59
kapitalisme, bukan kepentingan sastra itu sendiri. Strategi blurb misalnya, jauh lebih penting untuk membentuk minat pembaca pada sebuah karya sastra. Pasar
global pun, hadir dan berperan penting dalam popularitas beberapa karya sastra yang berhasil dialihbahasakan ke bahasa lainnya. Kekuataan kalimat “berhasil
terbit dan menjadi best seller” di negara lain, dapat menjadi magnet bagi minat pasar baca:pembaca lokal-nasional untuk memburu karya tersebut. Sehingga
pada masa sekarang ini, ketertarikan khalayak pembaca pada karya sastra, tidak selalu terletak pada kualitasnya saja. Akan tetapi juga dapat dibentuk oleh isu,
maupun strategi pasar yang diterapkan para pelaku ekonomi di dunia sastra.
C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra
Meneruskan pebicaraan mengenai salah satu karya sastra yang cukup fenomenal pada masa pasca reformasi, mungkin kita tidak akan mungkin
mengabaikan karya Ayu Utami, yaitu Saman. Karya ini mendapat sambutan yang cukup baik, dari pembaca nasional maupun internasional. Karya yang lahir dari
ajang penulisan sastra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, juga membuahkan penghargaan dari negara lain. Hal tersebut menjadi sebuah
catatan baru bagi dunia kesusastraan Indonesia. Novel Saman dianggap mendobrak ranah kesusastraan Indonesia pada awal kemunculannya, tidak lain
dan tidak bukan adalah karena isu yang diusungnya. Isu seksualitas. Meski bukan sebuah isu yang baru, namun Saman terbukti mampu menarik perhatian banyak
orang, untuk membaca dan dan membincangkannya. Kehadiran Saman perdebatan yang seru di antara para sastrawan dan pegiat sasta, karena novel ini
dianggap sebagai representasi dari Komunitas Utan Kayu KUK. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
KUK harus diakui kerap dijadikan sebagai standar dan kiblat kesusastraan dan kesenian di Indonesia. Letak komunitas yang berada di ibu kota Jakarta,
kedekatannya dengan pemerintah dalam hal ini Dewan Kesenian Jakarta, penguasaan media dan kekuatan pendanaan menjadi pendukung keberhasilan
komunitas ini, dalam membangun dirinya. Lambat laun tokoh-tokoh KUK seperti Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge, Ayu Utami, dan lain sebagainya,
menjadi patron bagi para seniman dan sastrawan di wilayah lainnya. Patronase ini diperkuat dengan dukungan Dewan Kesenian Jakarta DKJ
sebagai salah satu jaringannya. Keberadaan KUK, pada perkembangan sastra dan seni di Indonesia tidak selalu mendapatkan respon positif. Adanya banyak
perdebatan dan polemik yang hadir seiring dengan eksistensi mereka yang dianggap sebagai pusat dan standar sastra dan seni Indonesia. Gugatan mulai
bermunculan dari komunitas, sastrawan, seniman dan pegiat sastra serta seni, terhadap “pemusatan” pada KUK. Dengan beragamnya kekhasan dan
kepentingan dari sastra dan seni di Indonesia, sepertinya muskil bila perkembangan sastra pada akhirnya mengikuti jejak KUK. Standarisasi dan
pemusatan sastra yang terletak pada KUK, melahirkan kondisi yang tidak sehat dalam dunia sastra. Tanggapan terhadap KUK sendiri sangat beragam. Dari
merayakan, menyambut gembira, hingga melawannya karena dinilai sebagai pusat sastra.
Gerakan perlawanan terhadap pemusatan sastra Komunitas Utan Kayu KUK, banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas sastra di daerah-daerah.
Komunitas-komunitas ini hadir sebagai tandingan, dan menyatakan sikap menolak keberadaan hegemoni sastra yang terpusat. Jurnal Boemipoetra yang digawangi
61
beberapa sastrawan dan pegiat sastra di daerah, menjadi ikon gerakan tersebut. Babat Hutan Kayu
45
, menuliskan essai mengenai apa yang sesungguhnya mereka kritisi dari KUK. Keberadaan komunitas sastra daerah sebagai oposisi dari KUK,
dipetakan melalui beberapa perbedaan yang singnifikan di antara keduanya. Perbedaan permasalahan antara komunitas sastra daerah dan KUK, adalah satu:
pendanaan komunitas biasanya didapatkan dari kantong para anggotanya patungan, sedangkan KUK mendapatkan dana dari donor asing. Kedua:
komunitas sastra berorientasi pada permasalahan kerakyatan dan membumi. Ketiga: KUK melalui sepakterjangnya, melegitimasi diri sebagai pusat sastra,
sedangkan komunitas sastra mementahkannya dengan slogan “Sastra Tanpa Pusat Sastra”. Keempat: identitas komunitas sastra berorientasi pada lokalitas dan
nasional, lain halnya dengan KUK yang berorientasi pada kapitalisme dan seksualitas.
46
Gerakan melawan KUK, melahirkan maklumat, yang dikenal sebagai pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung, yang dilaksanakan pada tanggal 20-22
Juli 2007, di daerah Serang Banten. Isi dari maklumat tersebut yaitu: 1. Menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas
yang lainnya. 2. Menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika.
3. Menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh 138 orang sastrawan dan para penggiat komunitas-komunitas sastra dari seluruh Indonesia.
Keberadaan Joernal Boemipoetra sendiri cukup menarik perhatian banyak pihak. Tulisan-tulisan yang terdapat dalam journal ini sering dipandang urakan
45
Nama pena dari Wowok Hesti Prabowo
46
Essei dari Babat Hutan Kayu, 2007, Sastra Tanpa Pusat Sastra, Jurnal Sastra Boemipoetra, Edisi Pertama hal.2
62
dan liar. Terutama saat menyampaikan kritik-kritiknya terhadap KUK. Muhidin M Dahlan dalam esseinya yang berjudul Jurnalisme Pamflet mengatakan bahwa
bentuk jurnalisme Boemipoetra hampir sama dengan jurnal Doenia Bergerak. Jurnal yang dibentuk oleh Mas Marco Kartodikromo. Jurnal tersebut dibuat
karena alasan ketidakpuasannya terhadap sikap Tjokroaminoto yang dianggap lembek terhadap pemerintah pada saat itu. Muhidin melihat kesamaan diksi-diksi
yang dimunculkan dalam dari kedua jurnal, yang rentang tahunnya sangat jauh itu. Bila banyak pihak yang melihat keduanya sebagai sederetan tulisan liar, penuh
kemarahan, dan jauh dari tata kesopanan, Muhidin memandang dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya kedua karya jurnalistik tersebut
lebih seperti cambuk api di tengah kelesuan dunia kesusastraan yang mengarah pada monolitisme. Seperti jargon mereka: boekan milik antek imperialis. Mereka
melawan keras pada dominator, manipulatif, agen liberalisme di lapangan kebudayaan, dengan jurus jurnalisme pamflet.
47
Perlawanan terhadap pusat sastra melalu junalisme pamflet, adalah upaya untuk mengkonter pembangunan paradigma tunggal dalam sastra. Pencarian
paradigma baru dalam sastra Indonesia, mau tidak mau pasti menghasilkan polemik tersendiri. Pembangunan paradigma baru, yang dilakukan oleh
Goenawan Muhammad dan KUK, dianggap tidak mampu mewakili permasalahan masyarakat secara utuh. Selain itu, efek globalisasi yang masuk
dalam bentuk dukungan dana internasional, dinilai sebagai bentuk lain imperialisme model baru. Mahdiduri dalam essei yang dituliskan pada Joernal
Boemipoetra menyatakan bahwa semenjak kebijakan penanaman modal asing
47
http:radiobuku.com201301jurnalisme-pamflet diunduh: 26 Oktober 2015
63
ditetapkan pada tahun 1967, segala sendi kehidupan berbangsa menjadi incaran penjajahan mereka, tak terkecuali kebudayaan. Ketidakmungkinan melakukan
invansi melalui jalan militeristik, melahirkan strategi untuk menguasai melalui kebudayaan. Mahdiduri menuliskannya: Jika kebudayaannya dapat dirubah, maka
berubahlah jiwa bangsa itu. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti menguasai segala-galanya dari bangsa itu.
48
Globalisasi kebudayaan semacam ini lah yang dikhawatirkan oleh banyak pihak, terutama oleh komunitas-komunitas sastra di
daerah.
D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater
D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari
Kebodohan umum saat itu merajalela di masyarakat. Koran-koran mengungkapkan pernyataan-pernyataan para pemimpin yang picik dan
menderita erosi mental. Saya tidak tahu apa-apa tentang politik, tapi saya merasa tidak bisa membiarkan erosi mental kolektif itu dibiarkan tanpa
dilawan. Sebab, sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Tapi saya juga tidak tahu ABC perlawanan terhadap teror politik semacam itu. Semakin
prihatin saya dengan keadaan, semakin saya bingung. Saya kira waktu itu saya pun akhirnya juga sakit mental: saya frustasi. Itu gawat. Seorang
seniman tidak boleh frustasi.
49
Tulisan di atas dibuat oleh WS Rendra pada tahun1987. Bukan tanpa alasan ia menuliskannya. Pada tahun tersebut, Rendra secara pribadi maupun
berkelompok Bengkel Teater mengalami masa-masa yang sulit. Dari peristiwa pencekalan beberapa pementasan kelompoknya, hingga penahanannya atas
48
Essei dari Mahdiduri, 2007, Sastra Indonesia dalam Skenarion Imperialisme, djoernal sastra Boemipoetra, edisi kedua, hal.7
49
WS Rendra, dalam TEMPO, 6 Juni 1987