Negosiasi Kethoprak Garapan KETHOPRAK YANG BERBICARA BUKAN DI PANGGUNG

91 yang diperkenalkan oleh bangsa Belanda, namun keberadaan alat musik gamelan, adalah keharusan bagi pertunjukan kethoprak. Kethoprak konvesional dari waktu ke waktu mengalami perubahan, karena kethoprak sendiri sangat terbuka pada hal-hal baru, meski masih memegang erat prinsip tradisi. Bila pada masa penjajahan Belanda, kethoprak sudah mengecap alat musik lainnya sebagai pengiring, namun pada masa kini, format tersebut tetap masuk dalam jenis kethoprak konvensional. Cirinya pun mulai sedikit bergeser. Bondan Nusantara, mengutarakan bahwa pada masa kini yang disebut sebagai kethoprak konvensional, memiliki ciri : a Tidak menggunakan skenario atau naskah penuh, b Dramatika lakon mengacu pada wayang kulit purwa, c Dialog bersifat improvisasi, d Akting dan bloking bersifat intuitif, e Tata busana dan tata rias realis, f Musik pengiring: gamelan Jawa slendro dan pelog, g Menggunakan keprak dan tembang, h Lama pertunjukan sekitar 6 jam atau lebih, dan i Tema cerita dan pengaluran bersifat lentur. 82 Seiring berjalannya waktu, ada kebutuhan untuk menyesuaikan pertunjukan kethoprak dengan perkembangan jaman. Pertimbangan mengenai mempertahankan format kethoprak dengan format awal, atau mengembangkannya sesuai dengan tuntutan jaman, menjadi perdebatan yang cukup alot. Sehingga lahirlah format kethoprak garapan, sebagai pengembangan dari kethoprak konvensional yang sudah ada sebelumnya. Bondan Nusantara menceritakan ihwal pencetusan awal keberadaan kethoprak garapan. Seingatnya, keputusan untuk mengembangkan kethoprak garapan terjadi dalam sebuah lokakarya kethoprak pada tahun 1974. Ia sangat ingat betapa sulitnya mengajak para seniman 82 Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3 92 kethoprak konvensional, untuk mau mengembangkan kesenian itu ke bentuk yang lebih baru. 83 Lokakarya tersebut diisi dengan perdebatan yang cukup sengit antara kubu yang menolak dan kubu yang mendukungnya. Pada saat itu, para seniman dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan Semacam: “apakah kethoprak harus stagnan, dengan gaya konvensionalnya? Atau dapat lebih luwes agar dapat mengikuti perkembangan jaman?”. Bondan mengatakan “saya berpihak pada yang kedua, maka muncul istilah kethoprak garapan. Yaitu kethoprak yang terbuka pada idiom-idiom baru, artinya pakai keprak boleh, tidak pakai keprak juga boleh. Silahkan saja kalau ingin memakai musik modern. Karena bila kethoprak konvensional hanya bisa memakai gamelan. Sedangkan kethoprak garapan boleh melakukan percampuran alat musik pentatonis-diatonis. Bahasa yang dipakai juga boleh bahasa serampangan. Sedangkan kethoprak konvensional harus memakai bahasa Jawa yang baik dan benar”. 84 Jikalau kita menelusuri lagi, kethoprak sendiri dari semenjak awal hingga prosesnya saat ini, selalu mengalami perubahan. Selalu mencari bentuk baru yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya. Iswantoro melihat fenomena itu secara lebih lunak. Ia mengatakan bahwa kethoprak dalam perkembangannya, pasti terus mengalami pemberontakan. Bahkan menurutnya, kethoprak semenjak kelahirannya, bersifat terbuka. Sehinggga dapat menerima pengaruh dari berbagi cabang seni pertunjukan atau cabang seni manapun. 85 Pengaruh yang nyata terjadi dalam kethoprak garapan adalah adanya perpaduan dengan aspek-aspek kesenian 83 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 84 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 85 AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 3 93 lain. Aspek seperti bahasa, musik pengiring, setting, lakon, serta berbagai tradisi yang lazim hadir dalam pertujukan seni lainnya. 86 Mengenai aspek bahasa yang digunakan dalam kethoprak garapan, Bondan nggarisbawahinya. Bila dalam kethoprak konvensional, bahasa Jawa baku lah yang mesti digunakan, lain halnya dengan kethoprak garapan. Agar dapat menjangkau penonton dari berbagai kalangan, maka aspek ini harus dipertimbangkan dengan lebih bijak. Misalnya saja, bila ternyata penontonnya mayoritas bukan orang Jawa, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Hal tersebut sah dilakukan dalam kethoprak garapan. Meskipun penggunaan bahasa Jawa jauh lebih diprioritaskan prosentasenya. Pada prinsipnya, bahasa merupakan media berkomunikasi dengan penonton. Sebaik apapun kita membuat sebuah lakon, akan tetapi bila tidak komunikatif terhadap penonton, semua menjadi percuma tandasnya. Pesan yang ingin disampaikan menjadi sia-sia. Dari kesemuanya, yang paling penting adalah bagaimana sebuah pesan dapat tersampaikan kepada penonton. Bondan menekankan bahwa ketoprak merupakan media penyadaran, tidak sekedar asal main. Walaupun disampaikan dengan cara yang santai dan penuh guyon, tapi pesan harus kemas secara serius. Bagi kethoprak, pesan dan bahasa adalah senjatanya. 87 Baso Rangga, salah satu pegiat kesenian ini menerangkan bahwa naskah kethoprak garapan dibuat jauh lebih ringan ketimbang kethoprak konvensional. Hal tersebut ditujukan agar pesan yang dibawa dapat diterima dengan baik oleh penontonnya. Terlihat perbedaan yang cukup mencolok, antara format kethoprak 86 Bondan Nusantara, seperti dikutip oleh AfendyWidayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 5 87 Wawancara dengan Bondan Nusantara, dilakukan bulan Mei 2014. 94 garapan, dengan format kethoprak konvensional. Menurutnya, format naskah untuk kethoprak konvensional harus memperhatikan tata bahasa yang dipergunakan. Misalnya saja harus taat pada unggah-ungguh yang ada dalam budaya Jawa. Tingkatan dalam bahasa harus sangat jelas, contohnya interaksi bahasa antara Raja dengan Patih, bahasa yang digunakan Raja kepada Patih biasanya Ngoko, namun Patih harus menjawab dengan bahasa Kromo. Berbeda dengan kethoprak garapan, yang menitikberatkan pada misi tertentu, dengan pertimbangan pesan yang dibawa harus dapat jelas dipahami penonton, maka format pertunjukan semestinya tidak menghadirkan cerita yang berat, namun tetap menghadirkan ketegangan. Menurutnya, format pertunjukan harus ringan, menghibur dan informatif. 88 Meski mengalami perkembangan dalam format pertunjukannya, kesenian ini tetap mempertahankan kekhasannya. Bondan Nusantara menyatakan bahwa dari segi kuantitas, ia lebih banyak terlibat dalam karya-karya kethoprak garapan. Sejak tahun 1991, ia konsisten untuk terus mengembangkan kethoprak garapan. Melalui kethoprak format ini, ia menjadi lebih leluasa untuk membicarakan hal- hal kontekstual, tanpa harus merasa menabrak aturan tidak dapat dilakukan dalam kethoprak konvensional. Keleluasaan semacam ini juga jauh lebih mudah diterima serta dipahami oleh penonton dari berbagai kalangan, sehingga pesan dari kethoprak yang dipentaskan, dapat tersampaikan dengan baik. Dalam kethoprak garapan, kelompok usia penonton adalah pertimbangan penting. Menyadari pada masa lalu, minat penonton kethoprak sempat mengalami penurunan, maka strategi dengan memunculkan kethoprak format garapan 88 Wawancara dengan Baso Rangga, dilakukan bulan Mei 2014. 95 dianggap sebagai jawaban jitu. Kethoprak garapan dianggap sebagai kethoprak gaya baru, yang mampu mengakomodir minat banyak kalangan, terutama kaum muda. Bila generasi muda lebih berminat pada kethoprak garapan, maka generasi tua lebih banyak yang tetap mencintai kethoprak konvensional sebagai bentuk romantisme pada masa lalu. Walau pun sesungguhnya, generasi tua sudah sangat terbuka dan dapat menikmati kethoprak garapan dengan gaya baru. Ari Purnomo menggambarkan hal tersebut sebagai sebuah tantangan yang semestinya dijawab oleh para seniman kethoprak. 89 Kembali pada pembicaraan mengenai kethoprak garapan, kelebihan kethoprak semacam ini terletak dari sikap adaptifnya. Bondan memberikan alasan mengapa ia lebih condong memilih format kethoprak garapan ketimbang kethoprak konvensional. Menurutnya, kethoprak ini mampu mengakomodir hal- hal tertentu, yang hendak disampaikan dan disebarkan kepada penonton. Bondan mengakui bahwa banyak isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan. Kethoprak dapat menjadi media bagi perjuangan dengan misi dan isu tertentu. Misalnya saja isu kebencanaan, dimana ia menggunakan kethoprak sebagai media penyembuhan trauma bagi para korban bencana gempa bumi di Yogyakarta pada tahun 2006. Ia juga pernah membicarakan isu sosial-politik melalui kethoprak bersama organisasi Syarikat. Organisasi yang dibentuk untuk membicarakan masalah para mantan tahanan politik tahun 1965. Kethoprak yang merupakan bagian dari upaya mendukung pelaksanaannya terjadinya rekonsiliasi. Lantas ada pula pementasan Magersari 89 Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015. 96 yang dibuatnya, untuk membicarakan beberapa isu sekaligus, antara lain: keberagaman, kekuasaan dan ke-Jawa-an. Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem merupakan 2 dua dari sekian banyak kethoprak garapan yang secara khusus, membahas mengenai permasalahan sosial politik di Indonesia. Terutama pada masa pasca reformasi. Bukan tanpa alasan format ini dipilih. Seperti yang dijelaskan secara panjang lebar pada paragraf-paragraf sebelumnya, kethoprak garapan memiliki format bahasa yang komunikatif, ia tidak terikat pada bahasa Jawa baku, sehingga penonton yang dicakupnya akan jauh lebih banyak. Karena dapat menyentuh berbagai macam latar belakang usia, tingkat pendidikan dan juga suku karena terkadang kethoprak garapan menggunakan bahasa Indonesia. Format pertunjukan yang ringan dan menghibur, mampu menjaring minat banyak penonton. Dengan banyak hal yang menarik dan mudahnya mengunyah informasi yang disampaikan melalui kethoprak format ini, maka akan semakin mudah pula isu sosial-politik kontemporer yang dapat diwadahi melalui kethoprak garapan. Keberadaan kethoprak garapan dianggap jauh lebih cepat dan tanggap dalam merespon permasalahan yang terjadi di masyarakat. Karena format yang sedikit lebih modern dan tidak sepenuhnya patuh terhadap aturan-aturan tata krama dan tata bahasa Jawa yang kaku. Sehingga kethoprak ini dianggap dapat mewakili kondisi dan tuntutan masyarakat di jaman sekarang ini. Meski kethoprak garapan seringkali digunakan sebagai media kritik, namun kita tidak dapat semena-mena menilai bahwa semua kethoprak dengan format ini, pastilah kesenian yang kritis. Setiap lakon kethoprak, memiliki kadar kritisnya masing- masing. Namun untuk melihat sejauh mana kadar kritis yang dimiliki oleh sebuah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97 lakon kethoprak, adalah dengan melihat, apa dan bagaimana cara penyampaian pengetahuan yang dibawanya, terhadap penonton lakon tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana kekritisan kedua lakon tersebut, dan memahami apa saja yang menjadi kritik dan kegelisahan yang disampaian secara estetis itu, ada baiknya kita melanjutkan pembicaraan ini pada sub bab berikutnya.

C. Mari Menonton melalui Lakon

Pada sub bab ini, lakon Magersari dan Ledhek Bariyem masing-masing akan didedah. Sumber data yang saya dapatkan dari pengalaman menonton dan dibantu oleh data yang dituliskan dalam naskah. Saya tetap mencoba konsisten untuk menuliskan apa yang terjadi di atas panggung. Sehingga kita beberapa kali akan menemukan adanya ketidasesuaian, antara apa yang didialogkan di atas panggung, dengan naskah yang diberikan oleh para penulisnya. Perbedaan itu sudah saya konfirmasi pada para penulis. Mereka mengatakan bahwa sangat wajar bahwa bila apa yang ditulis dalam naskah, seringkali berbeda dengan apa ditampilkan selama pementasan. Hal tersebut dikarenakan adanya pengembangan selama proses latihan. Selain ilustrasi mengenai apa yang di yang terjadi di atas panggung. Pada sub bab lainnya, saya memaparkan bagaimana isu-isu tersebut bekerja melalui kethoprak garapan. Kedua lakon yang diangkat menjadi objek material dalam penelitian ini, hendak saya bahas melalui garis besar topiknya masing-masing. Bila Bondan Nusantara mengatakan bahwa isu yang dibawa oleh Magersari adalah isu keberagaman, kekuasaan dan ke-jawa-an, maka kita akan menonton lakon kethoprak garapan tersebut, melalui pemaparan di bawah ini. Pun dengan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98 kethoprak Ledhek Bariyem yang dibuat oleh Ari Purnomo, kita akan mencoba membaca konteks yang diungkapkannya, mellaui lakon tersebut. C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan Magersari. Bukan sebuah istilah baru, namun tidak semua orang mengetahui arti dari istilah tersebut. Istilah ini bisa jadi cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, salah satunya masyarakat di wilayah Yogyakarta. Bila kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, Magersari memiliki 2 dua definisi yang berbeda. Definisi pertama merujuk pada pengertian mengenai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain, atau orang yang tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu. Sedangkan definisi kedua adalah pembantu orang yang bertransmigrasi. 90 Dalam konteks Yogyakarta, Magersari merupakan orang yang tinggal di wilayah atau tanah yang dimiliki keraton Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat Sultan Ground. Sultan Ground tidak hanya dipergunakan untuk keperluan keraton semata, akan tetapi juga dimanfaatkan untuk berbagai macam kepentingan. Misalnya saja untuk kepentingan pendidikan, seperti pada penggunaan kompleks kampus Universitas Gadjah Mada UGM, ataupun kantor- kantor pemerintahan provinsi, kota dan kabupaten di wilayah DIY. Selain untuk kedua fungsi tersebut, Sultan Ground juga diperbolehkan untuk digunakan oleh pihak lain. Biasanya dipergunakan untuk tempat tinggal dan lahan untuk mencari nafkah mereka. Tanah ini lah yang kerap disebut sebagai Magersari. Pada 90 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 854 99 awalnya, Magersari merupakan tanah yang dipinjamkan oleh Sultan kepada para abdi dalem, sebagai bentuk balas jasa atas pengabdian mereka pada keraton. Namun seiring berjalannya waktu, penggunaan Magersari tidak terbatas hanya oleh para abdi dalem, namun juga oleh masyarakat luas. Status penggunaan Magersari awalnya hanya sebagai tanah dengan hak pinjam pakai. Masyarakat yang menggunakan hak Magersari tersebut harus memegang serat kekancingan, atas pengesahan dari kepala Panitikismo. Para Magersari berkewajiban membayar pisungsung setiap tahunnya. Dalam jangka waktu yang lama, para Magersari dapat meningkatkan status penggunaan tanah, menjadi pemilik tanah, melalui mekanisme jual-beli yang disesuai dengan aturan keraton. Pada awalnya tanah yang dimiliki keraton itu memiliki luas sekitar 60 dari keseluruhan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Namun seiring berjalannya waktu, luas tanah Magersari semakin menurun. Melihat kenyataan menurunnya jumlah luas tanah tersebut, pada tahun 2000 Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan peraturan baru, untuk tidak lagi menjual tanah Magersari. Keberadaan tanah dan para penghuninya ini, telah mengispirasi terciptanya lakon Magersari. Seperti pada kenyataannya, lakon ini pun bercerita tentang tanah yang dimiliki keraton, dan dimanfaatkan oleh rakyat. Namun lakon ini tidak melulu bicara mengenai masalah tanah. Akan tetapi juga banyak berbicara mengenai hiruk pikuk kepentingan, baik kepentingan rakyat, penguasa serta para pejabat yang 100 menjadi perpanjangan tangan dari penguasa. Kehirukpikukan ini menimbulkan banyak masalah, tidak hanya masalah kesejahteraan rakyat yang semestinya dipenuhi melalui penyediaan tanah, akan tetapi juga hiruk pikuk penyelewengan mandat yang dilakukan oleh tokoh pejabat. Lakon Kethoprak Magersari merupakan kethoprak yang lahir dari tangan dingin Bondan Nusantara. Ketoprak ini dipentaskan di 3 tiga wilayah Yogyakarta. Pementasan pertama diselenggarakan di kelurahan Gedongkiwo, tepatnya di nDalem Cokro Mantrijeron pada tanggal 14 Oktober 2011. Pementasan kedua di Balai Kelurahan Kricak, pada tanggal 15 Oktober 2011. Sedangkan pementasan terakhir dilaksanakan di Balai Keluarahan Jetis, pada tanggal 20 Oktober 2011. Pementasan kethoprak yang dilaksanakan secara marathon ini, mengusung tema Kethoprak Guyub Kampung. Rangkaian pementasan di beberapa titik kota Yogyakarta, sebagai bagian dari kampanye politik damai. Peristiwa politik yang pada saat itu akan berlangsung adalah Pemilihan Kepala Daerah Kota Yogyakarta. Konsep pementasan lakon kethoprak yang dilakukan di beberapa tempat dan dalam jangka waktu tertentu, bukan lah hal yang biasa. Biasanya bila sebuah lakon dipentaskan di beberapa tempat, akan dilakukan oleh komunitas atau paguyuban yang berbeda, untuk kepentingan yang berbeda, dan mengalami penerapan estetik yang berbeda dalam pementasannya. Namun berbeda dengan pementasan lakon ini. Mereka membawakan satu lakon dengan barisan pemain yang sama, format pementasan yang sama dan dilakukan di beberapa titik lokasi yang berbeda. Waroeng Raminten Mirota sebagai mitra pendukungnya, pementasan ini mengusung Guyub Kampung sebagai temanya. Rangkaian 101 pementasan tersebut digarap oleh komunitas Gerakan Seni Taruna Mataram Genitama yang bekerjasama dengan Paguyuban Seni Tradisi Kota Pastika. Pementasan lakon Magersari lakon diawali dengan penggambaran ekspresi bingung tokoh Jaya Kentus yang berdiri sendirian di sebuah plataran. Kenthus kemudian berteriak-teriak memanggil Ponija, salah satu warga. Kenthus memerintahkan Ponija untuk memanggil seluruh warga Magersari. Dengan ekspresi yang lucu, Ponija kemudian mengeluarkan sempritan atau semacam peluit, untuk memanggil warga. Serentak kemudian, panggung yang semula sunyi, langsung terdengar gaduh. Ada banyak orang yang hadir di plataran. Ponija kemudian memerintahkan mereka semua untuk duduk. Namun ada 1 satu orang yang tidak jua mau duduk. Melihat hal tersebut, Kenthus marah. Ia memerintahkan Ponija untuk memaksa Gembyang orang yang tidak mau duduk untuk duduk seperti warga lainnya. Saat Ponija memaksa Gembyang untuk duduk, Gembyang mengutarakan alasannya: ia sedang menderita bisul, dan bisul itu tepat berada di pantatnya. Namun Ponija terus saja memaksanya, karena ia sangat takut bila Jaya Kentus marah. Maka dengan terpaksa Gembyang menurutinya. Dengan gerakan yang amat pelan, Gembyang berusaha untuk duduk. Namun sepelan apapun, pada akhirnya bisulnya pecah juga. Adegan tersebut sontak membuat pecah tawa para penonton. Adegan kemudian dilanjutkan dengan dialog antara Kenthus dengan beberapa warga Magersari, terutama warga perempuan. Dari adegan tersebut,