Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an.
5
substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang estetis.
Pada masa lalu, masyarakat nusantara Indonesia adalah masyarakat dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih
menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara.
Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti
pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.
2
Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan
sekedar tontonan atau hiburan. Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara
penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka. Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton
biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para
pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain.
Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan Desa-Kala-
Patra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan.
2
Harymawan, 1988,Dramaturgi, Bandung: Rosda, hal. 2-3
6
Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum
ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang semestinya dimasuki oleh kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak
dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan
yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret
sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik
yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana melalui pertunjukan ini.
Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas seni drama Barat tonil, dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan
dan kepentingannya sendiri.
3
Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak
pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat
gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah, berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan
dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh
3
Budi Susanto SJ, 1997, hal. 11
7
lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada saat bulan purnama.
Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya,
membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses
refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni
pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik.
Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan
selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah
pembahasan yang jauh lebih politis.
4
Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang
kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu
alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal
keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa
4
G. Subanar SJ, dalam makalah yang berjudul Sebuah Geliat dalam Dunia Ketoprak Jaman ini: Makna Simbol dan Fungsi Seni Pertunjukan di Tengah Perubahan Jaman.
8
pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai
mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa
yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda.
5
Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian
dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik
hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang
secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta.
Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu
mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan
negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan
pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu.
5
Budi Susanto SJ, 1997, hal. 31
9
Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra, musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa,
kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan
represi politik dan militer pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Berbeda dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam
radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat
khususnya etnis Jawa, kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan
Orde Baru? Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila
sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal
tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan
kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem. Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa
penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan
Kepala Daerah kota Yogyakarta Pilkada, tepatnya pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2011. Sedangkan kethoprak Ledhek Bariyem dipentaskan
10
tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum Pemilu tahun 2014 terjadi, khususnya pemilihan presiden Republik Indonesia.
Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik
kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye, maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan
mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto
SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk
mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari sebuah kekuatan politik
6
. Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas
panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap
seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario
besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan dengan seniman dan komunitas kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan
6
Budi Susanto SJ, 2012,“Memepermainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta
11
posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi.