63
ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Ketidakmungkinan melakukan
invansi melalui jalan militeristik, melahirkan strategi untuk menguasai melalui kebudayaan. Mahdiduri menuliskannya: Jika kebudayaannya dapat dirubah, maka
berubahlah jiwa bangsa itu. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai segala-galanya dari bangsa itu.
48
Globalisasi kebudayaan semacam ini lah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama oleh komunitas-komunitas sastra di
daerah.
D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater
D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari
Kebodohan umum saat itu merajalela di masyarakat. Koran-koran mengungkapkan pernyataan-pernyataan para pemimpin yang picik dan
menderita erosi mental. Saya tidak tahu apa-apa tentang politik, tapi saya merasa tidak bisa membiarkan erosi mental kolektif itu dibiarkan tanpa
dilawan. Sebab, sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Tapi saya juga tidak tahu ABC perlawanan terhadap teror politik semacam itu. Semakin
prihatin saya dengan keadaan, semakin saya bingung. Saya kira waktu itu saya pun akhirnya juga sakit mental: saya frustasi. Itu gawat. Seorang
seniman tidak boleh frustasi.
49
Tulisan di atas dibuat oleh WS Rendra pada tahun1987. Bukan tanpa alasan ia menuliskannya. Pada tahun tersebut, Rendra secara pribadi maupun
berkelompok Bengkel Teater mengalami masa-masa yang sulit. Dari peristiwa pencekalan beberapa pementasan kelompoknya, hingga penahanannya atas
48
Essei dari Mahdiduri, 2007, Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal sastra Boemipoetra, edisi kedua, hal.7
49
WS Rendra, dalam TEMPO, 6 Juni 1987
64
beberapa aksi seni yang dicap membahayakan oleh organ militer pendukung rejim Soeharto di masa Orde Baru. Sepanjang pengalamannya menjadi seniman teater,
atau pun sastrawan, ia memiliki catatan yang tidak menyenangkan saat diperhadapkan dengan sistem dan organ kekuasaan kala itu. Bahkan Bengkel
Teater beberapa kali mengalami pencekalan, karena dianggap dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional. Pemetasan mereka dinilai sarat dengan kritik
politik dan cenderung subversif. Rendra dan Bengkel Teater hanya sebagian dari sekian banyak seniman
dan komunitas teater yang aktif membicarakan politik di atas panggung. Pembicaraan mereka hampir seragam, mengkritik rejim Orde Baru. Selepas
runtuhnya Orde mereka tiba-tiba disadarkan akan hilangnya musuh bersama. Di tengah kegamangan masa transisi politik di negeri ini, para seniman dan
komunitas teater mereka mulai bergegas untuk mencari orientasi, di antara sisa- sisa “pekerjaan rumah” yang ditinggalkan oleh penguasa di masa lalu.
Bukan hal yang mengejutkan bila kita mendapati isu-isu yang berkembang selepas reformasi, terkesan mirip antara satu bidang kesenian dengan bidang
kesenian yang lain. Lihatlah bidang sastra. Bidang ini masih membicarakan kritik pada praktek politik negeri ini, walau fase reformasi telah dilampaui. Namun tidak
lagi menunjuk Soeharto sebagai target kritik. Target kritik menjadi lebih menyebar. Terutama pada praktek pemerintahan yang belumlah beres, meskipun
reformasi sudah tercapai. Para seniman dan kelompok teater, yang dulu kerap membawakan permasalahan politik ke atas panggung di kisaran tahun 80-an dan
90-an, mulai melihat kondisi sosial-politik kontemporer masyarakatnya. Sebutlah teater Gandrik yang mementaskan Sidang Susila berisi kritik terhadap undang-
65
undang anti-pornografi pada tahun 2008, juga pementasan mengenai korupsi yang berjudul Tangis pada tahun 2014. Ada pula Teater Gapit atau yang kini lebih
dikenal sebagai Lungid, masih setia mementaskan cerita-cerita mengenai masyarakat kelas masyarakat pinggiran, atau kelas bawah yang dikorbankan demi
program-program pembangunan pemerintahnya.
50
Mengenai perubahan ini, Barbara Hatley seorang peneliti dari Australia mendapati bahwa sesungguhnya jalinan ‘organik’ antara kelompok teater dengan
kondisi kontemporer, ataupun dengan kelompok-kelompok sosial yang berlawanan, sudah tidak nampak lagi.
51
Mereka terlalu sibuk untuk mengambil alih kembali hak mereka di ruang publik, terutama untuk bercerita dan
mendengarkan cerita-cerita tentang mereka sendiri dan membangun identitas sendiri.
52
Hal tersebut cukup lumrah, karena memang sejak kemerdekaan, seni pertunjukan Indonesia selalu saja mengalami proses perubahan, meliputi berbagai
rekayasa, penemuan kembali, aktualisasi kembali, penciptaan kembali, dan reka- cipta karya kesenian.
53
D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal
Dalam proses penciptaan kembali, termasuk proses mencari musuh baru, seni pertunjukan terutama teater berusaha untuk melakukan kerja-kerja kolaboratif
dengan masyarakat di tingkat akar rumput. Tujuannya tidak hanya bermain di lapangan kesenian, akan tetapi juga masuk kedalam rumah-rumah persoalan
50
Barbara Hatley, 2014, Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 28
51
Barbara Hatley, 2014, hal. 29
52
Barbara Hatley, 2014, hal. 36
53
Julianti L Parani, 2011, hal. 7
66
masyarakat. Berbasis pada apa yang masyarakat hadapi itulah, maka mereka berupaya mengidentifikasi musuh baru yang hendak mereka kritisi, serta gerak
perjuangan semacam apa yang paling pantas untuk disuarakan di atas panggung. Dalam sebuah workshop yang diadakan Universitas Sanata Dharma pada tahun
2010, pembicaraan mengenai orientasi seni pertunjukan dibicarakan secara khusus. Para peserta workshop beranjak dari ekplorasi identitas dan pemasalahan
lokal masing-masing terlebih dahulu. Hampir semua peserta, yang terdiri dari para seniman dan pegiat seni
pertunjukan, khususnya teater memindai gerak kesenian komunitasnya masing- masing, dan membicarakannya pada forum. Kebanyakan karya yang
dipresentasikan bersumber dari kegelisahan atas kondisi yang terjadi pada masyarakatnya. Mereka merespon kondisi masyarakat melalui proses berkarya
yang serius. Kita bisa mendapati bahwa di Aceh, karya yang dihasilkan merupakan tanggapan atas peristiwa konflik dan tsunami yang sempat melanda
mereka. Adapula karya dari komunitas pertunjukan di Bali, dan Yogyakarta, yang masing-masing menghaturkan temuan dan tanggapannya melalui karya-karya
teater yang sangat khas dengan budaya mereka masing-masing. Untuk memberi gambaran yang mendekati utuh, ada baiknya kita
membahas beberapa kecenderungan karya yang diciptakan oleh para seniman dan komunitasnya, sebagai bagian dari respon terhadap kondisi masyrakatnya. Di
Aceh, teater menjadi salah satu mekanisme pemulihan trauma. Salah satu komunitas teater yang fokus memperhatian permasalahan semacam itu di Aceh,
adalah Komunitas Tikar Pandan. Komunitas ini menginisasi lokakarya teater partisipatif yang melibatkan para korban konflik GAM dan TNI dan Tsunami
67
Aceh.
54
Lokakarya pada tahun 2007, yang diselenggarakan oleh komunitas tersebut itu menghasilkan sebuah produksi teater yang bertujuan untuk
memulihkan masyarakat dari trauma, dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik.
Sedangkan di Bali, fokus seusai masa Orde Baru adalah kearifan lokal, adat daerah dan industri pariwisata. Bagi masyarakat Bali, seni pertunjukan tidak
bisa dijauhkan dari laku hidup sehari-hari. Terlebih lagi, karena Bali adalah tujuan wisata dunia, maka Bali dirasa tidak akan pernah kekurangan ide maupun pelaku
seni pertunjukan. Pasca reformasi, permasalahan yang dihadapi adalah makin massifnya budaya luar yang semakin lama diadopsi oleh masyarakat Bali sendiri.
Sebuah resiko yang harus dihadapi, kala Bali membuka diri terhadap datangnya wisatawan yang juga dibarengi datangnya budaya mereka ke Bali. Maka
muncullah Ajeg Bali yang mengajak masyarakat Bali untuk kembali pada inti nilai-nilai kebudayaannya.
55
Selain itu, dunia seni pertunjukan Bali semakin berani mengajak para seniman untuk menyatakan sikap politik meraka, dalam
setiap karya yang dibuatnya. Lantas di Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah yang dinamika gerakan
keseniannya cukup dinamis, di sana lahir karya-karya yang terbuka dan berani melakukan eksplorasi pada medium baru. Teater Garasi salah satunya. Mereka
sudah meninggalkan format teater konvesional, dengan format yang lebih baru, dengan memadukan unsur-unsur seni instalasi di dalamnya. Secara gagasan,
54
Reza Idria, 2014, Dua Panggung Pertunjukan di Aceh: Dari Konflik Negara ke Konflik Syariat, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal
.206
55
Brett Hough, 2014,Komunitas dan Kancah Budaya di Bali, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 147