Pengantar Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi

165 senantiasa mengarahkan pemaknaan, penilaian, dan menuntun perlakuan tertentu demi menanggapi suatu gejala atau pun ide. Pengarahannya disampaikan melalui berbagai teknik dan teknologi. Baginya, seni adalah kata kerja, bukan kata benda. 142 Sehingga seni itu selalu bermakna. Seni bukanlah sesuatu yang begitu saja mati setelah diproduksi. Seni sendiri adalah kerja tiada henti, menuju titik tertentu sebagai orientasi. Tidak ada seni yang tanpa makna nonsense Pendapat itu rasanya tidak berlebihan. Albert Camus, dalam tulisannya yang berjudul Seni dan pemberontakan, berpendapat bahwa mungkin saja kita dapat mengutuk ketidakadilan, dan menuntut suatu keadilan total, melalui perlawanan atau pemberontakan. Kala seni menuntut keadilan, tidak lantas membuat kita menilai bahwa dunia telah menjadi buruk secara total. Sama halnya pada saat seni mempertanyakan tentang kenyataan ketidakadilan, tidak lantas membuat seni menjauhi kenyataan tersebut. 143 Seni yang tidak menjauhi kenyataan dan mempertanyakan ketidakadilan, melahirkan pemberontakan. Seni selalu menghadirkan gairah untuk melawan dan memberontak. Karena sesungguhnya sebagian urgensi pemberontakan itu bersifat estetik. 144 Pemberontakan yang estetis. Sepertinya kita akan susah-susah gampang mendapatinya di wilayah kesenian. Pada bab II sempat disebutkan bahwa hampir semua lini kesenian memunculkan seniman yang lantang membicarakan pemberontakan melalui karya yang diciptakannya. Namun terlalu dini kiranya bila 142 tulisan ini dipresentasikan Lono Simatupang dalam peluncuran buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru, dengan judul “kajian tentang Seni Pertunjukan Indonesia, di Kampus II Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 5 Desember 2014. 143 Albert Camus, 1998, Seni- Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yogyakarta, hal. 9 144 Albert Camus, 1998, hal 4-5 166 kita menyatakan bahwa semua karya seni memilik karakter yang sama. Sehingga ada baiknya bila kita menunda barang sebentar, untuk membuat kesimpulan prematur tentang hal tersebut. Pada proses penundaan tadi, kita coba melihat pada lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, dan memeriksa kembali, apakah ada unsur pemberontakan di dalamnya.

C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung

Mangersari dan Ledhek Bariyem, di dalam keduanya, sekilas kita seakan mendapati lakon kethoprak yang sama dengan lakon-lakon lainnya. Standar estetiknya tidak terlalu berbeda dengan lakon lainnya. Walau ada pengembangan, dengan memasukkan unsur teknologi dan dramaturgi yang biasa digunakan dalam pertunjukan teater modern. Selain menjadi salah pentunjukan yang menghibur dengan pengembangan di beberapa titik, baik Magersari maupun Ledhek Bariyem, dipandang memiliki misi lain yang jauh lebih serius. Pandangan tersebut kiranya tidak meleset, karena keduanya memang dipentaskan dalam kaitannya dengan peristiwa politik baik di kota Yogyakarta pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan peristiwa politiknya masing-masing, kedua lakon tersebut berupanya mengajukan kritik politiknya secara khas. Kritik yang jauh lebih muah diakomodir dalam kethoprak garapan. Seperti yang diungkapkan dalam wawancara dengan Bondan Nusantara, menurutnya kethoprak format ini jauh lebih fleksibel dalam membahas isu-isu tertentu, agak berbeda dengan kethoprak format konvensional. Ia mengakui bahwa kecenderungannya memilih format kethoprak ini, adalah karena adanya misi dan pesan tertentu yang hendak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI