Tempat dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data

bekerja pada bidang lain namun jumlahnya sedikit. Dengan demikian pendapatan responden pun relatif rendah. Tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Tingkat Pendapatan Responden Tingkat Pendapatan Rp Jumlah orang Persentase 500.000 16 53,33 500.000 - 1.000.000 11 36,67 1.000.000 - 1.500.000 2 6,67 1.500.000 1 3,33 Jumlah 30 100,00 Pengelolaan kebun campuran responden dapat dikatakan belum baik. Hal ini dapat dilihat dari perawatan dan pemeliharaannya yang belum intensif pada saat kebun campuran sedang tidak panen buah, beda halnya pada saat musim panen maka perhatianpun terpusat pada kebun tersebut. Responden memanen hasil kebun campurannya terutama buah-buahan dengan cara memborongkannya kepada tengkulak dengan harga yang biasanya jauh lebih rendah daripada dipanen sendiri dengan pemikiran agar tidak adanya biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan padahal bila kebun tersebut dikelola dengan baik dan dipanen sendiri maka akan memberikan nilai tambah untuk pendapatan responden. 5. Luasan Lahan Kebun Campuran Responden Luasan lahan yang dimiliki responden bervariasi mulai dari 0,1 ha hingga 2 ha. Luasan ini terbilang kecil sehingga jumlah dan kombinasi jenis tanaman yang ada di lahan mereka juga tidak banyak. Tentu saja hal ini berkaitan dengan produktivitas lahan. Semakin kecil luasan lahan maka semakin kecil pula produktivitas lahan tersebut. Keterangan luasan lahan responden dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada umumnya responden memiliki lahan dengan luasan yang kecil yakni berada pada stratum I sebesar 46,67 dan stratum II sebesar 40 sedangkan yang memiliki lahan 1 ha hanya berjumlah 4 orang 13,33. Tabel 8 Luasan Kebun Campuran Responden Kategori Luas Lahan ha Jumlah orang Persentase Rataan Luas Lahan ha Stratum I 0,5 14 46.,67 0,18 Stratum II 0,5 - 1 12 40.,00 0,71 Stratum III 1 4 13,33 1,75 Jumlah 30 100,00

4.3 Sejarah Kebun Campuran

Kondisi awal lahan kebun campuran berupa lahan kosong yang kritis, dimana dahulu dikelola dengan usaha perkebunan teh pada masa kolonialisme Belanda. Namun ketika Belanda meninggalkan Indonesia maka perkebunan teh tersebut tidak terpelihara lagi dan yang tertinggal adalah akar-akar teh dan lahan tampak tandus dan sangat kritis. Menurut Budiningsih 2008, Pemerintah Indonesia melakukan penertiban lahan khususnya lahan yang belum jelas status kepemilikannya seperti lahan-lahan bekas perkebunan yang dikelola Belanda sebelumnya pada tahun 1960-an. Penertiban kepemilikan lahan dilakukan secara bertahap. Ngelasir sebagai tahap awal dilakukan untuk memberi batas wilayah yang akan ditetapkan kepemilikannya. Penduduk beramai-ramai disertai aparat desa dan kecamatan menelusuri wilayah desa untuk selanjutnya tanah-tanah dikelompokkan ke dalam blok-blok dengan pembatas blok berupa batas alam seperti kali, sungai, jalan setapak. Ngerincik merupakan tahap lanjutan berupa pemberian tanda batas blok dengan menggunakan tambang atau rantai. Areal lahan yang sudah di-rincik lalu disepakati siapa yang memiliki atau berniat memiliki lahan tersebut untuk selanjutnya dikelola. Lahan-lahan yang relatif subur lebih awal diakui kepemilikannya. Lahan-lahan yang sudah jelas kepemilikannya baik lahan yang subur maupun lahan kritis selanjutnya dikelola penduduk lokal yang diawali dengan tindakan menyiapkan lahan agar siap ditanami. Kondisi lahan kritis yang umumnya berada pada daerah yang miring telah mendorong sebagian besar tanah berpindah dari bagian atas ke bagian bawah atau lembah ketika hujan tiba. Lalu teras-teras dibuat petani sebagai solusi untuk mengantisipasi erosi tanah yang