Tingkat Pertumbuhan Pohon No Jenis
Pohon ∑
Individu ∑ Plot ditemukan
K indha
niN ln niN
H = niN lnniN
1 Gossypium arboreum L.
1 1 5
0,066666667 -2,708050201
-0,18053668 2
Gabcinia mangostana L. 4 3
20 0,266666667
-1,32175584 -0,352468224
3 Albizzia falcataria L.Fosberg
2 2 10
0,133333333 -2,014903021
-0,268653736 4
Artocarpus integra Merr 1 1
5 0,066666667
-2,708050201 -0,18053668
5 Maesopsis eminii Engl.
4 3 20
0,266666667 -1,32175584
-0,352468224 6
Parkia speciosa Hassk 1 1
5 0,066666667
-2,708050201 -0,18053668
7 Schima noronhae Reinw
1 1 5
0,066666667 -2,708050201
-0,18053668 8
Artocarpus rigidus 1 1
5 0,066666667
-2,708050201 -0,18053668
Total 15
75 1,876273584
93 Lanjutan Lampiran 3 Indeks Keragaman
Lampiran 4 Data Diagram Profil Tegakan Kebun Campuran
id x
y spesies
Dbh Height
cr_depth cr_curve
cr_radius 1 2 0 Paraserianthes falcataria
0,121 17 11
6 3;2
2 4 0 Paraserianthes falcataria 0,111 17
14 3
2.5;2.5 3 6,2
0 Paraserianthes falcataria 0,099
12 9,5 2,5 1.5;1.5 4 10
0 Paraserianthes falcataria 0,178
16 4 2 2;2
5 12 0 Paraserianthes falcataria
0,166 12
9 3 4;2 6 15
0 Paraserianthes falcataria 0,080
9 8,5 0,5 0.5;0.5 7 17
0 Paraserianthes falcataria 0,124
14 9 5 2;1
8 20 0 Musa spp.
0,045 3 2,5 0,5 2;2
9 2,5 1,5
Paraserianthes falcataria 0,045
8 7,5 0,5 1;1 10 5 1 Paraserianthes falcataria
0,131 16 14
2 2;2
11 10 1,2 Musa spp. 0,011 2,5
2 0,5
2;2 12 13 1 Paraserianthes falcataria
0,032 7 6 1 0.5;0.5
13 18 1 Musa spp. 0,032
1 0,5 0,5 0.5;0.5 14 15 2 Schima noronhae reinw
0,099 10
5 5 2;1.5 15 11 2,2 Paraserianthes falcataria
0,096 12 2
10 2;2
16 3 3 Paraserianthes falcataria 0,035
8 7 1 1.5;1.5 17 4 2 Paraserianthes falcataria
0,134 16 14
2 2.5;2.5
18 0 5 Paraserianthes falcataria 0,150 15,5 12,5 3
3;2 19 0 6 Paraserianthes falcataria
0,045 7 6,5 0,5 2;2
20 2 7 Paraserianthes falcataria 0,116 12,5 10
2,5 2.5;2.5
21 4,5 6 Paraserianthes falcataria 0,061 12
11 1
1;1 22 5,5 5 Paraserianthes falcataria
0,051 9 8 1 1;1
23 5,5 6 Durio zibethinus 0,075
9 2 7 1.2;1.2 24 9 5 Paraserianthes falcataria
0,127 14 11
3 4;2
25 8,5 4 Paraserianthes falcataria 0,059 12
11 1
1;1
94
Lanjutan Lampiran 4 Data Diagram Profil Tegakan Kebun Campuran 95
id x
y spesies
Dbh Height
cr_depth cr_curve
cr_radius 26 12 4 Paraserianthes falcataria
0,177 15 13
2 3;2
27 12 6 Paraserianthes falcataria 0,052 7,5
3,5 4
2;2 28 12 6,2 Musa spp.
0,045 3 2,5 0,5 0.5;0.5
29 13,5 5 Paraserianthes falcataria
0,102 14 12
2 2;2
30 14 4 Durio zibethinus 0,025
4 2,5 1,5 1;1 31 12,5
7 Psidium guajava L. 0,040 4,5
2 2,5
1;1 32 15 6 Paraserianthes falcataria
0,067 11
8 3 1;1 33 17,5
5 Paraserianthes falcataria 0,185 16
12 4
3;1.5 34 18 7 Musa spp.
0,038 2 1,5 0,5 0.5;0.5
35 19 5 Paraserianthes falcataria 0,073
12 9 3 1.5;1.5
36 20 6 Paraserianthes falcataria 0,089 12
11 1
1.5;1.5 37 16 6 Paraserianthes falcataria
0,059 8 7,5 0,5 1;1
38 18 10 Paraserianthes falcataria 0,045
8 6 2 1;1 39 15 8 Paraserianthes falcataria
0,078 12 10
2 2;2
40 14 8 Paraserianthes falcataria 0,146 16
12 4
2;2 41 14 7 Paraserianthes falcataria
0,083 12,5 10,5 2 1.5;1.5
42 14 8,8 Paraserianthes falcataria 0,018
2 1,5 0,5 1;1 43 15,5
10 Paraserianthes falcataria 0,030
6 5,5 0,5 1;1 44 12,5
10 Musa spp. 0,041 2,5
2 0,5
0.5;0.5 45 9 10 Paraserianthes falcataria
0,044 8,5 7
1,5 3;1.5
46 11,5 8 Paraserianthes falcataria
0,072 11 10
1 1.5;2
47 10,5 8,5 Paraserianthes falcataria
0,059 10 9,5 0,5 1;1
48 9,5 8,5 Gossypium arboreum L. 0,257
12 5 7 4;3
49 7,5 7,5 Paraserianthes falcataria 0,057 11
10 1
1;1 50 8 8,5 Paraserianthes falcataria
0,036 8 6,5 1,5 1;1
51 7 9,5 Paraserianthes falcataria 0,045
8 4 4 1.5;1 52 4 10 Paraserianthes falcataria
0,043 10
7 3 1;1
96
id x
y spesies
Dbh Height
cr_depth cr_curve
cr_radius 53 6 9,5 Musa spp.
0,041 3 2,5 0,5 0.5;0.5
54 5 9,5 Paraserianthes falcataria 0,027
7 5,5 1,5 0.5;0.5 55 2 7 Paraserianthes falcataria
0,052 9 7 2 3;2
56 2 8 Musa spp. 0,032
3 2,5 0,5 0.5;0.5 57 1 8 Artocarpus rigidus
0,016 2 1 1 0.5;0.5
58 0 7 Paraserianthes falcataria 0,083 13
11,5 1,5 1.5;1
59 0 10 Paraserianthes falcataria 0,115 15,5 13,5 2
3;2
Lanjutan Lampiran 4 Data Diagram Profil Tegakan Kebun Campuran
INDIKATOR NILAI SKALA INTENSITAS
Kriteria : Kelestarian Sumberdaya 1.
Status dan batas lahan jelas a. Baik
Status lahan jelas yang ditunjukkan oleh dokumen yang sah dan diakui masyarakat setempat. Batas-batas lahan di lapangan jelas yang ditunjukkan oleh batas alam atau batas buatan yang dapat dikenali.
b. Cukup Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen yang sah dan diakui oleh masyarakat setempat. Tetapi
batas-batas lahan di lapangan jelas yang ditunjukkan oleh batas alam atau batas buatan yang dapat dikenali. c. Jelek
Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen yang sah dan diakui oleh masyarakat setempat. Batas- batas lahan di lapangan tidak jelas yang ditunjukkan tidak adanya oleh batas alam atau batas buatan yang dapat dikenali.
2. Perubahan luas lahan yang
ditumbuhi tanaman a. Baik
Tidak ada atau ada gangguan kebakaran dan hewan serta bencana alam dengan frekuensi intensitas rendah. Pada tahun berjalan jumlah pohon komersial masak tebang lebih sedikit dari jumlah pohon komersial belum masak tebang.
b. Cukup Tidak ada atau ada gangguan kebakaran dan hewan serta bencana alam dengan frekuensi intensitas sedang. Pada tahun
berjalan jumlah pohon komersial masak tebang sama atau berimbang dengan jumlah pohon komersial belum masak tebang. c. Jelek
Tidak ada atau ada gangguan kebakaran dan hewan serta bencana alam dengan frekuensi intensitas tinggi.. Pada tahun berjalan jumlah pohon komersial masak tebang lebih banyak dari jumlah pohon komersial belum masak tebang.
3. Managemen pemeliharaan
hutan a. Baik
Ada pemeliharaan minimal 4 kali dalam sebulan. b. Cukup
Ada pemeliharaan kurang dari 4 kali dalam sebulan. c. Jelek
Tidak ada pemeliharaan dalam sebulan.
4. Sistem silvikultur sesuai daya
dukung lahan a. Baik
Penebangan dan penanaman pohon dilakukan dengan menggunakan berturut-turut teknik-teknik cara-cara tebang dan tanam yang benar, dan mempertimbangkan kemiringan lahan danatau pohon terdekat, anakan pohon dan tanaman bawah. Jumlah
pohon untuk penebangan satu tahun berikutnya sama atau lebih banyak dari jumlah pohon yang ditebang tahun terakhir.
Lampiran 5 Keterangan Indikator Verifier
Kelestarian Fungsi Produksi
97
Tingkat erosi lahan di bawah ambang batas toleransi. b. Cukup
Penebangan dan penanaman pohon dilakukan dengan menggunakan berturut-turut teknik-teknik cara-cara tebang dan tanam yang kurang benar, dan kurang mempertimbangkan kemiringan lahan danatau pohon terdekat, anakan pohon dan tanaman
bawah. Jumlah pohon untuk penebangan satu tahun berikutnya kurang tapi minimal separuh dari jumlah pohon yang ditebang tahun terakhir. Tingkat erosi lahan maksimum 30 di atas ambang batas toleransi.
c. Jelek Penebangan dan penanaman pohon dilakukan dengan menggunakan berturut-turut teknik-teknik cara-cara tebang dan tanam
yang tidak benar, dan tidak mempertimbangkan kemiringan lahan danatau pohon terdekat, anakan pohon dan tanaman bawah. Jumlah pohon untuk penebangan satu tahun berikutnya kurang dari separuh jumlah pohon yang ditebang tahun terakhir.
Tingkat erosi lahan lebih dari 30 di atas ambang batas toleransi.
Kriteria : Kelestarian Hasil 1.
Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari
a. Baik Potensi produksi dapat dipanen lestari. Satu kali penebangan pohon pada tahun kemudian masih dapat melakukan penebangan
pohon lagi pada berikutnya. Jumlah pohon yang dapat ditebang pada tahun kemudian sama atau lebih banyak dari jumlah pohon yang ditebang pada tahun terakhir.
b. Cukup Potensi produksi dapat dipanen lestari. Satu kali penebangan pohon pada tahun kemudian masih dapat melakukan penebangan
pohon lagi pada berikutnya. Jumlah pohon yang dapat ditebang pada tahun kemudian lebih sedikit dari jumlah pohon yang ditebang pada tahun terakhir.
c. Jelek Potensi produksi tidak dapat dipanen lestari. Satu kali penebangan pohon pada tahun kemudian tidak dapat melakukan
penebangan pohon lagi pada berikutnya.
2. Prasarana hutan
a. Baik Aksesibilitas menuju dan keluar dari lokasi HBM tinggi, yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan dari lokasi HBM menuju
ke jalan desa dengan kualitas yang baik. Kualitas jalan dari desa ke lokasi pembeli baik. b. Cukup
Aksesibilitas menuju dan keluar dari lokasi HBM sedang, yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan dari lokasi HBM menuju ke jalan desa dengan kualitas yang kurang baik. Kualitas jalan dari desa ke lokasi pembeli kurang baik.
c. Jelek Aksesibilitas menuju dan keluar dari lokasi HBM rendah, yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan dari lokasi HBM
menuju ke jalan desa dengan kualitas yang buruk. Kualitas jalan dari desa ke lokasi pembeli buruk.
3. Kesehatan usaha
a. Baik Harga tegakan atau kayu bulat dirasakan oleh pengelola HBM sudah memberikan dorongan untuk menanam pohon lagi.
98
Kegiatan penanaman, pemeliharaan penjarangan, penebangan, dan penjualan pohon berjalan berkesinambungan. b. Cukup
Harga tegakan atau kayu bulat dirasakan oleh pengelola HBM kurang memberikan dorongan untuk menanam pohon lagi. Kegiatan penanaman, pemeliharaan penjarangan, penebangan, dan penjualan pohon berjalan kurang berkesinambungan.
c. Jelek Harga tegakan atau kayu bulat dirasakan oleh pengelola HBM tidak memberikan dorongan untuk menanam pohon lagi.
Kegiatan penanaman, pemeliharaan penjarangan, penebangan, dan penjualan pohon berjalan tidak berkesinambungan.
4. Kemampuan akses pasar
a. Baik Memiliki kemampuan akses ke pasar lokal, dalam negeri dan internasional. Jumlah dan jenis pembeli lebih dari satu
perusahaan. Volume dan harga penjualan secara riil meningkat. b. Cukup
Memiliki kemampuan akses ke pasar lokal dan dalam negeri. Jumlah dan jenis pembeli lebih dari satu perusahaan. Volume dan harga penjualan secara riil meningkat.
c. Jelek Memiliki kemampuan akses ke pasar lokal. Jumlah dan jenis pembeli tidak lebih dari 3 perusahaan. Volume dan harga
penjualan secara riil tetap atau menurun.
5. Tersedia tenaga trampil
a. Baik Tersedia tenaga trampil pada seluruh kegiatan pengelolaan HBM yang mencakup kegiatan pembibitan, penanaman,
pemeliharaan penjarangan, penebangan dan penyaradan, serta penjualan. b. Cukup
Tersedia tenaga trampil paling tidak pada salah satu kegiatan pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan penjarangan dari seluruh kegiatan pengelolaan HBM yang mencakup kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan penjarangan, penebangan
dan penyaradan, serta penjualan. c. Jelek
Tidak tersedia tenaga trampil pada seluruh kegiatan pengelolaan HBM yang mencakup kegiatan pembibitan, penanaman, pemeliharaan penjarangan, penebangan dan penyaradan, serta penjualan.
6. Kontribusi terhadap
peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat
a. Baik Ada penyerapan tenaga kerja minimal dari dalam keluarga. Memiliki kaitan langsung dan tidak langsung yang kuat dengan unit
ekonomi lain. Berkontribusi signifikan dalam penurunan tingkat erosi lahan di daerah setempat. b. Cukup
Ada penyerapan tenaga kerja minimal dari dalam keluarga. Memiliki kaitan langsung dan tidak langsung yang kurang kuat dengan unit ekonomi lain. Berkontribusi kurang signifikan dalam penurunan tingkat erosi lahan di daerah setempat.
c. Jelek
99
Ada penyerapan tenaga kerja minimal dari dalam keluarga. Memiliki kaitan langsung dan tidak langsung yang lemah dengan unit ekonomi lain. Berkontribusi tidak signifikan dalam penurunan tingkat erosi lahan di daerah setempat.
Kelestarian Fungsi Ekologi Kriteria: Stabilitas ekosistem hutan dapat dipelihara dan gangguan terhadap stabilitas ekosistem dapat diminumkan dan dikelola
1. Tersedianya aturan kelola
produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas
lingkungan a. Baik
Jika terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan, yang disepakati bersama dan terdapat kesamaan pemahaman di tingkat pelaksana terhadap aturan-aturan tersebut.
b. Cukup Jika terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan yang disepakati bersama, namun belum
ada kesamaan pemahaman di tingkat pelaksana terhadap aturan-aturan tersebut. c. Jelek
Jika tidak terdapat aturan-aturan kelola produksi yang tertulis yang berwawasan lingkungan dari pengelola hutan yang disepakati bersama.
2. Ketersediaan informasi dan
dokumentasi dampak kegiatan kelola produksi terhadap
lingkungan a. Baik
Jika terdapat informasi tertulis yang sahihakurat dari pengelola hutan tentang dampak kegiataan produksi terhadap aspek-aspek lingkungan yang relevan. Kesahihan ini dapat diverivikasi dengan hasi pengamatan langsung dan atau pengetahuan masyarakat
di sekitar lokasi. Informasi tertulis ini didukung pula dengan pengetahuanpemahaman pengelola hutan mengenai hal tersebut. b.Cukup
Jika informasi tertulis atau tidak tertulis dari pengelola hutan itu kurang akurat, kurang lengkap, atau tidak terdapat konsistensi dalam pengetahuanpemahaman pelaksana lapangan.
c. Jelek Jika informasi-informasi tertulis atau tidak tertulis dari pengelola hutan itu tidak tersedia.
Kelestarian Fungsi Sosial Kriteria : Kejelasan tentang hak penguasaan dan pengelolaan lahan atau areal hutan yang dipergunakan
1. Pengelola hutanlahan adalah
pemilik lahan a. Baik
Jika seluruh anggota keompok pengelola merupakan pemilik lahan b. Cukup
Jika sedikitnya 50 anggota kelompok pengelola hutan yang merupakan pemilik lahan c. Jelek
Jika kurang dari 50 anggota kelompok pengelola hutan yang merupakan pemilik lahan
Kriteria : Terjaminnya ketahanan dan pengembangan ekonomi komunitas 1.
Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan mampu
a. Baik Jika seluruh verifier 1,2, dan 3 terpenuhi
100
101
mendukung kelangsungan hidup komunitas dalam lintas
generasi Jika hanya verifier 1 dan 2 saja yang terpenuhi
b. Cukup Jika hanya verifier 1 dan 3 saja yang terpenuhi
Jika hanya verifier 2 dan 3 saja yang terpenuhi c. Jelek
Jika tidak ada verifier yang terpenuhi
2. Penerapan teknologi produksi
dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat
penyerapan tenaga kerja, laki- laki maupun perempuan
a. Baik Jika seluruh verifier 1,2,3, dan 4 terpenuhi
Jika hanya verifier 1,2 dan 3 saja yang terpenuhi b. Cukup
Jika hanya verifier 2,3 dan 4 saja yang terpenuhi Jika memenuhi dua atau tiga verifier yang ada dengan berbagai variasinya
c. Jelek Jika ada verifier 1; atau tidak ada sama sekali verifier yang terpenuhi
3. Pola hubungan sosial yang
terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan
hutan merupakan hubungan sosial relatif sejajar
a. Baik Jika seluruh verifier 1,2,3, dan 4 terpenuhi
b. Cukup Jika hanya verifier 1,2 dan 4 saja yang terpenuhi
Jika hanya verifier 1,3 dan 4 saja yang terpenuhi c. Jelek
Jika ada verifier 1; atau tidak ada sama sekali verifier yang terpenuhi
Indikator Penilaian 5.
Status dan batas lahan jelas Baik
6. Perubahan luas lahan yang ditumbuhi tanaman
Jelek 7.
Managemen pemeliharaan hutan Jelek
8. Sistem silvikultur sesuai daya dukung lahan
Jelek 9.
Kepastian adanya potensi produksi untuk dipanen lestari Cukup
10. Prasarana hutan
Baik 11.
Kesehatan usaha Cukup
12. Kemampuan akses pasar
Jelek 13.
Tersedia tenaga trampil Cukup
14. Kontribusi terhadap peningkatan kondisi sosial dan ekonomi setempat
Baik 15.
Tersedianya aturan kelola produksi yang meminimasi gangguan terhadap integritas lingkungan Cukup
16. Ketersediaan informasi dan dokumentasi dampak kegiatan kelola produksi terhadap lingkungan
Cukup 17.
Pengelola hutanlahan adalah pemilik lahan Baik
18. Sumber-sumber ekonomi komunitas terjaga dan mampu mendukung kelangsungan hidup komunitas dalam lintas
generasi Cukup
19. Penerapan teknologi produksi dan sistem pengelolaan dapat mempertahankan tingkat penyerapan tenaga kerja, laki-laki
maupun perempuan Cukup
20. Pola hubungan sosial yang terbangun antara berbagai pihak dalam pengelolaan hutan merupakan hubungan sosial
relatif sejajar Baik
Lampiran 6 Penilaian Evaluasi Kelestarian Kebun Campuran Karacak
LULUS LULUS Dengan CATATAN
TIDAK LULUS B 50 x 16 = 8
C 25 x 16 = 4 J 25 x 16 = 4
B 25 x 16 = 4 C 50 x 16 = 8
J 25 x 16 = 4 B 25 x 16 = 4
C 50 x 16 = 8 J 25 x 16 = 4
102
Keterangan : Jumlah Penilaian Baik B
= 5 Jumlah Penilaian Cukup C
= 7 Jumlah Penilaian Jelek J
= 4 Jumlah Indikator n
= 16
Nama Pedagang Kapasitas batang
Diameter cm VolumeBtg
Harga BeliBtg Rp Jumlah Harga Pembelian Rp
Harga di Tingkat Petani Rpm3
Bagia 150 10
0,052 5.000 750.000
96.506,47 Samin 10
30 0,563
25.000 250.000
44.404,97 Maat 30
20 0,192
20.000 600.000 104.166,67
Warja 150 10
0,052 1.000 150.000
19.301,29 Zumri 40
15 0,118
15.000 600.000
127.118,64 Rata-rata
47.0000 78.299,61
Lampiran 7 Harga Kayu di Tingkat Petani 103
No Uraian
Harga Rpm3 Share
1. Petani Harga jual pohon berdiri
78.299,60 7,46
2. Pengumpul Besar
Harga jual kayu bulat 294.000
28 Biaya
177.500 16,90
Tebang dan pikul 100.000
9,52 Muat Bongkar
17.500 1,67
Sewa Mobil 60.000
5,71 Marjin Pemasaran
215.700 20,54
Keuntungan 38.200
3,64 3.
Sawmill di Desa Harga jual palet
1.050.000 100.00
Biaya 380.000
36,19
1. Upah pekerja 40.000
3,81 2. Operasional
100.000 9,52
3. Angkut ke industri 210.000
20,00 4. Biaya SKSHH
30.000 2,86
Marjin Pemasaran 756.000
72
Keuntungan 376.000
35,81
4. Industri
Harga beli palet 1.050.000
100.00 Total Biaya
557.500 53,10
Total Marjin Pemasaran 971.700
92,54
Total Keuntungan 414.200
39,45
104 Lampiran 8 Sebaran rata-rata marjin, harga dan biaya operasional pada saluran 1.
No Uraian
Harga Rpm3 Share
1. Petani Harga jual pohon berdiri
300.000 20
2. Sawmill di Desa
Harga jual palet 1.500.000
Biaya
960.000
64 1. Upah pekerja
40.000 2,67
2. Retribusi
15.000 1
3. Angkut ke industri 75.000
5 4. Biaya SKSHH
30.000 2
5. Operasional 800.000
53,33 Marjin
Pemasaran 1.200.000
80 Keuntungan
240.000 16 3.
Industri Harga beli palet
1.500.000 100.00
Total Biaya 960.000
64
Total Marjin Pemasaran 1.200.000
80
Total Keuntungan 240.000
16
105 Lampiran 9 Sebaran rata-rata marjin, harga dan biaya operasional pada saluran 2.
4
ABSTRACT
Rozalina . Analysis of Sustainability and Wood Marketing at the Mixed Garden of
Karacak Village, Leuwiliang District, Bogor. Under the Supervision of Hardjanto and Nurheni Wijayanto
The objective of this study was to analyze the sustainability of the mixed garden at Karacak in performing its current functions production, social, ecological and
examine the current marketing of wood at the mixed garden of Karacak. The study was conducted at the Village of Karacak, Bogor, from January to February
2011 by means of a survey and in-depth interviews. The management of Karacak’s mixed garden has not met the minimum requirements for the
achievement of its sustainable functions production, social, ecological and is declared to have passed with some notes. There are two marketing channels in
Karacak Village: 1 the farmer share of only 7.46 with the marketing margin of 72 at the industry level and 2 the farmer share of 20 with the marketing
margin of 80 at the industry level. The average efficiency value of marketing the people’s timber coming from Karacak’s mixed garden is 47.09. It is
concluded that the management of the mixed farm does not meet the requirements for the achievement of its sustainable functions and the marketing at the village is
not yet efficient. Keywords: mixed garden, agroforestry, marketing, sustainability
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan sebagai aset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan manfaat yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia, sosial budaya maupun
lingkungan. Hutan juga sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan harus dikelola dengan bijaksana sehingga memberikan manfaat yang
lestari untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan bahan pangan, papan dan sandang akan semakin
bertambah. Di lain pihak, luas areal pertanian semakin menurun karena banyaknya lahan yang dikonversi menjadi tempat pemukiman, industri dan
lainnya. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan sistem yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan
secara bersama-sama atau berurutan pada suatu tempat. Agroforestry
adalah ekosistem buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistem hutan dan pertanianperikanan dan peternakan melalui budidaya yang
memasukkan unsur ekosistem di atas ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistem hutan. Berbagai model agroforestry yang sudah dipraktekkan leluhur kita di
berbagai pedesaan Indonesia sejak zaman dahulu antara lain, tanaman pekarangan, ladang permanen, sistem tumpang sari, perladangan berpindah, kegiatan berburu
dan lain-lain merupakan sumber pangan mandiri bagi mereka. Model-model tersebut dapat dikembangkan pada berbagai skala rumah tangga, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional yang pada akhirnya dapat menjadi lumbung pangan terutama dalam situasi kritis seperti saat ini dan di masa
mendatang Butarbutar 2009. Ujicoba telah dilakukan dalam pengembangan model agroforestry untuk
ketahanan pangan, seperti di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus KHDTK Rarung, Nusa Tenggara Barat di mana tanaman umbi-umbian, pisang dan lain-lain
di bawah tanaman Duabanga moluccana. Jenis tanaman pangan lain yang dapat dikembangkan adalah sukun, tanaman tumpang sari seperti kacang-kacangan,
sagu di hutan alam dan bekas tebangan di tanah berawa dan lain-lain. Model lain yang pernah dikembangkan oleh Hak Pengusahaan Hutan HPH dalam bentuk
agroforestry yang disebut dengan HPH Bina Desa Hutan dengan tujuan yang
pertama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH dan yang kedua meningkatkan kualitas sumberdaya hutan dalam
rangka pengusahaan hutan yang berkelanjutan APHI 1991 dalam Butarbutar 2009.
Jauh sebelum ujicoba tersebut, model agroforestry telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu yakni berupa praktek-praktek pengelolaan sumberdaya
hutan oleh masyarakat, meskipun di bawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk
mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal dengan berbagai istilah: hutan
rakyat, hutan desa, wanatani, kebun hutan; atau yang menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, lembo di Kalimantan Timur, tembawang
di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara telah berpuluh-puluh tahun bertahan Suharjito et al. 2000.
Salah satu
model agroforestry
yang ada di Desa Kasepuhan Jawa Barat yang dikenal dengan “leuweung talun”. Kebun ini terjadi secara tidak wajar.
Lahan yang awalnya dari lahan bekas tebangan dan terbakar, secara tidak sengaja ditanami tanaman semusim dan pepohonan. Kegiatan penanaman ini pada
kenyataannya tidak melingkupi karakteristik sebuah hutan tapi justru membawa kelestarian dari ekosistem hutan. Pertumbuhan semak-semak dan tanaman liar di
sekitar leuweung talun menandakan bahwa area tersebut berupa hutan buatan manusia. Tanaman yang ditanami pada lahan tersebut berupa rambutan, nangka,
durian, petai, mangga, jengkol, kelapa, sengon, ki sampang dan kayu afrika Adimihardja 2005.
Bentuk-bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan tersebut tergantung kepada kebiasaan masyarakat setempat baik dalam jenis, teknik penanaman maupun
kelembagaannya. Praktek penggunaan lahan dalam bentuk agroforestry ini dianggap mempunyai kemampuan untuk mewujudkan fungsi ekonomi, ekologi
dan sosial Nair, 1993; Raintree, 1987 dalam Hardjanto 2003. Pola
agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem usahatani yang
insentif dalam dimensi ruang dan waktu pada sebidang tanah yang sama dengan
menanam beberapa jenis tanaman yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan ekonomi. Pola pertanaman tersebut
merupakan pilihan terbaik bagi petani saat ini. Dengan menerapkan pola pertanaman tersebut diduga petani akan memperoleh beberapa keuntungan yaitu
meminimumkan resiko yang kelak akan ditanggung petani jika terjadi kegagalan terhadap satu jenis yang diusahakan maka jenis lain masih bisa diharapkan dapat
menghasilkan, peningkatan frekuensi intensitas panen sehingga pendapatan usahatani meningkat dan lain-lain. Dengan demikian pola agroforestry tidak
hanya memberikan manfaat ekonomi saja, tetapi diduga memiliki manfaat lain yaitu manfaat sosial dan lingkungan Wardani 2004.
Berdasarkan hasil penelitian Suharjito et al 2000, produktivitas kebun karet di Jambi cukup tinggi dengan hasil yang beragam. Dibandingkan dengan
kebun karet monokultur, wanataniagroforestry memberikan hasil lain yang cukup tinggi berupa kayu-kayuan, buah-buahan serta binatang buruan. Keberadaan
semak belukar pada kebun karet dianggap sebagai input yang tidak dibeli, untuk menekan pertumbuhan alang-alang yang merupakan pesaing berat pohon karet.
Wanatani karet ini merupakan bentuk pelestarian keanekaragaman hayati yang dianggap sebagai cadangan spesies di kemudian hari.
Bagi pembangunan ekonomi daerah kecamatan Leuwiliang, kebun campuran berperan sebagai pemasok bagi industri kayu. Dalam Data Industri
Primer Hasil Hutan Kayu Kecamatan Leuwiliang Tahun 2007, kapasitas produksi industri sebesar 5520 m
3
tahun dimana produktivitas diperhitungkan 20 m
3
ha sehingga dengan kapasitas industri tersebut membutuhkan lahan seluas 2760
hatahun. Sedangkan luas areal hutan rakyat Kecamatan Leuwiliang dengan jenis tanaman campuran seluas 554,12 ha dengan jumlah pemilik lahan 6.095 orang
Dinas Pertanian dan Kehutanan 2009. Rincian keadaaan tanaman pada areal hutan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:
Keadaan tanam baru Ø ≤ 10 cm = 518,22 ha
Keadaan remaja 10 cm Ø 20 cm = 13,64 ha Keadaan tebang Ø
≥ 20 cm = 22,26 ha
Dilihat dari luas areal di atas memperlihatkan bahwa luas hutan rakyat dengan keadaan tebang di Kecamatan Leuwiliang tidak akan cukup untuk
memenuhi kebutuhan kapasitas industri yang ada di daerah tersebut sehingga industri mencari bahan bakunya ke lahan kebun campuran dimana terdapat
tanaman kayu, salah satunya adalah kebun campuran Karacak. Kayu rakyat tidak lain adalah kayu yang dihasilkan oleh rakyat dari tanah
miliknya baik berupa hutan rakyat, kebun, tegalan, pekarangan dan jenis penggunaan lahan lainnya. Kayu rakyat sudah menjadi alternatif sumber
pemenuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan, sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan produksi alam di luar Jawa dan
perhutani di Pulau Jawa. Disamping itu, tingkat kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan yang cenderung menurun dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan di
luar kegiatan usahatani menunjukkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan.
Demikian juga dengan model agroforestry berupa kebun campuran yang terdapat pada Desa Karacak Jawa Barat. Kebun campuran ini menjadi andalan
dalam kehidupan sehari-hari bagi petani mulai dari tanaman semusim hingga tanaman kayu. Namun, pada saat ini terjadi perkembangan permintaan bahan baku
industri perkayuan yaitu berupa kayu rakyat yang berpengaruh terhadap eksistensi sistem agroforestry, sehingga jika tidak dikelola secara lestari maka bahan baku
pun menjadi sulit diperoleh.
1.2 Perumusan Masalah
Kebun campuran mengalami perubahan jenis komoditi unggulan yaitu dari tanaman cengkeh menjadi tanaman manggis pada tahun 1990-an. Hal ini
dikarenakan harga dasar cengkeh di tingkat petani yang sangat murah menjadi disinsentif bagi petani untuk mempertahankan cengkehnya. Meskipun harga
manggis lebih rendah dari harga cengkeh bahkan panen manggis yang diperoleh saat ini tidaklah sebesar dulu namun petani masih mempertahankan tanaman
manggis sebagai dominansi kebun campuran. Dominansi manggis pada kebun campuran semakin kuat ketika permintaan
akan kayu dari kebun campuran meningkat. Berdasarkan penelitian Budiningsih 2008, kondisi kebun campuran Karacak seperti itu tidak terlepas dari fenomena
penebangan yang marak terjadi dalam 3 tahun terakhir. Pohon-pohon ditebang bukan hanya pohon penghasil kayu akan tetapi pohon penghasil buahpun juga
ditebangi seperti kemang, kuweni, nangka, rambutan, limus, kecapi, kupa, cempedak, dan durian. Hal ini terkait dengan keluarnya Inpres 04 Tahun 2005
mengenai pemberantasan kayu ilegal di kawasan hutan dan peredaranmya di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga para penebang beralih penebangan
ke lahan milik rakyat untuk mendapatkan kayu. Berdasarkan data UPT Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan Jawa
Barat 2007, terdapat lima belas industri perkayuan skala rumah tangga di sepanjang jalan desa, yang bernama Jalan Karacak, yang menghubungkan
Karacak dan desa-desa lainnya dengan pusat Kecamatan Leuwiliang. Pasokan kayu untuk kebutuhan produksi industri-industri ini berasal dari kebun-kebun
campuran yang berada di Karacak dan desa sekitarnya. Penduduk lokal menyebut industri perkayuan skala rumah tangga ini
dengan istilah ”rentalan kayu”. Rentalan kayu ini selain menjual jasa pemotongan kayu namun juga menghasilkan produk-produk gergajian dan kayu olahan. Untuk
memenuhi kebutuhan rentalan kayu, 8-10 pohon paling tidak ditebang dari kebun- kebun campuran setiap harinya. Aktivitas penebangan tersebut marak terjadi 3
tahun belakangan ini sehingga tidak mengherankan apabila saat ini sangat sulit bahkan mungkin tidak ada lagi kebun campuran yang masih utuh dengan
pepohonan yang besar. Menurut Hardjanto 2003, akibat semakin luasnya pasar produk barang jadi maupun setengah jadi, ternyata merangsang tumbuhnya
industri-industri kecil pada wilayah-wilayah produksi kayu rakyat sengon di wilayah Bogor.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa pertanyaan pada penelitian yaitu sebagai berikut 1 Bagaimana kelestarian kebun campuran Karacak dalam
pencapaian kelestarian fungsinya produksi, ekonomi, ekologi saat ini, 2 Bagaimana tataniaga kayu kebun campuran Karacak.
1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kebun campuran merupakan salah satu model agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Karacak sejak turun temurun. Kebun
campuran ini menjadi andalan dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
petani mulai tanaman musiman hingga tanaman kayu. Salah satu jenis tanaman kayu yang banyak terdapat pada kebun campuran Karacak adalah jenis sengon.
Ketersediaan tanaman sengon tersebut mengakibatkan munculnya industri- industri pengolahan kayu di Desa Karacak. Sesuai dengan penelitian Budiningsih
2008 yang menyebutkan bahwa tanaman sengon saat ini sulit untuk ditemukan. Hal ini diakibatkan semakin meningkatnya permintaan bahan baku kayu industri
terhadap kayu sengon kebun campuran Karacak milik petani. Peningkatan peredaran kayu Desa Karacak dapat dilihat pada Gambar 1.
135.54
35.04 71.59
171.65 226.94
50 100
150 200
250
2006 2007
2008 2009
2010
Volume m3
Tahun Peredaran Hasil Kayu Desa Karacak
Tahun 2006 - 2010
Sumber : UPT Peredaran Hasil Pertanian dan Kehutanan Jawa Barat
Gambar 1 Peredaran Hasil Kayu Karacak Tahun 2006 – 2010. Penelitian ini akan menganalisis interaksi antara kebun campuran Karacak
dengan industri pengolahan kayu melalui tataniaga kayu yang terjadi di Desa Karacak dan menganalisis kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian
fungsinya yaitu produksi, sosial dan ekologi. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk meningkatkan pengelolaan
kebun campuran dan pengetahuan tentang aspek pemasaran kayu agar dapat meningkatkan pendapatan petani. Kerangka pemikiran penelitian kelestarian dan
tataniaga kayu kebun campuran di Desa Karacak Kec. Leuwiliang ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Kebun Campuran Karacak Industri Perkayuan
Tataniaga Kayu Karacak
Analisis Parameter Kebun Campuran
Karacak Analisis Parameter
Industri Perkayuan
Kelestarian Kebun Campuran Karacak
Analisis Interaksi dengan Metode Deskriptif
Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Menganalisis kelestarian kebun campuran Karacak dalam pencapaian fungsinya produksi, sosial, ekologi saat ini.
2. Menganalisis tataniaga kayu kebun campuran Karacak.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada pihak-pihak terkait dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan
khususnya bagi petani untuk meningkatkan pengelolaan kebun campuran dan pengetahuan tentang aspek pemasaran kayu agar dapat meningkatkan pendapatan
petani.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat memiliki performansi atau kinerja yang berbeda-beda. Performansi yang dimaksud adalah produktivitas,
keberlanjutan, dan keadilan. Pada satu kasus hutannya sangat produktif, sebaliknya pada kasus yang lain kurang produktif. Pada satu kasus,
keberadaannya bermanfaat secara adil di antara anggota masyarakat, sebaliknya pada kasus yang lain ketidakadilan dirasakan oleh anggota masyarakat. Menurut
Suharjito et al. 2000, performansi tersebut antara lain dipengaruhi oleh : 1.
Sistem pengelolaan, yaitu sistem penguasaan dan pengambilan keputusan apakah secara individual atau komunal. Sistem penguasaan dan pengambilan
keputusan pengelolaan mempengaruhi responsibilitas terhadap ekonomi pasar dan model ekonomi sosialnya.
2. Orientasi usaha, apakah subsisten atau komersial. Tingkat subsistensi dan
komersialisasi merupakan ukuran responsibilitas terhadap ekonomi pasar. 3.
Jenis dan keragaman produk yang dikonsumsi atau dipasarkan merupakan respons terhadap kebutuhan dan pasar yang sekaligus mempengaruhi
performansi pengelolaannya. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI dan Multistakeholder
Forestry Programme MFP 2009 menyatakan bahwa salah satu hal yang
menjadi kendala dalam pengembangan hutan rakyat yang berkelanjutan yaitu masyarakat desa sebagian besar tingkat hidupnya subsisten, yaitu memproduksi
untuk keperluan sendiri terutama pangan. Luas kepemilikan lahan setiap keluarga umumnya sempit, kurang dari 1,0 ha dan bahkan di beberapa desa kurang dari
0,25 ha. Sudah barang tentu dengan luas lahan milik sekecil itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi kalau akan ditanami pohon yang hasilnya harus
menunggu sampai umur tertentu. Menurut Soedarwono 1976 dalam Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI dan Multistakeholder Forestry
Programme MFP 2009, sebuah keluarga tani akan hidup berkecukupan kalau
memiliki lahan sawah tadah hujan seluas minimal 1 bahu 0,64 ha dan pekarangan 0,3 ha. Oleh karena itu apabila petani tidak memiliki mata
pencaharian lain selain bertani, maka mereka akan menanaminya dengan tanaman pangan misalnya ketela pohon atau jagung dan bukan tanaman pohon-pohonan.
2.1 Agroforestry dan Pengusahaannya
Pengertian Agroforestry Istilah
agroforestry banyak dikemukakan berbagai pihak, sampai dengan
saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi “agroforestry”. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari
yang lain. Salah satu definisi agroforestry yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestry internasional ICRAF = International Centre for Research
in Agroforestry adalah Huxley, 1999 dalam Hairiah et al. 2003 :
….. sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya dengan tanaman tidak berkayu
atau dapat pula dengan rerumputan pasture, kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya lebah, ikan sehingga terbentuk interaksi ekologis dan
ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya. Prinsip penting yang harus dipegang adalah: apakah kombinasi suatu
bentuk pemanfaatan lahan tersebut memenuhi ciri-ciri dan tujuan agroforestry, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan konservasi alam? Hal tersebut akan
berbeda dengan ciri-ciri dan tujuan kegiatan murni kehutananpertanian yang lebih menekankan pada konservasi alam saja atau peningkatan produksi tanaman saja
Hairiah et al. 2003. Jenis dan Manfaat Agroforestry
Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree 1982 dalam Hairiah et al. 2003 adalah:
1. Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih tanaman danatau hewan. Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
2. Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun. 3. Ada interaksi ekonomi dan ekologi antara tanaman berkayu dengan tanaman
tidak berkayu. 4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih multi product, misalnya pakan
ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa service function, misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat
berkumpulnya keluargamasyarakat. 6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry
tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.
7. Sistem agroforestry yang paling sederhanapun secara biologis struktur dan fungsi maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya
monokultur. Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan
untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah
pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk
penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh
tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya
konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Agroforestry merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan
terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka
agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan
dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestry memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai
hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Agroforestry merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat
mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestry memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan environmental services
antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS daerah aliran sungai, mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan
mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestry dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca
di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomassa tanaman Hairiah dan Utami,
2002 dalam Widianto et al. 2003. Agroforestry
dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry
sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana
adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa
ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan
sehingga membentuk lorongpagar Hairiah et al. 2003. Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestry
kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon home garden
yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal. Pekarangan atau
kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah
sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama
beberapa tahun fase kebun. Pada fase kedua, pohon buah-buahan durian, rambutan, pepaya, pisang ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim
fase kebun campuran. Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli
setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan fase talun. Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di
bawahnya sangat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan
talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun. Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak
belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim
penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya jagung, cabe untuk satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman
semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal
ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam-
macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian atau duku. Tanaman semusim sudah tidak ada
lagi. Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga tidak produktif lagi Hairiah et al. 2003.
Sosial Ekonomi Agroforestry Pengetahuan Lokal Masyarakat
Petani telah
mempraktekkan agroforestry
selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa
mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru dan dibawa oleh orang luar. Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestry jika
mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses
dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi
penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan agroforestry
Suharjito et al. 2003. Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada
pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang
hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi
yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka.
Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.
Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumberdaya alam dan
bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam Suyarno et al.
2003. Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan
pemahaman petani sebagai pelaku utama pengelola sumberdaya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan
sumberdaya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal Sunaryo dan Joshi 2003 dalam Hilmanto 2009. Pengetahuan lokal juga dapat sebagai masukan
dalam meningkatkan kehidupan petani, baik dari segi ekonomi, ekologi dan sosialnya Mulyoutami et al. 2004 dalam Hilmanto 2009.
Ekonomi Agroforestry Menurut Gold dan Garrett 2009 dalam Ranjith et al. 2010, agroforestry
adalah pengelolaan lahan yang intensif di mana praktek pohon yang sengaja terintegrasi dengan tanaman, padang rumput, danatau dengan hewan untuk
lingkungan dan manfaat ekonomi. Agroforestry
berbasis buah dapat berpotensi dikembangkan dari buah- buahan asli yang sekarang banyak ditemukan di alam liar sebanyak sumber buah
eksotis. Kontribusi buah-buahan lokal untuk pengurangan kemiskinan dan peran vital dalam mata pencaharian masyarakat semakin banyak mendapat pengakuan
yang baik Garrity 2004; Ndoye et al 2004;. Schreckenberg et al. 2006 dalam Fentahun dan Hager 2010.
Berdasarkan penelitian Prasad et al. 2010, tumpangsari pada tanaman Eucalyptus
memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya tanaman Eucalyptus saja. Tumpangsari tahunan di pohon-pohon kayu
dibandingkan dengan kumpulan pohon kayu tunggal menawarkan keuntungan mengurangi biaya pembentukan pohon, peningkatan pendapatan selama fase tidak
produktif pohon, efisien pemanfaatan sumberdaya alam, dan pengurangan risiko dari
bencana kebakaran Garrity dan Mercado 1994 dalam Prasad et al. 2010. Couto dan Gomes 1995 dalam Prasad et al. 2010 melaporkan bahwa
hasil tumpangsari lebih tinggi dan adanya interaksi yang saling melengkapi dalam sistem Eucalyptus-kacang. Salah satu tumpangsari baris berupa jagung
tidak mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan kayu putih dan
mengurangi biaya perkebunan dengan 60. Sistem berbasis Eucalyptus tidak hanya menyediakan pendapatan reguler untuk kelangsungan petani sebelum kayu
putih dipanen 4 tahun, tetapi juga pakan untuk ternak. Budidaya tanaman yang berbeda dalam kebun dianggap sebagai strategi
petani untuk mendiversifikasikan kebutuhan hidup dan kebutuhan uang tunai mereka. Keberlanjutan sosio-ekonomi dalam pemenuhan subsisten dan tanaman
harus dipertimbangkan, seiring dengan penyempurnaan pemenuhan jenis tanaman. Dalam rangka memenuhi kebutuhan makanan dan uang tunai rumah tangga,
tanaman pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta tanaman tunai harus cukup terwakili dalam sistem Abebe et al. 2010.
Menurut Suharjito
et al 2003, Sistem agroforestry dapat dikatakan
menguntungkan apabila 1 dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2 membutuhkan jumlah
input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik
dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang
per satuan biaya faktor produksi.
2.2 Kebun Campuran
Kebun campuran bisa diartikan dalam berbagai arti tergantung pada orang yang menerjemahkannya. Kata ‘campuran’ yang terbubuhi di belakang kata
‘kebun’ bisa menjadi berbeda-beda tergantung pada jenis dominan yang terpadu di dalamnya. Secara sederhana, kebun campuran berarti kebun yang ditanami
berbagai jenis tanaman dengan minimal satu jenis tanaman berkayu. Beberapa tanaman jenis lain, berupa tanaman tahunan dan atau tanaman setahun yang
tumbuh sendiri maupun ditanam, dibiarkan hidup di kebun campuran selama tidak mengganggu tanaman pokok Martini et al. 2010.
Fithriadi et al. 1997 menyebutkan bahwa tanaman tahunan tumbuh di antara tanaman umur panjang yang belum dewasa. Sifat kebun campuran yang
terdiversifikasi juga meningkatkan konservasi tanah dan air. Dalam kebun campuran tanaman-tanaman yang tahan naungan seperti talas menempati ruang di
bawah satu meter. Ubi kayu merupakan lapisan kedua dari satu sampai dua meter, dan lapisan ketiga ditempati oleh pisang dan pepohonan.
Sistem kebun pekarangan di Pulau Jawa terutama Jawa Barat merupakan contoh pengolahan lahan yang berasal dari daerah tropika, dimana kebun
campuran ini dalam bahasa sunda disebut juga dengan talun. Kebun ini memadukan tanaman berkhasiat asal hutan dengan tanaman khas pertanian.
Kehadiran dan campur tangan manusia secara terus menerus, membuat kebun itu menjadi sistem yang benar-benar buatan, meskipun tetap bisa ditemukan sifat
khas vegetasi hutan Foresta et al. 2000. Jika dilihat dan dibandingkan antara kebun campuran dengan kebun
monokultur satu jenis, satu jenis produk pertanian yang dihasilkan kebun campuran umumnya lebih rendah produksinya dari kebun monokultur. Itulah
sebabnya kebun campuran biasanya dimiliki oleh petani yang tidak mengandalkan hasil dari satu jenis tanaman saja. Hal ini berbeda dengan kebun monokultur yang
lebih banyak dimiliki oleh petani yang sangat mengandalkan hasil yang banyak dari satu jenis tanaman yang memiliki nilai jual tinggi di pasar. Padahal harga
komoditas pertanian cukup sering berubah-ubah tergantung pada permintaan dan pasokan di pasar, yang bisa berbeda di waktu dan tempat yang berbeda.
Contohnya sewaktu harga karet jatuh pada tahun 2008, petani dengan sistem monokultur mengalami kerugian yang lebih banyak dibandingkan petani dengan
sistem kebun campuran yang memiliki produk pertanian lain yang bisa dijual seperti pinang, durian, dan aren Martini et al. 2010.
Ukuran-ukuran Kelestarian Kebun Campuran Kelestarian dalam kebun campuran ini identik dengan kelestarian hutan
rakyat. Dengan demikian ukuran-ukuran kelestarian yang digunakan adalah ukurankriteria pengelolaan hutan lestari yakni mengikuti standar pedoman
Lembaga Ekolabel Indonesia dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari PHBML.
Pengelolaan hutan berbasis masyarakat PHBM lestari diartikan sebagai segala bentuk pengelolaan hutan dan hasil hutan yang dilakukan oleh masyarakat
dengan cara-cara tradisional baik dalam bentuk unit komunitas, unit usaha berbasis komunitas koperasi dalam arti luas, maupun individual berskala kesil