataniaga yang sedang berjalan. Secara sistematis formula umum marjin pemasaran dirumuskan sebagai berikut :

Mp = Pr – Pf Di mana :

Mp = marjin pemasaran Pr = harga tingkat konsumen Pf = harga tingkat produsen


(66)

32

Menurut Effendi (2008), sistem pemasaran ditinjau dari sudut pandang lembaga pemasaran dikatakan efisien bila dapat memberikan keuntungan relatif tinggi dan biaya pemasaran relatif rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari rasio antara keuntungan dan biaya pemasaran, bila rasio keuntungan dan biaya pemasaran lebih besar dari satu, atau minimal keuntungan dan biaya pemasaran adalah sama. Perhitungan dilakukan dengan mempergunakan rumus :

Rasio Keuntungan-Biaya = πi

Bi

Keterangan :

πi = Keuntungan tataniaga (Rp/m3)

Bi = Biaya tataniaga (Rp/m3)

Shepherd (1962) dalam Soekartawi (2002) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan, yang dirumuskan sebagai berikut :

Ep = (TB/TNP) x 100% Di mana :

Ep = efisiensi pemasaran TB = total biaya

TNP = total nilai produk

Menurut Soekartawi (2002), rumus di atas dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran yang tidak efisien. Begitu pula sebaliknya, kalau semakin kecil nilai produk yang dijual berarti pula terjadi adanya pemasaran yang tidak efisien.


(67)

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Desa Karacak

1. Letak dan Luas Desa Karacak

Desa Karacak secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor dengan orbitasi jarak tempuh ke ibukota kecamatan sekitar 5 km, sedangkan orbitasi jarak tempuh ke ibukota kabupaten sekitar 42 km. Adapun batas-batas wilayah Desa Karacak adalah, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Barengkok, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Karyasari, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Situ Udik, Kecamatan Cibungbulang, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pabangbon/Cibeber II. Menurut Data Potensi Desa dan Kelurahan tahun 2010, luas wilayah Desa Karacak mencapai 710,023 ha.

2. Topografi dan Iklim

Topografi wilayah Desa Karacak umumnya memiliki topografi berbukit-bukit dengan tingkat kemiringan 30º dan berada pada ketinggian 500 mdpl. Suhu rata-rata harian Desa Karacak sebesar 37ºC dengan curah hujan rata-rata setiap tahunnya sebesar 4.683 mm dan dengan jumlah bulan hujan dalam satu tahun adalah 6 bulan.

3. Penggunaan Lahan

Sebagian besar lahan di Desa Karacak berupa lahan perkebunan yang mencapai 270,510 ha/m2 atau 38,09% dari total luas yang ada. Selain untuk lahan perkebunan, penggunaan lahan di Desa Karacak juga dipergunakan untuk berbagai hal lain, dan keterangan lebih lanjut mengenai rincian penggunaan lahan di Desa Karacak tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 Tata Guna Lahan di Desa Karacak

No. Jenis Penggunaan Luas(Ha) Persentase (%)

1 Pemukiman 82,50 11,761

2 Persawahan 210,00 29,936

3 Pekarangan 4,00 0,570


(68)

34

No. Jenis Penggunaan Luas(Ha) Persentase (%)

5 Tegalan/Ladang 370,00 52,744

6 Lainnya 30,00 4,277

Jumlah 701,50 100

Lanjutan Tabel 1.

Sumber : BPS Kabupaten Bogor 2009

4. Sosial Ekonomi a. Kependudukan

Menurut Data Potensi Desa dan Kelurahan 2010, penduduk yang mendiami Desa Karacak berjumlah 10.862 jiwa yang terdiri dari 5.549 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan sisanya sebanyak 5.313 jiwa berjenis kelamin perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.855 KK dan dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 66 jiwa/km2.

b. Mata Pencaharian

Penduduk di Desa Karacak mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sedangkan jenis pekerjaan lain yang ditekuni oleh penduduk Desa Karacak diantaranya adalah pedagang, buruh, pengacara, dukun kampung dan sebagai pegawai baik itu pegawai negeri (PNS) maupun pegawai swasta. Pada Tabel 2 disajikan struktur mata pencaharian penduduk Desa Karacak.

Tabel 2 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Karacak

No. Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Petani 912 52,174

2 Buruh 595 34,039

3 Pegawai 183 10,469

4 Pengrajin 3 0,172

5 Pedagang 45 2,574

6 Peternak 4 0,229

7 Lainnya 6 0,343

Jumlah 1.748 100

Sumber : Pemerintahan Desa Karacak 2010

5. Sarana dan Prasarana

Desa Karacak memiliki jalan yang biasanya dipergunakan sebagai sarana penghubung dengan wilayah di luar desa. Jalan tersebut memiliki panjang kurang lebih 17,5 km, yang terdiri dari jalan aspal sepanjang 7,5 km dalam keadaan baik dan 6 km dalam keadaan rusak, jalan batu 1 km dan jalan tanah sepanjang 3 km.


(69)

Selain sarana perhubungan, terdapat pula jenis sarana lainnya. Tabel 3 menyajikan sarana dan prasarana yang ada di Desa Karacak.

Tabel 3 Sarana dan Prasarana yang terdapat di Desa Karacak

No. Jenis Sarana Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Taman kanak-kanak Sekolah Dasar

Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas Lembaga Pendidikan Agama Praktek Dokter Posyandu Puskesmas Pembantu Masjid Mushola/Surau Lapangan Olahraga 6 8 3 1 1 1 10 1 20 23 13

Sumber : Pemerintahan Desa Karacak 2010 4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Responden

Objek pada penelitian ini merupakan warga Desa Karacak pada Kampung Cengal yang memiliki lahan kebun campuran yang tergabung dalam kelompok tani manggis. Kampung Cengal yang terletak kurang lebih 5 km dari pusat Desa Karacak, merupakan suatu daerah yang hampir sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor yang sama yaitu pertanian, baik sebagai petani kebun campuran maupun petani sawah. Namun demikian ada juga beberapa kepala keluarga yang bekerja pada sektor lain misalnya sebagai pegawai negeri (PNS), buruh dan pedagang. Secara umum, masyarakat Kampung Cengal sudah hidup layak, hal tersebut dapat dilihat dari keadaan bangunan fisik tempat tinggal penduduk yang cenderung sudah permanen dimana sebagian besar bangunannya telah terbuat dari tembok dengan sarana penerangan yakni jasa PLN yang telah lama masuk kampung. Begitu pula dengan jasa telekomunikasi berupa telepon, hanya saja penduduk yang memiliki telepon masih terbatas. Hal itu berkaitan dengan fungsi dan manfaat telepon itu sendiri yang dirasa masyarakat masih belum penting.

Kampung Cengal memiliki aksesibilitas yang baik, hal ini dikarenakan kampung tersebut sering didatangi banyak orang yang ingin mengetahui keberadaan kebun campuran baik dari peneliti, instansi pemerintah maupun swasta. Meskipun sarana jalan yang menghubungkan Kampung Cengal dengan


(1)

Ada penyerapan tenaga kerja minimal dari dalam keluarga. Memiliki kaitan langsung dan tidak langsung yang lemah dengan unit ekonomi lain. Berkontribusi tidak signifikan dalam penurunan tingkat erosi lahan di daerah setempat.

Kelestarian Fungsi Ekologi

Kriteria: Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadap stabilitas ekosistem dapat diminumkan dan dikelola 1. Tersedianya aturan kelola

produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan

a). Baik

Jika terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan, yang disepakati bersama dan terdapat kesamaan pemahaman di tingkat pelaksana terhadap aturan-aturan tersebut.

b). Cukup

Jika terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan yang disepakati bersama, namun belum ada kesamaan pemahaman di tingkat pelaksana terhadap aturan-aturan tersebut.

c). Jelek

Jika tidak terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan dari pengelola hutan yang disepakati bersama.

2. Ketersediaan informasi dan dokumentasi dampak kegiatan kelola produksi terhadap lingkungan

a). Baik

Jika terdapat informasi tertulis yang sahih/akurat dari pengelola hutan tentang dampak kegiataan produksi terhadap aspek-aspek lingkungan yang relevan. Kesahihan ini dapat diverivikasi dengan hasi pengamatan langsung dan atau pengetahuan masyarakat di sekitar lokasi. Informasi tertulis ini didukung pula dengan pengetahuan/pemahaman pengelola hutan mengenai hal tersebut. b).Cukup

Jika informasi (tertulis atau tidak tertulis) dari pengelola hutan itu kurang akurat, kurang lengkap, atau tidak terdapat konsistensi dalam pengetahuan/pemahaman pelaksana lapangan.

c). Jelek

Jika informasi-informasi (tertulis atau tidak tertulis) dari pengelola hutan itu tidak tersedia. Kelestarian Fungsi Sosial

Kriteria : Kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang dipergunakan 1. Pengelola hutan/lahan adalah

pemilik lahan

a). Baik

Jika seluruh anggota keompok pengelola merupakan pemilik lahan b). Cukup

Jika sedikitnya 50% anggota kelompok pengelola hutan yang merupakan pemilik lahan c). Jelek

Jika kurang dari 50% anggota kelompok pengelola hutan yang merupakan pemilik lahan Kriteria : Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas

1. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan mampu

a). Baik


(2)

hidup komunitas dalam lintas generasi

b). Cukup

Jika hanya verifier 1 dan 3 saja yang terpenuhi Jika hanya verifier 2 dan 3 saja yang terpenuhi c). Jelek

Jika tidak ada verifier yang terpenuhi 2. Penerapan teknologi produksi

dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja, laki-laki maupun perempuan

a). Baik

Jika seluruh verifier (1,2,3, dan 4) terpenuhi Jika hanya verifier 1,2 dan 3 saja yang terpenuhi b). Cukup

Jika hanya verifier 2,3 dan 4 saja yang terpenuhi

Jika memenuhi dua atau tiga verifier yang ada dengan berbagai variasinya c). Jelek

Jika ada verifier 1; atau tidak ada sama sekali verifier yang terpenuhi 3. Pola hubungan sosial yang

terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar

a). Baik

Jika seluruh verifier (1,2,3, dan 4) terpenuhi b). Cukup

Jika hanya verifier 1,2 dan 4 saja yang terpenuhi Jika hanya verifier 1,3 dan 4 saja yang terpenuhi c). Jelek


(3)

Indikator Penilaian

5. Status dan batas lahan jelas Baik

6. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman Jelek

7. Managemen pemeliharaan hutan Jelek

8. Sistem silvikultur sesuai daya dukung lahan Jelek

9. Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari Cukup

10.Prasarana hutan Baik

11.Kesehatan usaha Cukup

12.Kemampuan akses pasar Jelek

13.Tersedia tenaga trampil Cukup

14.Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat Baik

15.Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan Cukup

16.Ketersediaan informasi dan dokumentasi dampak kegiatan kelola produksi terhadap lingkungan Cukup

17.Pengelola hutan/lahan adalah pemilik lahan Baik

18.Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas dalam lintas

generasi Cukup

19.Penerapan teknologi produksi dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja, laki-laki

maupun perempuan Cukup

20.Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial

relatif sejajar Baik

Lampiran 6 Penilaian Evaluasi Kelestarian Kebun Campuran Karacak

LULUS LULUS Dengan CATATAN TIDAK LULUS

B > 50% x 16 = 8 C > 25% x 16 = 4 J > 25% x 16 = 4

B > 25% x 16 = 4 C > 50% x 16 = 8 J < 25% x 16 = 4

B < 25% x 16 = 4 C < 50% x 16 = 8 J > 25% x 16 = 4

102

Keterangan :

Jumlah Penilaian Baik (B) = 5

Jumlah Penilaian Cukup (C) = 7

Jumlah Penilaian Jelek (J) = 4


(4)

Nama Pedagang Kapasitas (batang) Diameter (cm) Volume/Btg Harga Beli/Btg (Rp) Jumlah Harga Pembelian (Rp) Harga di Tingkat Petani (Rp/m3)

Bagia 150 10 0,052 5.000 750.000 96.506,47

Samin 10 30 0,563 25.000 250.000 44.404,97

Ma'at 30 20 0,192 20.000 600.000 104.166,67

Warja 150 10 0,052 1.000 150.000 19.301,29

Zumri 40 15 0,118 15.000 600.000 127.118,64

Rata-rata 47.0000 78.299,61

Lampiran 7 Harga Kayu di Tingkat Petani


(5)

No

Uraian

Harga (Rp/m3)

Share (%)

1. Petani

Harga jual pohon berdiri

78.299,60

7,46

2.

Pengumpul Besar

Harga jual kayu bulat

294.000

28

Biaya

177.500

16,90

Tebang dan pikul

100.000

9,52

Muat Bongkar

17.500

1,67

Sewa Mobil

60.000

5,71

Marjin Pemasaran

215.700

20,54

Keuntungan

38.200

3,64

3.

Sawmill di Desa

Harga jual palet

1.050.000

100.00

Biaya

380.000

36,19

1. Upah pekerja

40.000

3,81

2. Operasional

100.000

9,52

3. Angkut ke industri

210.000

20,00

4. Biaya SKSHH

30.000

2,86

Marjin Pemasaran

756.000

72

Keuntungan

376.000

35,81

4.

Industri

Harga beli palet

1.050.000

100.00

Total Biaya

557.500

53,10

Total Marjin Pemasaran

971.700

92,54

Total Keuntungan

414.200

39,45

104


(6)

No

Uraian

Harga (Rp/m3)

Share (%)

1. Petani

Harga jual pohon berdiri

300.000

20

2.

Sawmill di Desa

Harga jual palet

1.500.000

Biaya

960.000

64

1. Upah pekerja

40.000

2,67

2.

Retribusi

15.000

1

3. Angkut ke industri

75.000

5

4. Biaya SKSHH

30.000

2

5. Operasional

800.000

53,33

Marjin

Pemasaran

1.200.000

80

Keuntungan

240.000 16

3.

Industri

Harga beli palet

1.500.000

100.00

Total Biaya

960.000

64

Total Marjin Pemasaran

1.200.000

80

Total Keuntungan

240.000

16

105