67
Aceh.
54
Lokakarya pada tahun 2007, yang diselenggarakan oleh komunitas tersebut itu menghasilkan sebuah produksi teater yang bertujuan untuk
memulihkan masyarakat dari trauma, dan juga membuka pintu lebar-lebar bagi rekonsiliasi antar pihak yang berkonflik.
Sedangkan di Bali, fokus seusai masa Orde Baru adalah kearifan lokal, adat daerah dan industri pariwisata. Bagi masyarakat Bali, seni pertunjukan tidak
bisa dijauhkan dari laku hidup sehari-hari. Terlebih lagi, karena Bali adalah tujuan wisata dunia, maka Bali dirasa tidak akan pernah kekurangan ide maupun pelaku
seni pertunjukan. Pasca reformasi, permasalahan yang dihadapi adalah makin massifnya budaya luar yang semakin lama diadopsi oleh masyarakat Bali sendiri.
Sebuah resiko yang harus dihadapi, kala Bali membuka diri terhadap datangnya wisatawan yang juga dibarengi datangnya budaya mereka ke Bali. Maka
muncullah Ajeg Bali yang mengajak masyarakat Bali untuk kembali pada inti nilai-nilai kebudayaannya.
55
Selain itu, dunia seni pertunjukan Bali semakin berani mengajak para seniman untuk menyatakan sikap politik meraka, dalam
setiap karya yang dibuatnya. Lantas di Yogyakarta, sebagai salah satu wilayah yang dinamika gerakan
keseniannya cukup dinamis, di sana lahir karya-karya yang terbuka dan berani melakukan eksplorasi pada medium baru. Teater Garasi salah satunya. Mereka
sudah meninggalkan format teater konvesional, dengan format yang lebih baru, dengan memadukan unsur-unsur seni instalasi di dalamnya. Secara gagasan,
54
Reza Idria, 2014, Dua Panggung Pertunjukan di Aceh: Dari Konflik Negara ke Konflik Syariat, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal
.206
55
Brett Hough, 2014,Komunitas dan Kancah Budaya di Bali, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 147
68
mereka tetap setia pada pembahasan mengenai Indonesia, Jawa dan konsep- konsep rumit di dalamnya. Pasca reformasi, mendorong teater Garasi untuk
mengekplorasi tema mengenai krisis Identitas Jawa, yang terjadi setelah runtuhnya rezim dominasi Jawa a la Soeharto. Mereka mementaskannya dalam
Waktu Batu yang diproduksi pada tahun 2002, 2003 dan 2005. Serta Je.Ja.l.an, yang dipanggungkan pada tahun 2008 dan 2009. Banyaknya hal yang muncul dan
bercampur dalam produksi Waktu Batu, dikatakan oleh Yudi Ahmad Tajudin sebagai mekanisme mengamini hadirnya hibriditas yang terus berlangsung pada
identitas Jawa. Menurutnya, kejawaan bukanlah suatu identitas murni namun sebuah campuran yang dinamis dan kreatif.
56
Sedangkan pada Je.Ja.l.an mereka mencoba untuk membangun kesadaran mengenai perbenturan identitas yang
saling bertemu di jalanan, yang masing-masing terancam dihimpit oleh globalisasi dan jeratan penafsiran identitas yang sempit.
57
Kekhasan dari tiap waliyah muncul sebagai bagian dari kegelisahan yang berbeda satu dengan lainnya. Tidak seperti pada masa Orde Baru, masa pasca
reformasi telah mengembalikan gerak para seniman dan komunitas teater pada wilayah sosial-politiknya masing-masing. Gerak perubahan dunia teater
Indonesia, terutama teater di masa pasca reformasi, dilihat oleh Barbara Hatley sebagai sebuah perubahan yang signifikan. Jika pada masa Orde baru, para
seniman teater berusaha menyejajarkan dirinya untuk melakukan upaya politis dalam gerakan-gerakan perlawanan dengan basis yang lebih luas, maka kini
setelah tumbangnya musuh bersama, membuat para seniman teater lokal sibuk
56
Barbara Hatley, 2014, dalam Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, Penerbit Sanata Dharma, Yogyakarta, hal. 43
57
Barbara Hatley, 2014, hal. 44
69
membicarakan mengenai permasalahan masyarakatnya. Mereka berlomba-lomba mengkritik masalah kekuasaan politik lokal, beserta aneka ragam identitas
sosial, yang didasarkan sifat etnis, agama, kedaerahan maupun orientasi seksual, yang dirayakan dan saling bersaing.
58
Hatley menegaskan bahwa perayaan identitas sesungguhnya adalah juga bagian dari pementasan teater pada masa Orde Baru, yang diejawantahkan dalam
sebuah perlawanan politik bersama. Walaupun perlawanan itu terkadang kurang jelas dasarnya. Melihat konteks identitas lokal yang beragam dan tersebar, Hatley
melihat adanya bahaya dari seni pertunjukan yang terjebak pada perayaan dangkal atas yang lokal yang terfokus pada kepentingan sendiri. Melalui parade-parade
dengan dukungan pemerintah, para seniman dianggapnya mengambil resiko, karena mau menjadi bagian dari representasi satu daerah yang memitoskan dirinya
sendiri.
59
Kekhawatiran Hatley ada benarnya. Akan tetapi kekhawatiran semacam ini juga tidak melulu dapat diterima secara utuh. Bila menelusuri isu yang dibawa
dalam pementasan teater di hampir seluruh wilayah Indonesia, hampir semua memang berbicara tentang identitas. Baik identitas gender, agama, suku bahkan
juga seksualitas. Berkembangnya isu yang hadir di atas panggung pertunjukan teater juga melalui proses pembacaan wacana besar yang saat ini sedang marak
dibicarakan secara global. Hadirnya organisasi-organisasi penyandang dana internasional, yang mendukung produksi teater Indonesia, dapat dilihat sebagai
bagian dari pementasan isu titipan global, yang disampaikan melalui seni lokal.
58
Barbara Hatley, 2014, hal. 6
59
Barbara Hatley, 2014, hal. 38
70
Sebagai sebuah negara yang baru bangkit dari keterpurukan akibat dari rejimnya, kesenian dianggap sebagai media strategis untuk melakukan
pemberdayaan bagi masyarakatnya. Teater pun melakukan fungsi semacam itu. Banyaknya bantuan organisasi internasional untuk komunitas teater, terutama
yang ditujukan untuk melakukan kampanye dan pendidikan melalui seni, ditenggarai sebagai bentuk penanaman nilai universal yang tidak selalu sesuai
dengan nilai lokal. Membicarakan permasalahan global dengan isu yang universal di ranah teater terasa menggiurkan, karena dapat menjadi pembuka gerbang untuk
mengaktualisasikan kesenian teater yang serius di muka internasional. Namun kesempatan menggiurkan itu akan sangat membahayakan nilai lokal, terlebih lagi
bila nilai universal diamini sebagai acuan kebenaran.
E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak
E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan
Semasa kecil, saya sangat suka menonton pertunjukan kuda lumping yang disebut Ebeg
60
. Selepas saya tinggal di Yogyakarta, kesenian semacam itu memiliki nama lain, yaitu Jathilan. Namun esensinya tetap sama,
mempertontonkan para penari, lengkap dengan kuda dari kulit bambunya. Pada pertunjukan tersebut, ada satu ritual yang sangat menarik. Yaitu ritual pemangilan
roh, yang akan dengan sengaja memasuki tubuh para penari. Terus terang, dari semua alur pertunjukan jathilan, atau ebeg, bagian yang paling saya tunggu adalah
bagian ini. Pada saat para penari mengalami trans, karena proses bersatunya
60
Sebutan pertunjukan kuda lumping dari daerah Banyumas , Jawa Tengah.
71
mereka dengan roh yang dipanggil, menjadi puncak tontonan yang mendebarkan. Para penari biasanya akan menggila dan hilang kendali. Terlepas apakah yang
mereka lakukan karena pengaruh keadaan trans yang dialami atau karena trik-trik tertentu, bagi saya tontonan semacam itu sukses membuat saya berdecak kagum.
Sungguh liar dan seru. Namun keliaran dan keseruan semacam itu tidak saya dapatkan lagi pada
beberapa tahun belakangan ini. Saya teringat pernyataan yang disampaikan oleh Sutanto yang lebih dikenal sebagai Tanto Mendut, pada sebuah diskusi yang
membahas mengenai fenomena trans dalam kesenian jathilan.
61
Beliau menyatakan bahwa kesenian kita memang sudah mengalami pemotongan alias
sensor di sana-sini. Hal tersebut merupakan warisan Orde baru. Pada masa itu, semua tontonan yang dirasa “tidak pantas” akan mengalami penyensoran. Jathilan
telah masuk dalam jajaran kesenian yang layak dipromosikan di ranah pariwisata Indonesia, sebuah kesenian layak jual yang menarik bagi wisatawan. Maka
jathilan sudah semestinya dapat memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah tontonan yang sopan. Fase trans yang seringkali tidak liar dan tidak layak tonton,
pada akhirnya mengalami penyensoran, demi kepantasan.
62
Warisan peraturan yang dikembangkan pada era Orde Baru masih diteruskan hingga kini. Jathilan dipertontonkan pada publik, khususnya
wisatawan, sebagai pertunjukan seni tradisi yang eksotik. Achmad Kasim menekankan mengenai kelebihan kesenian tradisional yang terletak pada
pengolahan nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa
61
Dalam tulisan ini saya ingin membahasakan kembali pernyataan beliau, tanpa menghilangkan substansinya.
62
Pernyataan ini saya tulis dengan menggunakan bahasa saya sendiri, namun berdasar pada inti pernyataan dari bapak Sutanto.
72
etis, estetis, serta budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan
yang lebih muda.
63
Hampir sebagian besar seni tradisi memikul tanggungjawab yang sama. Kethoprak pun mengalami nasib yang sama. Menjadi kesenian
klangenan yang mesti dilestarikan. Kethoprak sebagai
klangenan, terutama pada tahun 2000-an ini menunjukan bahwa masa kelangkaan pertunjukan seni tradisi, khususnya
kethoprak telah usai.
64
Semuanya ditenggarai karena maraknya pertunjukan kethoprak dengan format yang lebih modern, lebih menarik dan lebih didukung
oleh teknologi yang jauh lebih cangggih. Kesenian ini semakin terbuka pada idiom-idiom baru. Misalnya dengan pengadopsian format panggung teater pada
pertunjukan kethoprak, menjadi salah satu hal yang membuat kesenian ini jauh lebih diterima oleh masyrakat penontonnya. Selain itu semakin besarnya
dukungan pemerintah daerah, membuka kesempatan seluas-luasnya bagi kesenian ini untuk jauh lebih berkembang ketimbang di masa sebelumnya. Program dan
kegiatan kethoprak berjalan dengan lebih berkembang.
65
Kita akan dengan mudah mendapati festival kethoprak, dari tingkat kecamatan, hingga tingkat kabupaten
kota yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Lantas ada pula pertujukkan kethoprak Mataram yang dilaksanakan setiap bulannya di Auditorium RRI
Gejayan. Belum lagi pentas-pentas kethoprak non regular yang diselenggarakan oleh komunitas-komunitas kethoprak yang menyebar di seluruh wilayah
Yogyakarta. Sungguh fase “sepi” kethoprak sudah terlewati.
63
Achmad Kasim, seperti yang dikutip oleh Afendy Widayat, 1997, dalam Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, hal. 2
64
Wawancara dengan Herwinyanto, dilakukan bulan Oktober 2015.
65
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
73
Semangat untuk menghidupkan kembali kethoprak sebagai kekayaan tradisi rakyat Jawa, sangat terasa di seluruh wilayah Yogyakarta. Penonton dari
berbagai generasi menyambut gembira, dengan hadirnya tontonannya yang dikemas sesuai dengan minat mereka. Generasi tua, yang akrab dengan jenis
pertujukan kethoprak model lama, akan lebih memilih pertunjukan kethoprak konvensional. Sedangkan generasi muda terlihat jauh lebih berminat pada
kethoprak garapan yang lebih mirip dengan pertujukan teater.
66
Semua dimanjakan dengan variasi jenis kethoprak yang dihadirkan ke hadapan mereka.
Kethoprak seringkali dipandang sebagai romatisme pada kenangan masa lalu, baik oleh generasi tua maupun muda.
Akan tetapi keberadaan kethoprak tidaklah sebatas romantisme atau kelangenan pada seni dari masa lalu. Kethoprak punya nilai lebih dari itu.
Menanggung beban sebagai seni yang mewariskan nilai tradisi, dan sebagai mekanisme penanaman nilai. Menilik kesejarahannya, kethoprak yang lahir dan
hidup pada masa penjajahan Belanda, secara luwes berusaha menyelipkan dorongan perlawanan, melalui cerita-cerita yang dipentaskannya. Kesenian ini
menjadi penggalang dukungan dan pembangun kekuatan politik rakyat yang cukup strategis. Karena dianggap membahayakan posisi penjajah, pihak Belanda
melarang pementasan kethoprak, serta membubarkan komunitas-komunitas kethoprak rakyat. Dalam waktu yang cukup lama, kethoprak mengalami mati suri.
Hingga tiba pada era penjajahan Jepang, kethoprak dihidupkan lagi. Bukan sekedar untuk fungsi hiburan, akan tetapi untuk kepentingan politik penjajah.
Pihak Jepang sangat sadar bahwa posisi kethoprak amat vital bagi kehidupan
66
Wawancara dengan Ari Purnomo, dilakukan bulan September 2015.
74
masyarakat Jawa. Kethoprak dilirik menjadi salah satu alat propaganda Jepang. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat
Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia. Mereka hendak
memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia
dibangkitkan. Guna melawan sekutu dan para elite priyayi Jawa yang menjadi perpanjangan tangan penjajah Belanda. Pihak Jepang berupaya memukul pihak
priyayi pendukung Belanda, dan menggalang dukungan bagi pihaknya. Dari kedua masa penjajahan tersebut, kethoprak diombang-ambingkan
kepentingan, baik kepentingan rakyat Indonesia, maupun penjajahnya. Baik penjajah Belanda, maupun Jepang sangat sadar akan potensi strategis politis
kesenian ini. Dengan menekan geliat kethoprak yang dirasakan membahayakan, penjajah Belanda berharap dapat menekan pula geliat perlawanan yang
dikobarkan melalui kethoprak. Lain halnya dengan pihak Jepang, terutama di kala mereka masuk ke Indonesia dan mengklaim diri sebagai saudara tua dari timur
jauh. Pihak Jepang secara asertif berusaha menghilangkan pengaruh Belanda di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Guna melunturkan pengaruh Belanda, pihak
Jepang memfungsikan kethoprak untuk mengadu rakyat kalangan bawah, dengan para priyayinya. Hingga pada saat Jepang secara jelas menjajah Indonesia,
kethoprak mengalami nasib seperti pada masa penjajahan Belanda. Kethoprak kembali dilarang karena membahayakan posisi penjajah Jepang. Kethoprak
kembali mati. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI