Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung

170 menangkap dengan mudah, bahwa pembicaraan mengenai hal itu hadir di dalam pementasan. Cerita pertikaian antar calon lurah yang berupaya mengambil kepercayaan dari masyarakatnya pun, menyinggung permasalahan kerukunan dan toleransi dalam menentukan orientasi politik mereka. Keduanya sama-sama mengarahkan khalayak penontonnya untuk tidak mengabaikan vitalnya kondisi aman, damai dan harmonis dalam masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan peristiwa politik pada saat itu. Hal tersebut hampir sama dengan filosofi Jawa yang tercermin dalam ungkapan hamemayu hayuning bawono. Secara harfiah, arti hamemayu hayuning bawono adalah membuat dunia menjadi hayu indah dan rahayu selamat dan lestari. Makna yang lebih dalam dari ungkapan ini adalah sikap dan perilaku manusia yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam lingkungannya. Muara dari sikap hamemayu hayuning bawono ini adalah terwujudnya masyarakat yang tata, tentrem, kerta raharja. 148 Sekilas tidak ada yang salah dengan nilai guyub rukun. Guyub rukun sebagai prinsip dasar hidup bermasyarakat orang Jawa, tidak bisa dibantah sebagai sebuah prinsip yang positif. Bagaimana tidak? Siapa yang akan menyangkal bahwa bila nilai kerukunan, kebersamaan dan keharmonisan antar anggota masyarakat adalah nilai yang baik dan patut dipertahankan dan dipelihara. Dengan memelihara nilai-nilai tersebut, hubungan antar anggota masyarakat, mampu menghasilkan sesuatu yang jauh lebih produktif. Karena masyarakat dapat dengan damai menjalankan hajat hidupnya, tanpa adanya konflik yang mengganggu 148 Imam Subkhan, 2007, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya, Impluse-Kanisius, Yogyakarta, hal. 60 171 mereka. Namun pada kali ini, kesadaran yang ditanamkan melalui kedua lakon tersebut, harus dilihat dalam frame yang berbeda. Seperti yang dikatakan oleh Franz Magniz Suseno, bahwa jikalau tatanan dilanggar, yang salah satunya adalah hidup rukun, maka kondisi masyarakat akan khaos. Akan tetapi kondisi rukun dan harmonis, tidak dapat menjauhkan manusia dari kondisi dasarnya, yaitu berbeda. Perbedaan acapkali menjadi titik awal dari konflik. Dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul Religious and Ethnics Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Kris Herawan Timotius mengutip pernyataan dari Dr. Rudolf Ficker, perwakilan dari OSW EED Jerman, mengenai pentingnya posisi konflik dalam kehidupan manusia. “ ... Conflicts belong to human life, there is no society without conflict, even within societies wich are religiously and ethnically more or less homogeneous one can find conflicts. To assume that there is life without conflict would be unrealistic. But this is exactly the reason why procedures for dealing with conflicts must be developed....” 149 Menurut S.N Kartikasari, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan kita. Dari tingkat mikro, antarpribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan negara, semua bentuk hubungan manusia- sosial, ekonomi dan kekuasaan- mengalami 149 Kris Herawan Timotius, 2005, Religious and Etnichs Conflicts in Indonesia: Analysis and Resolution, Satya Wacana Cristian University, Salatiga, hal. 10 172 pertumbuhan, perubahan dan konflik. 150 pada fase ini, konflik menjadi amat berguna bagi pola hubungan antar manusia, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Konflik berguna untuk menstimulasi hubungan menjadi jauh lebih produktif dan kreatif. Namun selain sisi positif itu, pada sisi yang berbeda konflik dapat bersifat destruktif, terutama bila disertai aksi kekerasan. Harus digarisbawahi bahwa konflik tidak selalu berbanding lurus dengan hadirnya kekerasan. Lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, diarahkan untuk menanamkan kesadaran semacam itu. Keduanya mengajak khalayak penontonnya, untuk mengamini bahwa hidup damai tanpa konflik adalah konsensus bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Raden Surya, dalam lakon Magersari di bawah ini: “Manggon onten kampung niku kudu nganggo landhesan werna telu. Siji, guyup rukun. Loro, ajen ingajenan. Dene sing kaping telu, nganggo tepa selira.... Kabeh niku mengku teges ”ora kena mbedak- mbedakke siji lan liyane.” ...Embuh sampeyan Jawa, Sunda, Cina, Arab napa Batak, Kabeh duwe hak padha ing bab napa mawon. .... Mulane, rehne lelakon niki pun rampung, mangga sami memuji. Mugi-mugi, Guyub Kampung niki dadi srana manunggale kabeh warga sing mapan onten kampung niki”. tinggal di kampung harus berdasar pada 3 tiga landasan. Pertama, guyub rukun. Dua, hormat menghormati. Dan yang ketiga, toleransi….semua itu artinya “tidak boleh membedakan satu dengan lainnya.” …Entah kamu orang Jawa, Sunda, Cina, Arab ataupun Batak, semua mempunyai hak yang sama pada hal apapun… Oleh karena itu, masalah ini telah sudah selesai, silahkan saling menghargai. Semoga, guyub kampung ini menjadi sarana persatuan seluruh warga yang bermukim di kampung ini. Kondisi damai tanpa konflik jelas impian banyak orang. Saat semua orang menginginkan damai, kondisi damai semacam apa yang hadir di antara mereka? apakah mereka benar-benar dapat terbebas dari konflik? Ingat Kondisi konflik 150 S.N Kartikasari, 2000, Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta, hal. 4 173 selalu dibutuhkan dalam masyarakat, untuk meningkatkan eskalasi sikap kritis. Menurut Novri Susan, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, konflik terbuka dan tanpa kekerasan, selalu menghasilkan masyarakat yang kreatif dan produktif. Upaya-upaya menciptakan kondisi konflik yang absen di masyarakat, akan mengarah pada status quo perdamaian. Kondisi semacam ini dapat berbahaya, terutama jika masyarakat sudah enggan untuk menghasilkan konflik yang produktif, semata demi menjaga guyub rukun yang ditanamkan sebagai tradisi. Merunut pada pertnyataan Novri Susan di atas, konflik diperlukan sebagai mekanisme sehat dalam bermasyarakat. Namun lagi-lagi ditekankan sejauh konflik tersebut tidak menggunakan kekerasan. Pada fase ini, kita dapat kembali menggunakan frame pembentukan blok historis. Dimana kedua lakon bekerja dengan memberi pemahaman bahwa tidak ada jalan lain dalam bermasyarakat, selain mngusung semangat guyub rukun. Pengetahuan mengenai konflik di dalam masyarakat yang kritis dan sehat, dibuat absen. Masyarakat menjadi apatis dan takut terhadap konflik. Pada kondisi selanjutnya, masyarakat cenderung menjadi tidak berani mengajukan keberatan pada perbedaan-perbedaan di antara mereka. Hanya karena takut dicap sebagai pihak yang melanggar toleransi dan prinsip kerukunan di dalam masyarakat. Alih-alih menghormati keberagaman, ajakan guyub rukun berpotensi menjadi sikap yang menyeragamkan. Guna meredam gejolak penolakan terhadap perbedaan. Keguyuban sebagai konsep ideal yang diajukan dalam kedua lakon, harus dilihat dari sudut kepentingan yang menyuarakannya. Kita tidak dapat melepaskan diri dari latar penutur konsep, maupun kepentingan yang melatarbelakanginya. 174 Kita ambil contoh pada masa Orde Baru, keguyuban, kerukunan dan toleransi acapkali digunakan untuk memperoleh kepatuhan masyarakat, demi menjaga keamanan dan ketertiban di antara mereka. Alih-alih menjaga kondisi di masyarakat, rejim menggunakan kepatuhan masyarakat guna menjaga stabilitas kekuasaannya. Konsep keguyuban digunakan sebagai mekanisme untuk menekan kemungkinan adanya perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan atas hegemoni dominan. Pada masa pasca reformasi, cara-cara penundukan semacam itu tidak benar-benar ditinggalkan. Nilai positif dari keguyuban, menjadi negatif bila digunakan untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau ketidaksetujuan pada keputusan kelas penguasa. Pada masa pementasan Magersari yaitu tahun 2011, adalah tahun dimana penguasa daerah dan masyarakat Yogyakarta sedang menunggu kepastian dari penetapan status keistimewaan wilayah ini. Ada banyak kelompok yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang kontra. Suara masyarakat terpecah. Mereka memiliki argumentasinya masing-masing. Kondisi ini yang kiranya dilihat sebagai salah satu potensi perpecahan dan konflik di masyarakat. Hingga didoronglah upaya-upaya untuk mencegah konflik, tanpa harus melalui gejolak pertentangan pendapat antar masyarakat Yogyakarta. Dalam Magersari misalnya, khlayak penonton digiring untuk menerima keistimewaan beserta pemimpinnya sebagai sesuatu yang diperjuangkan, tanpa diikuti pemikiran mengenai konsekuensi dari pilihan itu. Keadaadn itu mengingatkan kita pada ajaran sikap hidup nrimo ing pandum. Ajaran ini mengajurkan manusia untuk bersikap menyerah terhadap nasibnya, karena segala sesuatu telah ditentukan oleh nasib. Manusia sebaiknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 175 mempercayai bahwa segala macam persoalan sudah diatur oleh kekuatan gaib, yang bersifat selaras dan abadi. Seperti pada siklis auto cakra manggilingan. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia sebaiknya diselaraskan dengan tatanan alam. Karena sikap yang selaras dengan tatanan alam akan dinilai baik dan jujur. 151 Sikap positif ini, menjadi alat budaya untuk menyeragamkan pendapat yang yang beragam, menjadi sikap yang menyerahkan pada nasib, dan titah pemimpin atau penguasa. C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan Baik dalam lakon Magersari, maupun Ledhek Bariyem, keduanya menyinggung permasalahan kepemimpinan. Tidak mengherankan, karena kedua- duanya, baik secara disengaja atau pun tidak, dipentaskan pada pada masa sebelum peristiwa politik berlangsung. Pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2012, dan Pemilihan presiden Republik Indonesia pada tahun 2014. Meski dimaksudkan menjadi bentuk kampanye damai sebelum masuk pilkada, Magersari tidak terlalu banyak menyentuh permasalahan mengenai kekuasaan. Kecuali pada cerita mengenai Jaya Kenthus, yang menjabat sebagai pengelola tanah Magersari, ternyata melenceng dari amanat jabatannya. Lakon ini sekiranya hendak memotret, persoalan yang biasa kita temui pada perilaku para penguasa atau pemimpin. Jaya Kenthus berlaku sewenang-wenang pada masyarakat Magersari. Kita dapat melihatnya pada dialog yang disampaikan Raden Surya, pada Jaya Kenthus: 151 Rachmat Susatyo, 2008, hal 50-51 176 “Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula?” Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenang-wenangan Kau tau. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Lain halnya dengan lakon Ledhek Bariyem. Dalam lakon ini, Ari Purnomo menyengaja untuk membicarakan soal perebutan dominasi kekuasaan antara para calon pemimpin di wilayah Klempis Ngasem. Pertarungan antara dua kubu, mengantarkan Bariyem, yang merepresentasikan sosok rakyat, dikorbankan dan diombang-ambing oleh kepentingan para calon pemimpinnya. Erwin, salah satu pemain dalam lakon Ledhek Bariyem, memandang bahwa pertarungan kepentingan antara tokoh pak Lurah Sarjana dan tokoh Pak Warjudi lebih memperlihatkan realita politik saat ini. Seseorang akan melakukan apapun, untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Seperti kala para calon pemimpin berjibaku menjaring dukungan, melalui jalan kampanye danatau mengintervensi pilihan orang lain. Baik melalui jalan yang sesuai dengan aturannya, atau bahkan yang melenceng jauh dari jalurnya. Terbukti proses perebutan kekuasaan para pemimpin di desa Klempis Ngasem telah mengorbankan Bariyem. Mengutip kembali ujaran Ari Purnomo “ketika dua kekuatan besar beradu, maka rakyat kecillah yang akan menjadi korbannya”. Ajaran RM Pandji Sosrokartono mengenai Digdaya tanpa aji lan menang tanpa ngasorake, yang berarti sakti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 177 tanpa ajianilmu kesaktian dan menang tanpa merendahkan orang lain, seakan hanya menjadi sekedar jargon dari masa lalu. Apalagi bila dikontekskan dengan gambaran dari lakon tersebut. Membicarakan tentang politik kepemimpian negeri ini, kita tidak dapat melepaskan diri dari pembahasan mengenai sistem politiknya. Rentang waktu selama 70 tahun, setelah Indonesia merdeka, bukan waktu yang sebentar, namun juga belum dapat dikategorikan lama sebagai sebuah negara. Jatuh bangun pencarian bentuk yang paling ideal sebagai sebuah negara, merupakan tujuan jangka panjang yang tak berkesudahan. Menjadi sebuah negara, jelas menjadikan Indonesia sebagai mangkuk yang mewadahi banyak kepentingan. Dengan meletakkan suara tiap warga negara atau rakyat sebagai satu dari sebagian kesatuan penting dalam negara. Semangat untuk mendengarkan dan melibatkan seluruh rakyat dalam menentukan nasib negaranya, diusung kala Indonesia lahir pada tahun 1945. Pada tahun tersebut, dibangun sistem yang wajib mengikutsertakan setiap warga negara untuk ikut menentukan dan mengupayakan kebaikan bersama. Selepas Indonesia merdeka, negara ini menetapkan diri untuk menganut sistem politik demokrasi liberal. Sistem ini dianggap sebagai salah satu pilihan baik, dari sekian banyak jumlah sistem politik yang dianut oleh banyak negara di dunia. Semangat demokrasi tersebut termaktub dalam Maklumat Pemerintah yang keluar pada tanggal 3 November 1945. Pada maklumat disebutkan bahwa rakyat Indonesia sebagai warga negara, diberi peluang seluas-luasnya untuk berserikat dan berkumpul, dan ikut aktif dalam kehidupan berpolitik. Hingga pada tanggal 5 Juli 1945, keluar Dekrit Presiden yang merubah demokrasi liberal 178 berganti menjadi Demokrasi terpimpin. Demokrasi ini bermuara pada keputusan- keputusan Soekarno selaku presiden. Setelah tapuk kepimpinanan Indonesia beralih dari Soekarno kepada Soeharto. Demokrasi yang tadinya merupakan demokrasi terpimpin, beralih sistem menjadi demokrasi pancasila dan berlaku hingga sekarang ini. Setelah reformasi, terhitung semenjak tahun 1999, Indonesia yang masih memeluk demokrasi pancasila sebagai sistem politiknya, mulai merubah tata pelaksanaan pemilunya. Tahun 2002 merupakan pijakan politik paling berarti bagi Indonesia. Pengesahan amandemen keempat UUD 1945, berlanjut dengan perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden. Rakyat pada akhirnya dapat memilih langsung pemimpin negara mereka. Pemilu, terutama untuk melaksanakan pemilihan presiden dan wakilnya, diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Diikuti dengan penetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 mengenai pemilihan kepala daerah dan wakilnya pilkada, yang juga melibatkan rakyat secara langsung dalam prosesi pemilihannya. Pesta demokrasi, baik itu yang bersifat lokal seperti pilkada, maupun nasional seperti pemilu, setiap rakyat sebagai warga negara ikut ambil bagian. Pada kesempatan itulah, setiap orang dianggap punya suara dan andil penting dalam menentukan arah langkah bangsa ini. Keikutsertaan setiap orang untuk memilih adalah bagian dari aktualisasi kepentingan. Kepentingan di sini jelas merupakan kepentingan politik, yang berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya. Lakon Magesari dan Ledhek Bariyem sama-sama hadir dalam konteks pesta demokrasi. Keduanya baik dalam pernyataan wawancara, mupun PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 179 pertunjukan berorientasi untuk mendapatkan pemimpin dan masyarakat yang demokratis. Terutama pada Ledhek Bariyem, penonton diajak untuk jauh lebih jeli dalam memilih pemimpin mereka. Pertunjukan yang mengarahkan khalayak penontonnya, pada pola politik demokrasi. Demokrasi menaruh posisi partisipasi masyarakat sebagai hal yang vital. Terutama dengan upaya melibatkan setiap orang pada usaha-usaha untuk menentukan kebaikan bersama. Demokrasi menjadi kawan dalam perjalanan revolusi masyarakat, yang mengusung dan menjunjung tinggi nilai kebebasan freedom dan persamaan equality. Keduanya merupakan nilai yang berarti bagi hubungan sosial yang jauh lebih luas lagi. 152 Namun Alih-alih mengarahkan pada pola pikir kritis guna mencapai kebaikan bersama melalui sistem demokrasi, kedua lakon kethoprak tersebut jauh lebih sibuk mengurusi moral pemimpin yang dicitrakan melalui pertunjukannya. Masyarakat dijauhkan dari pembicaraan mengenai sistem politik, yang semakin dijauhkan dari praktik politiknya. Pembahasan moral pemimpin, dianggap jauh lebih penting, ketimbang sistem politik yang semestinya menjadi acuan bagi pelaksanaan kepemimpin politik. Perdebatan mengenai citra pemimpin, mengarahkan pada konsensus mengenai sekedar pembahasan pemimpin yang baik, dalam standar moral tertentu. Sehingga menutup kemungkinan munculnya pemimpinan yang sesuai dengan semangat demokrasi, namun tidak sesuai dengan standar moral yang dibangun melalui konsensus. Konsensus di sini dapat dipandang melalui skema hegemoni Gramsci, dimana kemungkinan pemimpin yang hadir secara berbeda dari standar moral akan dieksklusikan melalui pembangunan blok historis. Hal 152 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal.5 180 tersebut menjadi gambaran pengkhianatan terhadap politik demokratik. Sepertinya, pernyataan Chantal Mouffe mengenai politik demokratik jauh lebih masuk akal melihat kondisi tersebut. Menurutnya, politik demokratik semestinya bukan hanya sebagai perkara menegosiasikan kompromi dan persetujuan di antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Namun bertujuan untuk mencapai konsensus rasional yang sepenuhnya inklusif tanpa eksklusi atau pengecualian. 153 Politik demokratik semestinya dapat memberi ruang yang luas pada hal yang dianggap berbeda. Politik demokratik memberikan ruang agar semua orang dapat turut serta membangun potensinya, tanpa terkecuali. Sistem ini bernilai bukan karena sistem pengambilan keputusannya yang lebih baik dibandingkan sistem lain 154 , akan tetapi lebih menitikberatkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam proses demokrasi tersebut. 155 C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal Bagai disambar petir di siang bolong, Budiono, warga Prawirodirjan, Yogyakarta, terdiam ketika surat gugatan Rp 1,12 miliar diberikan padanya oleh petugas Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta, 20 Agustus 2015 silam. Dibacanya berulang-ulang surat itu. Pria 58 tahun itu terus meyakinkan diri jika surat itu salah alamat. Tapi tidak, surat itu benar-benar ditujukan untuknya. “Saya enggak pernah menyangka bakal begini,” ujar laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang duplikat kunci di pinggir Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta. 156 153 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 5 154 Sistem pengambilan keputusan keputusan dalam sistem politik demokrasi diharuskan melihatkan setiap warga negara, baik melalui mekanisme pengambilan keputusan langsung, maupun perwakilan. 155 Agus Wahyudi, 2015, Radikalisasi Demokrasi: Arah Gerakan LGBT?, hal. 3 156 http:www.rappler.comindonesia105809-pengusaha-tuntut-pkl-yogyakarta-1-miliar diakses: 28 Maret 2016 181 Petikan berita yang diambil dari situs berita online rappler.com itu cukup menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya Budiono dan 4 empat orang lainnya yang merasa bagai disambar petir, sebagian masyarakat Yogyakarta yang pun merasakan keterkejutan itu. Bagaimana tidak? Budiono yang berprofesi sebagai tukang kunci duplikat, mana mungkin dapat membayar sejumlah uang yang dituntutkan kepadanya. Budiono, Agung, Sugiyadi dan Suwarni, Eka Aryawan karena dituding telah menempati lahan yang digunakan untuk usaha mereka tanpa izin. Pengusaha itu mengklaim tanah tersebut sebagai tanah Magersari yang disewanya semenjak tahun 2011. Dengan berbekal serat kekancingan pada tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Keraton Yogyakarta, Eka menuntut kelima pedagang itu untuk pindah dari tanah yang diklaimnya. Hal tersebut mengejutkan Budiono dan kawan-kawannya. Padahal mereka sudah menempati tanah itu semenjak tahun 1960. Bahkan setelah diusut, dengan melakukan pengukuran tanah oleh pihak kecamatan, tanah Budiono dan yang lainnya tidaklah termasuk dalam luas tanah yang diklaim oleh Eka. Pada tahun 2013, kedua belah pihak sepakat dengan hasil pengukuran itu. Namun alangkah terkejutnya Budiono, ketika hampir 2 dua tahun berlalu dari kesepakatan itu, ia mendapat surat gugatan sebesar Rp 1,12 miliar. Pada akhirnya putusan sidang meminta Budiono dan yang lainnya untuk keluar dari tanah yang disengketakan. Kasus Budiono adalah satu dari sekian kasus yang terkait dengan permasalahan tanah Magersari, baik yang termasuk Sultan Ground, maupun Pakualaman Ground. Semenjak pengesahan UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY UUK, muncul permasalahan mengenai penguasaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 182 tanah di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Lantas apa hubungannya dengan lakon Magersari yang sedang diteliti ini? “Mboten Nggen kula wani mbatalke putusan sampeyan merga kula ngerti urik sampeyan Ngerti pokil sampeyan ...Sakniki, empun wancine wadi niki kula bukak Nek sejatine lemah sing dinggoni para Magersari niku dede lemah sampeyan” Tidak Saya berani untuk membatalkan keputusan anda, karena saya tahu anda curang Saya tahu kekikiran anda... sekarang, sudah waktunya persoalan ini saya bukabahwa sesungguhnya tanah yang didiami oleh para Magersari itu, bukanlah tanah anda Cuplikan dialog di atas, dituturkan oleh pemeran Karto Bendho. Seorang mantan bajingan atau mantan preman yang menentang diberlakukannya keputusan Jaya Kenthus, mengenai kenaikan uang sewa tanah Magersari sebesar 300 tiga ratus persen. Merunut pada masa pementasannya tahun 2011, semestinya penyataan Karto Bendho juga hadir dalam ruang persidangan yang memposisikan Budiono, Agung, Sutinah, Suwarni, dan Sugiadi sebagai pesakitan. Bila dalam lakon Magersari, pernyataan Karto Bendho dibenarkan dan dimenangkan oleh Raden Surya, selaku bangsawan atasan dari Jaya Kenthus, namun pada kenyataannya, Budiono dibela oleh pihak Lembaga Bantuan Hukum LBH Yogyakarta. Tidak dibela, apalagi dimenangkan oleh pemilik tanah, yaitu pihak Keraton. Hingga pada akhirnya Budiono dan kawan-kawannya harus menerima pil pahit, menghadapi keputusan pengadilan pada tanggal 11 Februari 2016, yang mengharuskan mereka keluar dari tanah yang ditempatinya. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bondan mengarahkan lakon Magersari pada ranah pembahasan mengenai peristiwa politik di tahun 2011. Dimana masyarakat kota Yogyakarta tengah bergiat memilih calon pemimpinnya. Bondan khawatir bila masyarakat kota Yogyakarta akan mengalami kekisruhan pasca PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 183 peristiwa politik tersebut. Oleh karenanya, ia bersama kawan-kawan dari Genitama bersepakat untuk membuat pementasan kethoprak keliling, dengan misi guyub rukun. Magersari sebagai judul dan tema cerita lakon, terkesan tidak mengemuka sebagai fokus utama dari keseluruhan tema pementasan keliling tersebut. Fokus dari pertunjukan ini terkesan pecah. Antara membicarakan isu tanah Magersari dan isu keberagaman untuk meredam potensi konflik. Kedua hal itu, silih berganti muncul dalam adegan dan dialog yang dipertunjukan ke hadapan penonton. Merunut dari waktu pementasan lakon Magersari yang tidak hanya berdekatan dengan peristiwa politik pemilihan kepala daerah. Pada saat yang sama kondisi provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga sedang ramai membahas pro kontra posisi keistimewaan wilayah ini. Sehingga mungkin kita bisa menarik lakon ini dalam sekian banyaknya perdebatan mengenai keistimewaan Yogyakarta. Melihat dari sisi judul, lakon ini memang sengaja mengusung satu tema khusus yang berhubungan dengan status kepemilikan tanah keraton. Meski menyentil permasalahan kerukunan, lakon ini tidak beranjak menjauh dari pembahasan pokok mengenai tanah. Kaitan tema Magersari dengan status keistimewaan Yogyakarta, diungkapkan oleh Bondan Nusantara selaku penulis naskah dan sutradara. Ia mengatakan: “Jangan lupa pada waktu itu juga kita sedang memperjuangkan tentang keistimewaan. Hal itu kita masukan dalam satu dialog khusus pada saat tokoh terakhir muncul, tokoh pangeran, bahwa Jogja ini milik raja, tanahnya milik keraton. Bila bahwa ada yang tidak sependapat, ya silahkan, Tapi faktanya kan begitu. Kalau tidak ada keraton Jogja, maka tidak akan ada kampung-kampung itu juga. secara halus bahwa tanah ini bukan milik kalian, tapi milik sultan. Sultan menghendaki ini agar tidak diperebutkan, sebagai alat untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 184 menguasai. Tapi tidak secara 100 lakon ini mengatakan bahwa ini keistimewaan. tidak.” 157 Pernyataan Bondan menyiratkan bahwa permasalahan Magersari dilihat sebagai bagian dari kepentingan untuk mengukuhkan posisi keistimewaan dan titah Raja. Ia menyatakan bahwa keistimewaan adalah hal pokok yang mesti diamini dalam konteks permasalahan pemerintahan wilayah Yogyakarta. Sehingga siapapun yang tidak setuju dengan keputusan semacam itu, harus rela untuk angkat kaki dari wilayah ini. Mendengar pernyataan tersebut, sepertinya kita tidak bisa hanya mengamini posisi lakon Magersari hanya membawa agenda untuk meredam konflik saja. Akan tetapi juga dalam kerangka keistimewaan. Magersari sendiri, sebagai bentuk pengelolaan tanah milik Sultan maupun Pakualam Yogyakarta, melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Tercatat semenjak berlakunya UU No 13 Tahun 2012 mengenai Undang Undang Keistimewaan Yogyakarta UUK, terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam hal penguasaan tanah di wilayah ini. Konsekuensi UUK tersebut adalah dinyatakannya KasultananPakualaman menjadi badan hukum khusus sehingga dapat memiliki tanah. Badan hukum ini bernama Badan Hukum Warisan Budaya dan bersifat swasta. Sejak saat itu, pihak keraton Yogyakarta mulai menginventarisir kepemilikannya atas tanah yang didasarkan pada Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Rijksblad itu berbunyi: “Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun”, artinya, “semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom hak milik, menurut UU Agraria 1870, maka tanah itu adalah milik kerajaanku”. Sesungguhnya, kedua Rijksblad itu sudah 157 Terdapat pada Bab III, hal. 155 185 dihapus oleh Sri Sultan HB IX bersama DPRD melalui Perda DIY No 3 Tahun 1984 sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Diktum IV UU No 5 Tahun 1960 UUPA. Namun dengan legalitas yang dimiliki keraton dan disahkan dalam UUK, maka kedua Rijksblad yang sebelumnya sudah dihapus oleh Sri Sultan HB IX dihidupkan kembali. 158 Dampak yang ditimbulkan dari pengaktifan kembali Rijksblad tersebut adalah mekanisme pengambilalihan kepemilikan tanah hutan, pantai, wedi kengser, tanah desa, bahkan tanah yang ditempati oleh masyarakat. Untuk tanah yang ditempati oleh masyarakat, bila hasil pemeriksaan menunjukan bahwa tanah tersebut tidak bersertifikat, maka kepemilikannya akan beralih menjadi milik KasultananPakualaman. Gerakan penertiban” tanah di Yogyakarta ini, sontak menimbulkan banyak konflik. Kasus Budiono, kasus tanah di wilayah Suryowijayan, sengketa lahan pertanian di Kulon Progo, penataan pantai Parangtritis, dan penyediaan lahan bagi pembangunan bandara di Kulon Progo, adalah sederet dari beberapa kasus lainnya. Pengaktifkan kembali Rijksblad oleh pihak Kasultanan Pakualaman, bagi sebagian pihak dianggap telah menjadikan Yogyakarta berada pada kondisi darurat agraria. Tarik menarik kepentingan antara Badan hukum dari KasultananPakualaman yang telah disahkan oleh Negara, dengan masyarakat pun tidak dapat terhindarkan. UUK dianggap menjadi semacam imunitas, hukum khusus yang memberikan kewenangan dalam pengaturan masalah tanah. Sehingga mulai tahun 2012, permasalahan tanah di Yogyakarta, telah diatur dalam peraturannya sendiri. Tidak mengikuti hukum 158 Gerakan Masyarakat Penerus Amanat Sultan HB IX, UU KEISTIMEWAAN DIY DAN HAK RAKYAT ATAS TANAH YANG DIJAMIN UUPA, http:selamatkanbumi.comdarurat-agraria-yogyakarta- tinjauan-hukum-atas-situasi-terkini diakses: 28 Maret 2016 186 positif, yang diatur dalam Undang-udang Agraria yang berlaku secara nasional. Bahkan keputusan serta eksekusi tanah di wilayah ini pun, melibatkan pihak Badan Pertanahan Negara BPN Yogyakarta. Bagi masyarakat yang langsung terlibat dengan permasalahan agraria pertanahan dengan pihak Badan Hukum Warisan Budaya, mereka tahu dampak lain dari status keistimewaan Yogyakarta. Lantas bagaimana dengan masyarakat umum lainnya? Di sini lah letak kesenian, semacam lakon Magersari bekerja. Dengan memberi pemahaman bahwa status tanah dari keraton adalah sepenuhnya milik Raja, lakon ini membentuk blok historis pada khalayak penontonnya. Masyarakat khususnya penonton diberi wejangan mengenai status tanah Magersari yang menjadi bagian dari milik keraton, sebagai tanah yang difungsikan bagi kemaslahatan masyarakat. Pesan khusus mengenai hal itu bisa didapati pada cuplikan dialog yang dituturkan oleh tokoh Raden Surya, terutama kala ia mendapati Jaya Kenthus hendak menaikan uang sewa Magersari. Demikian dibawah ini cuplikannya: Beine Kenthus. Nggonmu tak percaya ngrumat lemah sing dinggoni para Magersari iki, jebul ming kok anggo piranti nggonmu arep kemaki lan sewenang-wenang Mangka kowe ngerti. Lemah iki paring ndalem Ingkang Sinuwun marang aku. Lan kowe sing tak percaya ngrumat. Ning kena apa kok salah gunakke dinggo numpuk kesugihan? Apa kowe lali nek Ingkang Sinuwun ora tau gawe cilaka lan sengsarane kawula? ...Coba etungen. Pira akehe siti kagungan ndalem sing dililakke dinggo kawigatene kawula? Pira akehe sekolahan, rumah sakit, pasar lan papan liyane sing dibangun neng sak ndhuwure siti kagungan ndalem Ingkang Sinuwun?” Bei Kenthus. Kau aku percayakan untuk merawat tanah yang didiami oleh para Magersari ini, tapi ternyata hanya kau pakai untuk alat kesombongan dan kesewenang-wenangan Kau tahu. Tanah ini diberikan oleh Ingkang Sinuwun padaku. Dan kau lah yang aku percaya untuk merawatnya. Namun mengapa kau salahgunakan untuk menumpuk kekayaan? Apakah kau lupa bila sesungguhnya Ingkang Sinuwun tidak pernah ingin membuat celaka dan sengsara rakyatnya? Coba hitunglah. Berapa banyak tanah milik ndalem yang 187 direlakan untuk kepentingan rakyat? Berapa banyak sekolah, rumah sakit, pasar dan bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah milik ndalem Ingkang Sinuwun? Kalimat Raden Surya mengenai penggunaan tanah yang dipergunakan untuk sekolah, rumah sakit, pasar dan banyak bangunan fasilitas umum lainnya, memang tidak dapat dibantah. Namun kita tidak dapat menutup mata bahwa Badan hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta, mengambil peran untuk mengelola tanah bagi kepentingan ekonomi, dari skala kecil hingga skala besar. Kepentingan ekonomi skala besar yang melibatkan provinsi Yogyakarta, salah satunya adalah pemberlakukan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia MP3EI. MP3EI yang pada pokoknya bertumpu pada upaya untuk melakukan reorganisasi ruang dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi. 159 Masuknya Yogyakarta dalam skema MP3EI yang berskala nasional, mau tidak mau membuat wilayah ini menyiapkan segala sesuatu yang mendukungnya. Upaya untuk menyediakan “lahan” adalah salah satunya. Sebagian dari lahan ini adalah lahan yang disengketakan, misalnya lahan tambang, lahan ruang distribusi dan transportasi salah satunya bandara, lahan perhotelan dll. Kehadiran MP3EI mempertegas pola pembangunan ekonomi dan industri Indonesia yang semakin berjalan ke arah melayani korporasi raksasa dan memfasilitasi pasar bekerja. MP3EI dan mendayagunakan struktur birokrasi pemerintah menjadi panitia pelaksana di tingkat nasional, propinsi, hingga kabuapten. Dalam kasus pembangunan infrastruktur, semakin terlihat bahwa infrastruktur memang telah bergeser fungsi, oleh siapa dia dilakukan, dan untuk apa dia dibuat. Jika dulu diasumsikan bahwa infratsruktur merupakan barang publik yang wajib disediakan oleh pemerintah 159 Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, Dapatkah Indonesia Bebas dari Kutukan Kolonial? Refleksi Kritis atas MP3EI Working Paper Sajogyo Institute No. 16, Sajogyo Institute, Bogor, hal. 3 188 untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat, maka kini infrastruktur adalah barang publik yang disediakan oleh negara maupun korporasi dan digunakan utamanya untuk kepentingan industri. Apalagi, pembangunan infrastruktur dilakukan dengan cara memangkas subsidi rakyat dan menambah hutang di satu sisi, dan memberi berbagai macam fasilitas dan insentif kepada para pengusaha di sisi lain. 160 Latar belakang penyusunan MP3EI, dimulai dengan adanya kebijakan Asean China Fair Trade Area ACFTA. Pada kebijakan ini, diberlakukan pembebasan 8626 pos tarif perdagangan antara Indonesia, China, dan 5 negara ASEAN lainnya di tahun 2004, kemudian secara bertahap terus dilakukan hingga puncaknya bertambah sebanyak 1696 pos tarif di tahun 2010. Di pasar industri, Indonesia kalah menghadapi hasil industri China. Di sinilah Indonesia mengalami kerugian berupa deindustrialisasi. Respon pemerintah terhadap kondisi itu, adalah dengan mencari jalan lain, demi menaikan posisi ekonominya. Maka disusunlah MP3EI. MP3EI disusun berdasarkan optimisme pemerintah dalam melihat posisi Indonesia di mata internasional. Diharapkan keberadaan masterplan ini mendorong visi Indonesia menjadi 10 negara terbesar dunia di tahun 2025. Program ini memetakan dan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia, yang terdiri dari 6 enam pusat ekonomi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua, Bali-Nusa Tenggara. Visi yang diusung adalah Locally Integrated Globally Connected. Strategi yang diterapkan adalah menghubungkan antar pusat ekonomi termasuk daerah terpencil, agar terbangun hubungan ekonomi yang efektif. Mengusung keterhubungan secara global, MP3EI memberi peluang yang besar kepada investasi asing. Dalam MP3EI, fokus pembangunan infrastruktur berorientasi kepada sektor besar, BUMN, BUMD dan swasta besar. Di antaranya 160 Noer Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy, 2014, hal.3-4 189 mengenai kebijakan pro-liberalisasi, karena kebutuhan dana yang mencapai 4000 T sampai tahun 2004. 161 Permasalahan tanah di wilayah Yogyakarta, salah satunya Magersari, masuk dalam skema pembahasan kepentingan yang jauh lebih besar, dari sekedar isu lokal. Penerapan program dari MP3EI, mau tidak mau menjadikan isu lokal ke dalam skenario kepentingan global. Masuknya investasi asing, atas nama program percepatan pembangunan nasional, mendorong para pemilik asset lokal untuk menyediakan diri dalam roda kerja global. Lakon Magersari, memang tidak langsung menyasar pada pembicaraan mengenai program ekonomi nasional atau menyentuh tataran perbincangan mengenai kepentingan pasar global. Namun melalui bahasa dan seni lokal, pendukung lakon ini ikut andil untuk membentuk konsensus yang diamini dan dianggap sebagai kebutuhan oleh masyarakat. Lakon ini hadir pada masa Undang-undang keistimewaan sedang panas dibicarakan oleh banyak orang. Kita tidak bisa untuk tidak menghubungkannya dengan permasalahan ini. Terlebih lagi judul dan tema yang diangkat ke atas panggung pertunjukan, sangat bertautan dengan apa yang terjadi di Yogyakarta pada kala itu. Kita tidak bisa menutup mata, melihat bahwa lakon ini ada “dalam rangka” status keistimewaan Yogyakarta. Bondan Nusantara sendiri mengakuinya. Sehingga dalam kaca mata hegemoni, lakon ini ikut dalam mekanisme blok historis: melalui jalan kesenian, masyarakat khususnya khalayak penonton diajak untuk membangun kesadaran, sekaligus konsesus bersama. Pembangunan konsensus berupa: mengakui bahwa titah raja mengenai pemberlakuan Riksblad, pengambilalihan tanah dan kebijakan yang berkaitan 161 Sumber: KASTRAT, http:km.itb.ac.idsitekajian-pro-kontra-mp3ei-bagi-pembangunan- industri-nasional diakses: 28 Maret 2016 190 dengan kepentingan ekonomi global adalah keputusan berorientasi pada kemaslahatan masyarakat Yogyakarta secara umum.

D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional

Membicarakan secara panjang lebar mengenai kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, terus terang membuat saya terseret pada semesta pertanyaan mengenai apa yang diimpikan manusia Jawa pada masa lalu, dan tetap dihidupkan dimasa sekarang ini. Pertanyaan selanjutnya yang muncul dalam benak saya adalah: masih relevankan kah? Terlebih lagi bila semangat kethoprak, baik yang dipentaskan di atas panggung pertunjukan maupun melalui tutur para seniman yang terlibat di dalamnya, terkesan masih berupaya kritis terhadap permasalahan sosial politik pada masa sekarang ini. Sejarah kethoprak memperlihatkan, betapa kesenian ini tidak pernah lepas dari konteks sosial politik yang terjadi di masyarakat, di setiap jaman. Dimulai dari masa penjajahan Belanda, kesenian dicurigai sebagai bagian dari gerakan subversif. Hingga sempat mengalami pelarangan pertunjukan. Lantas pada masa penjajahan Jepang, kethoprak dipakai sebagai alat propaganda “saudara tua”, guna mengajak rakyat Indonesia untuk memusuhi para bangsawan yang pro penjajah Belanda. Konflik horizontal diciptakan melalui kethoprak. Masuk pada masa Orde Lama, saat Soekarno menduduki jabatan presiden, lanskap kesenian terbagi dalam 2 dua kelompok besar, yaitu: Lembaga Ketoprak Nasional yang berafiliasi dengan PNI, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat LEKRA yang berafiliasi dengan PKI. Di masa itu, kethoprak menjadi salah satu kesenian penting yang digunakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 191 sebagai ala pendidikan politik dan budaya rakyat. Hingga pada tahun 1965, seniman dan komunitas kethoprak yang berada dalam naungan LEKRA menerima dampak dari peristiwa besar di tahun tersebut. Mendadak kondisi politik itu, memaksa para seniman kethoprak untuk absen sementara waktu. Lantas kepemimpinan berganti, rejim Orde Baru menerapkan gaya politik budaya yang berbeda. Hampir semua wilayah kehidupan, tak terkecuali kesenian, diawasi secara ketat. Tidak boleh ada ruang bagi ideologi “terlarang” yang masuk dalam ranah kesenian. Kethoprak menjelma menjadi alat propaganda pembangunan Orde Baru. Terbukti dengan berkembangnya 2 dua kelompok kethoprak yang dihidupkan dan dibesarkan oleh organ-organ militer penguasa. Pesan dan laku lakon yang dipentaskan harus sesuai misi kekuasaan. Ketika rejim Orde Baru tumbang, dan Soeharto lengser ke prabon, momen ini dirasa menjadi angin segar. Kethoprak perlahan mulai mencari format yang sesuai dengan masyarakat dan masanya. Dinamika perjalanan kesenian ini, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, mengalami proses yang naik-turun serta lancar-tersendat. Akan tetapi dari kesemuannya, kethoprak hampir selalu memasukkan isu kehidupan masyarakatnya, salah satunya politik. Menilik kembali sejarah kethoprak, dari semenjak penjajahan Belanda, hingga seterusnya, peran seniman, sama pentingnya dengan peran-peran para guru di setiap masanya. Kethoprak pada masa sebelum Orde Baru khususnya, mengambil posisi penting dalam transformasi pengetahuan. Baik sosial, politik maupun budaya. Khusus bagi masyarakat penutur bahasa Jawa. Seniman sebagai salah satu corong kesenian, mengambil posisi sebagai pendidik dan pengemban PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 192 amanat untuk menyebarluaskan wacana, baik yang dipikirkannya secara mandiri, maupun yang dihasilkan dari buah pikir pihak lain. Mengenai penyebarluasan buah pikir yang dihasilkan oleh pihak lain, kethoprak tidak bisa menghindarinya. Sebagai kesenian yang dekat dengan rakyat, kethoprak acapkali diposisikan sebagai media untuk menyebarluarkan pandangan- pandangan tertentu. Tidak hanya pandangan yang berasal dari kearifan ajaran budaya Jawa. Pada pembahasan mengenai seniman ini, ada baiknya kita menunda untuk melihat kedua lakon yang menjadi titik sentral dalam penelitian ini. saya ingin mengajak untuk melihat porsi seniman dalam gerak kesenian mereka, dan sejauh mana posisi mereka dapat mempengaruhi pola pikir maupun pola perilaku khalayak penontonnya. Apalah artinya kesenian bila sekedar menghadirkan diri, untuk kesenian semata? Pernyataan itulah yang dimaksud Chernyshevsky. Ada dampak lebih besar, yang disasar oleh kesenian. Baik untuk tujuan ideal semacam pengabdian pada kemanusiaan, perubahan kondisi sosial politik yang lebih baik, maupun untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam proses penciptaan karya, seniman kethoprak tidak bisa lepas dari iklim sosial politik masyarakatnya. Perjumpaan-perjumpaan dengan realitas yang dihadapi sehari-hari akan berakhir di ruang-ruang pertunjukan ataupun lembar-lembar kesaksian yang diungkapkan melalui kata dan naskah kethoprak. Realitas yang dihadapi masyarakat tidak akan diabaikan hanya untuk nilai murni seni semata. Peran seniman kethoprak sangat penting pada proses penyebaran pesan. Pesan-pesan tersebut, disampaikan berdasar kesadaran bahwa jalan afeksi yang paling strategis adalah melalui seni. Ari Purnomo, penulis naskah dan sutradara 193 Ledhek Bariyem mengatakan bahwa kethoprak semenjak dahulu sudah menjadi salah satu media pendidikan politik. Pendidikan politik yang disampaikan dalam lakon-lakon kethoprak berkisar pada pembicaraan mengenai konflik kekuasaan dan kemasyarakatan. Kethoprak, menjadi media kritik yang tepat bagi masyarakatnya. Selanjutnya, ia mengatakan “orang Jawa kan suka sekali memberi kritik atau masukan dengan perumpamaan-perumpamaan dan cara yang halus, sehingga yang dikritik tidak akan merasa sakit hati. Nek neng Jowo ki yo, oleh nabok neng ojo loro” Dalam Jawa, boleh memukul namun jangan sampai sakit. 162 Ari yakin, bahwa masyarakat Jawa seperti halnya masyarakat etnis lannya memiliki mekanismenya sendiri untuk melakukan kritik dan membangun pemahaman antar mereka. Sedangkan Bondan Nusantara menyatakan bahwa pementasan lakon Magersari adalah media yang strategis untuk menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat penontonnya. Bagaimana tidak? Kethoprak memiliki tempat yang istimewa di hati penggemarnya. Sehingga tidaklah sulit bagi para seniman dan pegiat kesenian ini untuk menyampaikan pesan melalui pertunjukan mereka. Mekanisme transfer ini jelas lebih disukai karena format hiburan dari kethoprak. Bondan menegaskan bahwa ketik mementaskan kethoprak, “pasti ada sesuatu yang ingin saya sampaikan di luar konteks cerita. Bila seniman lain hanya ingin menggarap cerita kethoprak menjadi bagus tanpa pesan tertentu. Saya tidak begitu. Saya selalu menggarap cerita kethoprak sebagai sarana untuk menyampaikan apa yang sedang kita gelisahkan”. 163 162 Terdapat pada Bab III, hal. 157 163 Terdapat pada Bab III, hal. 170 194 Seperti pernyataan Chernyshevsky, perihal kegunaan seni untuk seni, Bondan pun seturut dengannya. Seniman tersebut mengatakan bahwa dirinya tidak melulu menaruh kesenian hanya sebagai kesenian, akan tetapi kesenian ditempatkan sebagai senjata untuk mendidik rakyat, melalui bahasa mereka sendiri. Mendidik rakyat melalui bahasanya sendiri, menjadi kata kunci dari peran para seniman dari kedua lakon itu. Bahasa adalah senjata. Bahasa inilah yang disampaikan dari atas panggung pertunjukan kepada khalayak penontonnya. Seperti yang sudah dinyatakan berkali-kali dalam sub bab ini. Pesan dengan bahasa tertentulah yang disampaian dan diharapkan dapat ditanggapi, sesuai dengan konsep para pemberi pesan. Dalam hal ini seniman. Seniman menjadi agen penting dalam penyampaian pesan tertentu. Melalui mereka lah, pembangunan pemahaman berupa blok historis dalam kerangka kerja hegemoni dapat terwujud. Pada konsep hegemoni Gramsci, para intelektual tradisionallah yang berperan menjadi agen membawa ideologi. Para inteletual ini bekerja secara kolektif di dalam sistem dan lembaga kerja keagamaan, pendidikan ataupun kebudayaan. Dalam penelitian ini, kethoprak menjadi salah satu lembaga kerja kebudayaan. Mekanisme kerja hegemoknik dimulai dengan blok historis yang dibentuk oleh seniman maupun komunitas. Di sini diciptakan bangunan sejarah, yang memblok pengetahuan lainnya, yang diasa mengganggu kerja hegemoni. Ideologi disebarkan melalui seni. Seni dan seniman menanamkan doktrin dari kelas penguasa melalui karyanya. Kita ambil contoh kasus Tolstoy seorang sastrawan dari Rusia. Pada suatu waktu Tolstoy diminta untuk menaikkan citra Stalin melalui naskah dramanya.